"Mbak siapa?" tanya Maira.Mendengar pertanyaan Maira, wanita itu langsung melirik saat dia bertanya. Sedangkan anak Dewi segera menggenggam jemari gadis yang menyapanya tadi. "Saya pengasuhnya Mbak. Ayo Nona, nanti Papamu marah lho," ujar perempuan tersebut.Dia menyahuti Maira seraya mengajak anak asuhnya untuk pulang. Gadis kecil tersebut menggeleng, lalu memeluk pinggang Maira. "Gak mau, Bi. Aku mau ajak Mama pulang," serunya.Maira terkejut begitupun wanita yang berhadapan dengan mereka. Matanya sampai membulat, sedangkan gadis kecil itu menampilkan riak polos."Jangan gitu, Nona. Tante ini bukan Mama kamu," tegur perempuan itu.Gadis kecil itu langsung memanyunkan bibirnya. Mata dia kini berkaca-kaca membuat perempuan tersebut khawatir. "Jangan nangis Nona, kan Bibi ngomongnya bener. Gak enak lah sama Tante, masa kamu tiba-tiba manggil Mama," nasihat wanita tersebut.Sedangkan Maira langsung melepaskan gadis itu yang mendekap lalu memegang pipinya. "Jangan nangis, nanti jele
Maira menghela napas, ia menunduk. Lalu memandang wanita dihadapannya itu. "Maafin saya, Bu. Saya kan dipanggil mereka, bukan saya yang inisiatif masuk ke tempat Ibu jualan," sahut Maira.Wanita itu melotot mendengar jawaban Maira. Tangannya mengepal, kala lengan hendak dilayangkan ke wajah perempuan tersebut. Dia segera di tahan oleh sang suami yang melihat."Udah, gak usah diperpanjangan. Mbak kalau mau pergi jualan lagi silahkan," lontar suami wanita itu.Maira mengucapkan terimakasih dan meminta maaf. Ia segera melangkah pergi, meninggalkan wanita itu yang melotot menatap kesal suaminya."Kamu tuh apaan sih! Maen suruh pergi aja," gerundel wanita tersebut. Sang suami menghela napas lalu berbisik memberitahu istrinya."Jaga sikap, pelanggan kita ngeliatin lho," tegur lelaki itu.Wanita itu berdecak kesal, ia menghentakan kaki. Lalu melangkah pergi meninggalkan suaminya, menyibukan diri melakukan pekerjaan. Sedangkan Maira, ia berjalan untuk membeli bahan makanan sekalian jualan.
David yang melihat adiknya terdiam, lalu berinisiatif memerintah wanita itu pulang. "Pulang gih! Kamu pasti capek," tutur David.Maira mengangguk lalu segera menaiki sepeda, dan ia berteriak pamitan pada teman kerja Kakaknya. Sedangkan David bergegas melakukan pekerjaan lagi."Untung Bang Dav nyuruh aku pulang," gumam perempuan itu.Wanita itu mengucap syukur, lalu segera menggoes sepeda lebih cepat saat melirik jam baru dipergelangan tangan. Benda tersebut dibeli saat tadi, harganya cuma dua puluh lima ribu."Haduh, karna hujan tadi, jadi sekarang lumayan kesorean. Pas nyampe rumah aku harus langsung masak," lontar Maira.Sesampai di kediaman ia segera masuk. Tetapi, tidak menemukan Ibunya. Dia mengeryitkan alis dan mulai mencari wanita tersebut."Bu ... Ibu dimana."Maira terus berteriak seraya berkeliling, lalu membuka pintu kamar orang tuanya. Tetapi, masih tidak menemukan wanita tersebut, bahkan kini Bapak pula tidak ada. "Mereka ke mana sih," gerundel Maira.Wanita itu mengger
Dia mengembuskan napas kala mendengar ujaran Ali. Lalu melirik jam, ia segera memandang wajah lelaki yang selalu berjuang menafkahi anak dan istri itu."Bapak makan gih! Udah Maira masakin. Maira pamit dulu mau jualan," lontar wanita itu.Maira segera mencium punggung tangan Ali, lalu memberikan kunci pada lelaki itu. Ia segera menaiki sepeda, dan bergegas menggoes. Seraya berteriak menyebutkan nama yang ia jual."Ra ... Mpok mau beli," teriak seseorang.Maira menoleh ke asal suara, lalu menjawab dan menggoes mendekati perempuan itu."Siap Mpok, tunggu ya," sahut Maira.Wanita yang disahuti Maira itu mengacungi jempol. Setelah sampai di hadapan perempuan tersebut, ia segera menghentikan laju sepedanya."Sekarang jualan apa, Ra? Mpok lagi pengen rebung nih. Ada gak?" tanya wanita itu.Maira terdiam sebentar, lalu mencari di keranjang yang ia bawa. Lalu saat menemukan makanan tersebut segera diberikan pada wanita itu. "Ada gulai rebung Bi, mau gak? Maira cuma masak itu soalnya," celetu
Maira terdiam sambil menunduk melihat ke bawah. Wajahnya langsung murung, Dewi yang kebetulan dateng lekas menghampiri mereka."Eh, Ra. Kamu ke sini jemput Ibu," seru Dewi.Kedua wanita itu langsung menatap asal suara. Lalu Maira mengembangkan senyuman, ia lekas bangkit. "Ibu cepet pulang gih, aku udah siapin makanan. Bapak juga di rumah tadi udah makan," tutur Maira.Dewi membalas dengan anggukan, lalu Lena segera merogoh uang dan memberikan pada wanita itu. "Makasih ya," kata Lena. Dewi membalas dengan anggukan, lalu Lena menoleh memandang Maira."Eh kata Ibumu, kamu jualan, Ra. Mpok mau beli dong," lontar Lena.Maira mengangguk lalu mengajak Lena ke sepedanya. Ia lekas memberitahu apa saja jualan yang dibawa sore ini. "Makasih Mpok udah beli, moga jadi langganan," ujar Maira ramah.Lena hanya mengulas senyum, sedangkan Dewi sudah pamit pulang. Karena tau jika anaknya akan berkeliling jualan."Pasti Ajeng seneng makan masakan kamu, apalagi masakan kamu selalu enak," papar Lena.
