Pram keluar dari ruangannya. Berkali-kali mengembuskan nafas kasar. Rasa geram kembali menguasai hatinya. Anak buahnya yang tempo hari disuruh ikuti Ettan justru gagal lagi karena kehilangan jejaknya.
Lelaki itu merasa geram saat melihat Harshil sudah kembali ke kantor. Apalagi dia sudah bisa berjalan dengan tegap tanpa menggunakan kursi roda.
Di ruangan meeting, semua memasang wajah yang serius dan tegang. Beberapa orang ada yang baru melihat Harshil dan sebagian lagi ada yang sudah mengenalnya. Sikap Harshil yang tampak begitu tegas, dingin dan kaku membuat orang-orang tak berani untuk menatapnya. Semua tertunduk antara takut dan ragu. Tak ada bisik-bisik tetangga, semua terasa hening.
Pramudya mengetuk pintu ruang meeting, lalu langsung duduk diantara deretan bangku yang lainnya.
"Maaf, saya sedikit terlambat," ucap Pramudya.
"Tidak masalah."
Harshil ditemani oleh Ettan yang berdiri di sampingnya, ada juga Hardian Wicaksana yang juga suda
Ia membaca isi pesan di kertas itu. Tersenyum saat membacanya."Selamat makan, Sayang. Aku pulang telat. Jangan nungguin aku. I love You -- Harshil.""Benarkah ini dari kamu, Mas? Bukankah tadi pagi kamu bilang mau makan malam bersamaku? Ah, mungkin kamu memang sangat sibuk," ucapnya sendiri.Inara kembali menutup pintu. Ia berjalan ke meja makan sembari menatap paket yang baru diterima. Benarkah itu dari suaminya?Ia menatap jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sampai sekarang Harshil belum juga pulang, dia pun tak mengirimkan kabar lewat panggilan maupun pesan.Inara memang belum memasak, ia menunggu suaminya pulang, agar masakannya hangat dan bisa dimakan secara lahap. Wanita itu menatap tulisan di secarik kertas itu. Berulang kali ia menghubungi sang suami, tapi tak jua diangkat."Apa Mas Harshil benar-benar sibuk sampai tak bisa mengangkat panggilan teleponku?"Inara menggenggam ponse
Kalau kau ingin menghancurkan laki-laki maka hancurkanlah wanita yang dicintainya. Ia pasti akan kehilangan kekuatan, terutama semangat dan kepercayaan dalam dirinya.Seorang wanita tengah mematut diri di dalam cermin, menatap wajah sendiri sembari meraba-raba pipi."Aku masih sangat cantik, tapi kenapa kau menolakku, Harshil?" racau wanita itu lirih.Ia meremas obat yang dibelinya kemarin, belum sempat ia konsumsi karena takut efeknya akan berbahaya bagi dirinya sendiri. Ia masih belum siap, merasakan nyeri yang hebat."Gara-gara anak ini, semua orang meninggalkanku. Erick dan sekarang Harshil! Mereka lebih memilih wanita lain. Menyebalkan bukan?"Dia keluar dari kamarnya, mencari sang suami."Rick? Eriiick!" panggilnya. "Sudah tentu dia tak ada di rumah. Pasti sedang mabuk-mabukan lagi. Huh!"Wanita itu menyambar tasnya kembali, ingin pergi memastikan ke apartemen. Apakah Inara sudah mati?"Maaf Mbak, ini bu
"Inara?"Harshil mendekati istrinya, merasa lega istrinya telah sadarkan diri. Dikecupnya pelan tangan sang istri.Angga pun datang mendekat, menatap Inara dengan tatapan sayu."Mas Angga ... Jangan marahi suamiku. Ini bukan salahnya. Aku juga yakin Mas Harshil pasti ingin melindungiku. Dia pasti akan melakukan yang terbaik untukku," ucap Inara lirih."Kamu dengar obrolan kami?" tanya Angga yang menatapnya penuh dengan rasa iba.Inara mengangguk pelan. "Mas, aku juga gak mau bersama kamu. Juragan Bani pasti akan selalu menggangguku.""Memangnya ada apa dengan bapakku? Apa hubungannya sama dia?""Angga, apa kau tidak tahu? Aku menikahi Inara karena dia hampir saja dipaksa menjadi istri ketiga ayahmu itu!" pungkas Harshil."Apaa?!" Angga tak percaya apa yang dikatakan oleh Harshil. "Apa maksudmu?""Kau bisa tanyakan sendiri sama ayahmu yang mata keranjang itu, atau kau bisa bertanya pada abah. Kenapa ayahmu ingin men
