Berbeda dengan hari sebelumnya yang bersikap kaku, hari ini Xaviera menunjukkan sebuah perbedaan. Tak ada yang tahu bahwa alasan dibalik senyuman sumringah yang Xaviera tampilkan adalah karena Isabel. Meski Xaviera tak memungkiri ada rasa kesal karena sikap arogan Isabel, namun di sisi lain ia pun senang. Karena dengan kehadiran Isabel, Xaviera tidak akan lagi hanya berdua dengan Alejandro. Meskipun sedikit, namun setidaknya Xaviera memiliki ruang untuk bergerak. “Ini minuman Anda, Nona.” Xaviera datang dengan membawa secangkir Cafe Con Leche—kopi susu khas Spanyol, sesuai permintaan Isabel. Sementara Isabel yang sebelumnya sedang membaca majalah, hanya melirik sekilas dan mengambil cangkir tersebut. Ia menyesap sedikit minumannya dan meletakkan cangkir tersebut di meja, lalu matanya kembali teralihkan pada majalahnya. TIdak ada ucapan 'terima kasih' yang keluar dari bibir Isabel, membuat Xaviera hanya bisa geleng-geleng kepala. “Mau pergi ke mana kau?” ujar Isabel menahan p
Gabriel memandang langit-langit kamarnya dengan rasa penasaran yang mendalam. Ada sesuatu yang aneh di sudut ruangan, sebuah bercak hitam yang terlihat jelas di antara warna putih yang mendominasi. Alisnya berkerut, sambil berbisik pada diri sendiri, “Benda apa itu?” Mata Gabriel tidak bisa lepas dari benda misterius itu.“Itu pasti kesalahan cleaning service," dengus Gabriel pelan. Kepalanya bergoyang kecil, seolah-olah mencoba menghapus ketidaknyamanan yang dirasakannya.“Aku rasa mereka tidak becus membersihkannya," desah Gabriel seraya menyalahkan layanan kebersihan apartemen.Dengan langkah cepat, ia menuju ke gudang untuk mengambil tangga. Seketika ia mengaturnya tepat di bawah noda hitam itu, memastikan posisinya aman untuk didaki. Dengan hati-hati, Gabriel mulai menaiki tangga tersebut. Setiap anak tangga yang dilalui terasa semakin mendebarkan.Saat tangan Gabriel hampir saja menyentuh permukaan yang bermasalah itu, tiba-tiba deringan ponsel memecah konsentrasinya. Jantungnya
“Apa maksudmu?” Alejandro langsung menghentikan gerakan kakinya. Ditatapnya Isabel dengan rasa tak percaya. Bahu Isabel terangkat. “Entahlah. Sepertinya kau lebih memahami maksudku,” jawabnya dengan santai. Alejandro menarik lengan Isabel, memaksa agar wanita itu menatapnya. “Jangan berbelit-belit, Isabel! Kau tahu aku tidak menyukai—” “Diriku?” Isabel menyergah. “Katakan, jauh dari lubuk hatimu yang paling dalam, kau tidak menyukaiku secara personal, atau tidak menyukai sikapku pada Xaviera?” Jari telunjuk Isabel yang lentik terangkat dan mendarat pada dada Alejandro. Setiap kata yang meluncur dari bibir Isabel membuat Alejandro berpikir keras, bahwa ia harus berhati-hati menjawabnya. Jika salah berucap, rahasianya selama ini akan terbongkar. Drrt! Drrt! Beruntung, di tengah ketegangan itu ponsel Isabel berdering. Sejujurnya Isabel ingin sekali menolak panggilan tersebut, namun ketika melihat di layarnya tertera nama ayahnya, Isabel mau tak mau menjawabnya. “Halo, Ayah.
