Xaviera melangkah di sepanjang lorong NOWZ COMPANY dengan senyum percaya diri. Pakaian formal berupa rok span selutut berwarna yang dipadukan dengan blouse putih, membalut tubuh indahnya. Serta rambut panjangnya yang diikat rapi, menambah kesan apik pada dirinya.“Mr. Alejandro pasti senang mendengar berita ini.” Sambil memegang sebuah map berwarna hitam di tangannya, Xaviera bergumam pelan.Langkah kakinya yang terbalut heels, membawa Xaviera menuju ruang CEO berada. Namun sebelum itu, Xaviera mengetuk pintu terlebih dahulu tentunya. “Maaf mengganggu, Mr. ini saya, Xaviera.”Bukan suara perintah yang biasa Xaviera dengar dari sang bos, melainkan pintu yang dibuka langsung oleh Alejandro. “Kau sudah kembali?” ujar pria yang hanya memakai kemeja tanpa jas itu.“Iya, Mr. saya membawa kabar baik.”“Masuk!” titah Alejandro singkat.Karena permintaan pertemuan dengan klien yang berbarengan, sementara keduanya sangatlah penting bagi Al
Xaviera saat ini berada di ruang kendali CCTV menatap layar monitor dengan mata yang penuh harapan. Ruangan itu dipenuhi deretan monitor yang menunjukkan berbagai sudut kantor. Xaviera duduk dengan tubuhnya yang tegang, rambutnya yang sebelumnya terikat rapi, kini sudah tidak lagi.Di samping Xaviera, operator CCTV dengan serius mengganti-ganti tampilan kamera, mencoba membantu Xaviera menemukan rekaman yang tepat.“Apakah ini meja Anda, Nona?” tanya operator itu, menunjuk ke sebuah sudut yang terpampang di salah satu layar.“Iya, itu dia,” jawab Xaviera dengan nada berharap, matanya tidak berkedip menatap layar. “Tolong diperbesar!” pinta Xaviera sambil semakin mendekatkan dirinya dan menatap penuh layar tersebut.Rekaman itu memperlihatkan sudut meja kerja Xaviera, namun karena posisi kamera yang tidak menguntungkan, hanya sebagian kecil saja yang terlihat. Xaviera menggigit bibirnya, merasa frustrasi. Tidak ada tanda-tanda yang aneh, tidak ada
Kediaman Alejandro malam itu tampak lebih ramai dari biasanya, cahaya lampu yang hangat menerangi setiap sudut ruangan yang dipenuhi tawa dan perbincangan. Di meja panjang yang terbuat dari kayu mahoni, terdapat Alejandro yang duduk dengan postur tegap, kedua orang tuanya yang tampak ceria, dan kedua orang tua Isabel yang selalu terlihat ramah. Pembicaraan mengalir dari satu topik ke topik lain, terutama ketika Adriana—ibu Isabel mulai bercerita tentang kenakalan yang pernah dilakukan oleh Alejandro dan Isabel saat mereka masih kecil. “Kau anak perempuan, tapi kenakalanmu tidak jauh berbeda dengan Alejandro,” ujar Adriana, membuat Isabel menutup mulutnya malu. Isabel, yang kini menjadi seorang wanita yang anggun dan menawan, sesekali tertawa kecil mendengar cerita itu. Tawanya yang merdu itu seolah menjadi musik latar yang menambah kehangatan suasana. Namun, di sisi lain, Alejandro hanya memberikan respon seadanya. Mata Alejandro yang tajam menatap lurus ke depan, seolah dia berad
