“Bawa aku pergi dari sini, Mas. Aku mohon.”Meskipun lirih, Gavin masih bisa mendengar suara lemah Aneska. Dia bergeming sejenak sebelum terkejut melihat gadis yang ada dalam pelukannya tenggelam dalam kegelapan. Dengan perlahan, dokter pria itu membaringkan Aneska dan menyelimutinya. Dia tatap lekat wajah pucat gadis itu sebelum mengusap rambutnya.“Aku janji akan membawamu pergi dari sini, Nes. Ke mana pun kamu mau, aku akan mengantarmu.”Tepat saat itulah ponsel Gavin berdering nyaring. Melihat nama Viona yang terpampang di layar, dia menghela napas panjang sebelum menjawab panggilan.“Iya, Oma.”“Kamu enggak pulang lagi, Vin? Sudah tiga hari kamu nginep di rumah sakit, kamu baik-baik saja, kan?”“Gavin baik-baik saja, Oma. Jadwal makin padat, makanya daripada capek bolak-balik mendingan Gavin nginep di sini saja. Jangan bilang Oma kangen, ya?”Terdengar suara Viona terkekeh di seberang telepon. “Iya, Oma kangen sama kamu. Rasanya ada yang kurang kalau kamu enggak ada di rum
Elvano berdecih lirih sambil mengayun langkah mendekati orang yang sejak tadi menunggunya. Dia menghela napas panjang ketika sudah berdiri di depannya.“Kamu kenapa ke sini, Zaya? Bukankah ini sudah terlalu malam?”“Aku tahu, Mas. aku kangen sama kamu.” Mazaya mendekat dan langsung memeluk erat Elvano.Elvano bergeming. Jika biasanya pesona Mazaya begitu memabukkan, tetapi tidak kali itu. pria itu perlahan melerai pelukan dan menjauhkan tubuhnya dari wanita di depannya. Saat Mazaya akan mendekat, telapak tangan kanannya teracung.“Pulanglah, Zaya. Aku sangat lelah hari ini.”“Tapi, Mas. Aku kangen banget sama kamu. Sebentar saja aku di sini, ya?”“Enggak! Pulanglah sebelum aku memanggil satpam untuk menyeretmu keluar!”Mazaya mengentakkan kaki ke lantai sambil bersedekap. Dia mengerucutkan bibir sambil membuang pandangan. Namun, melihat sikap Elvano yang tetap dingin, Mazaya makin kesal.“Kamu kenapa, sih, Mas? Biasanya kamu senang kalau ketemu aku. Kenapa sekarang beda? Apa s
Gavin menyeringai mendengar permintaan Elvano. Dia menggeleng lemah dan bangkit dari ranjang, lantas berjalan ke sisi jendela dan menatap taman di mana terdapat air terjun buatan. Dokter pria itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum berbalik dan menatap Elvano yang masih bergeming.“Buat apa, Mas? Buat menyakitinya lagi, iya!”“Bukan, Vin. Aku mau minta maaf karena sudah memperlakukannya dengan buruk. Aku sungguh menyesal, Vin.”“Sayangnya hal itu tidak akan pernah terjadi, Mas.”“Apa maksudmu, Vin?”“Anes baru saja pergi meninggalkan rumah sakit tanpa sepengetahuanku. Dan entah di mana dia sekarang.”Gavin kembali menatap jendela, sedangkan Elvano meraup wajahnya kasar dan mengembuskan napas berat. Pria itu menunduk dengan selaksa penyesalan yang menembus jantungnya. Sesak kembali membebat rongga dadanya. Bahunya berguncang karena tak sanggup lagi menahan sebah dalam dada. Setetes air matanya luruh membasahi selimut yang dipakainya.“Ini semua salahku, Vi
Aneska sudah mematut diri di depan cermin di pagi buta dalam indekos Mala. Tampak jelas kedua mata yang bengkak karena terlalu banyak menangis. Pipinya sedikit tirus karena nafsu makannya berkurang jauh kala teringat peristiwa memilukan itu. Gadis itu kembali menunduk dengan air mata yang sudah luruh membasahi pipi.“Nes,” panggil Mala dari arah dapur. “Sarapan dulu, ya? Sebelum aku anterin kamu ke terminal.”Aneska bergegas menghapus air matanya sebelum menoleh dan tersenyum tipis. Lalu, mendekat ke arah ranjang dan duduk bersila menyambut dua piring nasi goreng yang diberikan Mala. Nasi goreng itu tampak masih mengepulkan asap.“Makan dulu, Nes. Buat asupan tenaga sebelum menempuh perjalanan jauh.”“Makasih, ya, La. Entah apa jadinya aku kalau enggak ada kamu.”“Jangan ngomong begitu, Nes. Kita, kan, sahabat selamanya. Kalau kamu bahagia, aku juga bahagia. Begitu juga sebaliknya. Jadi jangan sungkan, ya?”Aneska mengangguk sambil menyunggingkan senyum tipis. Lalu, perlahan men
Elvano menelan ludah dengan susah payah setelah mendengar ucapan Viona. Dia melirik Gavin, tetapi hanya cebikan yang didapat. Dokter pria itu bahkan mengedikkan bahu sebelum mendekati Viona dan berdiri di sampingnya.“Gavin tinggal visite sama buka praktik dulu, ya, Oma. Nanti siang Gavin balik lagi ke sini. Mungkin ada yang mau disampaikan Mas Elvan ke Oma berdua saja.”Elvano melotot mendengar ucapan adiknya. Andai saja tidak sedang sakit dan terbaring lemah di brankar, ingin rasanya menghajar dokter pria itu karena telah membuatnya terjebak dalam situasi tak mengenakkan.Melihat wajah pucat Elvano, dokter pria itu terkekeh sebelum mengecup pipi Viona dan berlalu meninggalkan ruangan. Sepeninggal Gavin, Viona mengempaskan tubuh di kursi yang berada di samping brankar dan menatap lekat cucunya.“Jadi di mana Anes, Elvan?”Elvano menghela napas panjang, memejamkan mata sejenak karena sebah dalam dada, lalu menatap sang nenek yang masih setia menunggu jawabannya. Seberapa lama men
“Mala? Baru juga aku mau ngasih kabar, kamu sudah duluan nelepon.”Terdengar Mala terkekeh di ujung telepon. “Kita, kan, sehati, Nes. Apa yang kamu rasain, pasti aku rasain juga. Jadi, sudah sampai ceritanya?”“Iya, barusan banget masuk kamar kos di deket toko kue Mbak Maisa.”“Syukurlah, Nes. Semoga kamu betah di sana, ya? Kalau nanti aku libur semesteran, diusahain main ke sana.”“Ditunggu, La. Bagaimana magangnya hari ini? Kuliahmu lancar, kan? Ehm, sudah ada kabar pembeli rumahku belum, ya, La?”“Sabar, Nes. Aku jawab yang mana dulu ini, hem?”Aneska terkekeh mendengar ucapan Mala. Lalu, bungkam sesaat dan mendengarkan jawaban Mala dari ujung telepon.“Magangnya lancar begitu juga sama kuliahnya. Untuk soal rumah, aku baru memasukkannya ke marketplace kemarin, Nes. Rencananya aku juga mau minta tolong teman buat masarin biar lebih banyak yang lihat dan baca.”“Makasih banyak, ya, La. Maaf aku cuma bisa ngerepotin kamu saja.”“Jangan begitu, Nes. Aku enggak ngerasa direpot
Elvano membuka mata perlahan dan beringsut duduk. Namun, nyeri di bagian belakang kepala membuatnya mengerang kesakitan. Dia mengusap bagian yang sakit sambil menunduk dan memejamkan mata.“Apes, Van. Mereka kabur dan aku enggak berhasil mengejarnya.”Elvano mendongak dan menyipitkan mata merasakan nyeri yang masih terasa. Pria itu berdecih lirih saat melihat Zayn datang dan langsung berjongkok di hadapannya.“Kamu enggak apa-apa, kan? Perlu aku antar ke dokter?”Elvano menggeleng dan mencoba bangkit sebelum mengempaskan tubuhnya ke kursi bulat yang ada di ruangan itu. Pria dengan manik mata biru itu masih mencoba menetralisir sakit yang terasa mencengkeram erat.“Tunggu sebentar.”Elvano melirik Zayn yang beranjak ke lemari pendingin dan mengeluarkan sebotol minuman kaleng sebelum menempelkan pada tengkuknya.“Aaargh, sakit, Zayn!”Zayn tergelak sebelum ikut mengempaskan tubuh di kursi samping Elvano. Pria dengan potongan rambut cepak itu mengedarkan pandangan dan tertuju kep
Aneska mengelap mulut setelah memuntahkan sarapan yang menyentuh lambungnya tadi pagi. Dia bersandar kepada dinding kamar mandi dengan wajah memucat sebelum mengusap perut yang terasa mual. Sedetik kemudian, dia kembali memuntahkan isi perutnya.“Nes, kamu kenapa? Kamu enggak apa-apa, kan?” tanya Maisa dengan nada khawatir sambil mengetuk pintu kamar mandi.Aneska kembali mengelap mulut sebelum membuka pintu dan mengulas senyum. “Aku enggak apa-apa, kok, Mbak. Aku cuma mual karena nyium bau roti yang baru matang.”“Beneran enggak apa-apa, Nes. Muka kamu pucat banget, lho. Kalau sakit, mendingan pulang saja sekarang.”“Aku enggak apa-apa, kok, Mbak.”“Oke, tapi kalau kamu merasa enggak enak badan, kasih tahu, ya?”Aneska mengangguk dan kembali mengulas senyum, kemudian keluar kamar mandi dan membawa nampan berisi roti baru matang ke depan dan menatanya di etalase. Sekuat tenaga dia menahan mual yang terasa mengaduk-aduk perutnya. Berulang kali dia menutup mulut hingga keringat di
Kehidupan pernikahan Aneska dan Elvano makin penuh kehangatan usai semua halangan yang sempat menghadang menghilang. Tinggallah kebahagian yang tengah melingkupi. Shanka makin aktif dan pintar di sekolah, janin kembar yang ada dalam kandungan Aneska juga berkembang dengan baik dan sehat. Dua hal itu yang membuat Elvano makin menyayangi anak dan istrinya.Usai sembuh dari sakitnya dan pulih, Elvano kembali menyambangi perusahaan The Golden Grup dan mengawasi anak buahnya. Dia juga melebarkan usaha di beberapa bidang untuk menambah pundi-pundi rekeningnya.Hubungannya dengan berbagai relasi bisnis berjalan dengan baik, sehingga bisnis yang dijalankan Elvano mengalami kemajuan dengan pesat. Namun, dia tidak mau silau dengan semua kekayaan yang didapat. Pria itu selalu menyisihkan beberapa persen dari penghasilannya untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Semua itu tak luput dari perhatian Aneska yang selalu mengingatkannya.“Aku sudah engagk punya orang tua lagi, Mas. Aku merasakan b
Shanka kembali muntah dan membasahi ranjang. Dia menangis karena kerongkongannya sakit. Sambil menahan lemas di tubuh, dia menatap orang tuanya.“Enggak apa-apa, Sayang. Kita ke kamar mandi buat basuh tubuh kamu, ya? Biar Bunda yang bersihin ranjangnya.”Elvano memapah sang anak menuju kamar mandi untuk membilas tubuh dan menggantinya dengan baju yang bersih. Sementara, Aneska mengganti seprai dan segera membersihkannya. Lalu, membawa semua baju kotor itu ke tempat cuci sebelum kembali untuk melihat Shanka yang terbaring lemas di kamarnya.“Shanka bagaimana, Mas?”“Aku sudah memberi minyak angin dan mengurut punggungnya. Sepertinya sudah agak tenang. Mudah-mudahan dia bisa tidur setelah ini.”“Syukurlah kalau begitu.”Bertepatan dengan itu, terdengar suara pintu diketuk. Aneska menoleh dan mendapati Bi Minah sudah berdiri di ambang pintu. Wanita itu mendekat dan tersenyum.“Ada apa, Bi?”“Di bawah ada orang yang mau terapi Tuan, Nyonya.”“Makasih, ya, Bi. Tolong buatkan minum
Mendung menggelayut manja di langit pagi itu. Udara dingin perlahan membekap dan menyeruak di antara para pelayat yang datang ke area pemakaman. Tak ada air mata yang tampak mengiringi kepergian seorang wanita berparas cantik itu. perlahan, rintik turun membasahi bumi, mengisyaratkan bagaimana kewsedihan tengah menyelimuti orang-orang yang menghadiri pemakamannya.Aneska menggamit erat lengan Elvano yang berdiri sambil berpegangan pada kruk. Kacamata htam yang bertengger di hidungnya, mengaburkan gurat kesedihan yang membayangi selama prosesi pemakaman berlangsung. Sementara, di sebelahnya pria dengan manik mata biru itu menatap lurus gundukan tanah merah yang basah di depannya. Di balik kacamata hitam yang dikenakannya, tampak gurat kekecewaan yang kentara.Bersama pelayat yang pergi meninggalkan area pemakaman, Elvano berjalan tertatih menuju mobil bersama Aneska. Tak ada satu pun kata yang terucap dari mulut keduanya hingga sampai di dalam kendaraan.Aneska menggenggam erat jema
Aneska segera beranjak ke dapur dan kembali sambil membawa segelas air sebelum mengangsurkannya kepada Elvano.“Minum dulu, Mas. Tenangin diri kamu sebelum cerita apa yang sudah terjadi.”Elvano mengambil gelas dari tangan sang sitri sebelum meneguknya hingga tandas. Dia mengatur napas sejenak sebelum menatap lekat Aneska yang tampak cemas di sampingnya.“Aku tadi bermimpi, Sayang. Aku bermimpi kembali ke masa penyekapan Shanka di rumah orang tua Zaya. Aku melihat bagaimana mereka membuat anak kita ketakutan, Sayang.”Elvano menjeda ucapan karena perih kembali membayangkan apa yang sudah dilalui Shanka selama beberapa jam bersama Mazaya dan Arman. Dia menatap sang anak yang masih pulas tertidur di dekatnya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala bocah itu. tepat saat itulah Shanka terjaga dan langsung mengerjap pelan.“Ayah kenapa?” tanya Shanka sambil mengucek mata dan beringsut duduk.“Ayah mimpi buruk tadi, Sayang. Maafkan Ayah, ya?” Elvano kembali mengusap kepala Shanka seb
“Memicu apa, Sayang? Aku enggak paham apa yang kamu bicarakan?”Aneska tersenyum tipis menanggapi pertanyaan suaminya. Dia memilih tak memperpanjang lagi pertanyaan untuk mencecar sebuah kejujuran. Wanita itu tak ingin sang suami merasa tertekan dan berujung kepada sakit kepala yang akhirnya menyiksa.“Enggak usah dipikirin lagi soal itu, Mas. Sekarang kita ke belakang, yuk!”Aneska mendorong kursi roda Elvano menuju halaman belakang, kemudian mengajaknya duduk di ayunan yang terletak di dekat kolam renang.“Kamu ingat saat kita di sini bertiga, Mas? kamu sama Shanka renang berdua dan aku duduk di sini sambil baca buku.”“Hem. Ingin rasanya menarikmu untuk ikut berenang. Sayangnya, tak pernah bisa.”Elvano terkekeh, pun dengan Aneska. Lalu, keduanya saling menautkan jemari sambil menerawang jauh. Hening meningkahi keduanya hingga beberapa jenak sampai terdengar suara Shanka dari ambang pintu.“Bunda, Shanka boleh main bola enggak?”Aneska menoleh dan mengangguk sekilas sambil
“Kamu kenapa, Mas?” tanya Aneska dengan nada panik melihat Elvano makin meringis kesakitan.Wanita itu segera menyuruh sang sopir untuk berbelok arah menuju rumah alih-alih meneruskan lajunya sampai ke kantor. Sepanjang perjalanan, Aneska melihat wajah suaminya memucat dengan keringat dingin sebesar biji jagung memenuhi dahinya. Tangan pria itu sibuk memegangi kepala yang berdenyut hebat. Sementara, Aneska makin diperam kelesah sambil sesekali menatap jalanan.Setibanya di rumah, Aneska mendorong kursi roda sang suami hingga sampai di kamar. Lalu, membantunya berbaring di ranjang sebelum beranjak ke dapur untuk mengambil air minum.“Minum obatnya dulu, Mas.” Aneska berkata sambil menyerahkan obat pereda nyeri yang diberikan bersamaan dengan kepulangan Elvano dari rumah sakit.Elvano langsung meneggak obat bersama air minumnya, kemudian memejamkan mata sejenak untuk meredam nyeri yang terasa menyiksa. Melihat itu, Aneska langsung mengambil tisu dan mengelap keringat yang membasahi
Aneska tergagap dan langsung mendorong dada suaminya saat mendengar suara teriakan Shanka. Lalu, menoleh dan mendapati raut penuh kemarahan terpancar dari wajah sang anak. Sementara itu, Elvano terkekeh dan memanggil Shank dengan melambaikan tangannya.“Ke sini, Jagoan!” titahnya yang langsung dituruti sang anak. “Memang apa salahnya Ayah sama Bunda menunjukkan kasih sayang dengan berciuman, hem? Itu salah satu cara untuk mempererat hubungan kami.”“Benarkah?”“Tentu saja. Apakah perlu Ayah tunjukkan juga dengan menciummu?” tanya Elvano yang langsung menyematkan kecupan di pipi sang anak.Shanka terkekeh geli karena cambang halus yang menumbuhi dagu sang ayah menyentuh permukaan kulitnya. Sayangnya, Elvano tak menggubris dan makin sering menciumnya.“Geli, Ayah. Sudah cukup! Geli!” seru Shanka sambil mendorong dagu sang ayah agar menjauh. “Bersihkan dulu itu baru nanti Shanka cium balik.”Elvano tergelak sebelum melepaskan sang anak. “Mandilah! Nanti kita ketemu di meja makan un
Usai Elvano terjaga dari tidur panjangnya selama sebulan, terapi untuk kesembuhannya mulai dijadwalkan. Kaki yang kaku karena terlalu lama berbaring, mulai menjalani pemijatan sebelum belajar untuk berjalan.Melihat semangat kesembuhan yang terpancar dari wajah sang suami, Aneska selalu mendampinginya. Wanita itu ikut menyunggingkan senyum dan menyemangati Elvano. Tak ada yang berubah dari diri pria itu, kecuali ingatan tentang kejadian saat pembebasan sang anak. Trauma yang mendalam akibat luka yang ditorehkan Arman, membuat Elvano kehilangan memori hanya saat kejadian penganiayaan itu.Aneska bersyukur karena kejadian buruk itu yang menghilang dari ingatan seorang Elvano. Dia sendiri pun tak ingin sang suami merasa sangat bersalah karena melihat Shanka ikut merasakan sakitnya terluka. Wanita yang tengah hamil itu selalu mengalihkan perhatian setiap kali Elvano bertanya apa yang menyebabkannya terbaring lemah di rumah sakit. Hanya kecelakaan tunggal yang dia jadikan alasan sakitnya
Aneska langsung mendekat dan mengguncang tubuh Gavin. Namun, pria itu bergeming sejenak sebelum menghela napas panjang dan menatap lekat wanita di depannya.“Mas Elvan masih belum sadarkan diri, Nes. Tadi, dia sempat gagal napas. Untung saja, dia masih bisa kembali.”Aneska langsung membekap mulut dan meluruh ke lantai sambil terseduh. Hatinya berdentam lara karena bayangan buruk yang sempat melintas di kepalanya. Beruntungnya Tuhan masih berbaik hati memberikan kehidupan kepada sang suami.Gavin mendekat dan langsung membantu Aneska untuk berdiri, lantas memeluknya erat. “Sudah, Nes. Aku yakin sebentar lagi Mas Elvan pasti bangun dari tidurnya. Kamu jangan putus berdoa, ya?”Gavin melerai pelukan dan menatap lekat wajah wanita di depannya. Lalu, menuntun Aneska untuk duduk di bangku dan mengusap bahunya. Dia lakukan hal itu semata-mata hanya untuk menenangkan tanpa ada maksud lainnya. Melihat wanita di sampingnya sudah lebih tenang, Gavin bangkit dari duduk.“Pulanglah, Nes. Bia