Lusi memalingkan wajahnya ke samping sembari sesekali melirik ke arah Ardhan. Di samping itu, terlihat dari matanya seolah tengah merencanakan sesuatu terhadap mantan suaminya."Ya sudah, sepertinya kamu memang tidak mau diganggu. Aku pergi saja. Jangan lupa jaga kesehatan, ya~!" ucap Lusi sebelum pergi menjauhi Ardhan.Ardhan terdiam sebentar, ia menoleh -- melihat Lusi yang melangkah pergi secara perlahan.Sembari melangkah, Lusi berharap jika Ardhan tiba-tiba memanggil dirinya."Apa perkataan saya terlalu jahat, kenapa saya jadi kejam begini kepadanya?" batin Ardhan sembari memikirkan ucapannya kepada Lusi. "Kalaupun berteman saja, mungkin tidak ada salahnya.""Tunggu sebentar!" seru Ardhan kepada Lusi.Sontak, Lusi pun langsung tersenyum senang. Tetapi, ia tidak menunjukkan di hadapan Ardhan. Dirinya masih memajang wajah sedih.Ia menoleh ke arah Ardhan. "Ada apa? Aku mau pergi, kamu malah manggil. Apa kamu mau mengataiku?" ujar Lusi.Kesal dengan Nara yang dekat dengan pria lain,
Waktu terus berjalan, cuaca di luar pun sudah tak lagi panas. Senja kuning kemerah-merahan sudah mulai pergi dan tergantikan dengan gelapnya malam."Kabar Kakek bagaimana?" tanya Lusi basa-basi kepada Ardhan.Kala itu, Ardhan sudah bersiap-siap untuk pulang."Kakek, baik," jawabnya singkat. Seolah tidak memberi sedikitpun harapan kepada Lusi untuk berbicara lebih banyak mengenai keluarganya.Lusi terdiam sejenak sembari memikirkan cara agar dirinya lebih dekat dengan Ardhan seperti awal mereka kenal dahulu. Meski sikap Ardhan kembali dingin, Lusi tidak menyerah. Ia terus berusaha untuk merebut perhatian Ardhan kembali."Emm .... Sebenarnya aku kangen banget sama Kakek. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Kalau aku ikut ke rumahmu untuk menemuinya, boleh, 'kan?" tanya Lusi dengan kedua mata terus mengarah pada Ardhan.Ardhan menoleh ke arah Lusi. "Sebaiknya urungkan saja niatmu itu. Kalau mau menemuinya, temui saja sendiri!" jawabnya dengan ketus.Ketika itu, Ardhan sudah mer
Nara yang terus menunggu suaminya di ruang tamu pun kemudian langsung bergegas membuka pintu begitu terdengar suara langkah kaki dari luar.Kriieett! Dan benar saja sesuai instingnya. Ardhan pulang ke rumah, tetapi dalam kondisi yang tampak lelah. Sikapnya masih dingin dan tampak kesal kepada Nara."Mas, ke mana saja kamu seharian ini? Mama tadi datang ke sini, katanya kamu tidak ada di kantor."Ardhan terus berjalan tanpa menyahut. Ia bertingkah seolah tidak mendengar apa yang Nara katakan.Namun, Nara tidak menyerah. Ia terus mengikuti Ardhan untuk melayaninya."Sebaiknya tidak usah aku tanya dia marah atau tidak," batin Nara sembari terus berjalan.Sebetulnya, Nara semakin tidak enak hati ketika melihat Ardhan yang terus mendiamkan dirinya. Ia merasa tidak nyaman, tidak tahu pula apa yang harus ia perbuat untuk meluluhkan hatinya agar tidak marah kembali.Akan tetapi, ia tetap berusaha semampunya untuk membuat suaminya kembali bicara."Mas, kamu pasti lapar .... Saya buatkan makan
"Kalau kamu mau membuat salam perpisahan, lebih baik tidak usah. Saya tidak butuh salam perpisahan itu!" duga Ardhan ketika Nara memberikan perhatian lebih kepadanya.Ardhan takut jika Nara pergi, ia tidak bisa melupakan wanita yang mulai mengambil hatinya itu."Mas, tolong kamu jangan katakan hal itu. Saya tidak mau mendnegarnya!" balas Nara. Sama halnya dengan Ardhan, Nara pun tidak mau kehilangan pria yang Walaupun terkadang sikapnya dingin, tetapi selalu ada ketika dibutuhkan. Menjalani penyelamat kala masalah melanda.Ardhan beranjak dari tempat tidur dan mendekati Nara. "Lalu, apa maksudnya pria yang akan dijodohkan denganmu itu? Apa selama ini kamu tidak pernah mengatakan pada Kakekmu kalau dirimu sudah menikah, begitu?" pungkas Ardhan, geram.Nara meletakkan sepatu itu di samping sebuah meja. Lalu, dirinya pun duduk di samping Ardhan. Ia mencoba untuk menjelaskan semuanya secara perlahan. Karena, kesalahpahaman ini membuatnya seolah harus memikul beban yang begitu berat."Ma