Pagi itu, sinar mentari menerobos masuk melalui jendela kantor Alejandro, namun tak sedikit pun mampu menerangi kegelapan yang melanda hatinya. Sambil menatap layar komputer yang penuh dengan laporan kerugian, Alejandro meremas kertas-kertas tersebut dalam kekesalan. Tiba-tiba, pintu ruangan tersebut terbuka dengan suara yang agak keras. Isabel, dengan gaun cerah dan senyum yang lebar, masuk tanpa permisi. Entah di mana Xaviera berada, hingga tak menghalangi langkah Isabel yang anggun. “Alejandro, ayo kita keluar! Cuaca cerah sekali hari ini,” ujar Isabel dengan nada yang ceria namun menyebalkan bagi Alejandro. Alejandro menatap Isabel dengan tatapan tajam. “Tidak bisa. Kau tahu aku sedang sibuk. Aku tidak punya waktu untuk itu,” sahutnya dengan nada rendah namun penuh penekanan. Namun, Isabel tak kenal menyerah. Dia mendekat ke meja Alejandro dan menarik lengan bajunya. “Ayolah, sedikit angin segar pasti akan membuatmu lebih baik. Aku bosan harus selalu mengurus pekerjaan, ak
Xaviera berlari dengan nafas tersengal menuju ruangan Alejandro, tangannya membawa berkas penting yang perlu segera disampaikan. Tanpa memikirkan konsekuensi, dia menerobos masuk ke ruangan bosnya, meninggalkan etiket kantor yang seharusnya dia pegang. “Maaf mengganggu, Mr. ada hal sangat mendesak yang—” Saat pintu terbuka, mata Xaviera terbelalak menyaksikan pemandangan di dalam sana. Xaviera bukan hanya berhenti berbicara, namun juga membelalakkan matanya. Pandangan Xaviera dan kedua insan bertemu beberapa saat. Hingga Xaviera yang sadar lebih dulu, langsung menutup kedua matanya. “Maafkan saya, Mr. maafkan saya, Nona,” ujar Xaviera, sebelum akhirnya keluar. Di luar, Xaviera langsung memegangi dadanya, bukan berdebar karena cemburu, melainkan takut—takut jika Alejandro menghukumnya karena telah mengganggu aktivitasnya. Isabel yang memeluk Alejandro dari belakang, serta satu tangannya berada di area sensitif Alejandro. Sementara Alejandro sendiri sedang memegang lengan Isab
Cahaya matahari menyinari ruang rapat di lantai atas gedung NOWZ COMPANY, menciptakan siluet yang dramatis di antara para peserta. Siang ini, Isabel yang datang untuk membahas lebih lanjut kerjasamanya dengan Alejandro, duduk tampak gelisah. Di sebrang, Alejandro duduk dengan postur yang tenang, sementara Xaviera berada di sampingnya dengan penuh percaya diri, memegang beberapa dokumen dan laptop yang siap mencatat poin penting pertemuan siang itu. Ketika Alejandro meminta Xaviera untuk menjelaskan detail kerjasama tersebut, Isabel tidak bisa menyembunyikan rasa irinya. Dia memotong pembicaraan dengan nada yang tajam, “Apakah benar-benar perlu mendengarkan ini dari dia yang hanya seorang sekertaris? Mungkin lebih baik jika langsung dari CEO?” Suasana menjadi tegang, Xaviera menatap Isabel dengan keheranan yang jelas terlihat di wajahnya. Alejandro, yang merasakan ketegangan, mencoba menenangkan situasi dengan berkata, “Xaviera sangat paham dengan detail kerjasama ini, Isabel. Ayo
“Isabel, ini bukan tentang orang asing atau orang dikenal, tapi tentang tata krama dan sikapmu yang sungguh terlewat batas. Sadarkah kau yang kau lakukan hari ini tidak mencerminkan nama baikmu?” Suara besar Alejandro memenuhi seisi ruangannya, beruntunglah pintu tertutup, sehingga tak ada satu pun orang di luar yang mendengarnya.“Kalau begitu, jika sewaktu-waktu Xaviera atau orang lain yang berbalik menyerang dan mempermalukanku seperti yang aku lakukan barusan, kau juga akan memarahi Xaveria seperti ini?”Alejandro tak langsung menjawab, melainkan mencerna setiap kata-kata Isabel barusan. Setelah beberapa saat, ia akhirnya mengeluarkan suaranya, “Tentu. Aku akan membela yang benar dan menyalahkan yang salah.” Kali ini nada bicara Alejandro merendah, berbeda dengan sebelumnya.Isabel tersenyum segaris bibir. “Masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Rapat kita sudah selesai, kau boleh pergi.” Alejandro mengusir secara halus.Setelah merapikan pakaian dan rambutnya yang sediki
