Mala bergegas mengambil kantong plastik berisi beberapa perlengkapan bayi sebelum berlalu meninggalkan Elvano yang masih mematung di tempat.“Mala, tunggu!” seru Elvano setelah tersadar dari lamunan. Dia segera mendekati Mala dan berdiri di hadapannya. “Kalau boleh aku tahu kamu mau ke mana?”Mala mengernyit mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut pria di depannya. Dia menelisik Elvano dari atas hingga bawah sebelum memutuskan untuk menjawab pertanyaannya.“Aku mau pulang kampung, Mas. Mumpung libur semesteran juga. Ada apa, ya?”“Apa selama ini Anes masih menghubungimu, La?” Ada keraguan yang terpancar dari nada suara Elvano. Dia paham kalau seandainya Mala tahu keberadaan Aneska pun, tak mungkin memberi tahunya. Namun, tak bolehkah dia sedikit berharap kali ini. Sayangnya, Elvano harus menelan kecewa karena Mala menggeleng lemah.“Anes sudah tidak pernah menghubungiku, Mas. Nomornya juga sudah tidak aktif lagi. Maaf.”Elvano menghela napas panjang sebelum menyugar ram
Aneska bergeming mendengar penuturan Mala tentang pertemuan singkatnya di stasiun dengan Elvano. dari keterangan yang didapat, wanita itu tahu bagaimana kondisi suaminya. Dalam hatinya bertanya-tanya apa yang telah terjadi kepada pria itu.“Apa Mazaya mengabaikan Mas Elvan? Tapi enggak mungkin. Bukankah mereka saling mencintai? Harusnya mereka lebih bahagia karena aku telah pergi dari kehidupan Mas Elvan. Tapi apa yang sudah terjadi pada mereka? Ah, kenapa aku harus memikirkan mereka? Toh, mereka bukan urusanku lagi.”“Nes ....”Aneska tergagap saat mendengar suara Mala yang disertai tepukan di lengannya. Dia tersenyum tipis sebelum membuang pandangan. Meskipun mencoba abai, nyatanya cerita Mala tentang Elvano mengganggu pikirannya. Jika boleh jujur, cinta itu masih tertinggal di salah satu sudut hatinya.Lima bulan bukan waktu yang singkat untuk mengenal dan mendalami cinta. Awalnya Aneska berusaha untuk melayani Elvano sepenuh hati tanpa melibatkan perasaan karena sadar posisiny
“Tenang, Nes. Shanka cuma haus, mungkin kamu lama makanya dia nangis kejer.”Aneska menghela napas panjang karena lega semua pikiran buruknya tidak terbukti. Dia segera menerima Shanka dari tangan Maisa dan mendekapnya erat. Dia bahkan menyematkan kecupan di pipi bayi itu.Untuk sesaat, tangis bayi itu mereda. Aneska segera membuka kancing baju dan memberikan ASI kepada Shanka yang disambut dengan suka cita. Tampak bayi itu mengisap rakus sumber kehidupannya. Sisa isak tangisnya masih sesekali terdengar, membuat Aneska diperam lara. Dia langsung meraih tangan mungil sang anak dan menciumnya.“Maafin Bunda, Nak. Bunda niatnya cuma sebentar, ternyata mendadak mulas tadi perutnya.”“Lain kali bilang sama Mbak kalau Shanka mau kamu tinggal, Nes. Takutnya kayak gini lagi.”“Aku enggak enak, Mbak. Takut ganggu waktu istirahat Mbak.”Maisa menggeleng lemah sambil mengusap lengan Aneska. Lalu, tangannya beralih mengusap lembut kepala Shanka.“Mbak enggak akan merasa terganggu selama it
Aneska segera berbalik dan berjalan dengan tergesa-gesa sambil menunduk, hingga tanpa sadar menabrak seseorang.“Eh, maaf. Saya enggak sengaja.”Aneska masih menunduk sambil mengusap lengannya karena gugup, kemudian segera melewati orang itu dengan setengah berlari. Namun, langkahnya terhenti saat ada orang yang mencekal lengannya.“Anes?”Aneska tersentak mendengar namanya dipanggil. Dia ragu mendongak, kemudian sepasang mata dengan manik mata berwarna cokelat sedang menyorotnya tajam. Namun, belum sempat membuka suara, orang itu segera menarik Aneska menjauhi kerumunan. “Lepaskan saya! Anda sepertinya salah orang! Tolong lepaskan saya!”Orang itu tak menggubris dan terus menyeret Aneska yang meronta dalam cekalannya. Lalu, di sinilah dia berada, di samping sebuah mobil berwarna putih bersama seorang pria yang terus menatapnya lekat sambil bersedekap.“Ke mana saja kamu, Nes?”“Maaf Anda sepertinya salah orang, Pak.”“Mana mungkin aku salah mengenali kamu, Nes.”Aneska seg
Elvano membuka mata perlahan dan mengedarkan pandangan. Lalu, seraut wajah dengan manik mata biru datang mendekat. Memeriksa tubuh dan menyorotkan senter ke manik matanya sebelum mengangguk dan berlalu dari hadapan.Elvano berusaha mengingat apa yang telah terjadi, tetapi tak ada yang tertinggal hingga membuatnya mengerang kesakitan. Dia berusaha untuk membuka mulut, tetapi tak ada yang keluar kecuali erangan kesakitan. Sedetik kemudian, kantuk kembali datang menyergap hingga akhirnya kegelapan membekap.“Mas Elvan, bangunlah. Ini Anes datang.”Elvano kembali membuka mata perlahan dan menangkap wajah wanita yang selama ini sangat dirindukannya. Tampak Aneska sedang tersenyum manis sambil menggenggam erat jemarinya.“Jangan pergi lagi, Nes. Aku mohon jangan tinggalkan aku lagi. Aku benar-benar gila karenamu. Mungkin saja ini karma karena sudah menyia-nyiakan kamu.”Elvano tak sanggup lagi menahan sesak yang mengimpit dada. Dia balik menggenggam erat jemari Aneska seolah-olah tak i
Aneska masih mengumbar senyum ketika melayani pembeli. Tangannya cekatan memasukkan pesanan pembeli ke dalam kantong kertas sebelum beranjak ke meja kasir untuk menerima pembayaran. Orang yang sejak tadi memerhatikan Aneska mulai maju dan mendekati etalase di mana aneka kue tersaji. Matanya menelisik kue tersebut sebelum beralih kepada Aneska yang masih duduk di balik meja kasir.“Mau kue yang mana, Pak?”Orang itu tergagap dan segera menunjuk dua macam kue beserta segelas matcha hangat, kemudian beranjak ke meja kasir untuk membayar sambil membawa nampan. Aneska belum menyadari kehadiran orang itu karena berbicara dengan seorang karyawan lainnya. Lalu, menatap deretan angka di depannya sambil membuka mulut.“Ini saja, Pak?” tanya Aneska sambil menyunggingkan senyuman dan mengambil nampan dari tangan orang di depannya. Namun, senyum itu lesap begitu menyadari siapa yang telah berdiri di hadapannya. “M-Mas Gavin?”Mereka berserobok sesaat. Hening meningkahi keduanya dengan waktu
Aneska menelan ludah dengan susah payah saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Gavin. Tatapannya beralih dari Shanka kepada pria yang mesih menunggu jawabannya.“Bunda, Om ini siapa?” tanya Shanka sambil menatap Gavin penuh tanya.Aneska memilih tidak menjawab pertanyaan sang anak. Dia justru menjajarkan tinggi tubuhnya agar setara dengan sang anak sambil menatap matanya lekat.“Shanka main dulu sama Mama Maisa, ya? Bunda mau bicara sebentar sama Om ini.”“Hai, Ganteng. Boleh Om tahu siapa namanya?” tanya Gavin sambil membungkuk di depan Shanka, mengabaikan tatapan tidak suka Aneska, dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan nama Om adalah Gavin.”Shanka mengerjap pelan melihat Gavin yang tersenyum ramah di depannya. Dia menoleh kepada sang ibu seperti meminta persetujuan untuk berkenalan. Setelah melihat anggukan Aneska, bocah lelaki itu menyambut uluran tangan Gavin dengan senyum tak kalah manis.“Namaku Shanka, Om. Alsaki Shankara S ....”“Shanka, sudah dulu, ya? Seka
Gavin bergegas turun dari mobil begitu sampai di depan toko kue milik Maisa. Dia mempercepat langkahnya menuju kamar yang tadi ditempati Aneska, tetapi nihil. Wanita itu sudah tidak ada di tempatnya.“Ada yang ketinggalan, Dok?” tanya Maisa begitu melihat Gavin berkacak pinggang sambil menyugar rambut di depan kamar.“Oh, di mana Anes? Saya ada perlu sama dia?”“Barusan pulang ke kos karena enggak enak badan. Memangnya ada perlu apa, Dok?”“Di mana tempat kosnya? Bisa antarkan saya?”Maisa mengangguk ragu mendengar permintaan Gavin. Namun, wanita itu bergegas berbalik dan berjalan keluar toko kue, kemudian berjalan ke kiri sejauh lima meter sebelum menyeberang dan memasuki gang kecil, kemudian berhenti di depan indekos dengan pagar hitam dan berlantai dua dengan cat berwarna biru.Usai membuka pintu, Maisa berjalan ke kamar paling ujung yang terletak di lantai satu sebelum mengetuk pintunya. Tak berselang lama, Shanka membuka pintu sambil menyunggingkan senyuman.“Mama? Ada per
Kehidupan pernikahan Aneska dan Elvano makin penuh kehangatan usai semua halangan yang sempat menghadang menghilang. Tinggallah kebahagian yang tengah melingkupi. Shanka makin aktif dan pintar di sekolah, janin kembar yang ada dalam kandungan Aneska juga berkembang dengan baik dan sehat. Dua hal itu yang membuat Elvano makin menyayangi anak dan istrinya.Usai sembuh dari sakitnya dan pulih, Elvano kembali menyambangi perusahaan The Golden Grup dan mengawasi anak buahnya. Dia juga melebarkan usaha di beberapa bidang untuk menambah pundi-pundi rekeningnya.Hubungannya dengan berbagai relasi bisnis berjalan dengan baik, sehingga bisnis yang dijalankan Elvano mengalami kemajuan dengan pesat. Namun, dia tidak mau silau dengan semua kekayaan yang didapat. Pria itu selalu menyisihkan beberapa persen dari penghasilannya untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Semua itu tak luput dari perhatian Aneska yang selalu mengingatkannya.“Aku sudah engagk punya orang tua lagi, Mas. Aku merasakan b
Shanka kembali muntah dan membasahi ranjang. Dia menangis karena kerongkongannya sakit. Sambil menahan lemas di tubuh, dia menatap orang tuanya.“Enggak apa-apa, Sayang. Kita ke kamar mandi buat basuh tubuh kamu, ya? Biar Bunda yang bersihin ranjangnya.”Elvano memapah sang anak menuju kamar mandi untuk membilas tubuh dan menggantinya dengan baju yang bersih. Sementara, Aneska mengganti seprai dan segera membersihkannya. Lalu, membawa semua baju kotor itu ke tempat cuci sebelum kembali untuk melihat Shanka yang terbaring lemas di kamarnya.“Shanka bagaimana, Mas?”“Aku sudah memberi minyak angin dan mengurut punggungnya. Sepertinya sudah agak tenang. Mudah-mudahan dia bisa tidur setelah ini.”“Syukurlah kalau begitu.”Bertepatan dengan itu, terdengar suara pintu diketuk. Aneska menoleh dan mendapati Bi Minah sudah berdiri di ambang pintu. Wanita itu mendekat dan tersenyum.“Ada apa, Bi?”“Di bawah ada orang yang mau terapi Tuan, Nyonya.”“Makasih, ya, Bi. Tolong buatkan minum
Mendung menggelayut manja di langit pagi itu. Udara dingin perlahan membekap dan menyeruak di antara para pelayat yang datang ke area pemakaman. Tak ada air mata yang tampak mengiringi kepergian seorang wanita berparas cantik itu. perlahan, rintik turun membasahi bumi, mengisyaratkan bagaimana kewsedihan tengah menyelimuti orang-orang yang menghadiri pemakamannya.Aneska menggamit erat lengan Elvano yang berdiri sambil berpegangan pada kruk. Kacamata htam yang bertengger di hidungnya, mengaburkan gurat kesedihan yang membayangi selama prosesi pemakaman berlangsung. Sementara, di sebelahnya pria dengan manik mata biru itu menatap lurus gundukan tanah merah yang basah di depannya. Di balik kacamata hitam yang dikenakannya, tampak gurat kekecewaan yang kentara.Bersama pelayat yang pergi meninggalkan area pemakaman, Elvano berjalan tertatih menuju mobil bersama Aneska. Tak ada satu pun kata yang terucap dari mulut keduanya hingga sampai di dalam kendaraan.Aneska menggenggam erat jema
Aneska segera beranjak ke dapur dan kembali sambil membawa segelas air sebelum mengangsurkannya kepada Elvano.“Minum dulu, Mas. Tenangin diri kamu sebelum cerita apa yang sudah terjadi.”Elvano mengambil gelas dari tangan sang sitri sebelum meneguknya hingga tandas. Dia mengatur napas sejenak sebelum menatap lekat Aneska yang tampak cemas di sampingnya.“Aku tadi bermimpi, Sayang. Aku bermimpi kembali ke masa penyekapan Shanka di rumah orang tua Zaya. Aku melihat bagaimana mereka membuat anak kita ketakutan, Sayang.”Elvano menjeda ucapan karena perih kembali membayangkan apa yang sudah dilalui Shanka selama beberapa jam bersama Mazaya dan Arman. Dia menatap sang anak yang masih pulas tertidur di dekatnya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala bocah itu. tepat saat itulah Shanka terjaga dan langsung mengerjap pelan.“Ayah kenapa?” tanya Shanka sambil mengucek mata dan beringsut duduk.“Ayah mimpi buruk tadi, Sayang. Maafkan Ayah, ya?” Elvano kembali mengusap kepala Shanka seb
“Memicu apa, Sayang? Aku enggak paham apa yang kamu bicarakan?”Aneska tersenyum tipis menanggapi pertanyaan suaminya. Dia memilih tak memperpanjang lagi pertanyaan untuk mencecar sebuah kejujuran. Wanita itu tak ingin sang suami merasa tertekan dan berujung kepada sakit kepala yang akhirnya menyiksa.“Enggak usah dipikirin lagi soal itu, Mas. Sekarang kita ke belakang, yuk!”Aneska mendorong kursi roda Elvano menuju halaman belakang, kemudian mengajaknya duduk di ayunan yang terletak di dekat kolam renang.“Kamu ingat saat kita di sini bertiga, Mas? kamu sama Shanka renang berdua dan aku duduk di sini sambil baca buku.”“Hem. Ingin rasanya menarikmu untuk ikut berenang. Sayangnya, tak pernah bisa.”Elvano terkekeh, pun dengan Aneska. Lalu, keduanya saling menautkan jemari sambil menerawang jauh. Hening meningkahi keduanya hingga beberapa jenak sampai terdengar suara Shanka dari ambang pintu.“Bunda, Shanka boleh main bola enggak?”Aneska menoleh dan mengangguk sekilas sambil
“Kamu kenapa, Mas?” tanya Aneska dengan nada panik melihat Elvano makin meringis kesakitan.Wanita itu segera menyuruh sang sopir untuk berbelok arah menuju rumah alih-alih meneruskan lajunya sampai ke kantor. Sepanjang perjalanan, Aneska melihat wajah suaminya memucat dengan keringat dingin sebesar biji jagung memenuhi dahinya. Tangan pria itu sibuk memegangi kepala yang berdenyut hebat. Sementara, Aneska makin diperam kelesah sambil sesekali menatap jalanan.Setibanya di rumah, Aneska mendorong kursi roda sang suami hingga sampai di kamar. Lalu, membantunya berbaring di ranjang sebelum beranjak ke dapur untuk mengambil air minum.“Minum obatnya dulu, Mas.” Aneska berkata sambil menyerahkan obat pereda nyeri yang diberikan bersamaan dengan kepulangan Elvano dari rumah sakit.Elvano langsung meneggak obat bersama air minumnya, kemudian memejamkan mata sejenak untuk meredam nyeri yang terasa menyiksa. Melihat itu, Aneska langsung mengambil tisu dan mengelap keringat yang membasahi
Aneska tergagap dan langsung mendorong dada suaminya saat mendengar suara teriakan Shanka. Lalu, menoleh dan mendapati raut penuh kemarahan terpancar dari wajah sang anak. Sementara itu, Elvano terkekeh dan memanggil Shank dengan melambaikan tangannya.“Ke sini, Jagoan!” titahnya yang langsung dituruti sang anak. “Memang apa salahnya Ayah sama Bunda menunjukkan kasih sayang dengan berciuman, hem? Itu salah satu cara untuk mempererat hubungan kami.”“Benarkah?”“Tentu saja. Apakah perlu Ayah tunjukkan juga dengan menciummu?” tanya Elvano yang langsung menyematkan kecupan di pipi sang anak.Shanka terkekeh geli karena cambang halus yang menumbuhi dagu sang ayah menyentuh permukaan kulitnya. Sayangnya, Elvano tak menggubris dan makin sering menciumnya.“Geli, Ayah. Sudah cukup! Geli!” seru Shanka sambil mendorong dagu sang ayah agar menjauh. “Bersihkan dulu itu baru nanti Shanka cium balik.”Elvano tergelak sebelum melepaskan sang anak. “Mandilah! Nanti kita ketemu di meja makan un
Usai Elvano terjaga dari tidur panjangnya selama sebulan, terapi untuk kesembuhannya mulai dijadwalkan. Kaki yang kaku karena terlalu lama berbaring, mulai menjalani pemijatan sebelum belajar untuk berjalan.Melihat semangat kesembuhan yang terpancar dari wajah sang suami, Aneska selalu mendampinginya. Wanita itu ikut menyunggingkan senyum dan menyemangati Elvano. Tak ada yang berubah dari diri pria itu, kecuali ingatan tentang kejadian saat pembebasan sang anak. Trauma yang mendalam akibat luka yang ditorehkan Arman, membuat Elvano kehilangan memori hanya saat kejadian penganiayaan itu.Aneska bersyukur karena kejadian buruk itu yang menghilang dari ingatan seorang Elvano. Dia sendiri pun tak ingin sang suami merasa sangat bersalah karena melihat Shanka ikut merasakan sakitnya terluka. Wanita yang tengah hamil itu selalu mengalihkan perhatian setiap kali Elvano bertanya apa yang menyebabkannya terbaring lemah di rumah sakit. Hanya kecelakaan tunggal yang dia jadikan alasan sakitnya
Aneska langsung mendekat dan mengguncang tubuh Gavin. Namun, pria itu bergeming sejenak sebelum menghela napas panjang dan menatap lekat wanita di depannya.“Mas Elvan masih belum sadarkan diri, Nes. Tadi, dia sempat gagal napas. Untung saja, dia masih bisa kembali.”Aneska langsung membekap mulut dan meluruh ke lantai sambil terseduh. Hatinya berdentam lara karena bayangan buruk yang sempat melintas di kepalanya. Beruntungnya Tuhan masih berbaik hati memberikan kehidupan kepada sang suami.Gavin mendekat dan langsung membantu Aneska untuk berdiri, lantas memeluknya erat. “Sudah, Nes. Aku yakin sebentar lagi Mas Elvan pasti bangun dari tidurnya. Kamu jangan putus berdoa, ya?”Gavin melerai pelukan dan menatap lekat wajah wanita di depannya. Lalu, menuntun Aneska untuk duduk di bangku dan mengusap bahunya. Dia lakukan hal itu semata-mata hanya untuk menenangkan tanpa ada maksud lainnya. Melihat wanita di sampingnya sudah lebih tenang, Gavin bangkit dari duduk.“Pulanglah, Nes. Bia