Setelah menempuh perjalanan panjang selama sebelas jam tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di sebuah pulau kecil yang dikelilingi lautan biru yang jernih. Dari atas jet, Elena sudah bisa melihat hamparan pasir putih yang bersih, ombak yang berkejaran dengan lembut, serta pepohonan hijau yang menghiasi pulau bak surga tersembunyi.Namun, yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa hanya ada satu bangunan di seluruh pulau—sebuah villa mewah yang berdiri megah di tengah-tengah hamparan alam yang masih asri.Saat melangkah masuk ke dalam villa, Elena hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Interiornya begitu elegan—lantai marmer dingin menyambut telapak kakinya, lampu gantung kristal menggantung anggun di tengah ruangan, dan jendela besar terbuka lebar, memperlihatkan pemandangan laut yang begitu luas seolah tak berujung.Elena melayangkan pandangan ke sekeliling, lalu menatap Karl dengan dahi berkerut. “Kenapa hanya ada satu villa saja di sini?” tanyanya penuh rasa ingin ta
Cahaya matahari keemasan menyelinap masuk melalui celah tirai, menari lembut di atas kulit Elena yang masih terasa hangat. Dengan mata yang masih sedikit berat, ia mengerjap pelan, membiarkan pikirannya kembali ke kenyataan setelah malam panjang yang penuh dengan gelora dan kelembutan.Tangannya terulur, meraba sisi tempat tidur yang kosong. Dingin.Karl sudah tidak ada di sana.Elena menghela napas panjang. Bagaimana mungkin dia sudah bangun? Kita baru tidur pukul lima tadi.Rasa heran bercampur kekaguman mengisi benaknya. Ia tahu Karl bukan tipe pria yang bisa berdiam diri terlalu lama, tetapi tetap saja, hanya tidur dua jam lalu langsung bangun untuk beraktivitas seperti biasa? Itu di luar nalar.Dengan enggan, ia menyibakkan selimut, duduk di tepian ranjang sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Pandangannya turun ke lantai, di mana lingerie tipisnya masih tergeletak begitu saja—salah satu bukti dari malam yang menguras energi mereka. Pipinya sedikit merona saat mengingat
“Kau mau membawaku ke mana, Karl?” tanya Elena, suaranya sedikit terangkat untuk melawan suara deru mesin speedboat yang membelah permukaan laut biru.Karl menoleh sejenak, matanya yang tajam namun hangat memandang Elena sebelum kembali fokus pada kemudi.“Pergi ke beach club yang tak jauh dari pulau ini,” jawabnya ringan.Elena terdiam. Ia memandangi buih ombak yang terpecah di sisi speedboat, sementara angin membawa aroma asin laut yang khas.Beach club… sudah lama sekali ia tidak menginjakkan kaki di tempat seperti itu. Kesibukannya mengelola restoran miliknya seolah telah menelan seluruh waktunya.Bertahun-tahun ia larut dalam ambisi dan kerja keras hingga melupakan hal sederhana seperti menikmati hidup.Setengah jam berlalu. Perlahan, di hadapan mereka mulai terlihat bangunan berarsitektur tropis dengan atap jerami yang menjulang, diapit oleh deretan pohon kelapa yang menari-nari di bawah belaian angin.Musik chill-out berdentum lembut dari kejauhan, berpadu dengan suara tawa dan
Malam telah tiba. Langit pantai dihiasi bintang-bintang yang redup, sementara gelombang laut memecah keheningan dengan suara lembut yang teratur.Aroma garam bercampur dengan bau minuman alkohol yang tumpah, menguar dari gelas-gelas pesta yang berserakan.Lampu-lampu warna-warni berkilauan, menari-nari di atas pasir, menciptakan ilusi yang kontras dengan kegelapan malam.Musik dari DJ berdentum memekakkan telinga, membuat detak jantung terasa berpacu dengan irama bass yang menghentak.Orang-orang tertawa, menari liar, dan melupakan dunia sejenak dalam euforia pesta yang tak mengenal batas.Namun, di sudut yang agak sepi, di bawah bayang-bayang pohon kelapa yang bergoyang ringan diterpa angin, Elena dan Karl berdiri dalam ruang kecil yang seolah terpisah dari hiruk-pikuk.Hanya ada mereka berdua, terjebak dalam keheningan yang jauh lebih bising daripada suara musik yang memekakkan.Mata Elena menatap Karl, sorotnya tajam tetapi rapuh. Ia menarik napas pelan, tetapi berat—seperti sedang
“Kau berbeda, Elena.” Mata Karl menatap lekat wajah Elena, seolah berusaha menelusuri hingga ke dasar hatinya.Sorot matanya penuh ketulusan, mencoba meyakinkan wanita itu bahwa setiap kata yang terucap lahir dari lubuk hatinya yang paling dalam.Napasnya terdengar berat, seolah menyimpan banyak hal yang ingin diungkapkan namun terhalang oleh waktu."Kau adalah wanita yang mampu membuat semua rencana yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya menjadi hal yang mesti aku pikirkan."Suaranya serak, namun tetap terdengar penuh keyakinan.Jarinya yang kasar menggenggam tangan Elena dengan erat, seakan ingin menyampaikan bahwa ia tidak akan pernah melepaskannya.Ada kehangatan yang meresap, menjalar hingga ke relung hati Elena yang paling rapuh.Elena masih bergeming. Sorot matanya beradu dengan milik Karl, namun bibirnya tetap terkunci.Ia hanya merasakan genggaman dari tangan Karl yang begitu erat, seolah memohon agar ia tetap tinggal. Detak jantungnya berpacu, tak menentu."Aku ingin memili
Restoran mewah itu dipenuhi cahaya temaram dari lampu kristal yang menggantung di langit-langit, memberikan kesan elegan dan eksklusif.Alunan musik jazz yang lembut mengisi udara, berpadu dengan aroma steak yang menggoda selera.Di dalam ruang VIP yang tertutup rapat, hanya ada mereka berdua—terpisah dari hiruk-pikuk dunia luar, seolah hanya mereka yang ada di dunia ini.Elena menyesap anggur merah di gelasnya dengan pelan, matanya sesekali melirik pria di hadapannya yang begitu tenang, seakan tidak ada satu pun masalah yang mampu mengguncang kehidupannya. Karl memang seperti itu—penuh rahasia, penuh misteri."Apa kau tidak takut ada yang melihat kita di sini?" tanyanya, menatap sekeliling dengan sedikit gelisah.Karl hanya menyunggingkan senyum tipis, matanya menatap Elena dengan tatapan percaya diri yang khas. "Aku sengaja memesan ruang VIP agar tidak ada yang melihat kita. Tapi, jika ada yang melihat pun, aku tidak takut."Elena menghela napas. Karl dan ketidakpeduliannya terhadap
“Di mana Elena?”Suara Gio menggema di dalam restoran yang mulai sepi. Langkah kakinya terdengar berat saat ia masuk dengan ekspresi penuh amarah dan frustasi.Sudah kesekian kalinya ia datang ke sini, tapi hasilnya tetap sama. Bukan Elena yang ia temui, melainkan Maia—yang kini hanya bisa menghela napas lelah, seolah sudah muak dengan kehadiran pria itu.“Sudah kubilang padamu, Gio,” ucap Maia, suaranya terdengar tegas dan tanpa ragu. “Elena tidak datang ke restoran bahkan sejak dua minggu yang lalu!”Gio memicingkan mata, rahangnya mengencang. “Dan kau pasti tahu ke mana dia pergi, kan?” matanya menatap tajam, penuh kecurigaan.“Aku tahu Karl juga tidak datang ke kantor selama dua minggu ini. Mereka pasti sedang pergi bersama, kan?”Maia tetap berdiri tegak, menatap pria di depannya dengan ekspresi datar. Sudah berapa kali dia harus menghadapi Gio yang keras kepala ini?“Gio,” Maia menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. “Elena sudah tidak mau kembali padamu—”“Karena otaknya sud
Langkah Federick terdengar mantap saat ia memasuki gedung The Blue Company. Setelan hitamnya rapi, namun ada ketegangan tersirat dalam gerak-geriknya.Ia tidak membuang waktu, langsung menuju ruang kerja Karl yang berada di lantai tertinggi.Di dalam ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota, Karl tengah duduk di kursinya, jemarinya menari di atas meja, seolah sedang tenggelam dalam pikirannya.Namun, begitu mendengar suara langkah Federick mendekat, ia mengangkat kepalanya.“Ada yang ingin aku sampaikan padamu.”Karl menatap Federick sekilas, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, seolah sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan pria itu.“Kau ingin memberitahuku bahwa Gio datang kembali ke restoran Elena, kan?”Federick menahan ekspresinya, meskipun sedikit terkejut dengan ketajaman insting Karl. Ia mengangguk. “Ya. Dia menyerang Maia secara personal karena tidak ingin memberitahu di mana Elena berada.”Karl menghela napas, matanya menyipit s
“Argh! Berengsek! Karl sialan!”Gio menghantam vas bunga ke dinding, pecahannya beterbangan, menghiasi lantai apartemennya yang sudah berantakan.Napasnya memburu, dadanya naik turun dalam gelombang amarah yang tak terbendung. Meja di depannya dihantam dengan satu pukulan keras, menyebabkan gelas dan piring berhamburan, pecah menjadi serpihan kecil."Bajingan!" pekiknya penuh amarah, matanya merah menyala seperti bara api.Tangannya meraih bingkai foto yang ada di rak, dilemparkannya dengan kasar hingga kaca fotonya pecah berantakan. Rahangnya mengeras, otaknya terus dipenuhi satu pertanyaan: Dari mana Karl tahu?Selama ini, ia menyimpan rapat-rapat fakta bahwa ia mandul. Tak ada seorang pun yang tahu, tak ada seorang pun yang seharusnya tahu! Namun entah bagaimana Karl menemukan kelemahannya. Berengsek!“Kau sudah menyulutkan api dalam hidupku, Karl. Apa kau tahu, aku sangat membencimu, semakin membencimu karena sudah membuatku hancur!” pekiknya dengan dada naik turun karena amarahny
Tiga hari yang lalu …."Kau tahu apa yang telah dilakukan anakmu, Vero?" suara Karl bergetar menahan amarah, matanya menusuk tajam ke arah pria yang kini berdiri di hadapannya.Vero menarik napas panjang. Ia sudah mendengar kabar itu. Sudah terlambat untuk menghentikan Gio. "Aku minta maaf, Karl. Aku sungguh tidak tahu kalau Gio akan melakukan hal ini. Aku—""Omong kosong!" Karl membanting gelas di atas meja, pecahannya berhamburan di lantai. "Kau pikir maaf bisa menyelesaikan semuanya? Apa kau bahkan pantas disebut ayah jika kau tidak bisa mengendalikan anakmu sendiri?!"Vero mengatupkan rahangnya. Ia tahu Karl benar. Gio telah menyebarkan berita buruk yang menuduh Elena berselingkuh dengan Karl.Berita itu telah mengguncang banyak pihak, terutama Elena yang kini dicap sebagai perempuan murahan karena dugaan perselingkuhan itu."Aku... aku tidak tahu kalau Gio akan seberani ini," suara Vero lirih, sarat dengan penyesalan. "Aku
Di sebuah ruangan dengan pencahayaan redup, Gio duduk di atas sofa kulit berwarna hitam dengan wajah yang terlihat lelah.Tangannya meremas pelipisnya, mencoba meredam sakit kepala yang sejak tadi tak kunjung reda. Di hadapannya, layar televisi menampilkan berita yang terus menerus menyudutkan dirinya. Semua yang ia rencanakan telah berantakan.Pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan kasar, membuat Gio mendongak. Alma melangkah masuk dengan tatapan tajam. Wanita itu menutup pintu dengan kasar, lalu berjalan cepat mendekati Gio dengan wajah yang merah padam oleh amarah."Kau!" suara Alma melengking, penuh emosi."Kau bilang semua akan berjalan sesuai rencana! Tapi lihat ini!"Ia menunjuk layar televisi yang menampilkan namanya sebagai biang keladi dari seluruh kekacauan yang terjadi."Tidak ada dampaknya sama sekali! Berita yang kau sebar tidak menghancurkan Karl! Justru namamu yang kini hancur!"Gio mendesah panjang, mengusap wajahnya
Kilatan lampu kamera menyala bergantian saat Karl akhirnya keluar dari ruang kerjanya.Sorot matanya tajam, rahangnya mengeras, namun ekspresinya tetap tenang saat ia berdiri di hadapan para awak media yang sudah menunggu dengan penuh antusiasme di lobi.Suara bisikan dan pertanyaan dari para wartawan menggema di ruangan itu, namun Karl tetap tegap, tangannya terlipat di depan dada.Dia menghela napas perlahan sebelum akhirnya berbicara, suaranya dalam dan tegas."Sebelum saya mulai memberikan klarifikasi, saya ingin menyampaikan permintaan maaf kepada semua pihak atas keterlambatan saya dalam memberikan tanggapan terkait berita yang beredar selama tiga hari terakhir.“Bukan karena saya menghindar, tetapi saya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya."Ruangan itu mendadak hening. Semua wartawan menajamkan telinga mereka, bersiap mencatat setiap kata yang keluar dari mulut Karl."Hari ini, saya akan meluruskan segala kesalahpahaman dan fitnah yang tela
Hening menyelimuti apartemen setelah kepergian Karl. Elena duduk di sofa dengan tenang, membiarkan pikirannya melayang dalam diam.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika suara ketukan pintu terdengar, memecah keheningan yang baru saja terbentuk.Elena beranjak, membuka pintu dengan sedikit waspada. Namun, matanya membulat saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu."Maia? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, terkejut melihat kedatangan sahabatnya.Maia hanya tersenyum tipis sebelum melangkah masuk, menyerahkan kotak pizza yang ia bawa. Aroma keju yang menggoda segera memenuhi ruangan."Karl yang memintaku menemanimu di sini, Elena," ujar Maia sambil berjalan ke ruang tengah. Ia duduk santai di sofa empuk, menatap sekeliling apartemen dengan ekspresi kagum.Matanya menyapu setiap sudut ruangan—perabotan modern yang tertata rapi, pencahayaan hangat yang menenangkan, serta aroma lavender yang samar menguar di udara."Sangat luas, rapi, wangi, dan nyaman. Karl membeli
"Sekarang pergi dari sini dan jangan pernah datang lagi ke rumahku!" suara Karl menggelegar, menggema di setiap sudut apartemen yang luas namun terasa sempit oleh ketegangan.Tatapannya tajam, penuh kebencian, seperti belati yang siap mengoyak siapa pun yang berani melawan.Di hadapannya, Alma—wanita yang melahirkannya, namun tak pernah benar-benar menjadi seorang ibu—memandangnya dengan mata yang membelalak tak percaya.Rasa marah dan terhina berbaur dalam ekspresinya yang memucat."Kau … mengusir kami demi wanita ini? Kau benar-benar terobsesi oleh satu wanita yang tidak tahu diri sepertinya!" seru Alma, suaranya melengking tinggi, menusuk telinga Karl seperti siulan angin badai.Karl tertawa tipis, penuh sinisme. Tawa itu lebih mirip erangan luka yang telah lama membusuk.Ia menatap ibunya dengan sorot mata yang tidak lagi mencari kasih, melainkan penuh dengan penolakan."Aku tidak peduli. Bukankah ini yang selalu kalian ajarkan padaku? Pernahkah kalian menghargai aku sebagai seora
Suara bel yang terus-menerus berdengung memenuhi ruang apartemen Karl, menambah pusing di kepalanya yang sudah dipenuhi dengan notifikasi email dan pesan di ponselnya.Sebagian besar menanyakan tentang skandal yang baru saja mencuat ke permukaan. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada kilatan ketegangan di sorot matanya."Aku saja yang buka," ujar Elena, bangkit dari duduknya dengan ragu-ragu.Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, Karl menahannya dengan satu gerakan tangan yang tegas.Tatapan matanya tajam saat menelusuri wajah Elena, seolah memastikan bahwa perempuan itu tetap aman bersamanya."Aku saja," katanya, suaranya terdengar dalam dan mantap. "Kita tidak tahu siapa yang datang. Meskipun tidak banyak orang yang tahu tempat tinggalku di sini, aku tetap tidak bisa lengah."Karl menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mendadak berdegup tak menentu.Perlahan, ia berjalan menuju pintu, merasakan ketegangan merayap di tengkuknya. Begitu pintu terbuka, matan
Karl memasuki apartemen tanpa tergesa-gesa. Langkahnya mantap, namun ada ketegangan samar di wajahnya.Vincent telah mengatur segalanya dengan cermat sehingga ia bisa lolos dari kejaran wartawan yang masih berkerumun di depan kantor The Blue Company.Di dalam, Elena sudah menunggunya. Matanya berbinar lega begitu melihat pria itu berdiri di hadapannya tanpa luka atau gangguan berarti. Tapi ada kegelisahan yang mengintai di balik tatapannya."Siapa yang sudah menyebarkan berita itu, Karl?" tanyanya langsung, suaranya terdengar menahan cemas.Karl melepaskan jasnya dengan santai, lalu melemparkannya ke sofa sebelum melonggarkan dasinya. Tatapannya kelam, tapi ada kilatan analitis dalam sorot matanya."Pasti Gio," jawabnya tenang, seolah jawaban itu sudah mutlak."Keluargaku tidak mungkin membuat namaku buruk, karena mereka masih bergantung pada karirku. Tapi, jika mereka bersatu, bisa saja."Karl berhenti sejenak, lalu menatap Elena dalam-dalam, mencari respons di wajahnya. "Gio selalu
‘Breaking News!’‘Pengusaha besar, kaya raya, dan sangat terkenal rupanya menyimpan skandal yang selama ini tidak pernah terendus oleh media. Karl Alexander Smith—pria tampan dengan sejuta pesona itu rupanya memiliki skandal dengan istri orang!’Kalimat itu berulang kali terpampang di berbagai layar berita, menggaung di internet, dan menjadi tajuk utama yang menggemparkan dunia bisnis.Di dalam ruangannya yang luas dan megah, Karl duduk di kursinya dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi.Tangannya yang menggenggam ponsel sedikit mengetuk permukaan meja kayu mahoni di hadapannya, menciptakan irama pelan yang berulang.Di hadapannya, Vincent berdiri tegap, menyampaikan informasi dengan nada penuh kehati-hatian."Berita itu sudah tersebar sekitar dua jam yang lalu, Tuan."Karl mengangkat wajahnya, menatap Vincent dengan sorot mata kelam yang sulit diartikan. Tatapan itu tajam, tetapi sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kepanikan atau keterkejutan."Media mana saja yang sudah menye