Kala Nara tengah membersihkan kemeja Ardhan yang terkena kotoran jus, Ardhan dengan sigap menghentikan tangan Nara. Pandangannya lurus menatap dalam kedua belah mata istrinya."Mas, kemejanya masih kotor," ucap Nara dengan jantung berdetak kencang. Nara tidak bisa berucap banyak, sebab tatapan kuat itu seolah menusuk ke relung hatinya yang terdalam. Membuat kedua pipi merah merona."Apa kamu mencintai pria itu? .... Dan meninggalkan saya sendirian?" Tatapannya terus pada Nara, ia mengatakannya dengan begitu serius seakan benar-benar dari hatinya yang terdalam."Kenapa kamu menanyakan hal semacam itu?"Ardhan mendekatkan wajahnya, hingga kedua bibir itu nyaris bersentuhan. Nara yang ada di hadapannya sudah memejamkan mata. Tetapi, Ardhan langsung memalingkan wajahnya. Ia menghindari Nara tanpa ada alasan yang jelas."Karena saya tidak mau kamu pergi begitu saja."Nara segera melepaskan dirinya dari genggaman Ardhan. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain."Sudah, Mas. Lebih baik sekaran
"Ya jelas tidak tahu-lah, Mas. Kalau saya tahu dia berbuat begitu, mana mungkin saya datang ke sana. Walaupun waktu itu saya ....""Waktu itu kenapa?" tanya Ardhan dengan antusias."Saya sempat memilih untuk tidak memasuki tempat karaoke itu karena perasaan saya tidak nyaman.""Kamu begitu, lalu kenapa kamu malah masuk?!"Ardhan menepuk jidat tidak percaya dengan apa yang didengarnya ini. Ia sungguh tidak menyangka jika istrinya sepolos itu sampai dengan mudahnya tertipu rayuan orang lain."Saya 'kan sudah bilang kalau rasa tidak enak ini tiba-tiba muncul lagi. Jadi, saya tidak bisa menolaknya," ungkap Nara, jujur kembali dengan alasan yang sama.Ardhan tidak bisa memarahi Nara, karena ia sendiri pun merasa bersalah sebab hari itu ia mengabaikan Nara. Padahal, ia sendiri tahu bahwa istrinya ini tidak membawa kendaraan ke kantor."Lanjutkan ceritanya ...."Nara menghela nafas sejenak. Lalu, setelah itu melanjutkan cerita yang sempat terpotong dengan sebuah perdebatan kecil dengan Ardha
Mereka terus berbincang sampai pada akhirnya Ardhan berpikir sendiri dan berencana untuk menyelidiki orang dibalik pencemaran nama baik Nara ini."Mas, tapi kamu juga jangan terlalu kesal dengan pria yang waktu itu ke rumah orang tua saya. Soalnya dia yang nolong. "Ardhan tidak percaya dengan itu. Alih-alih mereda, ia malah semakin kesal karena Nara membicarakan pria lain. Walau yang dibicarakan itu bukan sesuatu yang terdengar spesial. Tetapi, tetap saja Ardhan merasa tidak terima."Dibanding saya, orang itu tidak ada apa-apanya sama sekali. Saya yakin, dia punya maksud terselubung yang mungkin saja maksudnya buruk!" Ardhan berusaha membanggakan dirinya di depan Nara. Dirinya tidak mau kalah begitu saja dari pria yang tampaknya akan dijodohkan dengan istrinya itu."Jangan suka berprasangka buruk, Mas," ucap Nara, mengingatkan. "Dan jangan terlalu polos kalau jadi orang! Karena kamu yang begini ini, jadinya kena tipu. Kamu dibohongi orang!"Tak terasa mereka sudah berbicara banyak
Tok Tok Tok! Suara ketukan pintu kembali terdengar di rumah Rivanto. Menciptakan rasa penasaran dalam benak penghuni rumah."Ma, buka pintunya, siapa tahu orang penting!" pinta Rivanto kepada Verra.Kakek Roland yang sementara waktu tinggal di sana pun semakin penasaran."Iya, Pa," sahut Verra. Ia beranjak dari duduknya, lalu melangkahkan kakinya menuju pintu depan.Kriiieeet! Verra membuka pintu itu perlahan.Dilihatnya Kendra yang ternyata pagi-pagi datang ke sana. "Ada apa lagi dia datang ke sini?" batin Verra sembari memandangi sosok yang ada di hadapannya tersebut."Boleh saya masuk, Tante?" tanya Kendra dengan wajah ramah. Bibirnya tersenyum dan seolah memperlihatkan harapan agar diperbolehkan memasuki rumah itu. "Ya, silakan," sahut Verra sembari tersenyum simpul. Ia memberi jalan kepada Kendra untuk masuk ke dalam rumahnya.Di ruang makan, Rivanto bergegas menuju ruang tamu. Kendra yang melihat Rivanto berjalan ke arahnya, ia segera menghampiri."Selamat pagi, Om," ucapnya sa
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-