"Hancur sudah, kalau Sandra tahu! Semua bisa berantakan. Aaarghhh!!" geramnya kesal.Pram berlari mengejar istrinya. "Ma, tunggu, Ma!" teriaknya lagi.Sandra tak peduli, ia terus berjalan menuju ke tempat parkir, dimana Andre sudah menunggunya."Antarkan aku ke rumah sakit, Ndre!" pinta Sandra setelah masuk ke dalam mobil."Tapi Tuan gimana, Nyonya? Beliau mengejar Nyonya," sahut Andre."Kau bekerja padaku atau bekerja padanya? Kalau kau bekerja padanya silakan turun dari mobil ini dan berikan kunci mobil itu padaku. Tapi aku tekankan nasibmu akan sama seperti sekretarisnya, berakhir hari ini juga!" pungkas Sandra penuh penekanan.Andre merasa heran, majikannya saat ini tampak tegas dan tak bisa dibantah."Tidak, Nyonya. Saya bekerja pada anda," jawab Andre gugup, dia tak ingin kehilangan pekerjaan, mengingat istrinya tengah hamil tujuh bulan dan membutuhkan banyak biaya. Belum lagi ibunya yang sakit-sakitan membutuhkan dana untuk cuci darah."Bagus, kalau gitu jalan sekarang! Abaikan
Matanya terbelalak kaget saat melihat headline news berita tentang kontrak pernikahan Harshil dan Inara. Tapi berita itu langsung lenyap begitu saja. Untunglah dia sempat menscreenshot berita itu.Ia membaca kembali dengan nada pelan dan lantang. Surat perjanjian kontrak pernikahan. Harshil Arsyanendra dan Inara Savita.Harshil Arsyanendra sebagai pihak pertama, Inara Savita sebagai pihak kedua.Pihak pertama melunasi hutang ayah dari pihak kedua sebesar delapan puluh juta rupiah. Sebagai gantinya pihak kedua bersedia menjadi istri pihak pertama dengan beberapa ketentuan sebagai berikut ; - Pernikahan akan berjalan selama enam bulan saja, berlaku sejak surat perjanjian ini ditandatangani. - Pihak pertama berjanji tidak akan memberi sentuhan apapun terhadap pihak kedua - Pihak kedua tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri selain melayani kebutuhan di atas ranjang - Pihak pertama menjamin semua kebutuhan pihak kedua sampai kontrak berakhirWanita berambut pendek sepund
"Ma, kenapa mama lakukan ini sih? Gak malu apa, Ma? Mama kan sudah tua kenapa nyebar aib papa begini? Malu Ma, apa kata orang-orang dan teman-temanku nanti?"Sandra baru saja pulang tapi langsung disambut oleh cecaran pertanyaan dari putrinya. Sandra menanggapinya dengan senyuman. Lalu menghempaskan pantatnya duduk di atas sofa.Putri dan Lila ikut duduk di samping kanan dan kirinya."Sayang, Mama sudah gak peduli lagi dengan papa kalian. Kenapa harus malu? Memang kenyataannya begitu kok. Biarkan dia kena mental dihujat netizen," jelas sang ibunda.Putri dan Lila saling berpandangan melihat perubahan dalam diri mamanya, yang tadinya lemah lembut menjadi sadis tak berperi."Ma, tapi kasihan papa Ma--""Sayang, selingkuh itu kesalahan yang sangat fatal. Mama tak bisa memberi ampun untuk hal itu. Tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi, itulah papamu. Makin tua makin banyak tingkah, main serong dengan perempuan muda. Gak mikir anak-anaknya juga perempuan!" Hah! Sandra mengembuskan
