*Happy Reading*Ammar menghela napas panjang dan berat seraya melirik istrinya. Saat akhirnya aku meminta konfirmasi akan info yang Nurbaeti bawa beberapa menit lalu. Aku memang meminta Nurbaeti menelpon Ammar dan menyuruhnya kembali, agak bisa aku introgasi lebih lanjut. Bagaimana pun, aku tidak ingin sampai ketinggalan info penting lagi soal Pak duda. Selama ini, Aku merasa sudah terlalu banyak kecolongan. Mengejar Pak Duda jelas bukan pilihan tepat saat ini. Mengingat kekecewaan Papa yang sudah pasti akan menjauhkan kami. Lebih dari itu. Si papah sendiri memang suka sekali main rahasia-rahasiaan sama aku. Bisa botak aku lama-lama kalau dibikin penasaran terus. Nah, mumpung ada yang bisa aku tanyai. Kenapa gak aku manfaatkan, ya kan?"Sayang, aku kan udah bilang. Jangan beritahu teman-teman kamu dulu perihal hal ini," keluh Ammar masih menatap istrinya. "Ya gimana, ya? Mereka kan sahabat aku, Mas. Mana bisa aku diem aja soal ini." Nurbaeti menyahut enteng. "Apalagi, ini berhubu
*Happy Reading*Bukan demi Kak Diana, Bukan juga demi Tita. Ternyata, selama ini Pak Vino mendekatiku tidak lain dan tidak bukan hanyalah demi ibunya. Ah, mungkin lebih tepatnya, demi sumsum tulang belakang yang dia butuhkan untuk sang ibu, Gita. Entahlah. Aku tidak tahu dari mana Ammar mendapat data-data selengkap ini. Yang jelas, di amplop yang Ammar berikan. Jelas tertulis hasil test pencocokan sumsum tulang belakangku dan Bu Gita, yang ternyata sedang mencari pendonor sejak setahun yang lalu. Jadi semua kebaikan mereka selama ini palsu? Mungkin saja! Aku sendiri tidak bisa menyimpulkan apa pun saat ini. Yang jelas, semua data yang Ammar berhasil kumpulkan. Semuanya memang mengarah pada kebaikan yang memang menginginkan timbal balik. Lebih dari itu. Gosip yang sedang menimpa Pak Vino sepertinya benar adanya. Karena dari laporan anak buah Ammar. Pak Vino ternyata memang memiliki hubungan spesial dengan aktris tersebut sejak dua tahun yang lalu.Luar biasa, kan? Pria itu ternyata
*Happy Reading*"Sudah?"Aku mengangguk kaku, sebagai jawaban atas pertanyaan Papa barusan. Pria paruh baya itu pun lalu tersenyum hangat, sebelum jauhkan sedotan dan gelas yang baru saja aku gunakan. Kemudian meletakkannya di atas nakas. "Ada hal lain lagi yang kamu inginkan?" Papa bertanya kembali dengan perhatian. Namun, kali ini aku jawab dengan gelengan kaku. Gerakan kepalaku memang masih sangat terbatas, akibat penyangga leher yang masih harus aku gunakan. Papa kembali tersenyum, lalu mengusap kepalaku dengan sayang. Duduk di pinggiran tempat tidur dan merapikan selimut yang kugunakan."Pa?""Ya?""Papa gak ngajar?" Tanya itu pun akhirnya lolos, setelah beberapa hari ini aku tahan. Bukan aku tak suka melihat papaku di sini. Tetapi, bukannya papa harusnya sudah kembali mengajar. Sekolah sedang tidak libur panjang, kan?"Papa cuti," ungkap Papa kemudian. "Cuti?""Ya. Papa cuti. Khusus buat nemenin kamu di sini." Papa menjawab tanpa beban. Masih dengan senyum hangatnya. Sayang
*Happy Reading*"Devia ... jangan menangis. Saya tahu, saya salah. Saya minta maaf," lirih Pak Vino kemudian. Setelah lama tertegun melihat air mataku yang mengalir tanpa bisa aku halau lagi. Konyol! Kalau bukan menangis, lalu aku harus apa? Tertawa? Menertawakan apa? Kebodohanku? Atau, apa?"Saya tidak butuh maaf dari Bapak," sahutku ketus. Kembali mengalihkan tatapan ke sembarang arah. "Lalu saya harus apa? Saya juga--""Pergi!" selaku cepat dengan tegas. "Devia, please ... tidak bisakah kamu memberi saya waktu untuk bicara. Menjelaskan semuanya. Saya juga punya alasan sendiri, Devia. Tolong! Biarkan saya menjelaskan semuanya.""Dan menipu saya lagi?" tukasku sengit. Membuat Pak Vino langsung memejamkan mata dengan erat dan mengerang tertahan. "Devia. Tolong! Saya tahu, saya salah. Saya menipu kamu dan mempermainkan perasaan kamu, tapi--""Terima kasih untuk pengakuannya. Itu lebih dari cukup menjelaskan semuanya." Kembali aku menyela cepat. Tak ingin mendengar alasan apa pun da
