"Kak Amel, aku sudah bersiap-siap untuk keluar sekarang. Tolong kirimkan alamatmu."Dalam perjalanan pulang, Amel menerima pesan dari Nana. Amel baru ingat jika dia belum memberikan alamat rumahnya, jadi dia pun segera mengirim alamat rumahnya."Omong-omong, aku lupa memberitahumu. Nana akan datang ke rumah untuk bertamu sore ini," kata Amel memberi tahu Dimas.Saat mendengar itu, Dimas agak terkejut. Kemudian, dia menjawab, "Sejak kapan hubungan kalian berdua menjadi sebaik ini?""Nggak terlalu baik juga. Bukankah aku sudah memberitahumu? Setelah makan bersamanya terakhir kali, aku merasa kami berdua bisa mengobrol dengan baik. Aku juga bersimpati dengan pengalamannya. Aku merasa karena dia adalah seorang gadis kecil yang tinggal sendirian di sini, pasti nggak mudah baginya untuk bekerja keras di kota asing," jelas Amel. Dia memang memiliki hati yang lembut. Jika memungkinkan, dia juga akan merasa senang bisa berteman dengan Nana."Baiklah," sahut Dimas. Kemudian, dia mengingat bahwa
"Kalau aku selalu datang, kamu nggak akan kesal, 'kan?""Tentu saja nggak."Keduanya mengobrol di ruang tamu, kemudian Nana tiba-tiba punya ide ingin belajar cara membuat makanan penutup dari Amel."Kebetulan sekali aku punya beberapa alat membuat makanan penutup di rumah. Bagaimana kalau aku mengajarimu saja?""Boleh juga.""Kalau begitu, ayo ikut aku ke dapur," ucap Amel sambil berdiri dan mengajak Nana ke dapur.Amel mengeluarkan semua bahan yang dia butuhkan di dapur untuk membuat makanan penutup."Mile crepes mangga yang akan kamu pelajari ini sebenarnya cukup mudah.""Aku sudah pernah membuatnya menurut resep secara daring beberapa kali sebelumnya, tapi semuanya selalu gagal. Aku juga nggak tahu kenapa, mungkin karena aku terlalu bodoh," sahut Nana sambil mengangkat bahu dan mentertawakan dirinya sendiri.Setelah Amel selesai mengajari cara membuat makanan penutup pada Nana, langit di luar juga semakin gelap."Ya ampun, sudah hampir jam tujuh. Apa kamu lapar, Nana? Makan malam di
Usai makan malam, hujan di luar masih belum menunjukkan tanda-tanda akan reda."Bagaimana ini? Sepertinya hujannya makin deras. Kak Amel, aku nggak bisa terus berada di rumahmu. Aku harus segera pulang," pamit Nana sambil berdiri dan hendak pergi.Amel meraih lengan Nana dengan cepat sambil berkata, "Nana, ini sudah malam, di luar juga hujan deras, sebaiknya kamu jangan pulang dulu. Bagaimana kalau malam ini kamu menginap saja di rumahku?"Amel merasa khawatir jika seorang gadis kecil seperti Nana naik taksi sendirian di malam yang hujan seperti ini. Cuaca seperti ini sangat mungkin bisa menyebabkan kecelakaan. Dia juga merasa tidak tenang jika menyuruh Dimas mengantar Nana pulang di tengah hujan lebat. Cara terbaik adalah membiarkan Nana menginap di rumahnya malam ini dan menunggu sampai hujan berhenti esok hari."Bagaimana mungkin? Aku sudah merepotkan kalian dengan makan malam di sini," tolak Nana yang merasa tidak enak hati."Sama sekali nggak masalah. Kalau kamu pulang dan masih h
"Lidya, apakah kamu gila? Ini sudah subuh dan kamu sudah bangun," sahut Amel. Dia melihat ponselnya dan menyadari bahwa saat ini baru pukul setengah lima, tetapi gadis itu sudah meneleponnya. Perlu diketahui biasanya Lidya selalu tidur sampai siang hari."Amel, dengarkan aku dulu.""Lebih baik berita itu sangat mengejutkan, kalau nggak aku pasti akan membalaskan dendam padamu," ancam Amel seraya menggertakkan giginya."Leo Baskara akan datang ke Kota Nataya dua hari lagi untuk konser. Bagaimana? Apakah kamu senang? Apakah kamu bersemangat?" sahut Lidya dengan penuh semangat, bahkan nada bersemangatnya bisa didengar melalui telepon.Tadi Lidya terbangun karena kebelet buang air kecil. Lalu, ketika dia bangun untuk pergi ke toilet, secara tidak sengaja dia melihat berita di ponselnya yang membuatnya langsung bersemangat. Awalnya, dia mengira itu adalah pesan dari kontak akun pemasaran yang mengirim pesan acak untuk menaikkan reputasi. Namun, di luar dugaan, saat mengecek akun Instagram,
Nana langsung melirik Dimas dengan penuh harap."Kelihatannya cukup enak," ucap Dimas sambil duduk di meja makan. Amel pun mengambilkan roti kecil untuk Dimas.Mereka bertiga sarapan bersama, kemudian Nana ingin membantu membersihkan dapur, tetapi Amel segera menghentikannya."Nana, kamu nggak perlu membersihkannya. Nanti biar aku yang membereskannya. Cepatlah berangkat kerja," ucap Amel. Nana bekerja untuk orang lain, jadi dia tidak boleh terlambat berangkat kerja. Sementara itu, berbeda dengan Amel. Dia membuka tokonya sendiri, jadi waktunya lebih fleksibel."Baiklah. Kak Amel, Kak Dimas, aku pergi dulu. Maaf sudah merepotkan kalian dua hari ini," kata Nana dengan canggung sebelum pergi."Nggak merepotkan. Kapan-kapan datanglah bermain ke sini kalau kamu punya waktu," sahut Amel. Setelah Amel mengantar Nana pergi, dia berbaring dengan malas di sofa. Memang benar rasanya canggung jika ada orang lain yang tinggal di rumahnya."Sayang, bagaimana pendapatmu tentang Nana?" tanya Amel tiba
"Cepat, bawa dulu orang itu ke rumah sakit," teriak Dimas dengan emosi."Pak Dimas, aku nggak perlu dibawa ke rumah sakit. Nanti juga sembuh sendiri," kata pekerja dengan dahi yang terluka itu dengan suara yang agak lemah. Mereka datang ke lokasi konstruksi untuk mencari uang. Sekarang, mereka malah mau pergi ke rumah sakit untuk mengeluarkan uang, bahkan sebelum bisa menghasilkan uang. Tentu saja, dia menolak untuk melakukannya."Zainal, kamu harus dibawa ke rumah sakit. Kepalamu berdarah seperti ini. Lukanya pasti dalam," teriak Dimas dengan nada memerintah."Pak Dimas, aku benar-benar nggak perlu dibawa ke rumah sakit. Aku sudah sering terbentur dan tergores sejak kecil. Jadi, ini bukan masalah besar. Pergi ke rumah sakit hanya akan menghabiskan banyak uang. Lebih baik nggak usah." Pekerja bernama Zainal Wasesa itu melambaikan tangannya dan menolak untuk pergi ke rumah sakit."Benar, Pak Dimas. Aku juga nggak mau pergi ke rumah sakit," kata pekerja yang lengannya terluka, Joko Siswa
Karena tidak ada kerjaan, Amel menemani Dimas di lokasi konstruksi untuk sementara waktu. Setelah kembali dari rumah sakit, Zainal dan Joko langsung pergi ke ruangan Dimas."Aku pergi dulu." Setelah menyapa mereka, Amel pun langsung pergi.Kebetulan sekarang sudah hampir jam empat. Jika Amel pulang sekarang, dia masih bisa mengejar tiket jam setengah lima."Katakan padaku, ada apa dengan kalian berdua? Aku sudah mengetahuinya dari mandor. Kalian sudah bekerja di lokasi konstruksi ini selama lebih dari satu tahun. Hari ini kalian malah berkelahi. Apa kalian sudah bosan hidup?" tegur Dimas dengan wajah murung."Maaf, Pak Dimas. Aku benar-benar minta maaf karena sudah membuat masalah bagimu," kata Zainal dengan malu sambil menggosok tangannya."Ini bukan soal membuat masalah bagiku atau nggak. Kalian adalah tulang punggung keluarga. Apa kalian pernah berpikir, bagaimana nasib keluarga kalian kalau sampai terjadi sesuatu pada kalian? Nggak ada ganti rugi kalau kalian berkelahi sampai menga
Amel membuka bungkusan itu dengan tidak sabar. Seuntai kalung yang indah terpampang di depan matanya. "Wow, cantik sekali. Berapa harga kalung ini, Sayang?"Amel sangat menyukai kalung tersebut. Hanya saja, harga kalung itu sepertinya tidak murah."Harganya nggak terlalu mahal. Toko itu baru buka. Jadi, aku dapat diskon yang lumayan besar." Dimas takut Amel akan merasa tertekan. Jadi, dia tidak memberitahukan harga kalung tersebut pada Amel."Baguslah kalau begitu, Sayang. Seleramu benar-benar bagus." Suasana hati Amel menjadi jauh lebih baik."Aku agak lapar, Sayang. Malam ini kita makan apa?" tanya Dimas sambil memegang perutnya yang kosong."Tunggu sebentar. Aku akan pergi memasak sekarang." Amel berdiri, kemudian pergi ke dapur.Sementara itu, Dimas mengambil ponselnya dan bergegas menuju ruang kerjanya."Kak, kenapa tiba-tiba meneleponku hari ini?" tanya Leo keheranan."Berikan empat tiket konsermu padaku. Aku akan mengajak Amel untuk menonton." Dimas langsung menyampaikan maksudn