"Tunggu sebentar, zoom bagian itu!" pinta Rico kepada penjaga cctv yang ada di tempat karaoke tersebut.Namun, penjaga itu tidak memperbesar pada bagian yang diinginkan. Akhirnya, Rico sendirilah yang memilih untuk memperbesar pada sebuah vidio yang diinginkannya itu.Setelah berhasil mematikan bahwa itu rekaman Nara sewaktu di tempat karaoke dan diberi obat sampai dibawa ke tempat tidur, ia pun segera melakukan pergerakan cepat untuk memutuskan sesuatu."Saya mau vidio itu! Bisa kirim sama saya sekarang!" pintanya.Awalnya, penjaga itu merasa tahu, tetapi setelah ingat bahwa uang itu telah berada di tangannya. Ia pun ...."Baiklah. Tapi jangan katakan kepada siapapun mengenai ini!" bisiknya."Mengapa?""Karena saya tidak mau dipecat gara-gara membocorkan sesuatu yang ada di sini."Tempat karaoke itu memang melarang membocorkan pelanggan yang karaoke di sana. Namun, karena uang sogokan sudah ada di tangannya, penjaga itu tidak punya alasan menolak permintaan Rico.Rico tidak menyahut.
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-