Harshil menggenggam tangan Inara, menyadari beberapa pasang mata menoleh ke arahnya."Kita bicarakan ini setelah sampai di rumah," ucapnya setengah berbisik.Inara hanya mengangguk. Dia melihat Savrina yang tengah digendong oleh seorang wanita berumur sekitar empat puluh tahunan."Dia pengasuh untuk Savrina, Ettan yang mencarikan baby sitter untuknya, untuk membantumu mengasuh Savrina."Tanpa diminta, Harshil menjelaskan semuanya. Inara hanya mengangguk lagi, sekarang dia tak mau membantah apapun lagi. Ucapan Harshil mungkin itu yang terbaik untuknya. "Kita pulang ke apartemen, Tuan?" tanya Ettan memastikan."Langsung ke rumah saja. Jangan ke apartemen dulu untuk sementara waktu.""Baik, Tuan."Mobil yang dikendarai Ettan melaju dengan kecepatan sedang. Savrina dan babysitternya duduk di depan. Sementara Harshil dan Inara duduk di belakang. Inara menyandarkan kepalanya ke pundak sang suami. Dia masih merasa lemas tak bertenaga. Harshil merangkul pundaknya. Sesekali mengecup puncak ke
Pramudya mendekat ke arah Harshil dan berbisik, "jaga baik-baik istri kecilmu itu, Harshil! Kita tidak tahu, bahaya apalagi yang akan menimpanya."Dia menepuk pundak Harshil beberapa kali sembari tersenyum sinis. Pria paruh baya itu melangkah pergi, membawa kopernya usai memunguti baju yang berceceran.Ingin rasanya Harshil memukul pria itu, tapi tak pantas. Secara tersirat pamannya itu mengancam Inara.Harshil mengembuskan nafas kasar, saat berbalik seorang pelayan hendak mengantarkan bubur dan sayur soupnya ke kamar Inara."Bi, biar aku aja," tukas Harshil. Mendengar ancaman dari Pram, dia jadi tak tega meninggalkan Inara sendirian di kamarnya."Tapi--""Tidak apa-apa, dia istriku.""Baik, Tuan."Harshil melangkah sambil membawa makanan itu ke dalam kamarnya. Inara masih tertidur, bahkan dia tak sadar ketika seseorang membuka pintu kamar."Inara ..." panggil Harshil lembut. Ia meletakkan makanan di atas meja. Dia duduk di samping sang istri, mengelus pipinya dengan pelan. "Sayang,
Harshil masih menenangkan diri di ruang perawatan bayi. Ia masih belum sanggup menemui Inara dalam keadaan yang menyedihkan. Berulang kali ia menghapus jejak genangan air mata. Nyatanya dia yang biasa tegar kini terlihat begitu rapuh. Bahkan sangat rapuh akan kehilangannya. Cukup lama, bayinya itu kembali tenang, sudah tak menangis lagi. Harshil bersiap menemui Inara. Di ruangan serba putih itu, Inara masih terbaring lemah. Ia sudah tak lagi memakai mesin ventilator hanya selang oksigen dan juga selang infus. Ia masih terdiam, belum mampu berucap satu patah kata. Harshil membuka pintu ruang perawatan. Inara menoleh ke arah suaminya, pandangan mereka bersirobok. Tanpa banyak kata, Harshil langsung menghambur ke arahnya, memeluk sang istri dan menciuminya berkali-kali. Dengan tangan gemetar, Inara mengangkat tangannya lalu berusaha mengusap genangan embun di kedua mata Harshil. Lalu membelai lembut bibir sang suami, membuat lelaki itu makin tak kuasa menahan air mata.Inara tersenyum
Jika yang datang bisa pergi, lantas akankah yang pergi bisa kembali?***"Bangun sayang, kamu gak boleh pergi. Inara, banguuuun. Kau dengar aku kan?! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini, Inara!! Aku sangat mencintaimu Inara, aku mencintaimu. Kumohon kembalilah, jangan pergiii .... Inaraku, bangunlah sayaaaaang."Inara masih bergeming meski Harshil berteriak dengan histeris. Harshil menghapus jejak air mata yang jatuh berderai. Ia bangkit dan kembali mencium puncak kepala Inara. Walaupun matanya terpejam, ia terlihat begitu damai dan teduh. Berkali-kali Harshil menelan saliva. Berharap ini hanya mimpi semata. Ia takkan pernah bisa terima bila Inara sudah tiada."Ah aku tau cara membangunkanmu, tunggu aku sayang ... Aku akan membawamu kembali."Harshil membuka pintu ruang perawatan dan kembali menutupnya. Sontak semua orang menatap ke arahnya. Keluarganya satu persatu sudah datang, mereka pun tengah menunggu kepastian, termasuk Chelsie yang didampingi oleh kedua orang tuanya datang.
