Waktu terus berlalu. Malam penuh gairah pun telah berakhir. Tetapi, Ardhan yang mengingat masa lalu buruk itu nyaris saja pulang dan meninggalkan Nara. Untungnya, ia ingat bahwa Nara masih berada di hotel sendirian.Pada saat perjalanan menuju kamar hotel, suara ponsel berdering. Ardhan menghentikan langkah kakinya dan memilih untuk menjawab telepon dari Kakek Heraldo."Halo, Kek. Ada apa?" tanya Ardhan.Kantung matanya menghitam dengan rasa lelah luar biasa yang kembali terasa pada tubuh Ardhan. Walaupun sudah terbiasa bergadang, tetapi lelahnya kali ini sungguh berbeda."Bagaimana malam tadi? Apakah cukup menyenangkan?" tanya Kakek Heraldo. "Kakek yakin, dia itu masih perawan. Masih rapat dan kamu pasti senang karena yang pertama kali membuka segelnya," tambahnya. Kali ini, nadanya terdengar berbisik.Ardhan hanya menyeringai. "Walaupun perawan, tapi aku tidak merasakan senang. Masa lalu itu malah menggentayangiku. Membuatku takut jatuh cinta kembali dan takut mendapat pengkhianata
Nara melangkah memasuki kamar. Ia melewati Ardhan begitu saja tanpa berkata apapun. "Siapa yang menelepon pagi-pagi begini sampai sembunyi begitu?" tanya Ardhan dengan nada menyindir.Namun, saat itu Nara tidak menyahut. Ia tidak mau melakukan perdebatan yang tidak penting dengan Ardhan. Melihat Ardhan yang tampak sedang dalam suasana hati yang buruk, membuatnya berusaha untuk menghindari pertengkaran di antara mereka."Sebaiknya aku pesan makanan saja."Lewat sebuah telepon yang ada di kamar hotel itu, Nara mencoba memesan makanan untuk sarapan paginya. "Aku sudah merasa lapar," gumamnya.Sembari menunggu, Nara duduk sembari melihat matahari terbit dari arah timur. Merasakan hangatnya pagi dengan udara yang masih segar.Hingga, Nara seketika beranjak dari duduknya dengan mata membelalak. Ia kaget karena baru mengingat sesuatu."Harusnya aku bersiap-siap," ucap Nara. "Kami 'kan akan pergi ke pantai kuta," tambahnya.Nara pun memasuki kamar mandi tersebut. Ardhan yang melihat Nara tamp
Nara yang mendengar bahwa Ardhan terus menolak setiap kali ia ajak sarapan membuatnya memilih untuk tak menanyakan hal yang sama lagi. Ia cukup duduk, diam, sembari menikmati makanan yang begitu menggoyang lidah tersebut.Sesekali Ardhan melirik ke arah makanan itu, tetapi kemudian ia berjalan pergi untuk mengenakan pakaian pantainya. 10 menit lengang ....Ardhan sudah kembali dengan penampilan yang kece. Ia mengenakan baju pendek bermotif dengan celana jeans pendek di bawah paha. "Saya sudah siap, ayo kita berangkat sekarang saja!" ajak Ardhan tanpa mau tahu apa yang sedang Nara inginkan.Ardhan bersikap seolah tidak peduli kepada Nara yang belum selesai menyantap semua sarapan paginya.Nara mengambil air minum dan meneguknya perlahan. Ia mendongak ke arah suaminya yang tengah berdiri di hadapannya tersebut dengan mengenakan kacamata hitam."Saya masih makan, Mas. Bisa tunggu sebentar lagi saja, tidak?" "Nanti saja makan lagi. Kita harus pergi sekarang sebelum sore."Padahal, walau
Mereka keluar dari lift, melewati lobi hotel lalu menuju tempat parkir untuk menuju sebuah mobil yang sempat Ardhan sewa pada kemarinnya. Di dalam mobil itu, sesekali Nara melirik ke arah Ardhan. Ia melihat suaminya yang selalu bersikap aneh. Walaupun apa yang ada di pikiran Ardhan bukan urusannya. Tetapi, di samping itu ia tidak mau jika rencananya sampai gagal karena kecurigaan berlebihan Ardhan."Kita pergi ke minimarket dulu!" ajak Ardhan sembari menyetir mobil di dalam mobil."Iya, Mas," sahut Nara. Jawaban singkat yang keluar dari bibir mungilnya yang berwarna merah terang itu.Setelah pembicaraan singkat itu, suasana kembali sunyi. Hanya ada suara kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Tetapi, jarak dari hotel menuju minimarket memang tidak jauh. Sehingga, membuat keduanya segera sampai di tempat tujuan tersebut. Ardhan menepikan mobil, lalu melangkah keluar bersama Nara. Mereka pun memasuki minimarket tersebut.Ardhan mengambil keranjang belanja berwarna kuning dan berjala
