"Ya, sudah selesai. Kali ini ketika aku pulang, selain mengurus beberapa hal, aku juga sudah bilang ke Nenek kalau kita sudah menikah."Dimas memegang sendoknya yang berisi makanan dengan sikap wajar. Makanan yang dimasak istrinya memang lezat. Padahal, Dimas suka pilih-pilih makanan. Namun, saat memakan masakan istrinya, dia merasa seolah-olah sedang memakan makanan yang mewah.Mendengar hal tersebut, sendok yang dipegang Amel langsung bergetar. Seberkas rasa takut melintas di wajahnya.Meskipun Amel tahu jika hal ini tidak bisa dihindari, dia masih merasa sedikit khawatir. Mungkin kata-kata ibunya benar. Kali ini Amel seharusnya ikut pulang bersama Dimas untuk bertemu dengan orang tua Dimas.Amel menggigit bibirnya dengan bermacam-macam pikiran yang berkecamuk di dalam hatinya. Amel merasa ragu-ragu untuk sesaat sebelum akhirnya bertanya, "Nenek .... Oh, benar. Dimas, sepertinya kita belum pernah membicarakan orang-orang di rumahmu. Bisakah kamu menceritakannya kepadaku?""Tentu saja
Hanya saja, Amel merasa makin bersalah begitu mendengar Dimas mengucapkan perkataan tersebut.Seharusnya Amel bersikeras untuk menemani Dimas pulang. Orang tua pasti berharap anak-anaknya sukses dalam karier dan memiliki pernikahan yang bahagia.Amel menundukkan kepalanya dan berkata dengan rasa bersalah, "Maafkan aku. Kalau aku tahu masalahnya seperti ini, seharusnya aku menemanimu pulang untuk bertemu Nenek."Dimas membelai kepala Amel dan menghiburnya, "Nggak apa-apa. Nenek sangat senang begitu tahu aku sudah menikah. Lain kali kita bisa pulang bersama untuk bertemu dengannya.""Kalau kamu nggak keberatan, kita bisa kembali pulang di akhir pekan depan," kata Amel sambil mengerucutkan bibirnya."Tapi, ada banyak hal di lokasi konstruksi yang harus segera ditangani. Aku sudah memberi tahu Nenek. Kita bisa pulang bersama di lain waktu, oke? Aku juga ingin membicarakan kembali masalah pernikahan dengan Nenek."Dimas berbicara dengan nada yang terdengar sungguh-sungguh, tidak seperti sed
"Oh."Amel mengerang sambil membuka matanya. Dia merasakan sesuatu yang panas di pinggangnya dan anehnya itu terasa sangat menyakitkan."Kamu sudah bangun?"Amel mengulurkan tangan dan menguap. Dia tidak bisa menahan diri untuk meregangkan tubuhnya."Hmm, kamu nggak mau tidur lagi?" Dimas mengalihkan pandangannya. Tersirat nada dingin yang tidak disadari Dimas dalam suaranya.Amel tidak tahu apa yang terjadi pada Dimas. Dia langsung menghentikan gerakan meregangkan tubuhnya. Kemudian, dia duduk dengan tegak dan menatap Dimas dengan heran.Mereka berdua tidur lebih awal semalam. Amel ingat dia masih bergumam pada dirinya sendiri untuk memperkenalkan Billy dan langsung pergi tidur. Belum waktunya bagi Amel untuk bangun. Namun, Amel sudah tidak berniat untuk melanjutkan tidurnya lagi.Selain itu, Amel juga tidak melakukan sesuatu yang membuat Dimas marah.Amel mengerutkan kening. Dia bangun dan bersiap-siap pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Kemudian, dia bertanya, "Aku nggak mau ti
Kemarin, setelah berteman dengan Billy di WhatsApp, awalnya Amel ingin memperkenalkan Billy kepada Lidya. Namun, setelah Dimas pulang, Amel sibuk dengan urusan toko dan lupa untuk melakukannya. Malam sebelum tidur, Amel masih sempat menggumamkan masalah perkenalan tersebut. Namun, Amel akhirnya ketiduran.Amel dan Billy hanya mengobrol mengenai desain interior dan tidak membahas topik yang lainnya.Amel mengerutkan kening sambil menjelaskan, "Nggak ada privasi di WhatsApp milikku ini. Kamu bisa melihatnya kapan saja. Dia ini hanya mahasiswa ayahku. Dia juga kakak kelasku. Semalam aku sudah bilang padamu, dia orang yang ingin kukenalkan pada Lidya."Dikenalkan pada Lidya.Dasar gadis konyol. Mungkin Lidya sama sekali tidak mau menerimanya. Kalau saja bocah bernama Andi itu tahu, mungkin akan terjadi banyak hal menarik lainnya.Ternyata, Amel jauh lebih ceroboh dibanding yang dikira Dimas sebelumnya.Melihat istrinya menjelaskan dengan serius, tiba-tiba saja Dimas tidak merasa cemburu la
