"Putri, tolong kamu letakkan tas ini di display utama."
Putri cepat-cepat mengiyakan perintah atasan barunya sambil mengangkat tas yang dimaksud dalam sebuah tray khusus.Sudah sebulan sejak peristiwa pahit kemarin, dia mulai belajar menerima kenyataan. Selain pindah tempat tinggal, atas rekomendasi atasannya yang lama, dia juga bekerja di salah satu cabang resmi brand ternama di dunia.Bentuk fisik dan pembawaannya yang menarik, membuat Putri diterima langsung oleh atasannya sekarang."Selamat siang bu Putri, ada yang bisa kami bantu?"Telinga Putri yang awas menangkap suara rekan kerjanya saat dia tengah sibuk memajang tas limited edition itu pada display."Ya, saya mau tas keluaran terbaru. Hari ini kekasih saya sedang senang dan mau membelikan saya hadiah, iya kan Beb?"Sahutan pria yang dipanggil 'beb' itu tak terlalu jelas di pendengaran Putri namun mendengar klien baru ini punya nama yang sama namun kehidupan yang jauh berbeda dengannya, jadi memantik rasa penasaran.Putri pura-pura menoleh ke samping seolah mau mengambil kotak tas, tetapi matanya melirik cepat ke arah wanita muda yang tampak menawan itu.Deg!Jantungnya nyaris berhenti. Ternyata klien mereka adalah artis papan atas yang tengah naik daun bernama Putri Marion sedangkan yang dipanggilnya 'beb' tadi adalah pria yang sudah menghabiskan malam kelam dengannya di Bharata Tower.Tak mau terlibat masalah, Putri buru-buru menundukkan kepala agar tak menarik perhatian. Tapi rupanya, petaka selalu datang beriringan. Tiba-tiba saja suara sedingin malam itu memecah keheningan."Sayang, mengapa kau tak mencoba tas yang itu saja? Kurasa modelnya cocok untukmu."Seharusnya, kalau yang bicara ini bukan laki-laki pemilik cek yang uangnya sudah dia pakai untuk membayar biaya operasi sang nenek, sudah pasti Putri bakal girang. Komisi penjualan dari tas yang dipegangnya setara dengan gaji setengah bulan.Malangnya, pria berkaos polo tersebut adalah makhluk yang paling tak ingin ditemuinya di bumi."Hmm, baiklah. Biasanya pengamatanmu tak pernah salah," sahut si cantik menyanggupi permintaan sang kekasih.Detak jantung Putri makin mengencang seiring dengan langkah mereka yang makin dekat. Namun sebagai pramuniaga dia tak punya pilihan selain bersikap profesional.Setelah mengatur ekspresi mukanya, Putri menyapa klien VIP mereka dengan senyum paten khas pramuniaga."Selamat siang, Bu Putri. Ada yang bisa saya bantu?"Tanpa menatap wajah pramuniaga yang melayaninya, Putri Marion menunjuk salah satu tas yang barusan dipajang Putri."Aku mau lihat tas yang itu."Sesuai posisinya sebagai putri konglomerat sekaligus pesohor tanah air, tak dinyana nada bicara sang aktris selalu terkesan memerintah.Masih dengan senyum yang melekat di bibir, Putri mengambil tas itu. Dengan tangan yang masih tertutup sarung, dia membuka resletingnya serta menunjukkan kompartemennya satu-persatu.Tentu saja tak banyak yang bisa dilihat. Seperti tas mewah kebanyakan, barang yang mereka jual punya desain sederhana yang lebih fokus pada kemewahan dibandingkan fungsi."Hmmm, saya paham. Saya mau yang warna Ivory saja," sahut Marion sambil menatap sekeliling. Kali ini matanya tertumbuk pada salah satu card holder yang dipajang berdekatan dengan tas yang baru diambil Putri. "Saya