Tidak mau terus diikuti. Nara pun langsung mengatakan hal tegas. "Kamu tidak perlu mengikuti saya! Sekarang kamu kembali ke tempat semula!" perintahnya.Tetapi, bodyguard itu tidak tunduk dengan perintah Nara. Ia hanya menuruti apa yang telah diperintahkan oleh Rico, yang merupakan ajudan pribadi Ardhan."Tidak bisa, Nyonya muda. Saya akan mengikuti Anda sampai Anda masuk ke dalam rumah."Ketika itu Ardhan pun tidak langsung pergi. Dari luar gerbang rumah, ia terus memantau Nara dari jarak jauh."Sudah kuduga, dia pasti menolak diperlakukan begitu."Ardhan paham dengan sikap Nara. Ia sudah mengenal Nara yang cukup keras kepala. Jika dibandingkan dengan dirinya, ia jauh lebih keras kepala. Tetapi, ia tidak mempermasalahkan keras kepalanya Nara. Sebab, ia pun merasa bahwa dirinya memang keras kepala melebihi istrinya sendiri.Nara menoleh ke arah belakang. "Apa jangan-jangan di sana Mas Ardhan belum pergi?" gumam Nara sembari menoleh ke arah belakang karena perasaannya mengatakan demiki
BRAAKK! Pintu terbuka dengan kerasnya.Suara langkah kaki yang tidak lagi ramah memasuki ruangan. "Buka semua penyamarannya!" perintah Ardhan kepada bodyguardnya. Rico yang mendapat tugas jaga pun berdiri di sana dan siap menerima perintah apapun dari majikannya tersebut. Tetapi, karena kedua bodyguard itu lebih dahulu melakukan tugasnya, sehingga Rico hanya menunggu untuk mendapat tugas selanjutnya."Tuan, apa yang perlu dilakukan lagi?" tanya Rico.Setelah kedua bodyguard membuka masker, rambut palsu dan dan topinya. Ardhan langsung berjalan ke arah pria itu dan mengitarinya. Yang mana ternyata pelakunya adalah Reyhan, sepupunya sendiri."Saya tidak tahu tujuan yang sebenarnya kamu apa. Entah menginginkan uang itu atau dengan Nara sekaligus. Tapi, sekarang kamu tidak bisa menutupi topengmu lagi. Kebohongannya selama ini sudah terungkap, kebusukan dibalik senyum palsu itu sudah terlihat!"Ardhan membungkukkan tubuhnya, ia menatap tajam wajah Reyhan dengan amarah yang menggunung. "
"Kamu tidak boleh bersama dengan pria lain, kecuali kalau di sana ada saya."Sembari menyimak, Nara juga membayangkan isi dari perjanjian pernikahan mereka sebelumnya."Lalu?""Itu artinya kamu tidak boleh bersama siapapun.""Tapi waktu itu Mas tidak melarang saya untuk bersama dengan sepupumu? Bukankah dia sama juga seorang pria?"Nara masih penasaran dengan segala yang terjadi. Tetapi, Ardhan pun tidak merasa lelah untuk menjelaskan. Baginya, semuanya memang harus jelas dan dapat dipahami oleh Nara."Itu karena ada sesuatu yang perlu saya ketahui. Dan kini kecurigaan itu telah terbukti. Besok saya akan mengajak kamu ke suatu tempat!" jelasnya.Nara terdiam, ia masih tidak paham dengan ucapan suaminya itu. "Kecurigaan yang seperti apa?"Ardhan melihat ke arah leher Nara yang terluka. Tetapi, saat itu Nara malah berpikir jorok. Ia berpikir jika Ardhan akan mencium lehernya. Seperti yang pernah dilakukan sebelumnya. "Kamu mau apa, Mas?" Ardhan mendekatkan wajahnya, tetapi matanya te
"Bi Minah, kemarilah!" pinta Ardhan.Suminah melangkah memasuki kamar itu untuk menghadap Ardhan."Iya, Tuan. Ada yang bisa saya lakukan untuk Anda?""Tolong kamu antarkan Dokter Fiko ke kamar tamu. Biarkan dia istirahat di sana!""Baik~!" sahutnya dengan tubuh agak membungkuk sopan.Suminah pun langsung mengarahkan jalannya kepada Dokter Fiko. "Mari Dokter, biar saya tunjukkan kamarnya!" kata Suminah.Sebelum pergi, Dokter Fiko pun mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Ardhan. "Pak Ardhan, terima kasih karena sudah mengizinkan saya tidur di rumah ini malam ini."Ardhan mengangguk. "Selamat beristirahat, Dok.""Mari~!"Dokter Fiko pun keluar dari kamar Nara, lalu mengikuti ke mana Suminah malam itu pergi. Ia yang tidak tahu letaknya ada di mana hanya bisa mengikuti arahan dari asisten rumah tangga itu.Ketika tinggal hanya mereka berdua, Ardhan kembali mengambil kesempatan itu untuk berbicara dengan Nara yang kini hanya terdiam. Masih merasakan perih pada leher dan pergelangan tanga