"Aku ...." Tanpa sadar, Amel menarik tangannya kembali, tapi Dimas menggenggam tangannya dengan sangat kuat. Dia dapat merasakan dada Dimas yang sangat panas.Amel tidak bisa menatap Dimas karena malu, sehingga dia menundukkan kepalanya dan tidak tahu harus berkata apa.Dimas memegang kepala Amel dan berbicara dengan serius, "Sayang, aku tahu kalau kamu belum memercayaiku sepenuhnya, kamu juga belum yakin kalau hubungan kita akan menjadi semakin dekat hanya dengan interaksi selama belasan hari. Lebih tepatnya, rasa tanggung jawabmu padaku saat ini lebih besar dari rasa cintamu. Tapi, nggak masalah, kita bisa pelan-pelan. Aku akan menggunakan waktu dan proses untuk memberitahumu kalau aku ingin terus bersamamu.""Moto Keluarga Cahyadi adalah setia, aku padamu juga sama."Amel menatap Dimas dengan polos, entah kenapa dia merasa seperti diterawang oleh Dimas.Memang rasa tanggung jawabnya pada Dimas jauh lebih besar dari rasa cintanya, karena mereka belum lama saling mengenal. Dia mengaku
"Kenapa? Kamu nggak mau bantu? Aku nggak bisa menyelesaikannya sendiri. Seharusnya kita mengerjakan pekerjaan rumah bersama, bagaimana menurutmu?"Amel menggigit bibirnya, tampak sangat kasihan.Amel mengangkat ember dan bersiap untuk ke teras, tapi dia pun tersadar melihat Dimas yang masih tidak bergerak.Mungkin para pria tidak suka mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, kebiasaan seperti itu harus dihilangkan setelah berkeluarga."Hm, ucapanmu benar. Tapi, aku nggak mau kamu mengerjakannya, biar aku saja." Dimas tersadar. Dia menggertakkan gigi, lalu mengangkat ember ke teras.Hanya mengelap debu saja, memangnya hal seperti ini akan menyulitkannya?Melihat hal tersebut, Amel tidak menyetujuinya, dia berkata sambil tersenyum, "Kita bagi dua supaya cepat selesai."Sambil bicara, mereka berdua pun mulai bekerja.Debunya memang banyak, tapi cukup mudah untuk dibersihkan. Setengah jam kemudian, Amel pun menghela napas dan menyeka keringat di dahinya. Dia berniat untuk menghampiri Dimas.Nam
"Hah?" Amel pun mengenyit. Dia bergegas memapah Dimas dan menenangkan pria itu, "Kamu duduk dulu, jangan panik, tarik napas. Bagaimana kalau kamu istirahat dulu? Kalau masih nggak sembuh, aku akan membawamu ke rumah sakit."Dimas bersandar di sofa sambil memijat keningnya, tampak sangat lelah, "Nggak perlu ke rumah sakit. Sebelumnya aku juga pernah begini, aku hanya perlu istirahat.""Apakah kamu bisa menemaniku istirahat sebentar?"Dia menyipitkan matanya, tampak sangat kasihan, seperti anak anjing yang sedang sakit.Hati Amel pun langsung melunak. Dia langsung mengangguk dan duduk di samping Dimas, dia juga menyandarkan kepala Dimas ke bahu pria itu."Baiklah, kalau kamu merasa nggak nyaman, bilang padaku, ya.""Ya."Dimas mengangguk dan bersandar di bahu Amel sambil bernapas dengan tenang.Dari tubuh Amel tercium aroma manis yang samar, aromanya sangat enak sampai membuat orang agak mabuk.Begitulah, rencana Amel untuk mengajak Lidya dan seniornya untuk makan pun batal karena Dimas.
Pria itu memiliki tinggi 180 cm, mengenakan kemeja putih dan celana bahan. Dia memiliki mata yang indah. Ketika dia tersenyum, akan muncul lesung pipi, tampak agak imut.Yah, meskipun dia memakai pakaian orang dewasa, model rambutnya juga cukup biasa, semua itu tetap tidak bisa menutupi usianya yang masih muda.Dia seperti anak kecil yang memakai pakaian orang dewasa, agak tidak cocok.Tampaknya, Lidya menyukai pria yang lebih muda darinya.Dimas tersenyum dan duduk di samping Amel."Sudah kubilang 'kan dia sangat tampan, selera Lidya memang bagus!"Lili langsung memujinya.Mirna tersenyum lebar dan sangat puas dengan pria itu, dia sangat menyukainya. "Seleranya biasa saja."Kemudian, dia bicara lagi pada Lidya, "Semuanya sudah tiba, sekarang kamu bisa memperkenalkannya, jangan duduk saja. Kalian para anak muda 'kan pandai mengobrol, ayo banyak mengobrol."Lidya tersenyum dengan canggung, tampak kelabakan."Itu ... dia, namanya ...." Wajahnya memerah, seketika pikirannya menjadi kosong
Lidya sudah terbiasa bebas dan tidak ingin terlalu cepat terikat oleh pernikahan."Baiklah, kita berdua nggak perlu terburu-buru. Orang tuamu dan orang tuaku mungkin sudah nggak sabar untuk menyuruh kita menikah karena ingin segera punya cucu," kata Andi dengan nada bercanda."Kalau Amel nggak menceraikan Dimas, dia mungkin harus mengikuti Dimas kembali ke Kota Ambara. Akan sulit untuk bertemu dengannya lagi di masa depan," sahut Lidya dengan sedih ketika memikirkan hal ini.Andi memeluk bahu Lidya dengan hangat sambil berkata, "Nggak apa-apa. Kalau kamu merindukan kakakku, kita bisa mengunjunginya kapan saja. Lagi pula, sekarang masih ada aku yang menemanimu, 'kan?"Lidya menghela napas, lalu menjawab, "Bagaimana kamu bisa dibandingkan dengan kakakmu."Di sisi lain, Dimas mengambil sup penghilang rasa mabuk yang sudah dimasak, lalu dengan hati-hati menyuapkannya kepada Amel. Setelah sibuk selama setengah malam, dia baru tertidur di samping Amel dengan mengantuk.Sinar matahari pagi me
Pada saat ini, Amel sudah tersungkur di atas meja, sementara Lidya terbelalak saat melihat Dimas melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah ke arah mereka. Lidya pun mengguncang bahu Amel dengan lembut sambil berkata, "Amel, Dimas ada di sini.""Dimas? Dia itu penipu besar. Aku nggak akan pernah peduli lagi padanya," ucap Amel dengan tidak jelas sambil memeluk botol bir.Dimas mengerutkan kening saat mendengar kata-kata Amel. Melihat Amel dalam keadaan mabuk seperti itu, Dimas merasakan sakit di dalam hatinya."Amel, aku akan mengantarmu pulang," kata Dimas dengan lembut. Amel memaksakan diri untuk mengangkat kepalanya, lalu menatap Dimas yang ada di depannya. Dimas tampak tersenyum kepadanya."Aku nggak akan pulang." Amel menegaskan setiap kata yang diucapkannya. Dia masih marah karena Dimas sudah menipunya."Ka ... kalau begitu, aku serahkan Amel kepadamu. Aku pergi dulu." Melihat suasananya tidak terlalu bagus, Lidya pun bersiap untuk menyelinap pergi. Identitas Dimas sebagai dir
Amel ragu-ragu untuk beberapa saat, sebelumnya akhirnya perlahan-lahan berkata, "Sejujurnya, aku benar-benar nggak rela berpisah dari Dimas. Sejak kami menikah sampai sekarang, dia selalu memperlakukanku dengan sangat baik. Dimas adalah contoh sempurna dari suami yang baik."Semalam saat berbaring di tempat tidur, yang terlintas di benak Amel hanyalah kebaikan Dimas kepada dirinya. Amel pun menjadi tidak begitu marah lagi."Hatiku masih sangat kacau sekarang." Amel menggaruk-garuk kepalanya dengan kesal."Jangan khawatir. Semua pasti akan ada jalan keluarnya," bujuk Lidya sambil menepuk bahu Amel dengan lembut."Bagaimana kalau kita minum bersama malam ini, untuk menenangkan suasana hati?" usul Lidya saat melihat Amel tampak bingung dan gelisah.Sebelumnya, Amel pasti akan menolaknya. Namun, sekarang Amel langsung menyetujuinya tanpa ragu. "Oke."Dimas menghabiskan sepanjang pagi di rumah sakit. Kondisi Nenek Salma juga sudah stabil. "Ayah, Ibu, Nenek, masih ada beberapa hal yang harus
"Tentu saja, Kak Amel. Aku benar-benar ingin terus bekerja di sini," kata Clara dengan tegas. Dia sudah memantapkan hati untuk tetap bekerja pada Amel."Oke." Raut wajah Amel langsung menunjukkan perasaan lega.Dimas memesan penerbangan paling awal dan bergegas pulang malam itu juga. Sesampainya di rumah sakit, Salma sudah beristirahat di bangsal."Ayah, Ibu, aku datang.""Akhirnya kamu datang juga. Nenekmu terus menyebut-nyebut namamu sepanjang malam tadi," tegur Bela.Dimas berjalan menghampiri ranjang Salma dengan perasaan bersalah. Tiba-tiba saja Dimas menyadari jika neneknya benar-benar sudah sangat tua. Entah sejak kapan, rambut neneknya sudah memutih semua.Untuk sementara waktu ini, Dimas tidak memenuhi kewajibannya sebagai cucu. Dimas juga gagal membina hubungan asmaranya. Tiba-tiba saja, Dimas merasa agak sedih dan kecewa karenanya.Salma perlahan-lahan membuka matanya. Melihat Dimas, raut wajahnya tampak agak emosional."Aku sudah pulang, Nek." Dimas menggenggam erat tangan
Amel memandangi punggung kepergian Dimas. Dia merasa agak kehilangan di dalam hati. Namun, melihat Dimas yang tampak begitu cemas, Amel merasa pasti ada suatu masalah yang sangat penting.Lantaran suasana hatinya sedang buruk, Amel tidak punya keinginan untuk mengurus toko makanan penutup miliknya. Dia memutuskan untuk sementara waktu membiarkan Clara membantunya mengawasi toko. Keesokan harinya, Amel bangun pagi-pagi sekali, lalu pergi ke toko untuk memberi penjelasan pada Clara."Tenang saja, Pak Irfan. Aku pasti akan membantu Bu Amel menjaga toko dengan baik. Aku yakin Pak Dimas dan Bu Amel pasti akan baikan nanti."Begitu memasuki pintu, Amel mendengar suara Clara. Amel pun mengerutkan kening. Dia bertanya-tanya kenapa Clara berkata seperti itu.Memikirkan kembali sikap Clara terhadap Dimas dan fakta bahwa Clara yang merupakan seorang ahli pembuat makanan penutup top, tapi bersedia merendahkan diri untuk bekerja di toko makanan penutup kecil miliknya ini, Amel pun sepertinya sudah
Amel sangat sadar diri dan tahu bahwa dia tidak layak untuk pria di depannya ini. Mungkin sekarang Dimas memiliki perasaan padanya, tetapi jika kesenjangan antara keduanya mulai ditemukan di masa depan, kemungkinan besar cinta mereka akan perlahan-lahan kandas.Dimas cukup baik, orang-orang di sekitar Dimas juga sangat baik. Amel hanya seorang wanita biasa, benar-benar tidak bisa berjalan berdampingan dengan pria itu.Saat mendengar kata cerai, Dimas langsung terbelalak kaget, lalu berkata, "Aku nggak bisa. Amel, jangan cerai, ya? Nggak peduli siapa aku, cintaku padamu nggak akan pernah berubah."Dimas menjelaskan dengan tegas kepada Amel alasan kenapa dia menyembunyikan identitasnya, tetapi Amel tampaknya tetap bertekad untuk menceraikannya."Dimas, beri aku waktu untuk menenangkan diri dulu," jawab Amel, lalu menutup pintunya lagi.Lili menepuk bahu Dimas sambil berkata, "Beri dia waktu. Bagaimanapun, ini bukan masalah sepele. Dia perlu waktu untuk menerimanya."Dimas mengangguk frus
"Kami nggak bisa menerima permintaan maaf dari seorang direktur," sahut Gibran dengan kesal.Dimas mengerutkan keningnya dan kembali menjelaskan "Ayah, Ibu, aku benar-benar nggak bermaksud menyembunyikan identitasku.""Kalau begitu, beri tahu aku kenapa kamu menyembunyikan identitasmu?" sahut Lili dengan nada dingin.Saat menghadapi Dimas, Lili masih mengalah dan ingin memberi Dimas kesempatan untuk menjelaskan. Bagaimanapun, dia masih bisa memercayai karakter Dimas.Mereka juga dapat melihat bahwa Dimas tidak memperlakukan putri mereka hanya untuk bermain-main saja."Orang yang bertanggung jawab atas cabang Grup Angkasa adalah kerabat jauh Keluarga Cahyadi. Ketika aku meninjau dana pada akhir tahun lalu, aku menemukan ada celah keuangan yang besar. Aku menyelidikinya secara pribadi dan menemukan kalau dia telah menggelapkan dana publik. Dia sering mengabaikan tugasnya dan membeli properti dalam jumlah besar. Tapi karena kurangnya bukti, aku dan asistenku menyembunyikan identitas kami
Sebagai seorang profesor, Gibran tidak pernah memperhatikan ketenaran dan kekayaan selama bertahun-tahun. Meskipun identitas asli Dimas adalah direktur Grup Angkasa, menurutnya juga tidak ada yang istimewa dengan itu."Kenapa Dimas menyembunyikan identitasnya? Mungkinkah dia sengaja melakukannya pada kita karena takut kita menginginkan uangnya?" sahut Lili dengan nada kecewa.Lili selalu merasa bahwa Dimas lumayan baik. Dia bahkan menganggap Dimas seperti putranya sendiri."Amel, karena kamu sudah memikirkannya dan memutuskan untuk menceraikannya, Ayah akan mendukung keputusanmu. Keluarga Santoso nggak peduli apakah dia direktur atau bukan," ucap Gibran. Pria itu adalah orang pertama yang mengungkapkan sikapnya."Ibu juga mendukungmu. Hal yang paling penting bagi pasangan untuk hidup bersama adalah kejujuran. Dia bahkan nggak bisa melakukan integritas paling dasar. Meskipun Keluarga Cahyadi kaya, Amel juga nggak bisa menikmatinya. Jadi, lebih baik lupakan saja," ujar Lili dengan nada k
"Aku ingin menceraikannya. Dia adalah seorang direktur Grup Angkasa, sementara aku cuma gadis biasa. Kami nggak berasal dari dunia yang sama dan nggak akan mendapatkan hasil apa pun di masa depan," tukas Amel. Ketika mengatakan itu, Amel merasa sakit yang menyesakkan datang dari hatinya.Ketika mendengar itu, Lidya langsung mengerutkan dahinya. Dia bisa melihat betapa Amel sangat mencintai Dimas."Huh ...." Lidya menghela napas panjang."Aku nggak pernah mengira bahwa hal dramatis yang ditampilkan di TV akan terjadi padaku," ujar Amel. Dia merasa sangat kecewa dengan Dimas ketika mengingat kembali berapa banyak kebohongan yang sudah dibuat pria ini untuk menipunya sejak mereka menikah."Ya, ini sudah keterlaluan. Kupikir hal semacam ini hanya ada di TV, tapi nggak disangka hal ini benar-benar terjadi di kehidupan nyata," sahut Lidya dengan emosi.Setelah suasana hati Amel sedikit stabil, Lidya mengantarnya pulang ke rumah Keluarga Santoso.Saat ini, Mirna sedang berbicara dengan Lili,