Matahari terbenam memberi sinar terakhirnya ke kantor mewah di lantai atas gedung pencakar langit milik Alejandro. Di ruangan itu, hanya ada dia dan Xaviera yang masih sibuk dengan tumpukan dokumen di meja kerjanya. Alejandro berdiri di belakang jendela kantornya, matanya tidak lepas memandangi sosok Xaviera yang serius menyelesaikan pekerjaan.Setiap gerakan Xaviera, setiap kali dia membetulkan kacamata atau menggulung rambut panjangnya yang terlepas, semakin memperdalam obsesi Alejandro. Dia merasakan sebuah keinginan yang begitu kuat untuk membuat Xaviera tidak bisa meninggalkan dirinya, bahkan untuk sesaat.Dengan sebuah rencana yang telah matang, Alejandro memutuskan untuk berbicara kepada Xaviera. “Xaviera, bisakah kau datang sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Alejandro dengan suara yang terdengar berat dan serius.Xaviera yang mendengar panggilan itu merasa sedikit cemas, mengingat Alejandro dikenal sebagai CEO yang sangat tegas dan jaran
“Kau semakin berani ya, Xaviera?” Alejandro berucap pelan, sambil dirinya bertumpu kedua tangannya. Tatapan Alejandro tertuju pada Xaviera yang terekam sedang berada di salah satu ruangan. “Kau tidak membalas pesan-ku, kau menolak telepon-ku, dan kau tidak mempedulikan ancaman-ku. Dari mana kau dapat keberanian sebesar itu, Xaviera?”Alejandro merasa kesal dengan tindakan yang Xaviera pilih. Alejandro paling tidak suka diabaikan, terlebih lagi oleh Xaveria, namun Xaviera justru melakukannya. “Mari kita lihat apa kau juga akan melakukan hal yang sama kali ini?” Alejandro, dengan seringai khasnya, mengambil selembar foto yang kemudian ia masukkan di dalam sebuah amplop putih beserta selembar kertas tulisan tangannya.Keluar meninggalkan ruangan kegemarannya, Alejandro menemui sopir pribadinya. “Antarkan ini. Ingat, kau hanya perlu meletakkannya di depan pintunya dan jangan sampai ada satu orang pun yang mengetahui kedatanganmu!”“Baik, Mr. Alejandro.” Pria berusia lanjut yang sudah be
Xaviera menutup matanya, menikmati kenyamanan yang disajikan untuknya. Bukan hanya karena udara pagi hari yang terasa menghangatkan tubuhnya, namun juga pelukan Gabriel yang sangat menenangkan. Saking nyaman dengan posisinya, Xaviera sampai menutup mata. Semua masalah dan beban berat yang akhir-akhir ini dipikulnya seorang diri, sejenak Xaviera lupakan. Di sana, di balkon kamar, hanya ada Gabriel dan Xaviera, ditemani dengan cinta yang setiap harinya semakin tumbuh.“Mi amor, ada yang ingin aku tanyakan padamu,” ujar Gabriel, sambil mengecup lembut dahi Xaviera.“Hem, tanyakanlah.” Xaviera memang merespon, namun tidak mengubah posisinya sedikit pun.“Ini tentang rencanamu yang ingin berhenti dari pekerjaanmu. Apa bos-mu itu setuju?”Padahal Xaviera berusaha sekuat tenaga melupakan nama Alejandro dan segala hal yang berhubungan dengannya, namun Gabriel justru bertanya. Terkejut, Xaviera sontak membuka matanya.“Apa ada kompensasi yang harus kau ganti karena melanggar kontrak?” tanya G