Atha langsung menatap tajam orang yang membicarakan Maira. Mereka lekas bergegas pergi mendapatkan tatapan marah lelaki itu."Ra ...," panggil Atha.Pria tersebut hendak memegang bahu Maira. Tetapi, wanita itu bergeser lalu menaiki sepeda dan menggoes. Meninggalkan Atha yang terpaku memandang kepergiannya."Ahhh ... ini salahku karena menghampirinya," gumam lelaki itu.Lelaki itu segera mengemudikan kendaraannya. Lalu tatapan tertuju di depan ada Maira yang tengah menggoes sepeda, Atha lekas melambatkan laju motor. Terlihat wanita tersebut sesekali mengusap pipi, ditebak tengah menghapus air mata."Maaf, gara-gara aku kamu jadi nangis," batin Atha."Ini arah ke rumahku, kan. Ohh ... pasti Ibu mesen makanan," lanjut lelaki itu dalam hati.Maira merasakan ada motor di belakangnya. Ia menoleh sekilas lalu fokus ke depan lagi. "Mas Atha ngikutin aku, apa dia khawatir," batin Maira. Dia langsung menjitak keningnya."Dasar bodoh, dia bukan ngikutin. Tapi ini kan jalan ke rumahnya."Maira
Sedangkan ditempat lain, seorang gadis terus rengek. Dia menangis memeluk kaki sang Papa. Kini kedua manusia itu berada di ruangan kerja pria tersebut. "Papa, ayo kita ketemu Mama," ajak gadis itu.Lelaki yang dipanggil Papa itu, menghela napas. Ia menatap anaknya lalu menggendong gadis kecil tersebut. "Nanti ya, Sayang. Kan minggu kemaren kita baru ke sana, nanti ya tunggu kerjaan Papa selesai," lontar lelaki itu.Bocah kecil itu langsung menggeleng, membuat sang Papa mengeryitkan alisnya. "Bukan Bunda, Pah. Tapi Mama, Mama yang aku temui di pasar bareng Bibi," seru gadis kecil ituDia mengeryitkan alisnya, lalu menatap tajam sang anak. Sedangkan gadis tersebut langsung menutup bibir dan senyum meringis. "Kamu ke pasar lagi kapan, kan udah Papa bilang jangan pergi ke mana-mana tanpa sepengetahuan Papa," tutur lelaki itu dingin.Perempuan itu langsung menundukan kepala, dan tangannya saling memilin membuat sang Papa mengembuskan napas kasar. Ia memilih mendudukan gadis tersebut di
Senyuman sumringah terlukis di bibir Hana. Gadis kecil tersebut langsung berlari ke arah Hafiz dan mendaratkan pelukan di pinggang lelaki itu. "Ahhh ... Hana makin sayang sama Papa," pekik gadis itu.Hafiz mendengkus mendengar ucapan anaknya. Ia menggelitik pingganh Hana membuat gadis kecil itu tertawa. "Dasar, kalau ada maunya aja bilang sayang sama Papa."Lelaki itu menghentikan aksinya saat sang pengasuh masuk kembali. Tatapan dingin dilayangkan Hafiz, ia melirik jam. "Setengah jam lagi, kita pergi. Kamu mendingan makan dulu gih!" perintah Hafiz.Hana menganggukan kepala, sedangkan pengasuhnya langsung menggendong. "Ayoo Bi! Kita makan yang enak," pekik gadis itu.Wanita itu mengangguk lalu menundukan kepala melihat Hafiz. Lelaki tersebut hanya mrngangguk lalu matanya melirik ke luar. Tanda dia diperintahkan pergi."Bibi, aku pengen ciken," pinta Hana.Wanita itu langsung menghentikan langkahnya dan memandang Hana."Haduh Nona, mana aja ciken jam segini. Jangan dulu ya, mending
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu