"Ada kabar mengenai Tuan Hara."
"Ayah? Kenapa dengan ayah?" tanya Harshil lagi.
"Dokter tidak bisa menjelaskannya di telepon, Tuan. Kita diminta untuk datang ke Rumah Sakit."
"Ya sudah, siapkan mobil."
"Baik, Tuan."
Ettan membungkukkan badannya kemudian menuju garasi mobil, mengeluarkan mobil sport dari sana.
"Mas, aku ikut ya," ucap Inara membuyarkan lamunan Harshil. Entah apa yang tengah dipikirkannya, yang jelas raut wajah lelaki itu tampak begitu gusar.
Harshil hanya mengangguk saja.
"Kau terlihat tidak baik-baik saja, Mas?"
"Ya, aku takut terjadi sesuatu dengan Ayah. Sudah sangat lama ayah koma, bila ada kabar mendadak seperti ini, bukankah terjadi sesuatu hal buruk dengan Ayah?"
"Mas, siapa tahu dokter membawa kabar gembira untukmu. Ayah siuman, misalnya."
Harshil menghela nafas dalam-dalam. "Entahlah, tapi firasatku sudah tak enak dari semalam. Aku sudah tak punya ibu sejak
"Malam ini, kita akan pulang ke rumah kakek dulu. Mereka sudah mempersiapkan kamar kita," ujar Harshil.Inara mengangguk. Sebenarnya dia merasa keberatan. Karena di rumah yang besar dan mewah itu, dia akan bertemu dengan si penjahat. Tapi apa boleh buat, demi menghormati kepergian ayah mertuanya dan keluarga Harshil yang dirundung duka, ia harus mengikuti kemanapun sang suami pergi.***Inara membuka pintu kamar, melihat Harshil yang tengah merenung di sudut kamar, pandangannya menerawang jauh, menatap ke arah luar jendela.Memangnya apa yang dilihat? Sudah malam begini hanya ada kegelapan, dan pendar cahaya lampu."Mas?" panggil Inara pelan.Tak ada jawaban apapun darinya. Harshil seakan malas untuk menanggapi. Hatinya sedang terluka, ia masih kehilangan. Sakit. Semenjak pulang dari tempat pemakaman, ia mengurung diri di kamar. Tak ada sepatah kata apapun yang keluar dari mulutnya. Sementara Inara tadi
"Besok kita kembali lagi ke villa, itu kan yang kamu mau?""Bener, Mas?""Iya.""Okey. Tapi besok jadwalmu fisioterapi, Mas.""Ya, kita ke rumah sakit dulu. Habis itu kita langsung pulang ke Villa.""Alhamdulillah, syukurlah, aku senang kamu langsung setuju untuk terapi, tak perlu berdebat lagi masalah ini.""Ya, aku ingin sembuh. Demi kamu."Mereka berdua saling melempar senyum. Harshil masih menatap istrinya.Brakk ...! Tiba-tiba terdengar suara benda terjatuh. Keduanya menoleh, Inara bergegas melihat siapa yang berada di sana dan mencuri dengar obrolannya.Ia melihat sekelebat bayangan menjauh."Siapa, Inara?" tanya Harshil.Inara memungut pot bunga plastik yang terjatuh dari tempatnya."Gak tahu Mas," sahut Inara.Harshil terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya."Mas, aku beresin piringnya dulu, nanti nyusul kamu ke kamar.""Kita bare
"Inara ..." panggil Harshil pelan.Inara menoleh dan menatap takjub lelaki itu berdiri tak jauh di belakangnya."Mas, kamu ..." Inara menutup mulutnya tak percaya.Masih tertatih, Harshil mendekat dan memeluk tubuh istrinya dengan hangat."Aku sangat ingin memelukmu, makanya aku berdiri," kilah Harshil membuat bunga-bunga di hati Inara makin bermekaran.Harshil mencium puncak kepala istrinya berkali-kali."Inara, kenapa kamu masih pakai jilbab di dalam kamar? Kenapa gak dilepas saja?"Inara mendongak, menatap wajah sang suami. Senyuman mengembang di wajahnya yang manis."Aku kan belum mandi, Mas," sahut Inara tertawa kecil."Pantas, ada bau-bau khas ... Khasyeeem ..."Inara mencubit perut suaminya. "Ih sok tau! Nyebelin!""Hahahaha, walaupun belum mandi, kau tetap wangi.""Mulai deh, menggombal! Aku mandi dulu, Mas.""Tunggu sebentar!" cegahnya."Kenapa, Mas?"
"Yess! Aku berhasil mendapatkanmu. Harshil takkan mengira kalau ini semua ulah orang terdekatnya."Pria itu menyeringai, sesekali melirik ke arah wanita yang tak sadarkan diri di sampingnya."Kamu gadis desa yang cantik," ujarnya sembari mengelus pipi Inara.Pria itu mengambil ponsel di saku jaketnya lalu melakukan panggilan."Hallo, Om. Aku sudah berhasil menangkapnya. Langkah selanjutnya bagaimana?""Bagus. Wanita itu terserah mau kau apakan. Yang jelas aku hanya butuh Harshil menyusul ayahnya ke neraka," sahut suara dari seberang telepon."Caranya?""Jebak dia. Bawa dia ke suatu tempat seolah-olah istrinya ada di sana. Kalau dia benar-benar mencintai istrinya, dia pasti akan datang. Lalu segera ledakkan tempat itu biar Harshil lenyap dalam kobaran api.""Ettan bagaimana?""Kau pasti bisa bereskan sopir sialan itu. Jangan sampai dia menghambat kerja keras kita.""Baik, Om.""Inga
"Hai manis, apa kau sudah menungguku? Hahahaha, kau menatapku tanpa berkedip. Apa kau suka melihat tubuhku yang seksi ini?" Ryan kembali menghampiri Inara yang masih duduk terpaku sembari memandangnya nanar."Mas, kamu tidak bisa berbuat seperti itu padaku.""Kenapa tidak bisa?"Mendadak Inara merasakan sakit perut yang begitu hebat. Ia meringis kesakitan, membuat Ryan heran."Inara, kamu kenapa?" tanyanya."Perutku sakit banget, Mas.""Jangan bohong kamu! Kamu sengaja menghindariku kan?!"Inara menggeleng perlahan sembari memegangi perutnya."Mas, tolong belikan aku obat nyeri haid.""Kamu sedang datang bulan, Inara?"Inara mengangguk."Jangan bohong kamu!""Buat apa aku bohong. Mas, tolong belikan aku pembalut juga, aku udah gak nyaman, pengin ganti."Ryan hanya melongo, ia tak percaya ucapan Inara."Coba kau berdiri!" tukas Ryan.Ina
"Mas, stop, mas, stop!" pekik Inara.Angga memperlambat laju motornya, lalu berhenti."Ada apa, In?"Inara turun dari boncengan motornya, lalu berjongkok di tepi jalan, sembari memegangi perutnya yang terasa tidak enak."Kamu kenapa?""Perutku sakit, Mas.""Sakit? Kamu belum makan?""Bukan itu, tapi ini masalah perempuan.""Kamu lagi datang bulan?"Inara mengangguk.Angga melihat sekeliling, lalu menunjuk ke arah pos ronda. "Kita istirahat disitu dulu, ayo!"Dia menuntun motornya, parkir di depan pos ronda yang terlihat sepi. Inara mengikutinya dari belakang. Degup jantungnya yang sedari tadi berpacu hebat, kini sudah sedikit relaks kembali."Tunggu dulu di sini sebentar, aku belikan minum untukmu.""Mas, apa boleh aku pinjam ponselmu? Aku ingin menelepon suamiku," tanya Inara lagi.Angga mengangguk lalu memberikan ponselnya pada Inara. Untunglah waktu itu dia sempat
"Bos, semuanya sudah hangus bos!""Apa kalian sudah pastikan?""Iya, Bos. Mobilnya sudah terbakar, begitu juga gudangnya.""Bagus. Kalian akan dapatkan bayaran yang setimpal atas kerja keras ini.""Terima kasih, Bos.""Cepat kalian pergi dari sana, sebelum polisi datang. Ingat setelah kalian dapatkan uang itu, segera pergi dari kota ini, jangan pernah menginjakkan kaki lagi ke sini. Tutup mulut kalian rapat-rapat.""Beres bos!"Percakapan di ujung telepon itu membuat keduanya menerbitkan senyuman licik. Pram, salah satu Om Harshil memenangkan rencananya. Ia pun menyuruh Ryan untuk memberi tahu sang kakek, mengenai kecelakaan yang terjadi yang menimpa Harshil dan Ettan.Dia berharap kalau si tua bangka itu segera menandatangani surat perjanjian yang sudah dia gadang-gadangkan sebelumnya.Ada alasan kenapa Pram alias Pramudya melakukan kejahatan luar biasa seperti ini. Semua karena dendam masa lalunya.
"Kek ... Kakeeekk ...!" Ryan berteriak panik. Dia tak menduga hal ini akan terjadi.Sandra dan Rosa yang mendengar teriakan Ryan segera berlalu menghampirinya."Apa yang terjadi?""Kakek tiba-tiba pingsan setelah mendengar kabar tentang Harshil.""Apa maksudmu, Ryan?" tanya ibunya."Ma, ledakan di gudang minyak itu, ternyata ada Harshil di sana. Mobilnya juga hangus terbakar.""Apa? Kamu kasih tahu info ini pada kakekmu yang pernah punya riwayat sakit jantung?"Sandra menggeleng pelan lalu menghubungi para penjaga dan sopirnya untuk membawa Tuan Danendra ke Rumah Sakit."Andre, tolong ke sini, bawa Tuan ke Rumah Sakit, kami akan menyusul di belakang," perintah Sandra pada sang sopir."Baik, Nyonya."Sementara Rossa sibuk menghubungi anak buah, untuk mencari tahu kebenaran yang terjadi pada Harshil dan istrinya."Hallo, Tanto, kau cari tahu informasi akurat tentang Harshil dan
Harshil masih menenangkan diri di ruang perawatan bayi. Ia masih belum sanggup menemui Inara dalam keadaan yang menyedihkan. Berulang kali ia menghapus jejak genangan air mata. Nyatanya dia yang biasa tegar kini terlihat begitu rapuh. Bahkan sangat rapuh akan kehilangannya. Cukup lama, bayinya itu kembali tenang, sudah tak menangis lagi. Harshil bersiap menemui Inara. Di ruangan serba putih itu, Inara masih terbaring lemah. Ia sudah tak lagi memakai mesin ventilator hanya selang oksigen dan juga selang infus. Ia masih terdiam, belum mampu berucap satu patah kata. Harshil membuka pintu ruang perawatan. Inara menoleh ke arah suaminya, pandangan mereka bersirobok. Tanpa banyak kata, Harshil langsung menghambur ke arahnya, memeluk sang istri dan menciuminya berkali-kali. Dengan tangan gemetar, Inara mengangkat tangannya lalu berusaha mengusap genangan embun di kedua mata Harshil. Lalu membelai lembut bibir sang suami, membuat lelaki itu makin tak kuasa menahan air mata.Inara tersenyum
Jika yang datang bisa pergi, lantas akankah yang pergi bisa kembali?***"Bangun sayang, kamu gak boleh pergi. Inara, banguuuun. Kau dengar aku kan?! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini, Inara!! Aku sangat mencintaimu Inara, aku mencintaimu. Kumohon kembalilah, jangan pergiii .... Inaraku, bangunlah sayaaaaang."Inara masih bergeming meski Harshil berteriak dengan histeris. Harshil menghapus jejak air mata yang jatuh berderai. Ia bangkit dan kembali mencium puncak kepala Inara. Walaupun matanya terpejam, ia terlihat begitu damai dan teduh. Berkali-kali Harshil menelan saliva. Berharap ini hanya mimpi semata. Ia takkan pernah bisa terima bila Inara sudah tiada."Ah aku tau cara membangunkanmu, tunggu aku sayang ... Aku akan membawamu kembali."Harshil membuka pintu ruang perawatan dan kembali menutupnya. Sontak semua orang menatap ke arahnya. Keluarganya satu persatu sudah datang, mereka pun tengah menunggu kepastian, termasuk Chelsie yang didampingi oleh kedua orang tuanya datang.
"Ya, Tuan. Keadaan nona ..."'Ada apalagi dengan Inara?' Batin Harshil. Jantungnya makin berdegup dengan kencang. "Ada apa dengan Inara?" tanya Harshil dengan suara bergetar. Matanya sudah panas seolah kristal bening itu hendak berjejalan keluar."Tuan, keadaan nona kritis lagi."Tes ... Air mata itupun akhirnya jatuh tak tertahankan. Dia langsung mematikan panggilan teleponnya. Hatinya mendadak gusar."Van, kita ke rumah sakit sekarang!" titah Harshil dengan pandangan kosong. Perasaannya berubah tak enak. Khawatir, panik, cemas bercampur aduk menjadi satu. Apa yang terjadi pada Inara? Pertanyaan itu terus berputar-putat di pikirannya."Baik, Tuan." Vano memperhatikan sang majikan, merasa iba dengan keadaannya. 'Kasihan sekali, Tuan Muda."Vano memacu mobilnya dengan kecepatan kencang. Sepanjang perjalanan Harshil hanya diam, dengan perasaan yang berkecamuk begitu dahsyat.Terbayang kembali kenangan-kenangan manis bersama Inara. Kenangan yang takkan pernah bisa ia lupakan. Kepingan-
"Nak Harshil, gimana keadaan Inara?" Tiba-tiba Abah datang, wajahnya tampak begitu cemas. Teddy-lah yang sudah membawanya kemari.Harshil bangkit dan langsung menyalami tangan ayah mertuanya. "Abah bisa ikut aku ke dalam," ujar Harshil. Dia mengantarkan abah melihat kondisi putrinya. Di atas bed pasien, Inara tampak tertidur pulas dan damai. Wajah yang putih dan terlihat sangat pucat, membuat siapapun yang melihatnya melelehkan air mata. Abah menatap sang menantu, pandangannya seolah meminta penjelasan."Abah, maafkan saya karena tak bisa melindunginya dengan baik. Kata dokter, Inara mengalami koma akibat pendarahan hebat dan benturan keras yang dialaminya." Harshil mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak hatinya. "Tapi beruntung bayi dalam kandungan Inara masih bisa diselamatkan. Abah sudah punya cucu. Cucu yang sangat tampan," lanjut Harshil lagi dengan pandangan berkaca-kaca.Abah langsung mendekat ke arah putrinya. Bahu itu tampak berguncang. Abah menangis. Me
Tanpa terasa butiran bening menitik di kedua sudut matanya. "Inara bangun, Inara! Bertahanlah sayang! Bertahanlah!"Beberapa orang langsung berkerumun. Bahkan ada yang hendak menolong Inara."Berhenti! Jangan sentuh istriku!" teriak Harshil. Emosi dan kesedihannya sudah memuncak bercampur padu menjadi satu.Mereka saling berpandangan, melihat kondisi Inara yang tampak begitu menyedihkan. Harshil meraih ponselnya dan menelepon Teddy supaya segera mempersiapkan mobil. Teddy berlari ke arahnya. "Tuan mobilnya sudah siap!" tukas Teddy, wajahnya pun ikut panik melihat kondisi nona majikannya.Dengan hati yang runtuh, Harshil mengangkat tubuh Inara. Dan berlari menuju mobil yang sudah dipersiapkan di depan mall. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihatnya iba. "Sayang, kumohon bertahanlah." Harshil terus menciumi sang istri, berharap ada keajaiban dan dia bisa sadarkan diri.Harshil duduk memangku tubuh Inara. Tak peduli rembesan darah itu sudah menodai bajunya. Ia mengusap peru
"Mas, mau pilih yang mana? Kiri apa kanan?" Inara memberikan pilihan seraya menyodorkan kedua tangannya yang mengepal."Wah, kejutan apa lagi nih?" tanya Harshil. Dia beranjak duduk dengan pandangan yang antusias."Ayo mau pilih yang mana?" tanya Inara lagi."Yang kanan apa, Sayang?" Inara membuka kepalan tangannya. "Yeay makan jagung bakar," jawabnya seraya memperlihatkan sebuah tulisan di tangannya."Kalau yang kiri?" tanya Harshil. Inara membuka kepalan tangannya yang sebelah kiri. "Jalan-jalan ke pantai.""Ya udah aku pilih yang kanan dan kiri juga. Ayo kita jalan-jalan ke pantai sambil makan jagung bakar!""Hah? Beneran?""Iya, kalau bisa dua-duanya kenapa tidak?" Harshil menaik-turunkan alisnya menggoda."Beneran, Mas?" Inara kembali bertanya seolah masih tak percaya."Iya. Anniversary kita yang ke berapa tadi?""Sepuluh bulan!"Harshil mengulum senyum. "Oh iya, ayo. Siap-siap! Mandi dulu gih!""Eeh kan aku udah mandi dari sebelum subuh! Mas sih, habis subuhan malah tidur lagi
"Inara, hari ini kita jalan-jalan yuk! Biar aku sendiri yang nyetir. Spesial hari ini khusus untuk kita berdua," ajak Harshil. Hari ini dia ada sedikit waktu. Rasanya ingin bersenang-senang bersama sang istri. Kaos warna marun dan celana jeans membalut tubuhnya yang atletis."Kemana?""Kamu maunya kemana?""Makan.""Makan lagi?" Kening Harshil mengernyit. Pasalnya mereka baru saja makan siang bersama keluarga, kurang lebih satu jam yang lalu.Inara mengangguk cepat. Semenjak kehamilannya menginjak ke trimester ketiga, entah kenapa nafsu makannya bertambah berlipat-lipat. Jadi doyan makan dan pengen makan lagi. Harshil menatap istrinya dengan pandangan takjub. Merasa heran dengan perubahan sang istri."Badan kecil begini tapi kok doyan makan ya!" celetuk Harshil."Kan permintaan dedek bayi.""Jadi dedek bayi lagi yang minta?""Heem.""Terus mau makan apa?""Emmmh bentar-bentar, aku komunikasi sama dedek bayi dulu."Harshil mengulum senyum melihat tingkah Inara yang menurutnya lucu dan
Menginjak usia kandungan yang ke tujuh bulan. "Mas, hari ini antar aku check-up ke dokter lagi ya.""Iya, tentu saja, Sayang. Bulan ini bisa tahu ya jenis kelaminnya apa?""Semoga bisa ya, Mas.""Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari kelahirannya."Inara tersenyum manis. "Kau benar, Mas. Aku juga sudah tidak sabar lagi. Rasanya pasti menyenangkan akan menjadi orang tua.""Apa ada yang kamu keluhkan?" tanya Harshil. Ia ingin memastikan kondisi istrinya baik-baik saja."Hanya satu yang jadi keluhanku saat ini, Mas.""Apa?" "Gak bisa tengkurap, Mas.""Hahahaha ..." Harshil justru tertawa mendengar jawaban konyol Inara. Ia tak menyangka sang istri yang lugu dan polos bisa bercanda juga."Kok ketawa, Mas? Aku kan ngomong bener. Cuma bisa miring kanan, capek miring kiri. Pinggangku juga makin pegel, Mas, gampang capek. Sesekali aku pengen tengkurep, tapi gak bisa."Harshil mengacak rambut Inara yang masih tergerai panjang. "Kamu ini ada-ada saja. Namanya juga lagi hamil, pasti rasanya
"Mas, hari ini enam bulan pernikahan kita," ujar Inara ragu-ragu."Hmmm, terus?" Harshil masih menatap layar laptop di hadapannya."Kok terus sih? Mas gak mau ucapin apapun padaku?" tanya Inara, bibirnya cemberut.Harshil menoleh, menatap Inara yang tengah kesal memandangnya. Pandangan Harshil bertanya-tanya. Ia pun bangkit, lalu menghampiri sang istri. "Kamu butuh apa, Sayang?"Inara menggeleng pelan, membuat Harshil makin tak mengerti. "Ayo coba katakan padaku, apa yang kamu inginkan? Kalau kamu gak ngomong, aku gak bakalan tau."Inara menghela nafas dalam-dalam. "Mas, apa kamu gak mau memastikan pernikahan kita?""Apanya yang perlu dipastikan? Kan semuanya sudah pasti, kau milikku dan aku milikmu. Oh, kamu masih ragu tentang perjanjian itu?"Inara mengangguk lemah. Harshil justru tersenyum seraya membuang nafas panjangnya. Dituntunnya sang istri untuk duduk di tepi ranjang. Lelaki itu membenarkan rambut Inara ke belakang telinga. "Kenapa kamu masih takut dengan hal itu? Aku kan