"Ya, Tuan. Keadaan nona ..."'Ada apalagi dengan Inara?' Batin Harshil. Jantungnya makin berdegup dengan kencang. "Ada apa dengan Inara?" tanya Harshil dengan suara bergetar. Matanya sudah panas seolah kristal bening itu hendak berjejalan keluar."Tuan, keadaan nona kritis lagi."Tes ... Air mata itupun akhirnya jatuh tak tertahankan. Dia langsung mematikan panggilan teleponnya. Hatinya mendadak gusar."Van, kita ke rumah sakit sekarang!" titah Harshil dengan pandangan kosong. Perasaannya berubah tak enak. Khawatir, panik, cemas bercampur aduk menjadi satu. Apa yang terjadi pada Inara? Pertanyaan itu terus berputar-putat di pikirannya."Baik, Tuan." Vano memperhatikan sang majikan, merasa iba dengan keadaannya. 'Kasihan sekali, Tuan Muda."Vano memacu mobilnya dengan kecepatan kencang. Sepanjang perjalanan Harshil hanya diam, dengan perasaan yang berkecamuk begitu dahsyat.Terbayang kembali kenangan-kenangan manis bersama Inara. Kenangan yang takkan pernah bisa ia lupakan. Kepingan-
"Nak Harshil, gimana keadaan Inara?" Tiba-tiba Abah datang, wajahnya tampak begitu cemas. Teddy-lah yang sudah membawanya kemari.Harshil bangkit dan langsung menyalami tangan ayah mertuanya. "Abah bisa ikut aku ke dalam," ujar Harshil. Dia mengantarkan abah melihat kondisi putrinya. Di atas bed pasien, Inara tampak tertidur pulas dan damai. Wajah yang putih dan terlihat sangat pucat, membuat siapapun yang melihatnya melelehkan air mata. Abah menatap sang menantu, pandangannya seolah meminta penjelasan."Abah, maafkan saya karena tak bisa melindunginya dengan baik. Kata dokter, Inara mengalami koma akibat pendarahan hebat dan benturan keras yang dialaminya." Harshil mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak hatinya. "Tapi beruntung bayi dalam kandungan Inara masih bisa diselamatkan. Abah sudah punya cucu. Cucu yang sangat tampan," lanjut Harshil lagi dengan pandangan berkaca-kaca.Abah langsung mendekat ke arah putrinya. Bahu itu tampak berguncang. Abah menangis. Me
Tanpa terasa butiran bening menitik di kedua sudut matanya. "Inara bangun, Inara! Bertahanlah sayang! Bertahanlah!"Beberapa orang langsung berkerumun. Bahkan ada yang hendak menolong Inara."Berhenti! Jangan sentuh istriku!" teriak Harshil. Emosi dan kesedihannya sudah memuncak bercampur padu menjadi satu.Mereka saling berpandangan, melihat kondisi Inara yang tampak begitu menyedihkan. Harshil meraih ponselnya dan menelepon Teddy supaya segera mempersiapkan mobil. Teddy berlari ke arahnya. "Tuan mobilnya sudah siap!" tukas Teddy, wajahnya pun ikut panik melihat kondisi nona majikannya.Dengan hati yang runtuh, Harshil mengangkat tubuh Inara. Dan berlari menuju mobil yang sudah dipersiapkan di depan mall. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihatnya iba. "Sayang, kumohon bertahanlah." Harshil terus menciumi sang istri, berharap ada keajaiban dan dia bisa sadarkan diri.Harshil duduk memangku tubuh Inara. Tak peduli rembesan darah itu sudah menodai bajunya. Ia mengusap peru
