*Happy Reading*Sebenarnya, aku penasaran dengan maksud ucapan Aaron. Aku ingin tahu akan masa lalu pria itu. Tetapi, meski sudah aku tanyakan. Sayangnya Aaron tidak mau mengatakannya. "Nanti saja aku ceritanya. Saat ini pikiran kamu masih penuh. Aku gak mau nambahin beban kamu lagi." Begitu alasannya.Benar juga, sih. Sekarang rasanya otakku memang penuh sekali dengan kejadian hari ini. Aku gak yakin sanggup menerima informasi baru lagi. Apalagi jika informasi itu berbentuk cerita masa lalu. Pasti akan panjang dan banyak sekali yang harus aku dengar baik-baik. Karena itulah, aku tidak memaksa Aaron untuk bercerita, dan membiarkannya pulang setelah Papa dan Bunda datang. Pria itu benar, aku memang butuh ruang untuk menenangkan diri dulu. Ya. Aku butuh ruang lebih sendirian. Bukan hanya untuk mencerna semua masalah dan hal yang sudah aku lalui beberapa waktu ini. Tetapi juga .... memikirkan kembali perasaanku pada Reyn."Pah, Nur ingin sendirian dulu. Selain dokter dan perawat. Tolo
*Happy Reading*Mau apa lagi sih, duda ini menemuiku? Belum puas apa bikin aku begini?"Mau apa lagi kamu ke sini? Mau mengganggu anak saya lagi?" Ternyata, bukan cuma aku yang muak dengan kehadiran duda satu ini. Tetapi juga papa. Buktinya, melihat kehadiran pria itu. Papa langsung menyalak galak sekali. Mungkin kalau tidak melihat kondisinya yang masih pincang, Papa pasti sudah mendorongnya keluar hingga terjungkal. Segitu Papa belum tahu tentang kejadian kemarin. Coba saja jika Papa tahu aku begini lagi karena ulah keluarganya? Sudah bisa dipastikan. Si duda bukan hanya akan di dorong sampai terjungkal. Mungkin saja Papa akan menghubungi Reyn dan menyuruh membuat si duda cacat seperti kakaknya. Ah, iya. Ngomong-ngomong soal kemarin. Aku belum tahu alasan apa yang Aaron berikan pada Papa tentang kecelakaanku saat ini. Karena pria itu juga gak tahu apa-apa kan tentang kejadian kemarin? Hanya aku, Reyn, dan Pak Vino yang tahu. Tetapi ... kenapa Papa juga gak bertanya ya perihal it
*Happy Reading*Brigita hamil!Demi apa?Bukan, bukan. Aku bukan tidak suka mendengar kabar kehamilan pacar settingan Pak Vino itu. Aku senang, kok. Sungguh. Bagaimana pun, ini adalah kabar bahagia, kan? Karenanya, aku harus ikut berbahagia. Siapa tahu cepat nular. Ya kan? Eh, maksudnya berkahnya yang nular. Bukan hamilnya.Haish. Jadi belibet gini ngomongnya gegara kaget. Ah, pokoknya intinya aku turut senang aja atas kehamilan Brigita. Apalagi, dengan kabar ini pula. Akhirnya Pak Vino sadar dan berhenti mengusikku. Tentu saja, aku jadi lebih bahagia lagi karenanya. Tetapi pertanyaannya sekarang adalah ... kok, bisa? Maksud aku, bukannya mereka selama ini hanya settingan saja, ya? Sudah putus dan berkonflik pula. Tetapi kok .... tiba-tiba ada kabar kayak gini? Aneh gak, sih?Apa ... mereka hanya sandiwara saja depan media selama ini? Maksudnya, di depan kamera berseteru dibelakang bercinta, gitu. Soalnya ya ... kaget banget loh, aku dengernya. Asli! Aku ngerasa jadi kek orang pali
*Happy Reading*Meski masih amat sangat kesal dengan ucapan gila Pak Vino yang ternyata belum sepenuhnya luntur. Aku tetap bersyukur akhirnya bisa lepas darinya. Semoga dia benar-benar tobat ya, gaes. Gak kumat-kumat lagi. Biar aku bisa beneran bernapas lega dan bisa melangkah ke step berikutnya yang lebih baik. Bosen banget loh ketemunya masalah sama dia lagi-dia lagi terus. Kek di dunia ini penghuninya dia doang aja. Ya kan? Meski ... sebenarnya masih ada satu yang ingin kutanyakan padanya. Itu anak Brigitta beneran anaknya dia atau bukan? Soalnya, kan dia sendiri yang bilang Brigitta dan Alfino sempat bersekongkol. Sapa tahu, ya kan, mereka .... Eh, kok aku julid, ya? Biarin ajalah. Gak usah urusin. Penting sekarang aku bisa lepas aja dari dia. Setuju!Nah, sekarang apa lagi yang harus kita selesaikan? Tentang Aaron atau ...."Hay, Kak. Boleh numpang tidur gak di sini?"Hah?! Sedang asyik dengan lamunan sendiri. Tiba-tiba aku pun dikejutkan dengan kehadiran Lovely yang ... apa
