*Happy Reading*"Maaf, ya. Aika memang gitu kalau ngomong. Suka nyablak. Jangan masukin hati, please." Pria itu kembali menghampiri setelah berhasil mengusir Aika dan pacarnya. Selain tersenyum canggung dan mengangguk. Bisa apa aku? Lagian, aku juga masih bingung dengan keadaan ini sebenarnya. "Ah, iya. Kita belum kenalan." Pria itu bersuara lagi, kemudian mengulurkan tangannya kehadapanku. "Aku Aaron, Aaron Putra Permadi," tambahnya seraya tersenyum manis. "Devia, N Devia Mutiara." Aku membalas uluran tangannya."Aku tahu."Eh? Maksudnya? Mendengar sahutannya barusan. Tentu saja keningku berlipat. Karena seingatku, kami belum kenalan kan, sebelumnya. "Kamu model dan artis yang baru-baru ini mengumumkan hiatus dari depan kamera, kan?"Dia tahu! Astaga! Jangan bilang kalau dia salah satu fans aku. Aduh, kok aku panik, ya? Hari ini make up aku bagus, kan? Meski sudah lepas dari dunia entertaiment. Kadang menjaga penampilan depan publik memang masih terbawa ada keseharianku sampai sa
*Happy Reading*"Reyn?!" Aaron berseru lagi. Melambaikan tangan dan lalu beranajak pergi ke arah belakang tubuhku. Sementara aku masih mematung, tak berani menoleh ke arah belakang untuk memastikan.Entah kenapa, mendengar nama Reyn saja hatiku sudah tak karuan rasanya. Jujur saja, aku masih belum bisa move on dari perasaan baper pada pria itu. Meski tidak tersampaikan. Reyn sudah memberi jarak dan memiliki Lovely. Aku harus menghormati semua itu, kan? Walaupun sebenarnya belum bisa ikhlas. Bagaimana pun, semua perasaan cinta itu pasti punya egois. Rasa ingin dibalas dan memiliki pasti ada. Tetapi, aku tidak mau dibutakan ego itu hingga menyakiti orang lain. Seperti halnya Pak Vino dalam kasus ini."Reyn, lo pasti di telepon Kai buat bantu kami, kan?" Suara Aaron terdengar. Aku memilih menyimak saja. "Ya." Reyn menjawab singkat."Cakep. Trus, apa rencananya?""Tidak ada rencana apa pun," jawab Reyn masih dengan singkat. Sebelum sebuah langkah kaki terdengar mendekat kearahku. Sete
*Happy Reading*"Moy, ini gue. Kembaran lo. Gue datang."Perlahan, aku lebih mendekat ke arah Nurbaeti. Meraih lengannya yang bebas jarum infusan, terasa rapuh dalam genggam tanganku.Nurbaeti tidak memberikan reaksi apa pun. Dia terlihat sangat nyaman dalam tidur panjangnya. Tidak apa-apa. Aku tidak marah kok. Karena aku hanya ingin si gemoy ini tahu akan kehadiranku saja. "Maafin gue, ya, Moy. Gue baru bisa datang dan jengukin lo. Bukan gue sombong. Tapi ... lo tahu sendiri kan, gue ini artis sok sibuk." Aku mencoba berkelar. Membawa-bawa nyinyiran khas Nurbaeti jika sulit menghubungiku. Meski Nurbaeti masih tidak memberikan respon. Aku berharap dia bis mendengarku dalam tidurnya yang sepertinya terlalu nyaman."Apalagi sejak lo tidur begini. Gue jadi makin sok sibuklah. Soalnya gak ada lagi yang gangguin dan minta di traktir ciki dengan alasan ngidam. Makanya lo bangung dong, Moy. Biar gue ada yang gangguin lagi. Biar gue ada alasan minta libur dadakan sama agency. Dan ... biar g
*Happy Reading*Hotel!Tanpa sadar aku langsung meremas tangan dipangkuan, saat tiba-tiba Aaron bukannya membawaku langsung pulang. Malah membelokan mobilnya pada sebuah gedung mewah bertuliskan 'Hotel'.Lah, ini kenapa aku dibawa ke sini? Mau apa dia? Jangan-jangan ...."Mampir sebentar gak papa, kan? Gak lama, kok. Sebentar aja," ucapnya tiba-tiba meminta atensiku.Gak papa ndasmu! Ini ngapa jadi ke sini, sih? Jangan bilang kalau Aaron ternyata pria bangsul yang doyan celap-celup. Demi apa? Padahal tampangnya setipe cowok baik-baik, loh. Ternyata ...."Kamu mau ikut masuk atau tunggu di sini?"Hah?!Seketika aku pun bingung. Saat Aaron malah memberi penawaran ketika selesai memarkirkan mobilnya di parkiran hotel. Dekat dengan pintu utama."Uhm ... tunggu aja, deh. Takutnya di dalam ada yang kenal kamu. Nanti malah jadi heboh. Aku gak lama, kok. Tunggu, ya?" terang pria itu lagi, sebelum melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari pintu kemudi. Tunggu-tunggu. Ini maksudnya gimana, dah
