Senyuman sumringah terlukis di bibir Hana. Gadis kecil tersebut langsung berlari ke arah Hafiz dan mendaratkan pelukan di pinggang lelaki itu. "Ahhh ... Hana makin sayang sama Papa," pekik gadis itu.Hafiz mendengkus mendengar ucapan anaknya. Ia menggelitik pingganh Hana membuat gadis kecil itu tertawa. "Dasar, kalau ada maunya aja bilang sayang sama Papa."Lelaki itu menghentikan aksinya saat sang pengasuh masuk kembali. Tatapan dingin dilayangkan Hafiz, ia melirik jam. "Setengah jam lagi, kita pergi. Kamu mendingan makan dulu gih!" perintah Hafiz.Hana menganggukan kepala, sedangkan pengasuhnya langsung menggendong. "Ayoo Bi! Kita makan yang enak," pekik gadis itu.Wanita itu mengangguk lalu menundukan kepala melihat Hafiz. Lelaki tersebut hanya mrngangguk lalu matanya melirik ke luar. Tanda dia diperintahkan pergi."Bibi, aku pengen ciken," pinta Hana.Wanita itu langsung menghentikan langkahnya dan memandang Hana."Haduh Nona, mana aja ciken jam segini. Jangan dulu ya, mending
Hafiz menoleh menatap murka sang pengasuh. Saat hendak mengomeli wanita itu, terdengar Hana mengerang dan memanggil Papanya."Papa ... udah sampe," kata Hana.Hana berkata dengan suara serak, tatapannya yang menggemaskan. Hafiz mengangguk sebagai jawaban, lelaki itu turun dan membuka kan pintu untuk sang putri."Papa, Hana mau digendong," pinta gadis itu. Ia mengulurkan tangannya, membuat Hafiz mengangguk lalau menggendong sang putri. Setelah menutup pintu diikuti pengasuh Hana keluar."Di mana cewek yang kamu panggil Mama? Emang kamu hapal wajahnya?" tanya Hafiz.Hafiz mengeryitkan alis mendengar ucapan Hana. Lelaki itu langsung menatap sang pengasuh anaknya. "Kamu kenal siapa yang dipanggil Mama sama anakku?" tanya Hafiz.Wanita itu menggeleng, membuat Hafiz mengembuskan napas kasar. "Apa saat ketemu wanita itu kamu gak bareng Hana," geram Hafiz.Mendengar geraman Hafiz, pengasuh itu langsung menggeleng. "Saya hapal kok wajahnya, cuma saya gak tau namanya," lontar wanita itu.Pa
"Makin masuk baunya makin nusuk hidung, Pah. Ayo kita pulang aja," rengek gadis itu.Hafiz menggeleng, lelaki itu bahkan memukul kepalanya. Agar rasa pusing segera pergi, tetapi cara tersebut tidak epektif.Sedangkan Maira yang sudah sampai dan kini tengah memilih ayam."Ayamnya tiga kilo aja, Mang. Lumayan banyak yang mesen ayam rica-rica kemangi nih," celetuk Maira. Penjual itu mengangguk, lalu segera menyiapkan pesanan Maira."Ikannya enggak, Neng?" tanya penjual itu.Maira menggeleng, lalu ia pamit dulu untuk membeli sayuran sambil menunggu penjual ayam menyiapkan belanjaannya.Setelah selesai berbelanja semua, ia lekas membayar dan membawa pesanan. Senyuman terus terukir, dia telah akrab dengan para penjual di sini. Lalu suara pekikan seseorang membuat Maira menoleh ke asal suara."Papa!" pekik Hana.Gadis kecil itu menangis, beruntung tadi dia sudah diturunkan oleh Hafiz. Sedangkan pengasuhnya terkejut, ia segera mendekati majikan dan menggoyangkan tubuh Hafiz. "Tuan, anda ke
Maira menghela napas, ia melirik jam di pergelangan tangan lalu mengulas senyum. Perempuan itu berjongkok lalu memegang pipi Hana. "Gak bisa, Sayang. Aku harus pulang dan memasak buat jualan nanti sore," balas Maira. Hana langsung cemberut, gadis itu memeluk Maira dan menggelengkan kepalanya. "Mama gak boleh pergi, nanti Papa gimana. Papa kan masih sakit, harusnya Mama jagain Papa dong," seru gadis itu. Wanita itu terkekeh mendengar seruan Hana, ia mencubit sayang gadis tersebut. Lalu menggendong anak Hafiz, dia melangkah masuk ke kediaman membuat Hana mengulas senyuman bahagia."Mbak, ini gendong gadis cantik ini. Pegel nih," ucap Maira. Dia menggedipkan matanya terhadap pengasuh Hana. Membuat wanita itu paham lalu mengambil alih anak Hafiz."Coba liat Papa, kamu. Kali aja udah siuman di kamar, lagi di periksa dokter kan," kata Maira. Hana langsung mengangguk semangat, gadis itu minta diturunkan. Sang pengasuh menuruti dan dia berlari ke kamar Hafiz."Mbak, makasih ya udah bant