*Happy Reading*"Bu-buronan? Maksudnya?" beoku dengan terbata."Iya. Buronan. Kau percaya?"Eh?Aku hanya bisa terdiam setelahnya. Tidak bisa menjawab. Ralat, maksudnya tidak tahu harus menjawab apa? Bingung juga aku dibuatnya. Di bilang percaya. Ya, harusnya aku percaya, kan? Soalnya ini Reyn loh, yang bilang. Orang gak suka bercanda. Tetapi kalau melihat wajah dan tingkah laku Lovely, ya aku juga gak bisa percaya. Dia kayaknya tipe gadis baik-baik yang gak suka bikin ulah. Jadi, gak mungkin jadi buronan. Buronan para pria jomlo dan pria hidung belang mungkin saja. Lovely good looking gitu, kok. Nah, lalu aku harus jawab apa, coba? Kalau kalian sendiri gimana? Percaya gak kalau si Lovely itu ternyata buronan?"Kemajuan," gumam Reyn tiba-tiba. Membuyarkan lamunanku tentang Lovely.Pria itu tersenyum tipis. Namun, seperti bangga akan sikapku. Maksudnya apa? Memang aku ngapain sampai dia bisa bangga begitu padaku?"Kemajuan apa?" Aku pun memilih menyuarakan uneg-unegku. Reyn tak lang
Beken 92*Happy Reading*"Papa duluan aja dulu. Nur mau liat Khanza dan bayinya sebentar, mumpung masih di sini."Aku memberi titah pada Papa. Saat bersiap pulang setelah menyelesaikan administrasi rumah sakit, yang ternyata lagi-lagi sudah dibayarkan keluarga Alexander, sebagai bentuk kompensasi atas perbuatan anak sulungnya.Alhamdulilah ... aku gak jadi jual apartement deh, buat bayar rumah sakit. Bagaimana pun dalam kondisiku saat ini. Maksudnya setelah lumayan lama tidak bekerja. Aku benar-benar sudah tidak punya simpanan sama sekali.Semua banda yang kupunya hasil jadi model di masa lalu. Sudah habis aku jualin demi membantu keuangan Papa dan Bunda, yang juga terkena imbas karena masalah yang kuhadapi. Bahkan, yang kudengar dari hasil mengintip chat ponsel Papa. Warung sembako mereka pun kini tutup karena sudah kehabisan modal. Kan, aku jadi makin bersalah, ya?Karenanya, Sepertinya aku harus mulai cari uang lagi agar tidak makin jadi beban. Meski belum bisa kembali jadi model k
*Happy reading*Sudahlah. Aku lelah rasanya memikirkan kisah percintaanku. Gagal maning, gagal maning terus, gaes. Entah kenapa nasib percintaan njelimet banget. Gak kayak Intan ataupun Nurbaeti? Benar kata readerku tersayang. Sepertinya si Amih memang punya dendam kesumat sama aku. Atau ... jangan-jangan aku malah hanya anak pungut saja. Ah, teganya kau thor. Akhirnya, karena sudah malas memikirkan soal cinta. Aku pun memilih fokus pada diriku sendiri, keluarga dan karier saja. Karena apa? Karena galau berkepanjangan itu gak ngasilin cuan, gaes. Sementara hidup ini butuh makan dan gaya demi gengsi. Dan semua itu gak bisa dibeli dengan rasa baper. Jadi ... yuk kerja lagi."Nur, sarapan dulu." Suara Bunda terdengar dari balik pintu kamar, setelah mengetuk sebelumnya."Iya, Bun. Ini juga lagi pake baju dulu. Nanti aku nyusul," teriaku dari dalam."Jangan lupa pake celananya juga ya, Nur. Nanti semriwing."Ya kali ... ada-ada deh Bunda nih. Aku baru tahu kalau dia ternyata lumayan lucu
Beken 94*Happy Reading*From: 0898 2525 xxxx [Sharelock]Alisku sontak bertaut bingung. Saat tiba-tiba saja sebuah chat asing masuk ke ponselku malam itu. Tetapi, karena aku gak kenal dengan nomornya. Aku pun mengabaikannya dan kembali menyimpan ponselku di atas meja. "Siapa, Kak?" Aika bertanya kepo di sela acara makannya. Saat ini, aku memang tengah bersama Aika. Tak sengaja bertemu saat aku baru saja hendak pulang, setelah mencari lowongan di sebuah agency teman. Hasilnya zonk, gaes! Karena ternyata mencari kerjaan tanpa seorang manager itu susahnya minta ampun. Aku gak begitu paham tentang hal negoisasi dan beberapa peraturan kontrak. Karenanya, daripada terjerumus pada kontrak yang akan merugikanku. Lebih baik aku belajar lagi soal perkontrakan, ya kan? Bukankah kata Reyn, aku harus selalu waspada dan jangan gampang percaya lagi. Benar tidak?Awalnya, aku sudah akan pulang dari agency tersebut. Karena aku sudah janji pulang cepat pada Papa. Aku tak ingin membuatnya khawatir. J
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter
*Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.
*Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya
*Happy Reading*Saat mendengar suara Malvino. Aku refleks mencari pegangan dan meremas tangan Bunda yang kutemukan di pangkuan. Aku takut! Takut sekali!"Coba saja kalau bisa. Gue tunggu!" Berbeda denganku. Sepertinya ancaman Malvino tidak berpengaruh apa pun untuk Aaron. Pria itu menjawab lugas tanpa rasa takut sedikit pun. "Kamu? Siapa kamu? Kenapa ponsel Devia ada pada kamu?" Malvino yang mendengar sahutan ternyata bukan dariku. Tentu saja langsung bertanya dengan penasaran. "Gue suaminya Devia." Aaron masih menjawab dengan santainya. Sementara aku makin gusar di tempatku. Bunda bahkan sampai harus merangkul dan membisikan kata tenang berkali-kali. Karena tanpa sadar tubuhku sudah bergetar hebat mendengar percakapan itu. Sepertinya Malvino sudah membuat aku trauma parah. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah ketakutan seperti ini. Kepalaku mulai pusing lagi jadinya. "Suami? Jangan bermimpi kamu! Devia itu milik saya! Selamanya akan jadi milik saya!"Tuhan ... pria it
*Happy Reading*"Memang itu tujuannya," sahut Aaron tanpa beban."Eh?"A-apa maksud kamu?" Aku bertanya dengan terbata. Sayangnya, bukannya menjelaskan. Aaron malah tersenyum manis dan mengangkat bahu dengan acuh. Membuat aku kesal sekali. Apa-apaan sih dia. "Ron, jangan becanda. Ini bukan hal yang bisa kami jadikan lelucon!" Tak ayal aku pun langsung menghardiknya. "Siapa juga yang sedang becanda? Aku serius, kok.""Lalu, kenapa--""Serahin aja semuanya sama aku. Aku punya cara sendiri buat ngadepin pria brengsek itu."Sayangnya, jawaban Aaron barusan. Meski disuarakan dengan sungguh-sungguh. Tetap saja tidak bisa membuat aku tenang. Karena Aaron tidak tahu seberapa gila si duda sableng itu. "Serahin semuanya sama kamu? Jangan gila, Ron! Kamu gak tahu seberapa nekadnya dia. Khanza, anaknya dan Tita sudah menjadi korbannya. Aku gak mau kamu juga ... ikut jadi korbannya, Ron. Aku ... gak mau." Aku mencoba menyuarakan kekhawatiranku. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Membayangkan
*Happy Reading*"Eugh ..." Aku melenguh pelan. Saat ingin membuka mata, tetapi tersita oleh denyut nyeri yang berasal dari kepalaku. Sakit dan pusing sekali. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Tak lama, aku merasa sebuah tangan memijat-mijat kepalaku. Menghantarkan rasa hangat yang membuat nyaman.Setelah cukup lama. Aku pun bisa membuka mataku. Bunda lah yang pertama aku lihat dengan senyumnya yang sehangat mentari. Namun, matanya membengkak khas orang baru nangis. Kenapa? Ada apa?"Alhamdulilah, Nur. Akhirnya kamu bangun juga," ucap Bunda. Bangun? Aku emang kenapa? Aku melirik sekitarku, dan baru sadar jika ini bukan di kamarku yang ada di rumah Papa. Ini ... kayaknya di kamar rumah sakit. Lah? Kenapa aku di sini? "Bun, akh--ekhem!" Baru saja aku ingin menyuarakan rasa penasaran dalam diri. Tiba-tiba aku tercekat. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti kekeringan dan butuh air segera. Seakan mengerti, bunda dengan cepat meraih gelas berisi air putih di nakas, dan membantuku minum