*Happy Reading*Aargg! Aku bisa gila jika terus seperti ini!Kukira dengan kondisinya yang masih harus dirawat dan tuntutan dari Keluarga Antonio untuk kecelakaan pada Nurbaeti. Si Pak Duda akan sibuk dan gak akan ganggu aku lagi. Ternyata oh ternyata ... sepertinya dia menyuruh orang untuk mengikuti keseharianku. Buktinya, dia bisa tahu aku tentang Aaron, ya kan?"Bisa gak, Pak. Jangan ganggu saya lagi. Saya udah gak mau berurusan dengan Bapak!" Aku dengan senang hati menunjukan ketidak nyamananku terhadap duda mulai gila ini."Saya gak akan pernah lepasin kamu, Devia. Karena kamu itu hanya milik saya!"Kok, jadi kayak si kopet ya lama-lama nih duda? Ngeri banget gak, sih?"Tapi saya udah gak mau lagi sama Bapak. Mau bagaimana pun usaha Bapak. Saya gak akan pernah luluh lagi. Lebih dari itu. Saya sudah sangat membenci Bapak!" Aku mencoba menegaskan. Berharap dia sadar kalau usahanya akan sia-sia belaka."Benci dan cinta itu jaraknya tipis, Devia. Saya akan buat kamu berubah pikiran
*Happy Reading*Sebenarnya, tawaran Aaron barusan sangat menggiurkan. Bagaimanapun, aku akui, aku memang belum pernah berbicara secara pribadi dengan Reyn tentang perasaanku. Ya, ya, ya. Aku tahu Reyn sudah ada Lovely dan akan menolakku. Tetapi ... tetap saja aku ingin dia tahu tentang perasaanku. Rasanya, seperti suruh mengikhlaskan hutang pada orang yang sudah meninggal. Tetapi kondisi hidup kita juga lagi pailit. Ganjel banget deh pokoknya. Susah buat ikhlas dan kepikiran terus. Ngertikan kalian?Tak perduli akan jawaban atau tanggapan Reyn setelahnya. Aku hanya ingin Reyn tahu kalau aku suka padanya. Hanya itu! Tidak lebih! Syukur-syukur kalau dia bisa memikirkan perasaanku dan mempertimbangkannya. Jadi selingkuhan pun, kayaknya aku ikhlas. Eh, gak ding. Becanda gaes. Jangan dibuat serius, ya? Tetapi soal ingin Reyn tahu perasaanku. Aku serius. Hanya saja ...."Tidak usah, Ron. Aku tidak ingin mengganggu Reyn dengan perasaanku."Lebih tepatnya. Aku takut Reyn malah jadi menghin
*Happy Reading*"Siapa kamu?!" Melihat orang asing masuk di mobil Aaron. Tentu saja aku langsung gusar dan bertanya dengan penasaran. Namun, bukannya menjawab. Pria itu malah tersenyum miring. Sebelum menyalakan mesin mobil dan menjalankannya. Eh, aku mau dibawa ke mana?"Hei! Mau dibawa ke mana mobil ini? Kamu! Kamu siapa sebenarnya?" Aku pun langsung mencecar, berusaha agar tidak panik menghadapi pria asing ini. "Kamu tidak perlu tahu siapa aku. Cukup duduk manis saja di sana. Dan menurut," sahut pria itu, yang benar-benar tidak aku kenali sedikit pun. "Menurut? Menurut untuk apa? Apa yang kamu ingin kan sebenarnya dariku?!" Menghiraukan segala titah si pria asing sebelumnya. Aku kembali mencecar, seraya berpegangan pada pegangan atas mobil dengan erat. Karena pria ini membawa mobil Aaron dengan ugal-ugalan. "Jangan takut. Aku hanya membutuhkanmu untuk umpan agar Malvino keluar kandang."Malvino? Oh gosh ... Jangan bilang dia musuh si duda sableng? Astaga! Tuh duda kenapa gak
*Happy Reading*"Bangsat! Siapa kau sebenarnya? Kenapa ikut campur urusanku?!" maki pria asing yang sudah kepayahan, terlentang dengan kaki Reyn berada di depan dadanya. "Salahmu adalah melibatkannya dalam rencanamu!" sahut Reyn, menekan kakinya yang langsung refleks dipegangi si pria asing untuk ditahan.Terdapat lebam pada sudut mata dan bibirnya. Akibat terkena pukulan si pria asing tadi saat perkelahian terjadi. Meski begitu, kondisinya jauh lebih baik dari si pria asing itu sendiri yang nampak lebih sangat babak belur.Sementara mereka berdua bergulat dan melakukan live boxing. Aku hanya bisa menyaksikan semuanya dalam posisi duduk dan rasa takut yang semakin menyelimutiku. Sumpah! Sepanjang pertarungan tadi, aku benar-benar tidak mengenali Reyn. Pria itu seperti orang lain. Sosok lain yang tidak pernah terbayang sama sekali olehku."Memang kenapa kalau aku melibatkannya? Apa hubungannya denganmu? Dia kekasihmu?" Pria itu bertanya dengan kesusahan menahan tekanan kaki Reyn. "M
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter
*Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.
*Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya
*Happy Reading*Saat mendengar suara Malvino. Aku refleks mencari pegangan dan meremas tangan Bunda yang kutemukan di pangkuan. Aku takut! Takut sekali!"Coba saja kalau bisa. Gue tunggu!" Berbeda denganku. Sepertinya ancaman Malvino tidak berpengaruh apa pun untuk Aaron. Pria itu menjawab lugas tanpa rasa takut sedikit pun. "Kamu? Siapa kamu? Kenapa ponsel Devia ada pada kamu?" Malvino yang mendengar sahutan ternyata bukan dariku. Tentu saja langsung bertanya dengan penasaran. "Gue suaminya Devia." Aaron masih menjawab dengan santainya. Sementara aku makin gusar di tempatku. Bunda bahkan sampai harus merangkul dan membisikan kata tenang berkali-kali. Karena tanpa sadar tubuhku sudah bergetar hebat mendengar percakapan itu. Sepertinya Malvino sudah membuat aku trauma parah. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah ketakutan seperti ini. Kepalaku mulai pusing lagi jadinya. "Suami? Jangan bermimpi kamu! Devia itu milik saya! Selamanya akan jadi milik saya!"Tuhan ... pria it
*Happy Reading*"Memang itu tujuannya," sahut Aaron tanpa beban."Eh?"A-apa maksud kamu?" Aku bertanya dengan terbata. Sayangnya, bukannya menjelaskan. Aaron malah tersenyum manis dan mengangkat bahu dengan acuh. Membuat aku kesal sekali. Apa-apaan sih dia. "Ron, jangan becanda. Ini bukan hal yang bisa kami jadikan lelucon!" Tak ayal aku pun langsung menghardiknya. "Siapa juga yang sedang becanda? Aku serius, kok.""Lalu, kenapa--""Serahin aja semuanya sama aku. Aku punya cara sendiri buat ngadepin pria brengsek itu."Sayangnya, jawaban Aaron barusan. Meski disuarakan dengan sungguh-sungguh. Tetap saja tidak bisa membuat aku tenang. Karena Aaron tidak tahu seberapa gila si duda sableng itu. "Serahin semuanya sama kamu? Jangan gila, Ron! Kamu gak tahu seberapa nekadnya dia. Khanza, anaknya dan Tita sudah menjadi korbannya. Aku gak mau kamu juga ... ikut jadi korbannya, Ron. Aku ... gak mau." Aku mencoba menyuarakan kekhawatiranku. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Membayangkan
*Happy Reading*"Eugh ..." Aku melenguh pelan. Saat ingin membuka mata, tetapi tersita oleh denyut nyeri yang berasal dari kepalaku. Sakit dan pusing sekali. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Tak lama, aku merasa sebuah tangan memijat-mijat kepalaku. Menghantarkan rasa hangat yang membuat nyaman.Setelah cukup lama. Aku pun bisa membuka mataku. Bunda lah yang pertama aku lihat dengan senyumnya yang sehangat mentari. Namun, matanya membengkak khas orang baru nangis. Kenapa? Ada apa?"Alhamdulilah, Nur. Akhirnya kamu bangun juga," ucap Bunda. Bangun? Aku emang kenapa? Aku melirik sekitarku, dan baru sadar jika ini bukan di kamarku yang ada di rumah Papa. Ini ... kayaknya di kamar rumah sakit. Lah? Kenapa aku di sini? "Bun, akh--ekhem!" Baru saja aku ingin menyuarakan rasa penasaran dalam diri. Tiba-tiba aku tercekat. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti kekeringan dan butuh air segera. Seakan mengerti, bunda dengan cepat meraih gelas berisi air putih di nakas, dan membantuku minum