*Happy reading*"Katakan! Apa maksud dan tujuan kamu sebenarnya mendekati Devia?" Pak Vino semakin mendesak, saat Reyn tak langsung menjawab pertanyaannya.Sementara aku, sudah memutar mata malas entah sejak kapan, melihat sikap si duda yang anoying itu. Dia kenapa, sih? Cemburu? Atas dasar apa?"Hanya bekerja." Reyn akhirnya memberikan jawaban. Masih dengan sikap datarnya."Jangan bohong! Saya tidak akan pernah percaya.""Aku juga tidak butuh anda percaya," balas Reyn acuh.Pak Vino mengerang tertahan menatap Reyn. Kesal dengan sikap pria bule yang tidak bisa dia intimidasi itu. Rasain!"Kalau begitu jangan dekat-dekat dengan Devia!" hardik Pak Vino kemudian dengan garang. "Apa hak anda?" Reyn bertanya dengan tenang. "Saya calon suaminya Devia!" Tidak tahu malu! Masih saja seenaknya mengklaim aku begitu, setelah apa yang sudah dia lakukan. Dasar duda gila!Lihatlah. Reyn saja tersenyum miring mendengar hal itu. Bule berparas ganteng itu lalu menyilangkan tangan di depan dada denga
*Happy Reading*"Reyn, makasih ya, udah bantu usir pria itu." Aku berusaha membuka obrolan. Saat akhirnya tinggal berdua dengan bule kembaran kulkas itu. Tadi, si duda sableng memang sempat ngamuk lagi melihat sikap perhatian Reyn padaku. Namun, bule itu bisa mengatasi dengan apik, bahkan mengusirnya. "Jangan egois! Anda saja bisa dekat bahkan tidur bareng dengan beberapa wanita lain di luar sana. Kenapa Devia harus menjaga hati anda? Sebelum dia benar-benar jadi milik anda. Dia berhak didekati pria mana pun. Khususnya saya, yang memang sudah menjadi bodyguardnya. Kalau memang tidak terima, miliki dia secara hukum dan agama."Paka Vino hanya bisa mengerang tertahan, lagi-lagi tertohok dengan ucapan Reyn. Setelah itu, pergi begitu saja dengan wajah merah luar bias menahan amarah. Okeh, back to saat ini.Reyn melirikku sekilas, sebelum kembali fokus pada layar ponselnya. Meski begitu, dia tetap menjawab, "Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya bekerja." "Bekerja? Jadi ... kamu bene
*Happy Reading*"Ka-kamu ... tahu ... dari mana semua itu?" Setelah sekian menit menegang kaku karena syok. Akhirnya Papa pun kembali bersuara. "Tidak penting aku tahu dari mana. Yang jelas, apa yang aku bilang barusan, bener kan?" Papa tidak langsung menjawab. Masih menegang dengan mulut yang kadang terbuka, lalu tertutup lagi seperti ragu untuk bicara. Sepertinya Papa masih diliputi rasa syok akan penuturanku beberapa saat lalu. "Bener kan, Pa?" Namun, aku tak ingin melepaskannya kali ini. Karena aku rasa memang sudah saatnya aku tahu semua yang beliau sembunyikan selama ini. Aku sudah dewasa sekarang. Aku pasti bisa lebih mengerti keadaan saat ini. Papa menghela napas panjang penuh beban akhirnya. Sebelum mengusap wajah yang mulai menua, dan menatapku lekat seakan belum siap untuk jujur."Ya," akunya dengan lirih. "Papa ... sebenarnya bukan papa kandung kamu." Padahal aku sudah tahu kenyataannya. Tetapi, kok rasanya tetap sakit ya, saat harus mendengar langsung seperti ini. A
*Happy Reading*"Ja-jadi ... papa membohongi kami selama ini?"Inginnya, aku bilang 'jadi papa menghianati mama'. Untungnya aku ingat jika mereka tidak menikah selama bersama. Jadi, aku rasa itu tidak bisa disebut penghianatan, kan?Papa menghela napas panjang lagi dengan berat. Sepertinya, hal ini juga tidak mudah untuknya. Tentu saja, posisinya saat itu memang tidak mudah. "Papa tahu, papa egois, Nur. Tapi, Papa juga ingin bahagia. Bukan, papa bukannya tidak bahagia hidup sama kamu dan Diana. Papa bahagia memiliki kalian. Sungguh! Tetapi ...." Papa menghela napas panjang lagi. Seakan dengah helaan itu, sedikit bebannya bisa berkurang. "Tetapi Papa tidak pernah mencintai Mama, iya kan?" Aku hanya ingin membantu Papa menjelaskan. Papa ternyata mengangguk, membenarkan ucapanku barusan. Aku bingung harus marah atau sedih untuk hal itu. Bagaimana pun, aku tidak bisa egois, dengan menyuruh papa bertahan demi mewujudkan mimpi tentang keluarga sempurna yang dimiliki semua anak. Keluarga
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter
*Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.
*Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya
*Happy Reading*Saat mendengar suara Malvino. Aku refleks mencari pegangan dan meremas tangan Bunda yang kutemukan di pangkuan. Aku takut! Takut sekali!"Coba saja kalau bisa. Gue tunggu!" Berbeda denganku. Sepertinya ancaman Malvino tidak berpengaruh apa pun untuk Aaron. Pria itu menjawab lugas tanpa rasa takut sedikit pun. "Kamu? Siapa kamu? Kenapa ponsel Devia ada pada kamu?" Malvino yang mendengar sahutan ternyata bukan dariku. Tentu saja langsung bertanya dengan penasaran. "Gue suaminya Devia." Aaron masih menjawab dengan santainya. Sementara aku makin gusar di tempatku. Bunda bahkan sampai harus merangkul dan membisikan kata tenang berkali-kali. Karena tanpa sadar tubuhku sudah bergetar hebat mendengar percakapan itu. Sepertinya Malvino sudah membuat aku trauma parah. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah ketakutan seperti ini. Kepalaku mulai pusing lagi jadinya. "Suami? Jangan bermimpi kamu! Devia itu milik saya! Selamanya akan jadi milik saya!"Tuhan ... pria it
*Happy Reading*"Memang itu tujuannya," sahut Aaron tanpa beban."Eh?"A-apa maksud kamu?" Aku bertanya dengan terbata. Sayangnya, bukannya menjelaskan. Aaron malah tersenyum manis dan mengangkat bahu dengan acuh. Membuat aku kesal sekali. Apa-apaan sih dia. "Ron, jangan becanda. Ini bukan hal yang bisa kami jadikan lelucon!" Tak ayal aku pun langsung menghardiknya. "Siapa juga yang sedang becanda? Aku serius, kok.""Lalu, kenapa--""Serahin aja semuanya sama aku. Aku punya cara sendiri buat ngadepin pria brengsek itu."Sayangnya, jawaban Aaron barusan. Meski disuarakan dengan sungguh-sungguh. Tetap saja tidak bisa membuat aku tenang. Karena Aaron tidak tahu seberapa gila si duda sableng itu. "Serahin semuanya sama kamu? Jangan gila, Ron! Kamu gak tahu seberapa nekadnya dia. Khanza, anaknya dan Tita sudah menjadi korbannya. Aku gak mau kamu juga ... ikut jadi korbannya, Ron. Aku ... gak mau." Aku mencoba menyuarakan kekhawatiranku. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Membayangkan
*Happy Reading*"Eugh ..." Aku melenguh pelan. Saat ingin membuka mata, tetapi tersita oleh denyut nyeri yang berasal dari kepalaku. Sakit dan pusing sekali. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Tak lama, aku merasa sebuah tangan memijat-mijat kepalaku. Menghantarkan rasa hangat yang membuat nyaman.Setelah cukup lama. Aku pun bisa membuka mataku. Bunda lah yang pertama aku lihat dengan senyumnya yang sehangat mentari. Namun, matanya membengkak khas orang baru nangis. Kenapa? Ada apa?"Alhamdulilah, Nur. Akhirnya kamu bangun juga," ucap Bunda. Bangun? Aku emang kenapa? Aku melirik sekitarku, dan baru sadar jika ini bukan di kamarku yang ada di rumah Papa. Ini ... kayaknya di kamar rumah sakit. Lah? Kenapa aku di sini? "Bun, akh--ekhem!" Baru saja aku ingin menyuarakan rasa penasaran dalam diri. Tiba-tiba aku tercekat. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti kekeringan dan butuh air segera. Seakan mengerti, bunda dengan cepat meraih gelas berisi air putih di nakas, dan membantuku minum