Malam telah berganti. Cahaya terang mulai terbit di ufuk timur. Seperti biasa, bangun dari tidurnya Nara langsung bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Tak lupa, ia juga menyiapkan pakaian dan bekal untuk suaminya. Tetapi, karena tangannya masih terasa sakit, sehingga Nara sering berhenti sejenak dan mendiamkan tangannya yang terasa sakit."Aku harus bisa. Aku tidak boleh lemah hanya karena luka kecil seperti ini.""Sudah kuduga dia bangun lebih lagi lagi. Dia memang tidak pernah mengkhawatirkan kesehatannya sendiri," gumam Ardhan. Ia beranjak duduknya mencari ponsel sebentar dan keluar dari kamar itu.Ia menyusul Nara yang kini berada di dapur."Ardhan, kamu belum siap-siap pergi ke kantor?" tanya Kakek Heraldo yang mendongak ke arah tangga -- tepat saat Ardhan menuruninya.Sebelum menjawab, Ardhan menyelesaikan anak tangga yang tersisa. Setelah itu, barulah ia menjawabnya. "Hari ini aku akan pergi ke kantor, tapi tidak akan lama. Karena masih ada urusan yang perlu diselesaikan," ja
Ardhan mengambil satu suap dan mencoba mencicipi masakan Nara. Dan benar saja, ia dibuat terus ingin menyantap nasi goreng itu."Bagaimana, Mas?" tanya Nara sembari melihat ke arah Ardhan yang fokus mengunyah, menikmati makanan yang ada di hadapannya tersebut."Enak. Sini saya suapi kamu!" sahut Ardhan sembari mengambil sesendok nasi goreng dan mengarahkannya pada mulut Nara.Nara pun menerimanya. Bagi Nara, tidak ada yang paling spesial. Rasanya masih sama, sebab ia sering membuatnya ketika sebelum menikah dengan Ardhan.Hanya sekarang-sekarang saja ia kembali menggunakan skill memasaknya lagi."Oh iya, Kakek penasaran ... Mama kamu kenapa tidak pulang ke sini? Ke mana perginya dia?" tanya Kakek Heraldo, penasaran.Akhir-akhir ini memang tidak terlihat di rumah itu karena memang Ardhan telah memindahkannya ke sebuah hotel miliknya. Sarah tinggal di penthouse milik Ardhan dengan fasilitas yang cukup memadai."Aku sudah memindahkannya, Kek.""Di mana? Kakek tidak mau kalau dia sampai m
"Ikut saja dulu!" Ardhan menarik pergelangan tangan Nara keluar dari kamar itu. Mereka menuruni tangga dengan cukup cepat. Tetapi, karena terburu-buru, Ardhan sampai lupa kalau tangan Nara sedang terluka."Mas, tolong jangan tarik tangan saya!" pinta Nara sembari meringis kesakitan.Ardhan pun melepaskan pergelangan tangan istrinya itu. Ia memilih berjalan cepat tanpa menyentuh istrinya."Kalau begitu, ayo kita harus segera ke sana!" Ardhan sudah tidak sabar dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebab, ia memang telah merencanakan sesuatu. Ia pun ingin melihat bagaimana Reyhan sekarang. "Mas, kamu tidak khawatir dia bakal kabur?""Dia sudah dijaga. Jadi, sangat tidak mungkin kalau kabur." Ardhan meyakini hal itu. Ia meyakini anak buahnya yang pasti akan melakukan pekerjaannya dengan sebaik mungkin tanpa mengecewakan dirinya."Mas, setelah ke tempat itu, kita akan pergi ke kantor atau bagaimana?" Kala itu, penampilan Ardhan masih tampak sangat biasa. Bahkan, ia belum mandi karen
"Sebenarnya Mas Ardhan ini mau membawa aku ke mana? Kenapa membawaku ke tempat semacam ini? Apa dia menyekap penculiknya di sini?" duga Nara dalam batinnya dengan mata terus melihat ke sekeliling bangunan yang tampak sudah tua itu.Ardhan menoleh ke arah Nara. "Ayo, Ra, kita masuk ke dalam!" ajaknya. Ia hendak memegang pergelangan tangan Nara yang satunya lagi.Nara pun mengikuti langkah kaki Ardhan. "Mas, kamu ajak saya ke sini buat apa?""Untuk memperlihatkan sesuatu sama kamu, Ra," jawabnya singkat.Perlahan, Ardhan membuka pintu itu. Ia memasuki bagian dari ruangan itu yang memang hanya ada satu ruangan saja di sana."Mas, memangnya ini gudang milik siapa? Kenapa tampaknya sudah sangat tua sekali?" tanya Nara. Pandangannya masih mengarah pada seisi ruangan yang mana cat dinding dari gudang itu memang tampak menggelembung dan di antaranya ada juga yang sudah mengelupas."Fokus pada langkah kakimu. Hati-hati nanti tersandung!" Ardhan memberi peringatan itu ketika melihat Nara yang h
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-