Xaviera duduk memeluk lututnya seorang diri di kamarnya. Setelah siang tadi meninggalkan NOWZ COMPANY dengan tanpa memberikan Alejandro jawaban, Xaviera masih merenungi pilihan yang ditawarkan padanya. Tidak ada yang lebih baik dari kedua pilihan itu, keduanya sama-sama menjerumuskan dan menyakitkan Xaviera. Bingung, takut, cemas dirasakannya dalam waktu yang bersamaan. Xaviera tidak menyadari berapa lamanya ia diam seperti patung seperti itu. Bahkan hingga malam harinya ketika Gabriel pulang, kedua telinga Xaviera seperti tertutup, sehingga tidak mendengar seruan Gabriel. “Mi amor ...” Panggilan lembut dan usapan di kepala yang Gabriel lakukan, membuat Xaviera gelagapan. “Kenapa kau terkejut sekali? Seperti melihat hantu saja.” Gabriel terkekeh pelan karena respon Xaviera. “Atau jangan-jangan kau mengira aku hantu, ya? Mana ada hantu setampan diriku.” Gabriel kembali bergurau, namun Xaviera tetap pada diamnya. Bola mata Xaviera yang jernih bergerak mengikuti langkah Gab
Kedua netra Xaviera yang berkaca-kaca masih terpaku pada layar tablet Alejandro. Meski video tersebut minim penerangan, namun Xaviera sangat mengenali kamarnya, tata letak dan barang-barang di kamarnya. “Ke–kenapa Anda bisa ada di sana?” ujar Xaviera dengan suara bergetar. “Kau tidak mengingatnya, Xaviera?” Alejandro balik bertanya. Ekspresi Xaviera membuatnya tersenyum licik. “Anda hanya perlu menjawabnya! Kapan ini terjadi?” Sesaat Xaviera terdiam, mencoba mengingat kejadian tersebut. Xaviera mencoba menyangkalnya. Jangankan bercinta, Xaviera bahkan tidak memiliki perasaan sedikit pun untuk Alejandro. Bagaimanapun juga Xaviera selama ini menganggap Alejandro hanya sebagai atasannya. Namun video itu? Bagaimana mungkin bisa terjadi? Dalam hati Xaviera merutuki dirinya. Semakin lama menyaksikan video tersebut, membuat Xaviera merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. 'Bagaimana mungkin aku bisa bercinta dengannya, tapi aku sama sekali tidak mengingatnya.' Xaviera bergumam
Xaviera yang duduk di depan meja riasnya, tiada bosannya memandang pantulan wajah Gabriel dari kaca di depannya. Pria yang menyandang sebagai tunangannya itu dengan sangat perhatian membantu mengeringkan rambutnya. “Kenapa melihatku seperti itu, hm?” ujar Gabriel, tentu ia menyadari tatapan Xaviera dan baru berani bertanya sekarang. “Kenapa kau mencintaiku?” Bukannya menjawab, Xaviera justru memberikan pertanyaan lain, yang membuat tangan Gabriel seketika berhenti bergerak. “Pertanyaan macam apa itu?” Xaviera menggeleng pelan. “Aku hanya penasaran,” jawabnya dengan senyum yang tak lekang di wajah cantiknya. Gabriel meletakkan hairdryer yang sudah dimatikannya tersebut, lalu berlutut di hadapan Xaviera. “Aku tidak butuh alasan khusus untuk mencintai ciptaan Tuhan seindah dirimu.” Gabriel menatap mata Xaviera yang berbinar, penuh rasa penasaran yang tulus. “Setiap kali aku melihatmu, hatiku terasa hangat, seperti ada sinar matahari yang selalu mengikutiku,” ucap Gabriel dengan le
“Akh, kepalaku sakit.” Xaviera melenguh, tangannya merambat memijat pangkal hidungnya, berharap dapat mengurangi rasa tak nyaman yang menyerang kepalanya. “Gabi ...” Xaviera menatap pintu kamarnya, berharap dapat melihat sosok Gabriel di sana, namun pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan kembali. Ponselnya yang berbunyi menandakan panggilan masuk, memecah keheningan kamar. Buru-buru Xaviera mengambilnya. Melihat nama Gabriel tertera di sana, membuat sudut bibir Xaveria terangkat.“Halo, Sayang.” Xaviera menyapa gembira, namun yang terdengar dari ponselnya bukanlah suara hangat Gabriel yang amat sangat disukainya, melainkan suara bising hingga membuat telinganya berdengung.“Sayang, apa kau masih di tempat kerjamu?” Perlahan senyuman Xaviera menghilang, ketika Gabriel mengatakan ia tidak bisa pulang cepat, lantaran pekerjaannya membutuhkannya. Diam-diam Xaviera menoleh ke arah balkon, melihat langit yang sudah gelap. “Ya sudah, tidak masalah. Kau selesaikan saja pekerjaanmu. Fok