Bruuumm! Mobil itu berhenti seketika. Nara yang merasakannya langsung terkejut penuh tanya. "Ada apa, Mas?" tanya Nara kepada Ardhan.Tetapi, Ardhan tidak menyahut. Ia malah keluar dari dalam mobil. Hingga, lampu merah datang dan membuat Ardhan ingin memastikan bahwa yang dilihatnya adalah sang mantan istri.Namun, saat hendak menghampiri mantan istri. Lampu lalu lintas malah berubah hijau kembali.Tiiin! Tiiin! Suara lakson dari arah belakang terdengar semakin berisik."Yang di depan minggir!" teriak salah seorang pengendara mobil jalanan yang usianya sekitar lima puluh tahunan.Tanpa mempedulikan suara lakson yang berisik itu, Ardhan memasuki mobilnya kembali. Ia tancap gas pergi -- mencoba menyalip beberapa mobil yang ada di depannya tanpa ragu. "Mas hati-hati, nanti bisa kecelakaan!" seru Nara sembari berpegangan pada hand grip. Ardhan terus menaikkan kecepatan kemudinya tanpa memperhatikan keselamatannya sendiri. Saat itu, Nara tidak mengetahui jika yang sedang Ardhan kejar a
"Kita nikmati semua camilannya dulu, foto bersama untuk dikirim ke Kakek ... Setelah itu kita langsung pulang. Bagaimana?" tanya Nara. Ardhan berpikir sejenak. Ia memikirkan apa yang dikatakan oleh Nara. "Baiklah." Setelah hampir tiga menit berpikir, Ardhan pun setuju. Menurutnya, ide Nara kali ini lebih baik daripada sebelumnya."Sekarang saja kita berswafoto!" ajak Ardhan. Ia kembali mengambil ponselnya dari dalam saku celananya dan langsung merangkul Nara agar lebih dekat.Nara tampak gugup, itu terlihat dari bahu serta wajahnya yang tampak menegang. Tentu saja, ini karena Ardhan merangkulnya dari samping begitu saja.Ardhan menoleh ke arah Nara. "Berikan senyuman termanismu, supaya Kakek percaya kalau kita akrab," ujar Ardhan.Ia merasa bingung, senyum dalam keadaan hati yang buruk sungguh menyakitkan. Tetapi, meskipun begitu kesedihan itu tetap harus ia sembunyikan dalam-dalam dari semua orang termasuk Kakek Heraldo."Baiklah, aku harus bisa," batin Nara, menguatkan dirinya sen
Namun, Ardhan seolah tidak mendengar ucapan Nara. Pertanyaan yang terlontar keluar dari mulut Nara seolah senyap di telinga Ardhan. "Mas!" seru Nara sekali lagi.Tetapi, Ardhan masih tidak menyahut. Pria itu terus mengayunkan langkah kakinya pada seorang wanita yang ia pikir adalah wanita yang sama saat ia lihat di jalan.Melihat suaminya yang berjalan ke arah seorang wanita, Nara pun lekas menghentikan langkahnya. "Siapa wanita itu?" gumam Nara.Ardhan terus mendekat, ia menyentuh lengan wanita yang ada di hadapannya. Hal itu membuat wanita tersebut menoleh ke arah Ardhan. Namun, ...."Maaf, siapa ya?" ucap wanita itu begitu melihat sosok Ardhan yang tampak asing baginya.Ardhan yang salah orang pun langsung meminta maaf, karena ia tidak mau disangka pria cabul. "Saya minta maaf, sepertinya saya salah orang," ucap Ardhan dengan kedua tangan menyatu di depan dada.Sebelum Ardhan membalikkan badan, Nara sudah terlebih dahulu pergi. Ia kembali ke sebuah kursi pantai dan menikmati cam
Rivanto yang mendengar Notif langsung kegirangan. Dirinya pun dengan semangat langsung pergi menuju bank untuk mengambil uang tersebut.[Terima kasih, Nara. Papa kira kamu lupa karena dari kemarin belum mentransfer uangnya ke Papa] Satu pesan singkat yang masuk ke ponsel Nara. Nara langsung membacanya, lalu membalas.[Maaf, Pa, Mas Ardhan yang kelupaan. Tapi, Papa senang 'kan karena sudah mendapatkan uangnya?] [Iya, Nak. Papa sangat senang sekali. Lain kali Papa akan memberitahu kamu kalau membutuhkan uang lagi]Di sela-sela waktu senggang itu, Nara pun membalasnya kembali. Ini untuk terakhir kali setelah dirinya mentransfer uang.[Baiklah]"Ayo kita kembali ke hotel sekarang!" ajak Ardhan.Ardhan pergi begitu saja dengan Nara menuju tempat parkir. Setelah keduanya menaiki mobil, Ardhan pun memarkirkan mobil tersebut untuk pulang. Di dalam perjalanan, Nara masih dibuat bingung dengan ucapan Reyhan serta tindakan Ardhan yang tampak berbeda. "Aku harus membuktikan semuanya. Tapi, ..
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-