juga mau card holder itu," ujarnya datar.Putri kembali mengiyakan walaupun pipinya sudah memanas.Meski sejak tadi dia sibuk memandang muka Marion namun alam mendesain periferal vision wanita jauh lebih luas dari laki-laki, akibatnya mau atau tidak, tatapan mata pria yang berdiri di sisi Marion masih bisa dideteksi Putri."Ini Bu. Card holder terbaru kami dibuat dari lamb skin sehingga teksturnya lembut tetapi... .""Iya, aku tahu. Tak usah banyak bicara kalau tak ditanya." Marion langsung memotong ucapan Putri yang bersemangat.Hampir saja Putri kehilangan senyum patennya namun dia menahan diri sekuat tenaga. Ternyata, aktris yang selalu ditampilkan berperangai lembut di layar kaca, tak sebaik yang terlihat.Sejak tadi Putri bisa melihat keangkuhan yang tersirat dari bahasa tubuhnya."Bagaimana Sayang, sudah siap?" Laki-laki berparas dewa itu bertanya pada kekasihnya yang sejak tadi begitu hanyut dalam dunia belanja."Sebentar Arya sayang, aku masih mau beli kosmetik. Lipstik aku udah habis... ." rengeknya kecil seraya menggamit lengan sang kekasih.Putri mengamati interaksi keduanya dalam diam dan pura-pura menyibukkan diri dengan tas-tas yang sempat diminta Marion untuk diturunkan dari display namun tak jadi dibeli.Dari sudut pandangnya, Putri melihat laki-laki yang ternyata bernama Arya itu agak risih diperlakukan berlebihan oleh sang kekasih.Tanpa sadar seulas seringai sinis terbit di bibir Putri. Rasa tak nyaman Arya adalah berkah baginya. Bila perlu, dia lebih suka kalau aktris kelas A itu memeluk Arya sampai laki-laki itu pingsan lantaran kesal."Putri..."Tiba-tiba Putri yang tengah sibuk bekerja langsung mendongak sementara Marion pun tak kalah kaget. Dia menatap sang kekasih, lalu berkata lirih, "Ada apa sayang, tumben kamu panggil namaku.""Nggak ada, cuma mau bilang kamu itu cantik waktu tersenyum."Penuturan sang kekasih langsung membuat Marion tersenyum sumringah sementara Putri jadi salah tingkah. Pasalnya waktu mengucapkan kata-kata tadi, mata Arya terarah sepenuhnya pada dirinya.Tak mau larut dalam perasaan yang menghanyutkan, Putri kembali melanjutkan kesibukannya.Namun laki-laki bernama Arya seolah tak mau melihatnya hidup tenang. Seraya menggamit lengan Marion, dia kembali berujar, "Putri, antarkan tasnya ke ruang tunggu kami."Pada saat inilah bencana yang tak terduga terjadi.Demi mendengar namanya sama dengan pramuniaga yang melayani mereka, Marion langsung balik badan. Bibirnya yang disulam penuh itu berkata lirih, "Jadi... namamu Putri juga?""Iya, Bu." Putri menyahut kalem dengan senyum yang masih tercetak di bibirnya."Panggilkan manajer toko, aku mau bicara," ujarnya dengan mata yang masih melekat pada nametag Putri. Sejak masuk hingga tadi, baru sekaranglah dia betul-betul memperhatikan wajah pramuniaga yang melayaninya.Putri yang tak menaruh curiga dengan permintaan sang klien segera memanggil atasannya lalu mereka bersama-sama menemui Marion dan Arya yang sudah duduk di ruang tunggu khusus pelanggan VIP."Ada yang bisa saya bantu, Bu Putri?" ujar manajer toko begitu mereka sudah di depan Marion.Aktris berwajah blasteran itu menatap sang manajer sekilas sebelum mengarahkan pandangan pada nametag yang tersemat di dada Putri. Nama Putri M tertulis dengan jelas di sana."Bahkan inisial nama belakang pun sama," desisnya lirih dalam suara yang tersaput oleh murka yang kentara.Saat tiga orang dewasa lain bingung menerka-nerka kemana arah pembicaraan Marion, perempuan berambut ikal coklat itu langsung berkata lugas, "Mulai detik ini, jangan pakai nama Putri M pada nametag-mu, aku tak suka."Sontak seisi ruangan hening mendengar permintaan konyol ini. Apa hak Marion mengganti nama orang lain sesuka hati?"Sayang, cukup. Jangan membesar-besarkan hal yang tak perlu," ujar Arya dingin."Tapi bagiku ini sangat perlu," sahut Putri sebelum kembali menatap wajah manajer toko dan Putri bergantian. Sejurus kemudian, dia mengeluarkan ultimatum yang jadi andalan pelanggan istimewa di seluruh penjuru, "Pakailah nama lain atau aku ... tak akan belanja di sini lain kali."Sontak Putri terhenyak mendengar permintaan yang berlebihan ini. Lewat sudut matanya, dia juga bisa melihat kekagetan yang sama pada raut wajah kedua laki-laki dewasa yang duduk di ruang tunggu elegan itu."Cukup Sayang, sebaiknya kita pulang. Jangan suka berlebihan." Akhirnya Arya memecah keheningan, mukanya yang tampan nampak rikuh menahan malu. Tanpa menunggu persetujuan Marion, dia langsung bangkit berdiri. "Kalau begitu, kami pulang dulu. Saya tunggu kabar baiknya," pungkas Marion seraya melempar tatapan mematikan pada Putri. Putri dan manajer toko mengantar kepergian kedua tamu istimewa itu sampai hilang dari pelupuk mata. Setelah Marion dan Arya tak terlihat lagi barulah manager toko menoleh pada Putri dan bertanya, "sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa mbak Putri sampai marah sama Kamu?"Putri menelan ludah susah payah, terlalu bingung menceritakan kisah yang dia sendiri tak mengerti ujung pangkalnya. Kalau dia mengatakan ada k
Arya tengah sibuk berkutat di depan laptop kpetika panggilan masuk dari Bram mengganggu ketenangannya. Ogah-ogahan dia mengangkat telepon sang asisten sebelum mimik wajahnya berubah drastis. "Apa kamu bilang? Dia menolak?"Suara Bram terdengar sangat kesal dari seberang sana. "Tak cuma menolak, dia juga meneriakiku orang cabul, bayangkan!""Hahahaha." Arya yang awalnya mendelik kini tertawa keras membayangkan asisten sekaligus sahabat masa kecilnya dikatai orang cabul. Sebagai lajang berkualitas, belum pernah ada kaum Hawa yang berani mempermalukan mereka. "Kenapa ketawa, Bos? Puas melihat kemalanganku?" Suara Bram jelas bersalut rasa kesal. "Easy, easy. Let's hold it now. Nanti kita pikirkan cara lain." Arya menyahut kalem dengan seulas senyum di bibirnya. "Bos, kenapa harus repot mengurusi cewek sok jual mahal? Kalau memang sungkan, Bos bisa kasih uangnya untukku. Dengan senang hati aku pasti memaafkanmu mewakili
"Oh?" Surya mengerling menatap sahabatnya sebelum tawanya meledak, "Hahaha, ya mana mungkin bisa ingat. Koleksi pacarmu saja jauh lebih banyak dari ubanku."Ledekan sahabatnya membuat Arya tersenyum miring. Kedengaran berlebihan walau tak sepenuhnya salah. Gara-gara kelakuannya yang hobi gonta-ganti pacar ini pula maka sang ibu ngotot mendekatkannya dengan Putri Marion. "Jadi bagaimana bisa gadis itu bekerja di sini? Setahuku waktu terakhir kemari, aku tak melihatnya." Arya berucap santai padahal jantungnya agak berdegup menanti jawaban Surya. Dia tak mau sahabatnya ini mengendus sesuatu yang kelak bisa dijadikan bahan ejekan di komunitas mereka. "Aku kurang tahu. Manajer kami yang merekrutnya sekitar dua bulan lalu. Tapi dia cuma bisa bekerja dari sore sampai malam," beber Surya sembari meneguk cocktailnya dalam satu sesapan. Arya nampak manggut-manggut sementara hatinya meringis pilu. Kalau benar Putri bekerja di sini juga, berarti gadis itu
Suara ini membuat langkah Putri berhenti nyaris seketika. Tubuhnya berdiri kaku dengan posisi membelakangi meja yang diduduki Arya dan teman-temannya. "Kamu kenapa berdiri saja? Kalau dipanggil, ya menyahut. Tatap muka yang memanggil."Mendengar atasannya langsung ikut menimpali, Putri perlahan berbalik dan bergerak menuju meja. Waktu jaraknya hanya tinggal dua meter lagi, dia mengangguk sekilas dan berkata, "ya Pak, ada yang bisa saya bantu?""Kamu perempuan yang bilang aku orang cabul, iya kan?" sambar Bram telak. Sepertinya, penghinaan yang dia terima sore tadi masih bikin darahnya mendidih hingga detik ini. Pernyataan Bram sukses mengundang gelak tawa di meja itu, bahkan Surya sampai terpingkal-pingkal. "Mukamu memang cabul, Bram.""Si cantik ini hanya bilang yang sebenarnya.""Sepertinya kau bisa memulai karier di dunia film panas, tak ada kata terlambat Bram... ."Muka Putri memerah mendengar semua cand
Arya yang jadi pusat perselisihan tetap melanjutkan makannya dengan tenang seolah apa yang dibicarakan ibu dan kakaknya tak punya hubungan apapun dengannya. "Arya, apa kamu akan terus mengabaikan orang yang bicara padamu?" tanya nyonya Bharata menahan kesal. Mukanya yang cantik nampak murka menyaksikan gelagat putra keduanya. Hilang kesabaran dengan anggota keluarganya, Arya cepat-cepat memasukkan kunyahan terakhir ke mulutnya, lalu meneguk segelas susu sampai tandas. Perlahan dia mengusap mulutnya dengan serbet basah lalu mengedarkan pandangan pada setiap wajah yang ada di meja makan. Ada enam orang yang duduk mengelilingi meja, termasuk sang kakak ipar, Rabina. Semua wajah, kecuali tuan Bharata, menatap Arya penuh minat. Bersiap menanti jawaban yang akan diberikan penguasa Bharata Entertainment itu. "Saranku, sebaiknya kakak fokus dengan Bharata Textile. Bukankah nilai sahammu terus turun di bursa?" cetus Arya dengan ekspresi menjengkelkan.
Setelah peristiwa tak menyenangkan di lounge D'Artz milik keluarga Angkasa tempo hari, Putri kembali bekerja di toko barang branded bernama Mon Tresor seperti biasa. Mon Tresor sendiri sebenarnya masih berlokasi di Angkasa Plaza. Karena ini pula, terkadang Putri seusai bekerja di toko langsung bergegas ke D'Artz. Kala Putri tengah sibuk mengatur tas yang menjadi tanggung jawabnya di display, suara feminin yang akrab tiba-tiba menyapa telinganya. "Sayang, aku cuma mau beli satu tas aja, please... ."Meski agak berbisik, suara itu masih terdengar agak jelas. Agar privasi pelanggan tersebut tidak terganggu, Putri pura-pura menunduk seraya sibuk menekuni kegiatannya. "Tapi kamu baru beli dompet kemarin. Jangan berlebihan dong matrenya... ."Suara parau pria yang menemani sang wanita tampak tak ikhlas. Bahkan sebagai pendengar saja Putri jadi tak enak hati. Namun rupanya, perempuan bersuara empuk itu belum mau menyerah.
Begitu urusan dengan Sophia usai, senyum di wajah manajer toko langsung lenyap. Dengan tatapan menusuk, dia mulai menginterogasi Putri. "Jadi, masalah apa lagi kali ini? Kemarin dengan Putri Marion sekarang dengan Lady Sophia." Mata Putri mengerjap sesaat. Tak percaya jika manajer toko yang selalunya ramah kini bersikap sangat dingin. Tanpa bertanya apapun, secara tak langsung sudah memberinya vonis sebagai pembuat onar. "Pak, kaki saya agak pegal sebab berkali-kali mesti meraih tas yang letaknya cukup tinggi. Kebetulan produk terakhir yang diminta bu Sophia ada di box, makanya itu saja yang saya tunjukkan sama beliau," tutur Putri lemah. Hatinya berharap ada sedikit empati dari sang atasan. Alih-alih mendengar penjelasan Putri, manajer toko justru menoleh pada pramuniaga yang memanggilnya barusan. "Ceritakan apa yang kamu lihat tadi," ujarnya tegas. Pramuniaga bernama Cindy itu menatap Putri sekilas, lalu berkata lirih," saya juga kurang jela
Umpatan Aryo rupanya tak bikin Arya bergeming. Seulas garis miring tercetak di bibirnya yang indah. "Kenapa harus marah? Memangnya ada yang salah dengan kata-kataku? Justru aku yang harus kesal karena sampai detik ini, sahamku yang tertanam di Bharata Textile belum menghasilkan laba yang berarti."Brakk!! Fakta seterang cahaya yang baru saja dikemukakan Arya, sangat melukai ego Aryo. Tanpa sadar dirinya menggebrak meja lalu sekonyong-konyong bangkit dan menarik kerah kemeja adiknya. "Kamu mau menantangku sekarang, hah?"Alih-alih terpancing, Arya dengan tenang menatap lurus wajah kakaknya. Murka yang nyata tampak berkobar-kobar di sana bagai lidah api yang siap menyambar apapun yang ada di depannya. "Kurasa cara barbar ini tak sesuai untukmu," ujar Arya menepis cekalan Aryo dari kerah bajunya. "Atau kamu memang sudah turun serendah ini?" tantangnya lagi tanpa mengalihkan pandangan dari sang kakak. Sejak dulu kakaknya memang selalu impu
"Sebaiknya, si Putri jangan tinggal bersama kita."Duarr! Kata-kata ini seperti geledek yang menyambar di siang bolong bagi telinga gadis kecil yang tengah meringkuk ketakutan dalam kamar tidurnya. "Tapi Pa, dia masih kecil. SD saja belum tamat.""Dia kan sudah sepuluh tahun, harusnya sudah bisa mengurus diri sendiri."Gadis kecil itu mengusap air matanya yang jatuh berderai. Percakapan antara ibu dan ayah tirinya bagai godam yang memukul telinganya bertalu-talu. Sejak ibunya menikah lagi, dia sudah seperti orang asing di rumah sendiri. Padahal rumah yang mereka tempati ini, ibunya yang beli. Ayah dan kedua saudara tirinya yang menumpang tinggal. Tapi kenapa sekarang... "Lantas kemana Putri mesti pergi, Pa?"Suara ibunya terdengar sendu, meragu. Namun dia yakin satu hal. Sebentar lagi beliau bakal mengambil keputusan yang berpihak pada ayah tirinya. Sudah setahun belakangan, situasi mereka selalu b
Sementara itu Marion yang sudah lama menghilang dari sorotan kamera, kini sedang duduk berhadapan dengan seseorang di sebuah kafe kecil di bandara. Wanita yang duduk di depannya tak lain Marion Shelby, yang sekejap lagi akan terbang ke Amerika karena dideportasi akibat skandal penipuan saham yang dia lakukan bersama Aryo. "Mion, you shouldn't leave me here. Bring me along with you," pintanya untuk kesekian kali. "Mereka semua sudah membuangku... bahkan... bahkan perempuan jalang itu konon akan menikah dengan Arya, Mom."Wajah cantik Shelby menatap puterinya datar. "Why should I? Kamu tak akan bertahan di sana dengan sikap manja itu. That bitch has taught you so well," geramnya. Marion terkesima. Kata bitch pada kalimat ibunya jelas mengacu pada nyonya Mahendra. "Kenapa Mion bilang begitu? Beliau selalu baik dan memberi semua keinginanku.""Stupid lass. Gara-gara itulah kamu tumbuh jadi gadis manja dan sombong. Selalu merasa d
Besoknya, setelah pengumuman resmi kembalinya puteri yang hilang, Dewa langsung membawa Putri menuju perusahaan kosmetik milik keluarga Mahendra. "Kamu siap untuk tugas pertamamu?" selidiknya ketika mereka sudah mencapai ambang pintu. "Siap, Papa."Jawaban Putri yang mantap membuat Dewa tersenyum puas. Rasanya, semakin mengenal Putri, dia makin bangga. Meski lahir dan dibesarkan ditengah kaum jelata, puterinya bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Dewa tak tahu saja bila semua yang diraih Putri saat ini merupakan hasil kerja keras selama bertahun-tahun, termasuklah didalamnya pelatihan etika dan kepribadian. Ruang pertemuan sudah dihadiri semua petinggi perusahaan, hingga Putri yang tadinya sudah siap nyaris gugup. " .... untuk selanjutnya Putri Maharani akan menjabat sebagai presiden direktur yang baru dari Mayapada Beauty." Dewa Mahendra menutup sambutannya dan tepukan riuh langsung bergema memenuhi ruangan. Perbe
Satu minggu kemudian, keluarga Mahendra mengumumkan kembalinya puteri kandung mereka yang hilang. "... seperti yang kalian tahu selama ini kami mengadopsi Putri Marion dari mantan istri almarhum adikku, Marion Shelby. Sebabnya tak lain karena puteri kandung kami hilang akibat tipu muslihat yang keji ... waktu itu dia masih orok yang baru keluar dari rahim istriku. Gara-gara ini pula, istriku tak berani lagi mengandung. Kehilangan puteri bungsu membuatnya trauma. Siapa sangka, pertemuan tak disengaja akhirnya membuat kami bisa bertemu lagi ... ."Sambutan ini diucapkan dengan penuh haru bahkan sampai menitikkan air mata. Putri yang diminta berdiri di salah satu sudut tersembunyi hanya bisa menatap takjub kemampuan akting kedua manusia di depan sana. Puteri yang hilang katanya? Padahal untuk memaksa nyonya Mahendra agar mau mengangkat dirinya sebagai puteri yang hilang itu, Dewa harus memberi kompensasi. Deva akan tetap jadi satu-satunya pewaris
Walau suaranya terdengar mantap, sejujurnya Putri sangat hancur di dalam. Kalau bukan karena memaksa diri agar kuat, dia sudah pasti menangis detik ini. Dewa menarik nafas panjang dan menatap Putri serius, "sesudah itu apa? Kamu mau kembali hidup luntang-lantung sendirian? Jadi objek hinaan semua orang? Putri, aku tak akan membiarkan darah Mahendra diinjak-injak begitu saja."Putri tertawa sangat keras. Ya! Apa yang penting bagi Dewa bukanlah dirinya atau ibunya atau siapapun melainkan nama keluarganya, Mahendra. "Persetan dengan namamu! Aku bahkan jijik harus memiliki DNA-mu dalam tubuhku," sahutnya begitu tawa pahit itu usai. "Kalau begitu, manfaatkan aku. Kamu membenciku, kan? Kenapa harus membiarkan aku hidup tanpa beban setelah menghadirkanmu ke dunia?"Sekarang Putri makin bingung. Sejak tadi dirinya sudah bertindak sangat kurang ajar namun Dewa tidak murka sedikit pun. Dia justru memberikan persuasi yang masuk akal. La
"Kamu yakin mau pergi begitu saja, Putri?"Suara Claudia menarik Putri kembali ke dunia nyata. Sejak tadi dia memang masih gamang, tapi mau bagaimana lagi? Rasanya sudah terlalu lelah dengan semua masalahnya di sini. "Ya, Kak. Mungkin saja, suasana kampung bakal bikin hidupku lebih happy. Aku sudah muak dengan kekejaman ibu kota. Sepertinya, takdirku memang jadi orang desa," sahut Putri dengan seulas senyum getir di bibirnya. Claudia hanya bisa mendesah pasrah. Setelah memastikan semua bawaan Putri siap, dia pun memeluk wanita yang sudah dianggapnya seperti adik itu. "Jaga dirimu baik-baik, ya. Kamu orang baik, hidup tak akan selamanya kejam."Air mata Putri kembali menitik. Dengan rasa haru dia merangkul sahabatnya dan berpamitan. Sejurus kemudian, dia sudah duduk di dalam taksi menuju stasiun bus. Semalam, setelah melarikan diri dari Arya, Putri langsung menuju kontrakan Claudia. Usai menghabiskan waktu berpikir s
Akhirnya, hari yang mendebarkan itu pun tiba. Arya mengajak Putri bertandang ke kediaman utama keluarga Bharata yang terletak di bilangan elit ibu kota. Begitu mereka sudah di ambang pintu, nyonya Bharata beserta Andini menyambut mereka. "Wah, akhirnya bisa ketemu langsung dengan aktris tenar kita," nyonya Bharata berkata sambil menempelkan pipinya ke wajah Putri. Tak jauh berbeda, Andini juga menyambut ramah mantan mahasiswanya itu. Segera, setelah basa-basi singkat usai, nyonya Bharata langsung menghela mereka semua ke ruang makan. Kesan pertama yang didapat Putri soal nyonya Bharata adalah beliau pribadi yang hangat dan cerdas, persis puterinya, Andini. Sementara tuan Bharata sendiri adalah pengamat yang baik. Sejak tadi beliau tak banyak bicara, namun matanya kedapatan menyorot Putri beberapa kali. Bukan tatapan genit melainkan meneliti. "Jadi, bagaimana perasaanmu setelah memenangkan award di festival film Asia?" Andini yang dud
Kontan idenya ini ditolak Johan mentah-mentah. "Mengapa jadi begitu? Ada lima aktris yang akan audisi untuk peran ini dan kita harus menyaksikan kemampuan mereka berlima."Meski agak cemberut, pria muda itu akhirnya menuruti perkataan sang paman. Ketika Marion sudah selesai dengan aktingnya, Putri yang didaulat untuk maju. Berbeda dengan Marion, Putri memulai adegannya dengan merapikan rok dan seragam, lalu mengusap mata. Setelahnya, dia membuka pintu seolah di tangannya ada anak kunci, lalu menyapa seseorang yang dipanggilnya ibu. Setelah itu, dia membuka pintu yang lain dan berpura-pura menyalakan keran, lalu mengusap tubuhnya berulang-ulang. Matanya dipenuhi keputus-asaan namun tak bisa bercerita pada siapapun. Sebagai gantinya, dia cuma terisak sambil menutup mulut agar ibunya yang sedang duduk di luar ruangan, tidak mendengar apa-apa. Hebatnya, semua lakon Putri ini hanya bermodal imajinasi. Didepannya tak ada pintu, tak ada Ibu, tak ada a
Sesuai janjinya pada Arya mengenai konsep setara, Putri mulai berbenah. Untuk langkah awal, dia mendirikan perusahaan akuntan publik pertamanya, dan sebagai bentuk dukungan, Arya merelakan Arda Pictures sebagai klien pertama. Bila itu belum cukup, dia juga mempengaruhi rekan-rekannya agar mempercayakan laporan keuangan dan masalah perpajakan mereka ke perusahaan pacarnya. Hal ini membuat perusahaan milik Putri langsung mencicip laba di bulan pertama setelah launching. "Wah, ternyata ini enaknya punya kenalan orang dalam," gurau Putri ketika Arya tengah bertandang ke ruang kerjanya. "Itu sudah pasti. Silakan manfaatkan aku sesukamu, Sweetheart." Seperti biasa, Arya langsung menyahut dengan mulut manisnya. Putri mencibir dan tetap fokus menekuni laporan di atas mejanya. Sebagai perusahaan baru, dia belum berani mempercayakan masalah finansial sepenuhnya pada orang lain. "Putri, sekarang bagaimana? Kamu sudah merasa 'sejajar' belum sam