Alejandro berdiri tepat di depan kaca besar yang memisahkannya dengan Xaviera. Sementara dirinya berada di dalam ruangannya, Xaviera sendiri di kursi kerjanya. Dalam diamnya itu, Alejandro terus memperhatikan setiap gerakan sekecil apa pun yang Xaviera timbulkan. Kedua tangan Xaviera begitu sibuk. Entah itu mengangkat telepon yang masuk, atau memainkan keyboard komputernya. Dan saking sibuknya ia, sampai tak menyadari ada yang terus memperhatikannya.“Karena Isabel, aku jadi tidak bisa mendapatkan Xaviera.” Bibir sedikit tebal Alejandro berucap, sambil mengingat kejadian beberapa waktu lalu.“Wanita itu memang sangat menyusahkan. Bisa-bisanya aku terikat perjodohan dengannya,” ucap Alejandro lagi.Entah kebetulan atau bagaimana, wanita yang membuat Alejandro kesal hanya karena memikirkannya tiba-tiba saja menampakkan dirinya. Alejandro sempat terkejut sesaat. Matanya sedikit menyipit ketika melihat Isabel berbincang dengan Xaviera. “Ale ...!” Seperti biasa, Isabel akan memasuki ruan
“Buktikan kau adalah pria perkasa, Alejandro!”“Membuktikannya? Untuk apa? Aku tidak perlu pengakuan dari siapa pun apalagi dirimu.” Alejandro membalas tantangan Isabel dengan tolakan.Kini bergantian, giliran Alejandro yahh mendekati telinga Isabel. “Kau berbicara seperti itu untuk menantang agar aku melakukannya denganmu, bukan? Caramu terlalu ... murahan,” lanjut Alejandro membuat Isabel tercengang mendengarnya.“Dengar, Isabel! Sejak kecil hingga sekarang, aku hanya menganggapmu sebagai sahabat, tidak pernah lebih. Dan persahabatan kita juga yang membuatku hingga saat ini menerima kehadiranmu.”Menyingkirkan tubuh Isabel dengan satu kali gerakan, Alejandro kemudian menunjuk wanita itu. “Jika bukan karena permintaan ayahmu, orang yang berjasa bagi keluargaku, aku tidak akan mau mengajarimu hal semacam ini. Hanya membuang waktu saja.”Isabel yang mendengar semua penuturan Alejandro, hanya bisa diam seribu bahasa. Mulutnya nenganga lebar, tak percaya Alejandro mampu berbicara sebany
Plak! Tanpa ada keraguan sedikit pun, Xaviera memukul wajah Alejandro. Saking keras tamparannya, Xaviera bahkan dapat merasakan telapak tangannya kebas. Air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata Xaviera, akhirnya terjatuh juga, membasahi wajahnya yang merah menahan amarah. Tanpa berucap apa pun, Xaviera berbalik dan berlari meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Alejandro masih terpaku di tempatnya berdiri. Satu tangan Alejandro masih berada di wajahnya. Alejandro akui pukulan Xaviera cukup menyakitkan, namun di saat yang sama pikirannya masih terpaku pada reaksi Xaviera. Akibat amarah bercampur penat yang dirasakannya, membuat pikiran Alejandro berkecamuk. Alejandro tak bisa lagi menahan dirinya, hingga akhirnya ia melampiaskannya pada Xaviera. Padahal yang menantang kejantanannya adalah Isabel, namun yang menjadi ajang pembuktian adalah Xaviera. “Sial!” Sadar akan ketidakberadaan Xaviera di depannya, Alejandro mengumpat kesal. Alejandro melepaskan paksa paka