Suara Ali membuat kedua wanita itu menoleh. Maira mengernyitkan alis dan mendekat membantu bawaan sang Bapak. "Pak ...." Ucapan Maira terpotong saat Ali memotong pembicaraan. "Ini tadi, ada cowok ngasih ini. Katanya belanjaan kamu yang ketinggalan," jelas Maira.Maira mengangguk paham lalu mengulas senyuman. Ia langsung dibawa untuk di cuci, sedangkan Dewi yang melihat menghela napas. "Bapak mandi dulu gih, nanti Ibu buatin kopi," seru Dewi.Ali mengangguk menuruti istrinya, ia lekas mengambil handuk di kamar dan pergi ke bilik mandi untuk membersihkan diri. Sedangkan Dewi menyeduh kopi untuk sang suami."Ibu bantuin ya, jangan nolak lho," kata wanita itu.Mendengar ucapan sang Ibu, Maira tak kuasa menolak lalu mengiyakan perkataan wanita itu. "Ibu naro kopinya dulu, nanti Ibu balik lagi buat bantuin kamu," ujar Dewi.Pekerjaan Maira lekas selesai karna dibantu oleh Dewi. Senyuman terukir di bibir mereka, bahkan keringat sesekali diusap karena takut menetes ke masakan."Nah, kala
Maira malas meladeni Devi, ia lebih fokus melayani pembeli. Lalu teman Abangnya memanggil. "Eh, udah jualan aja, Ra. Tadi kamu dikasih uang gak pas nolongin orang kaya itu," celetuk lelaki itu.Dia mendekati Maira, ia menggelengkan kepala."Aku kan niat bantuin, masa pamrih sih," balas Maira. Pria tersebut tertawa mendengar balasan Maira, apalagi nada sinis wanita itu. "Ah ... Iya deh, ternyata kamu gak pernah berubah ya. Kirain udah jadi Nyonya Reyhan bakal berubah," kelakar pria tersebut.Maira hanya diam mendengar itu, lalu pria tersebut pamit pergi. Sedangkan salah satu dari mereka menyenggol perempuan yang tadi melontarkan pertanyaan. "Eh, Ra. Maaf ya," ucap wanita itu.Dia hanya mengulas senyum kecil, lalu mengangguk kepala pelan. Sedangkan Devi mendengkus geram, wanita itu langsung pergi. "Si Devi masih aja sinis sama kamu ya, Ra, gak pernah berubah. Padahal anaknya suka keluyuran sama cowok yang beda-beda," tutur wanita yang tadi memberhentikan Maira.Perempuan itu memili
Maira hanya tersenyum kecil mendengar celetuk Lena. Mendengar itu, David melihat handphone dan memegang bahu adiknya. "Duh, ganggu acara ngobrol kalian. Udah mau maghrib nih, takutnya Ibu marah kalau gak buru-buru pulang," ujar David. Ajeng mendengar itu langsung cemberut, ia memandang kesal David. Membuat lelaki tersebut salah tingkah dan menggaruk kepala. "Ya ... gimana lagi, dari pada diomelin Ibu. Pusing dengerin ceramahnya," lontar lelaki itu. Wanita itu memandang sahabatnya yang masih betah melajang, ia memegang bahu Ajeng. "Nanti, aku main sebentar deh kalau udah selesai datang."Maira berusaha menghibur temannya dan membuat Ajeng memandang wanita itu. Mendengar ucapan sang teman, ia langsung memegang bahu Maira. "Kalau gitu nanti aku ikut kamu jualan, kalau nunggu kamu pulang jualan pasti cuma sebentar. Kan sorenya kamu jualan lagi," tutur Ajeng. Adik David ini langsung mengeryitkan alis memandang Ajeng."Kamu tau dari siapa, kan aku belum bilang lho," kata Maira. Ajeng
Mata Dewi melotot mendengar ucapan linglung sang suami. Sedangkan Maira segera memalingkan wajah dan David memasang muka hendak menggoda Ibunya."Bangun, Pak! Mendingan penuhin dulu sadarnya. Main ngomong gak bener aja, ada anak-anak lho," cecar Dewi.David merasa tidak tahan, akhirnya mengeluarkan tawa. Dewi mendengar langsung melotot memandang kesal pada sang anak. Sedangkan Ali masih linglung dan Maira segera memberikan air putih untuk lelaki tersebut."Udah minumnya kan, Pak. Mendingan cuci muka dulu deh. Kalau enggak mandi, bentar lagi maghrib soalnya," jelas wanita itu.Ali menuruti ucapan anaknya, ia bangkit dan melangkah menuju bilik mandi. Sedangkan Dewi berkacak pinggang menatap geram David."Waduh ... singa ngamuk, kabur ...!" pekik David.Dewi mendengkus kesal, ia langsung duduk lesehan di karpet. Sedangkan Maira bergegas mengambil air lagi dan diberikan pada sang Ibu."Ciee ... ciuman secara gak langsung nih, itu kan gelas bekas Bapak," ledek David.Maira menatap kesal Dav
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu