“Gavin, kamu sudah mau berangkat?” suara lembut Inara terdengar dari dapur saat melihat Gavin melewati ruang tengah dengan langkah tergesa.“Iya, Bu. Aku ada meeting pagi ini,” jawab Gavin sambil memasang jam tangan di pergelangan tangannya. “Apa Alexa belum bangun?”Inara mengintip ke arah Gavin, lalu kembali menyiapkan teh di atas meja. “Sepertinya belum. Dia tidur pulas sekali tadi malam.”Gavin melirik jam tangannya dan menghela napas pendek. “Ya sudah. Aku nggak bisa tunggu. Jalanan pasti macet, nanti saya terlambat sampai ke kantor.”“Vin, sarapan dulu! Nggak baik pergi dengan perut kosong,” seru Inara sedikit lebih keras dari dapur.“Tapi, Bu, saya benar-benar nggak sempat,” balas Gavin sambil meraih tas kerjanya yang tergeletak di sofa. “Aku bisa makan di mobil atau nanti pesan di kantor.”Inara keluar dari dapur dengan cangkir teh di tangannya, menatap anaknya dengan gelengan kepala kecil. “Kamu ini, Gavin. Kerja terus sampai lupa kesehatan. Kalau begini, siapa yang bakal j
Setelah selesai mandi, aku mengeringkan tubuh dengan handuk, lalu mengenakan pakaian santai. Pikiran tentang lipstik itu terus menghantui, tapi aku memutuskan untuk menyimpannya dalam hati, setidaknya untuk sementara waktu. Aku harus terlihat normal di depan ibu.Aku menuruni tangga perlahan, merasa sedikit bersalah karena ini kali pertama ayah dan ibu mertuaku menginap di rumah, tapi aku malah kesiangan dan tidak sempat menyiapkan sarapan. Saat aku sampai di dapur, pemandangan itu langsung membuat hatiku terasa hangat.Ayah mertua, Basakra, duduk di kursi ruang tengah dengan koran di tangannya, sementara ibu mertua, Inara, sibuk mencuci piring di wastafel. Ibu membalikkan badan dan menatapku.“Kamu sudah selesai mandi?” tanya Inara dengan senyum lembut.Aku mengangguk, tersenyum kecil, dan merasa sedikit canggung. “Iya, Bu. Maaf, ini pertama kalinya kalian menginap di sini, tapi aku malah kesiangan dan tidak menyiapkan sarapan untuk Ayah dan Ibu.”Inara menggeleng pelan, menatapku de
Alexa tiba di kantor Gavin, para pegawai yang sudah mengetahui bahwa dia adalah istri atasan mereka segera menyambutnya dengan hangat."Selamat siang, Ibu Alexa," sapa salah satu resepsionis dengan senyum ramah begitu aku melangkah masuk ke lobi.Aku membalas senyuman itu dengan anggukan kecil. "Selamat siang. Gavin ada di kantornya, kan?" tanyaku, mencoba terdengar tenang meskipun pikiranku sedang kalut."Benar, Ibu. Pak Gavin sedang ada di ruangannya. Apakah perlu saya hubungi terlebih dahulu untuk memastikan beliau tidak sibuk?" tanya resepsionis itu dengan nada sopan.Aku menggeleng pelan. "Tidak perlu, terima kasih. Saya langsung ke sana saja."Dengan langkah tegap, aku berjalan melewati lorong kantor yang terasa begitu sepi. Beberapa pegawai yang berpapasan denganku menyapa dengan ramah, dan aku berusaha membalas mereka meski senyumku terasa berat.Setibanya di depan pintu ruangan Gavin, aku berhenti sejenak. Dadaku terasa sesak, dan tanganku gemetar saat hendak mengetuk pintu.