Semalaman Xaviera seorang diri di apartemen, hanya berteman kesunyian. Berharap Gabriel datang untuk memeluknya, dan menenangkannya di tengah gempuran rasa takutnya, namun itu semua hanya angan. Matahari sudah menampakkan dirinya, namun Gabriel tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan datang. Sementara Xaviera yang masih duduk di lantai, hanya bisa memeluk lututnya sendiri. “Gabi ...” Secara kebetulan, panggilan Xaveria terkabulkan. Sang pemilik nama yang terus Xaviera panggil, akhirnya menampakkan dirinya. “Mi amor!” Gabriel tentu terkejut sekaligus cemas melihat keadaan Xaviera. Langsung saja ia melepaskan sepatunya dan berlari mendatangi, lalu berakhir memeluk Xaviera. “Gabi ....” “Iya, ini aku. Kau kenapa, Sayang? Kenapa duduk di lantai seperti ini?” Gabriel mengusap lembut rambut kecoklatan Xaviera. “Aku menunggumu,” jawab Xaviera lemah. Gabriel meregangkan pelukannya dan mengusap Wajah cantik Xaviera yang pucat dan kulitnya terasa hangat. “Apa kau tidak membaca pes
“Argh! Shh!” Suara Xaviera meringis, seakan menjadi sinyal bagi Gabriel, membuat Gabriel yang semula berada di luar langsung berlari ke kamar mereka. “Mi amor!” Gabriel memekik kuat ketika melihat Xaviera terduduk di lantai. Segera, Gabriel berlari lalu mengangkat Xaviera dan mendudukinya di pinggir tempat tidur. “Kau baik-baik saja?” Gabriel dengan cemas menyingkirkan rambut Xaviera, sehingga wajah pucat Xaviera dapat dilihatnya dengan jelas. “Gabi, aku haus.” Xaviera hanya mampu mengeluarkan beberapa kata saja, karena sejujurnya tenggorokannya sangat kering dan sakit. “Tunggu sebentar, biar aku ambilkan.” Gabriel kembali berlari keluar dari kamar, dan tak lama datang kembali dengan membawa segelas air. “Ini, minumlah!” Gabriel membantu Xaviera meminumnya, lalu mengusap bibir Xaveria yang kering. “Apa ada lagi yang kau inginkan?” Xaviera menggeleng. “Aku hanya ingin dirimu. Tolong peluk aku!” Xaviera bukan meminta, namun terdengar seperti memohon. Gabriel tentu tak
“Akh, kepalaku sakit.” Xaviera melenguh, tangannya merambat memijat pangkal hidungnya, berharap dapat mengurangi rasa tak nyaman yang menyerang kepalanya. “Gabi ...” Xaviera menatap pintu kamarnya, berharap dapat melihat sosok Gabriel di sana, namun pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan kembali. Ponselnya yang berbunyi menandakan panggilan masuk, memecah keheningan kamar. Buru-buru Xaviera mengambilnya. Melihat nama Gabriel tertera di sana, membuat sudut bibir Xaveria terangkat.“Halo, Sayang.” Xaviera menyapa gembira, namun yang terdengar dari ponselnya bukanlah suara hangat Gabriel yang amat sangat disukainya, melainkan suara bising hingga membuat telinganya berdengung.“Sayang, apa kau masih di tempat kerjamu?” Perlahan senyuman Xaviera menghilang, ketika Gabriel mengatakan ia tidak bisa pulang cepat, lantaran pekerjaannya membutuhkannya. Diam-diam Xaviera menoleh ke arah balkon, melihat langit yang sudah gelap. “Ya sudah, tidak masalah. Kau selesaikan saja pekerjaanmu. Fok
Alejandro berdiri di tengah ruang kerja luas dengan dinding berlapis kaca yang memantulkan cahaya rembulan. Sang ayah berdiri di depannya dengan dahi berkerut dan mata yang berapi-api. Tangannya terkepal, seolah menggenggam amarah yang siap meledak kapan saja. Udara di ruangan itu seakan membeku, setiap suara terdengar lebih keras dan setiap gerakan terlihat lebih tajam. Ayah Alejandro—seorang pria paruh baya dengan aura otoritas yang kuat, memulai serangannya dengan suara yang keras dan tegas, “Kau tahu betul, Alejandro, betapa pentingnya hubungan keluarga kita dengan keluarga Isabel. Keluarga mereka telah banyak membantu kita. Bagaimana bisa kau begitu tega menolak membantu ketika dia membutuhkanmu?” Alejandro menggertakkan giginya, merasakan beratnya beban yang selama ini dipaksakan ke pundaknya. Dia menghirup nafas dalam-dalam, menyiapkan diri untuk konfrontasi yang sudah lama ia hindari. Ayah Alejandro merah wajahnya, nadanya meningkat, “Kau tidak mengerti pentingnya menj