"Mas, mau pilih yang mana? Kiri apa kanan?" Inara memberikan pilihan seraya menyodorkan kedua tangannya yang mengepal."Wah, kejutan apa lagi nih?" tanya Harshil. Dia beranjak duduk dengan pandangan yang antusias."Ayo mau pilih yang mana?" tanya Inara lagi."Yang kanan apa, Sayang?" Inara membuka kepalan tangannya. "Yeay makan jagung bakar," jawabnya seraya memperlihatkan sebuah tulisan di tangannya."Kalau yang kiri?" tanya Harshil. Inara membuka kepalan tangannya yang sebelah kiri. "Jalan-jalan ke pantai.""Ya udah aku pilih yang kanan dan kiri juga. Ayo kita jalan-jalan ke pantai sambil makan jagung bakar!""Hah? Beneran?""Iya, kalau bisa dua-duanya kenapa tidak?" Harshil menaik-turunkan alisnya menggoda."Beneran, Mas?" Inara kembali bertanya seolah masih tak percaya."Iya. Anniversary kita yang ke berapa tadi?""Sepuluh bulan!"Harshil mengulum senyum. "Oh iya, ayo. Siap-siap! Mandi dulu gih!""Eeh kan aku udah mandi dari sebelum subuh! Mas sih, habis subuhan malah tidur lagi
"Inara, hari ini kita jalan-jalan yuk! Biar aku sendiri yang nyetir. Spesial hari ini khusus untuk kita berdua," ajak Harshil. Hari ini dia ada sedikit waktu. Rasanya ingin bersenang-senang bersama sang istri. Kaos warna marun dan celana jeans membalut tubuhnya yang atletis."Kemana?""Kamu maunya kemana?""Makan.""Makan lagi?" Kening Harshil mengernyit. Pasalnya mereka baru saja makan siang bersama keluarga, kurang lebih satu jam yang lalu.Inara mengangguk cepat. Semenjak kehamilannya menginjak ke trimester ketiga, entah kenapa nafsu makannya bertambah berlipat-lipat. Jadi doyan makan dan pengen makan lagi. Harshil menatap istrinya dengan pandangan takjub. Merasa heran dengan perubahan sang istri."Badan kecil begini tapi kok doyan makan ya!" celetuk Harshil."Kan permintaan dedek bayi.""Jadi dedek bayi lagi yang minta?""Heem.""Terus mau makan apa?""Emmmh bentar-bentar, aku komunikasi sama dedek bayi dulu."Harshil mengulum senyum melihat tingkah Inara yang menurutnya lucu dan
Menginjak usia kandungan yang ke tujuh bulan. "Mas, hari ini antar aku check-up ke dokter lagi ya.""Iya, tentu saja, Sayang. Bulan ini bisa tahu ya jenis kelaminnya apa?""Semoga bisa ya, Mas.""Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari kelahirannya."Inara tersenyum manis. "Kau benar, Mas. Aku juga sudah tidak sabar lagi. Rasanya pasti menyenangkan akan menjadi orang tua.""Apa ada yang kamu keluhkan?" tanya Harshil. Ia ingin memastikan kondisi istrinya baik-baik saja."Hanya satu yang jadi keluhanku saat ini, Mas.""Apa?" "Gak bisa tengkurap, Mas.""Hahahaha ..." Harshil justru tertawa mendengar jawaban konyol Inara. Ia tak menyangka sang istri yang lugu dan polos bisa bercanda juga."Kok ketawa, Mas? Aku kan ngomong bener. Cuma bisa miring kanan, capek miring kiri. Pinggangku juga makin pegel, Mas, gampang capek. Sesekali aku pengen tengkurep, tapi gak bisa."Harshil mengacak rambut Inara yang masih tergerai panjang. "Kamu ini ada-ada saja. Namanya juga lagi hamil, pasti rasanya
"Mas, hari ini enam bulan pernikahan kita," ujar Inara ragu-ragu."Hmmm, terus?" Harshil masih menatap layar laptop di hadapannya."Kok terus sih? Mas gak mau ucapin apapun padaku?" tanya Inara, bibirnya cemberut.Harshil menoleh, menatap Inara yang tengah kesal memandangnya. Pandangan Harshil bertanya-tanya. Ia pun bangkit, lalu menghampiri sang istri. "Kamu butuh apa, Sayang?"Inara menggeleng pelan, membuat Harshil makin tak mengerti. "Ayo coba katakan padaku, apa yang kamu inginkan? Kalau kamu gak ngomong, aku gak bakalan tau."Inara menghela nafas dalam-dalam. "Mas, apa kamu gak mau memastikan pernikahan kita?""Apanya yang perlu dipastikan? Kan semuanya sudah pasti, kau milikku dan aku milikmu. Oh, kamu masih ragu tentang perjanjian itu?"Inara mengangguk lemah. Harshil justru tersenyum seraya membuang nafas panjangnya. Dituntunnya sang istri untuk duduk di tepi ranjang. Lelaki itu membenarkan rambut Inara ke belakang telinga. "Kenapa kamu masih takut dengan hal itu? Aku kan