Saat aku tiba di parkiran mobil, aku terdiam sejenak, memandangi setir dengan pikiran yang berputar-putar. Udara terasa berat, dan aku menarik napas panjang untuk mencoba menenangkan diri. Tanpa sadar, langkah seseorang mendekat dan suara familiar memecah keheningan.“Alexa, kamu di sini?” suara itu membuatku terkejut. Aku menoleh dan melihat Liam berdiri di dekat mobilku, wajahnya penuh perhatian.“Oh, Kak Liam,” ucapku sambil mencoba tersenyum kecil. Aku menegakkan tubuh, berusaha terlihat tenang meski dalam hati masih bergejolak.“Kamu melamun?” tanyanya lembut, alisnya sedikit terangkat.“Tidak, hanya saja…” suaraku menggantung. Aku tidak tahu harus menjelaskan apa.Liam berjalan mendekat, matanya menatapku dengan sorot serius. “Ada apa? Bicara saja padaku. Kamu tahu aku selalu ada kalau kamu butuh seseorang untuk mendengar,” katanya, suaranya penuh perhatian yang tulus.Aku mengeluarkan lipstik itu dari tas dan menggenggamnya erat. "Aku menemukan ini di saku Gavin, Kak," ucapku p
Alexa dibaringkan di ranjang pemeriksaan, sementara Liam berdiri di sampingnya dengan ekspresi khawatir. Dokter, seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat, mulai memeriksa tekanan darah Alexa dengan teliti.“Bagaimana, Dok?” tanya Liam, suaranya terdengar cemas.Dokter menatap Alexa yang tampak pucat sebelum menjawab, “Kondisinya cukup stabil sekarang, tapi tekanan darahnya sedikit rendah. Ibu Alexa, apa Anda sering merasa pusing atau lemas belakangan ini?”Alexa mengangguk pelan. “Iya, Dok. Beberapa hari terakhir, saya sering merasa pusing. Tapi saya pikir itu hanya kelelahan biasa.”Dokter mengangguk, mencatat sesuatu di buku catatannya. “Ini bisa jadi karena tekanan darah rendah yang dipengaruhi oleh stres atau kurangnya asupan nutrisi. Mengingat Anda sedang hamil, hal ini perlu mendapat perhatian khusus. Saya akan memberi resep vitamin tambahan untuk membantu menjaga stamina Anda. Dan, tolong hindari stres, ya.”Liam menyela, “Jadi, tidak ada yang serius, Dok?”“Tidak ada yang
Liam keluar dari kamar Alexa dengan langkah pelan, memastikan pintu tertutup rapat tanpa suara. Sesaat ia berdiri di depan pintu, menarik napas panjang untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Kemudian, ia menuruni tangga menuju dapur, di mana aroma masakan memenuhi udara.Inara terlihat baru saja selesai memasak. Ia menoleh ketika mendengar langkah kaki Liam mendekat. "Gimana Alexa?" tanyanya dengan nada lembut, meski wajahnya jelas memancarkan kekhawatiran.Liam membuka kulkas, mengambil segelas air putih, lalu meneguknya perlahan untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering. "Dia sudah tidur, Bu," jawabnya singkat.Inara mengangguk pelan, tapi ekspresinya berubah menjadi serius. "Seharusnya suaminya yang jaga dia, Liam. Kenapa malah kamu yang repot? Bukannya kamu juga punya kehidupan sendiri?"Liam terdiam sejenak, menggenggam erat gelas yang ada di tangannya. Pandangannya menatap kosong ke arah dapur sebelum akhirnya ia menjawab. "Itu juga gak sengaja, Bu. Aku ketemu Alexa di
Malam telah tiba ketika Gavin akhirnya pulang ke rumah, sekitar lima menit setelah Liam tiba lebih dulu. Suasana di ruang makan terlihat sibuk. Inara sedang mengatur hidangan di meja makan, sementara Baskara membantu istrinya dengan membawa piring tambahan.Di dapur, Alexa yang terlihat sedikit lebih segar setelah istirahat turun dari tangga dan langsung menghampiri Inara."Bu, aku bantu, ya?" ujar Alexa lembut, menawarkan diri.Inara menoleh dan menggeleng sambil tersenyum tipis. "Gak usah, Alexa. Kamu masih perlu banyak istirahat. Duduk saja, biar Ibu yang urus semuanya."Alexa ragu sejenak, tapi akhirnya menurut. Ia melangkah pelan ke meja makan dan duduk di kursi yang biasa ia tempati. Liam yang sedang menuangkan air ke gelas menoleh ke arah Alexa.“Kamu udah mendingan, Alexa?” tanyanya penuh perhatian.Alexa mengangguk kecil. "Udah lebih baik, Kak. Makasih." Tak lama kemudian, Gavin masuk ke ruang makan, meletakkan tas kerjanya di sudut ruangan. Matanya sekilas menyapu suasana d
Inara, Baskara, Gavin, Liam, dan Alexa berkumpul di ruang tamu. Di sudut ruangan, koper milik Inara dan Baskara sudah siap untuk dibawa. Suasana terasa sedikit hening, seakan semua orang merasa berat untuk berpisah.“Ibu sama Ayah pamit pulang ya, Alexa,” ujar Inara dengan nada lembut. Ia mendekati Alexa, menunduk, lalu menyentuh perut menantunya dengan penuh kasih. “Nenek pamit dulu, ya. Nanti nenek kapan-kapan ke sini lagi.”Alexa tersenyum tipis, matanya mulai berkaca-kaca. “Padahal Alexa senang banget ada Ibu sama Ayah di sini. Jadi ada teman ngobrol dan nggak kesepian.”Inara melirik tajam ke arah Gavin, matanya menyorotkan teguran. “Tuh, denger ucapan istri kamu, Gavin. Dia itu kesepian di rumah sendirian. Apa kamu nggak kasihan?”Gavin menghela napas panjang, mencoba membela diri. “Kan aku kerja, Bu. Bukannya sengaja ninggalin Alexa sendirian.”Inara mendesah, mengangkat alisnya dengan ekspresi penuh sindiran. “Alasan terus. Kalau kamu memang sibuk kerja, setidaknya pikirin jug
Pov AlexaSetelah menerima pesan dari Gavin, Alexa hanya bisa termenung di kamar. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak terjawab.“Padahal sekarang hari libur,” gumamnya pelan sambil menatap layar ponsel di tangannya. “Pekerjaan apa sih, Vin, sampai kamu nggak pulang malam ini?”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Suara pintu kamar yang terbuka pelan membuat Alexa tersentak dari lamunannya. Ia segera menoleh, mengira Gavin sudah pulang. Namun, yang muncul di ambang pintu justru Liam.“Kak Liam?” tanya Alexa. “Gavin belum pulang?” tanya Liam, memecah keheningan malam.Alexa mengangguk sambil menghela napas. “Iya, Kak. Katanya ada pekerjaan mendadak,” jawabnya pelan, nada suaranya terdengar lelah dan sedikit ragu.“Kalian kan sekantor. Apa Kak Liam tahu pekerjaan apa yang dimaksud Gavin?” tanyanya.Alexa menatap Liam, seolah berharap menemukan jawaban yang bisa menenangkan hatinya. Namun, Liam hanya menggeleng pelan. “Aku nggak tahu, Lex,” ucapnya dengan na
Pov GavinGavin duduk di dalam mobil, matanya menatap jalanan yang berlalu begitu cepat di depannya. Ia merasakan kegelisahan yang terus menghantui sejak pagi tadi. Dengan tergesa-gesa, ia menghentikan mobilnya di depan rumah dan segera keluar.Pintu rumah dibuka dengan cepat, langkah Gavin terdengar berat namun penuh kecemasan. “Amara! Di mana Zain?” serunya, suaranya penuh kekhawatiran.Amara muncul dari ruang tengah, wajahnya terlihat lelah dan cemas. “Zain di sini, Gavin. Dia masih panas,” jawabnya sambil menggendong bayi mereka yang baru berusia satu bulan.Gavin mendekat, melihat Zain yang terbaring lemah di pelukan ibunya. Wajah kecil itu terlihat pucat, matanya setengah tertutup. Gavin perlahan mengulurkan tangan, membelai kepala Zain dengan lembut.“Zain…” panggilnya pelan, seolah tak ingin mengganggu kenyamanan anaknya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, meski hatinya terasa mencelos melihat kondisi putranya.Amara memandang Gavin, lalu berkata, “Kita harus segera bawa
Inara, Baskara, Gavin, Liam, dan Alexa berkumpul di ruang tamu. Di sudut ruangan, koper milik Inara dan Baskara sudah siap untuk dibawa. Suasana terasa sedikit hening, seakan semua orang merasa berat untuk berpisah.“Ibu sama Ayah pamit pulang ya, Alexa,” ujar Inara dengan nada lembut. Ia mendekati Alexa, menunduk, lalu menyentuh perut menantunya dengan penuh kasih. “Nenek pamit dulu, ya. Nanti nenek kapan-kapan ke sini lagi.”Alexa tersenyum tipis, matanya mulai berkaca-kaca. “Padahal Alexa senang banget ada Ibu sama Ayah di sini. Jadi ada teman ngobrol dan nggak kesepian.”Inara melirik tajam ke arah Gavin, matanya menyorotkan teguran. “Tuh, denger ucapan istri kamu, Gavin. Dia itu kesepian di rumah sendirian. Apa kamu nggak kasihan?”Gavin menghela napas panjang, mencoba membela diri. “Kan aku kerja, Bu. Bukannya sengaja ninggalin Alexa sendirian.”Inara mendesah, mengangkat alisnya dengan ekspresi penuh sindiran. “Alasan terus. Kalau kamu memang sibuk kerja, setidaknya pikirin jug
Malam telah tiba ketika Gavin akhirnya pulang ke rumah, sekitar lima menit setelah Liam tiba lebih dulu. Suasana di ruang makan terlihat sibuk. Inara sedang mengatur hidangan di meja makan, sementara Baskara membantu istrinya dengan membawa piring tambahan.Di dapur, Alexa yang terlihat sedikit lebih segar setelah istirahat turun dari tangga dan langsung menghampiri Inara."Bu, aku bantu, ya?" ujar Alexa lembut, menawarkan diri.Inara menoleh dan menggeleng sambil tersenyum tipis. "Gak usah, Alexa. Kamu masih perlu banyak istirahat. Duduk saja, biar Ibu yang urus semuanya."Alexa ragu sejenak, tapi akhirnya menurut. Ia melangkah pelan ke meja makan dan duduk di kursi yang biasa ia tempati. Liam yang sedang menuangkan air ke gelas menoleh ke arah Alexa.“Kamu udah mendingan, Alexa?” tanyanya penuh perhatian.Alexa mengangguk kecil. "Udah lebih baik, Kak. Makasih." Tak lama kemudian, Gavin masuk ke ruang makan, meletakkan tas kerjanya di sudut ruangan. Matanya sekilas menyapu suasana d
Liam keluar dari kamar Alexa dengan langkah pelan, memastikan pintu tertutup rapat tanpa suara. Sesaat ia berdiri di depan pintu, menarik napas panjang untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Kemudian, ia menuruni tangga menuju dapur, di mana aroma masakan memenuhi udara.Inara terlihat baru saja selesai memasak. Ia menoleh ketika mendengar langkah kaki Liam mendekat. "Gimana Alexa?" tanyanya dengan nada lembut, meski wajahnya jelas memancarkan kekhawatiran.Liam membuka kulkas, mengambil segelas air putih, lalu meneguknya perlahan untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering. "Dia sudah tidur, Bu," jawabnya singkat.Inara mengangguk pelan, tapi ekspresinya berubah menjadi serius. "Seharusnya suaminya yang jaga dia, Liam. Kenapa malah kamu yang repot? Bukannya kamu juga punya kehidupan sendiri?"Liam terdiam sejenak, menggenggam erat gelas yang ada di tangannya. Pandangannya menatap kosong ke arah dapur sebelum akhirnya ia menjawab. "Itu juga gak sengaja, Bu. Aku ketemu Alexa di
Alexa dibaringkan di ranjang pemeriksaan, sementara Liam berdiri di sampingnya dengan ekspresi khawatir. Dokter, seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat, mulai memeriksa tekanan darah Alexa dengan teliti.“Bagaimana, Dok?” tanya Liam, suaranya terdengar cemas.Dokter menatap Alexa yang tampak pucat sebelum menjawab, “Kondisinya cukup stabil sekarang, tapi tekanan darahnya sedikit rendah. Ibu Alexa, apa Anda sering merasa pusing atau lemas belakangan ini?”Alexa mengangguk pelan. “Iya, Dok. Beberapa hari terakhir, saya sering merasa pusing. Tapi saya pikir itu hanya kelelahan biasa.”Dokter mengangguk, mencatat sesuatu di buku catatannya. “Ini bisa jadi karena tekanan darah rendah yang dipengaruhi oleh stres atau kurangnya asupan nutrisi. Mengingat Anda sedang hamil, hal ini perlu mendapat perhatian khusus. Saya akan memberi resep vitamin tambahan untuk membantu menjaga stamina Anda. Dan, tolong hindari stres, ya.”Liam menyela, “Jadi, tidak ada yang serius, Dok?”“Tidak ada yang
Saat aku tiba di parkiran mobil, aku terdiam sejenak, memandangi setir dengan pikiran yang berputar-putar. Udara terasa berat, dan aku menarik napas panjang untuk mencoba menenangkan diri. Tanpa sadar, langkah seseorang mendekat dan suara familiar memecah keheningan.“Alexa, kamu di sini?” suara itu membuatku terkejut. Aku menoleh dan melihat Liam berdiri di dekat mobilku, wajahnya penuh perhatian.“Oh, Kak Liam,” ucapku sambil mencoba tersenyum kecil. Aku menegakkan tubuh, berusaha terlihat tenang meski dalam hati masih bergejolak.“Kamu melamun?” tanyanya lembut, alisnya sedikit terangkat.“Tidak, hanya saja…” suaraku menggantung. Aku tidak tahu harus menjelaskan apa.Liam berjalan mendekat, matanya menatapku dengan sorot serius. “Ada apa? Bicara saja padaku. Kamu tahu aku selalu ada kalau kamu butuh seseorang untuk mendengar,” katanya, suaranya penuh perhatian yang tulus.Aku mengeluarkan lipstik itu dari tas dan menggenggamnya erat. "Aku menemukan ini di saku Gavin, Kak," ucapku p
Alexa tiba di kantor Gavin, para pegawai yang sudah mengetahui bahwa dia adalah istri atasan mereka segera menyambutnya dengan hangat."Selamat siang, Ibu Alexa," sapa salah satu resepsionis dengan senyum ramah begitu aku melangkah masuk ke lobi.Aku membalas senyuman itu dengan anggukan kecil. "Selamat siang. Gavin ada di kantornya, kan?" tanyaku, mencoba terdengar tenang meskipun pikiranku sedang kalut."Benar, Ibu. Pak Gavin sedang ada di ruangannya. Apakah perlu saya hubungi terlebih dahulu untuk memastikan beliau tidak sibuk?" tanya resepsionis itu dengan nada sopan.Aku menggeleng pelan. "Tidak perlu, terima kasih. Saya langsung ke sana saja."Dengan langkah tegap, aku berjalan melewati lorong kantor yang terasa begitu sepi. Beberapa pegawai yang berpapasan denganku menyapa dengan ramah, dan aku berusaha membalas mereka meski senyumku terasa berat.Setibanya di depan pintu ruangan Gavin, aku berhenti sejenak. Dadaku terasa sesak, dan tanganku gemetar saat hendak mengetuk pintu.
Setelah selesai mandi, aku mengeringkan tubuh dengan handuk, lalu mengenakan pakaian santai. Pikiran tentang lipstik itu terus menghantui, tapi aku memutuskan untuk menyimpannya dalam hati, setidaknya untuk sementara waktu. Aku harus terlihat normal di depan ibu.Aku menuruni tangga perlahan, merasa sedikit bersalah karena ini kali pertama ayah dan ibu mertuaku menginap di rumah, tapi aku malah kesiangan dan tidak sempat menyiapkan sarapan. Saat aku sampai di dapur, pemandangan itu langsung membuat hatiku terasa hangat.Ayah mertua, Basakra, duduk di kursi ruang tengah dengan koran di tangannya, sementara ibu mertua, Inara, sibuk mencuci piring di wastafel. Ibu membalikkan badan dan menatapku.“Kamu sudah selesai mandi?” tanya Inara dengan senyum lembut.Aku mengangguk, tersenyum kecil, dan merasa sedikit canggung. “Iya, Bu. Maaf, ini pertama kalinya kalian menginap di sini, tapi aku malah kesiangan dan tidak menyiapkan sarapan untuk Ayah dan Ibu.”Inara menggeleng pelan, menatapku de