“Argh! Shh!” Suara Xaviera meringis, seakan menjadi sinyal bagi Gabriel, membuat Gabriel yang semula berada di luar langsung berlari ke kamar mereka. “Mi amor!” Gabriel memekik kuat ketika melihat Xaviera terduduk di lantai. Segera, Gabriel berlari lalu mengangkat Xaviera dan mendudukinya di pinggir tempat tidur. “Kau baik-baik saja?” Gabriel dengan cemas menyingkirkan rambut Xaviera, sehingga wajah pucat Xaviera dapat dilihatnya dengan jelas. “Gabi, aku haus.” Xaviera hanya mampu mengeluarkan beberapa kata saja, karena sejujurnya tenggorokannya sangat kering dan sakit. “Tunggu sebentar, biar aku ambilkan.” Gabriel kembali berlari keluar dari kamar, dan tak lama datang kembali dengan membawa segelas air. “Ini, minumlah!” Gabriel membantu Xaviera meminumnya, lalu mengusap bibir Xaveria yang kering. “Apa ada lagi yang kau inginkan?” Xaviera menggeleng. “Aku hanya ingin dirimu. Tolong peluk aku!” Xaviera bukan meminta, namun terdengar seperti memohon. Gabriel tentu tak
Semalaman Xaviera seorang diri di apartemen, hanya berteman kesunyian. Berharap Gabriel datang untuk memeluknya, dan menenangkannya di tengah gempuran rasa takutnya, namun itu semua hanya angan. Matahari sudah menampakkan dirinya, namun Gabriel tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan datang. Sementara Xaviera yang masih duduk di lantai, hanya bisa memeluk lututnya sendiri. “Gabi ...” Secara kebetulan, panggilan Xaveria terkabulkan. Sang pemilik nama yang terus Xaviera panggil, akhirnya menampakkan dirinya. “Mi amor!” Gabriel tentu terkejut sekaligus cemas melihat keadaan Xaviera. Langsung saja ia melepaskan sepatunya dan berlari mendatangi, lalu berakhir memeluk Xaviera. “Gabi ....” “Iya, ini aku. Kau kenapa, Sayang? Kenapa duduk di lantai seperti ini?” Gabriel mengusap lembut rambut kecoklatan Xaviera. “Aku menunggumu,” jawab Xaviera lemah. Gabriel meregangkan pelukannya dan mengusap Wajah cantik Xaviera yang pucat dan kulitnya terasa hangat. “Apa kau tidak membaca pes
Plak! Tanpa ada keraguan sedikit pun, Xaviera memukul wajah Alejandro. Saking keras tamparannya, Xaviera bahkan dapat merasakan telapak tangannya kebas. Air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata Xaviera, akhirnya terjatuh juga, membasahi wajahnya yang merah menahan amarah. Tanpa berucap apa pun, Xaviera berbalik dan berlari meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Alejandro masih terpaku di tempatnya berdiri. Satu tangan Alejandro masih berada di wajahnya. Alejandro akui pukulan Xaviera cukup menyakitkan, namun di saat yang sama pikirannya masih terpaku pada reaksi Xaviera. Akibat amarah bercampur penat yang dirasakannya, membuat pikiran Alejandro berkecamuk. Alejandro tak bisa lagi menahan dirinya, hingga akhirnya ia melampiaskannya pada Xaviera. Padahal yang menantang kejantanannya adalah Isabel, namun yang menjadi ajang pembuktian adalah Xaviera. “Sial!” Sadar akan ketidakberadaan Xaviera di depannya, Alejandro mengumpat kesal. Alejandro melepaskan paksa paka