Alejandro berdiri di tengah ruang kerja luas dengan dinding berlapis kaca yang memantulkan cahaya rembulan. Sang ayah berdiri di depannya dengan dahi berkerut dan mata yang berapi-api. Tangannya terkepal, seolah menggenggam amarah yang siap meledak kapan saja. Udara di ruangan itu seakan membeku, setiap suara terdengar lebih keras dan setiap gerakan terlihat lebih tajam. Ayah Alejandro—seorang pria paruh baya dengan aura otoritas yang kuat, memulai serangannya dengan suara yang keras dan tegas, “Kau tahu betul, Alejandro, betapa pentingnya hubungan keluarga kita dengan keluarga Isabel. Keluarga mereka telah banyak membantu kita. Bagaimana bisa kau begitu tega menolak membantu ketika dia membutuhkanmu?” Alejandro menggertakkan giginya, merasakan beratnya beban yang selama ini dipaksakan ke pundaknya. Dia menghirup nafas dalam-dalam, menyiapkan diri untuk konfrontasi yang sudah lama ia hindari. Ayah Alejandro merah wajahnya, nadanya meningkat, “Kau tidak mengerti pentingnya menj
“Argh! Shh!” Suara Xaviera meringis, seakan menjadi sinyal bagi Gabriel, membuat Gabriel yang semula berada di luar langsung berlari ke kamar mereka. “Mi amor!” Gabriel memekik kuat ketika melihat Xaviera terduduk di lantai. Segera, Gabriel berlari lalu mengangkat Xaviera dan mendudukinya di pinggir tempat tidur. “Kau baik-baik saja?” Gabriel dengan cemas menyingkirkan rambut Xaviera, sehingga wajah pucat Xaviera dapat dilihatnya dengan jelas. “Gabi, aku haus.” Xaviera hanya mampu mengeluarkan beberapa kata saja, karena sejujurnya tenggorokannya sangat kering dan sakit. “Tunggu sebentar, biar aku ambilkan.” Gabriel kembali berlari keluar dari kamar, dan tak lama datang kembali dengan membawa segelas air. “Ini, minumlah!” Gabriel membantu Xaviera meminumnya, lalu mengusap bibir Xaveria yang kering. “Apa ada lagi yang kau inginkan?” Xaviera menggeleng. “Aku hanya ingin dirimu. Tolong peluk aku!” Xaviera bukan meminta, namun terdengar seperti memohon. Gabriel tentu tak
Semalaman Xaviera seorang diri di apartemen, hanya berteman kesunyian. Berharap Gabriel datang untuk memeluknya, dan menenangkannya di tengah gempuran rasa takutnya, namun itu semua hanya angan. Matahari sudah menampakkan dirinya, namun Gabriel tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan datang. Sementara Xaviera yang masih duduk di lantai, hanya bisa memeluk lututnya sendiri. “Gabi ...” Secara kebetulan, panggilan Xaveria terkabulkan. Sang pemilik nama yang terus Xaviera panggil, akhirnya menampakkan dirinya. “Mi amor!” Gabriel tentu terkejut sekaligus cemas melihat keadaan Xaviera. Langsung saja ia melepaskan sepatunya dan berlari mendatangi, lalu berakhir memeluk Xaviera. “Gabi ....” “Iya, ini aku. Kau kenapa, Sayang? Kenapa duduk di lantai seperti ini?” Gabriel mengusap lembut rambut kecoklatan Xaviera. “Aku menunggumu,” jawab Xaviera lemah. Gabriel meregangkan pelukannya dan mengusap Wajah cantik Xaviera yang pucat dan kulitnya terasa hangat. “Apa kau tidak membaca pes