“Buktikan kau adalah pria perkasa, Alejandro!”“Membuktikannya? Untuk apa? Aku tidak perlu pengakuan dari siapa pun apalagi dirimu.” Alejandro membalas tantangan Isabel dengan tolakan.Kini bergantian, giliran Alejandro yahh mendekati telinga Isabel. “Kau berbicara seperti itu untuk menantang agar aku melakukannya denganmu, bukan? Caramu terlalu ... murahan,” lanjut Alejandro membuat Isabel tercengang mendengarnya.“Dengar, Isabel! Sejak kecil hingga sekarang, aku hanya menganggapmu sebagai sahabat, tidak pernah lebih. Dan persahabatan kita juga yang membuatku hingga saat ini menerima kehadiranmu.”Menyingkirkan tubuh Isabel dengan satu kali gerakan, Alejandro kemudian menunjuk wanita itu. “Jika bukan karena permintaan ayahmu, orang yang berjasa bagi keluargaku, aku tidak akan mau mengajarimu hal semacam ini. Hanya membuang waktu saja.”Isabel yang mendengar semua penuturan Alejandro, hanya bisa diam seribu bahasa. Mulutnya nenganga lebar, tak percaya Alejandro mampu berbicara sebany
Alejandro berdiri tepat di depan kaca besar yang memisahkannya dengan Xaviera. Sementara dirinya berada di dalam ruangannya, Xaviera sendiri di kursi kerjanya. Dalam diamnya itu, Alejandro terus memperhatikan setiap gerakan sekecil apa pun yang Xaviera timbulkan. Kedua tangan Xaviera begitu sibuk. Entah itu mengangkat telepon yang masuk, atau memainkan keyboard komputernya. Dan saking sibuknya ia, sampai tak menyadari ada yang terus memperhatikannya.“Karena Isabel, aku jadi tidak bisa mendapatkan Xaviera.” Bibir sedikit tebal Alejandro berucap, sambil mengingat kejadian beberapa waktu lalu.“Wanita itu memang sangat menyusahkan. Bisa-bisanya aku terikat perjodohan dengannya,” ucap Alejandro lagi.Entah kebetulan atau bagaimana, wanita yang membuat Alejandro kesal hanya karena memikirkannya tiba-tiba saja menampakkan dirinya. Alejandro sempat terkejut sesaat. Matanya sedikit menyipit ketika melihat Isabel berbincang dengan Xaviera. “Ale ...!” Seperti biasa, Isabel akan memasuki ruan
“Apa maksudmu?” Alejandro langsung menghentikan gerakan kakinya. Ditatapnya Isabel dengan rasa tak percaya. Bahu Isabel terangkat. “Entahlah. Sepertinya kau lebih memahami maksudku,” jawabnya dengan santai. Alejandro menarik lengan Isabel, memaksa agar wanita itu menatapnya. “Jangan berbelit-belit, Isabel! Kau tahu aku tidak menyukai—” “Diriku?” Isabel menyergah. “Katakan, jauh dari lubuk hatimu yang paling dalam, kau tidak menyukaiku secara personal, atau tidak menyukai sikapku pada Xaviera?” Jari telunjuk Isabel yang lentik terangkat dan mendarat pada dada Alejandro. Setiap kata yang meluncur dari bibir Isabel membuat Alejandro berpikir keras, bahwa ia harus berhati-hati menjawabnya. Jika salah berucap, rahasianya selama ini akan terbongkar. Drrt! Drrt! Beruntung, di tengah ketegangan itu ponsel Isabel berdering. Sejujurnya Isabel ingin sekali menolak panggilan tersebut, namun ketika melihat di layarnya tertera nama ayahnya, Isabel mau tak mau menjawabnya. “Halo, Ayah.
Gabriel memandang langit-langit kamarnya dengan rasa penasaran yang mendalam. Ada sesuatu yang aneh di sudut ruangan, sebuah bercak hitam yang terlihat jelas di antara warna putih yang mendominasi. Alisnya berkerut, sambil berbisik pada diri sendiri, “Benda apa itu?” Mata Gabriel tidak bisa lepas dari benda misterius itu.“Itu pasti kesalahan cleaning service," dengus Gabriel pelan. Kepalanya bergoyang kecil, seolah-olah mencoba menghapus ketidaknyamanan yang dirasakannya.“Aku rasa mereka tidak becus membersihkannya," desah Gabriel seraya menyalahkan layanan kebersihan apartemen.Dengan langkah cepat, ia menuju ke gudang untuk mengambil tangga. Seketika ia mengaturnya tepat di bawah noda hitam itu, memastikan posisinya aman untuk didaki. Dengan hati-hati, Gabriel mulai menaiki tangga tersebut. Setiap anak tangga yang dilalui terasa semakin mendebarkan.Saat tangan Gabriel hampir saja menyentuh permukaan yang bermasalah itu, tiba-tiba deringan ponsel memecah konsentrasinya. Jantungnya