Satu minggu sudah Dara dan Revan menikah, tidak ada kegiatan yang berarti untuk pengantin baru itu kecuali bercinta. Dara juga terlihat sedikit dingin dengan suaminya meski suaminya mencukupi semua kebutuhannya, pun dengan Kaivan yang tidak mencari gara-gara dengan Revan lagi. Malam ini Revan duduk di ruang tengah seraya menyalakan televisi, tetapi tatapan matanya kosong ke arah sana. Entah kenapa Revan seperti memiliki salah kepada Dara, padahal harusnya apapun yang dia lakukan pada Dara, Dara tidak berhak protes karena dia sudah membeli seluruh hidup Dara. “Ini gajah, aku kalau besar pengen jadi gajah,” ucap Kaivan yang tengah belajar tidak jauh dari Revan. Meski Kaivan belum sekolah, tetapi Dara mengajari adiknya agar kalau sekolah bisa mengimbangi teman-temannya. “Hustt, jangan kenceng-kenceng!” bisik Dara. “Kakak, kenapa kakak kelihatan takut sama Kak Revan? Kenapa kita tidak pulang ke rumah saja? Daripada di sini ada orang jahat,” tanya Kaivan setengah mengeraskan suaranya u
Malam ini terasa mencekam bagi Dara, pasalnya saat ini adiknya berada di ruang ICU dengan berbagai alat yang terpasang di tubuh kecilnya. Usia adiknya masih sangat kecil, tetapi sudah mendapatkan penderitaan yang sangat banyak. Dara tidak diperkenankan masuk, perempuan itu hanya bisa menangis sembari melihat di kaca. Keadaan adiknya yang seperti ini membuat hati Dara sanga sakit, kalau bisa dia ingin menggantikan adiknya saja.“Dara, ayo duduk!” ajak Revan pada Dara. “Kenapa tidak langsung melakukan transplantasi tulang belakang? Kamu sudah bilang kalau akan melakukannya. Kenapa lama sekali?” tanya Dara bertubi-tubi. “Dara, sesuai prosedur sebelum transplantasi harus dilakukan regimen conditioning selama tujuh sampai sepuluh hari, tidak bisa langsung melakukan tindakan,” jelas Revan, “Tapi adikku sudah seperti ini, Revan. Aku tidak ingin adikku kenapa-napa. Kamu periksa sumsung tulang belakangku, ambil saja kalau cocok untuk adikku!” pinta Dara bertubi-tubi “Dara, tidak bisa semba
Revan mengelus wajah Dara yang tampak pucat, pria itu terpaksa memukul leher belakang Dara agar Dara istirahat. Dengan perlahan Revan mencium kening istrinya, hal yang sangat jarang Revan lakukan karena pria itu lebih sering mencium bibir Dara dengan brutal. Suara bel berbunyi terdengar, Revan tidak menanggapi karena malas menerima tamu. Namun, semakin lama bel berbunyi semakin kencang. Dara menggeliat dalam tidurnya, Revan menepuk-nepuk pipi Dara dengan pelan agar Dara kembali nyenyak. “Dasar sialan,” maki Revan yang kini berlalu pergi dari kamarnya untuk membukakan pintu sang tamu.Saat membuka pintu, Revan memutar bola matanya jengah karena melihat Devano yang kini menatapnya memelas. “Revan, bagaimana ini?” tanya Devano yang mendesak masuk. Namun Revan mendorong Devano. “Tidak usah masuk. Katakan saja di sini!” titah Revan yang kejam sekali. Namun, Devano tetap punya akal hingga bisa masuk ke rumah Revan, pria itu mendudukkan dirinya di sofa.“Katakan apa urusanmu!” titah Rev
“Risya, tunggu, Risya! Jangan mengajakku lagi!” pekik Dara saat Risya menarik tangannya paksa untuk menuju tempat tas yang terpajang mewah di etalase. Di tangan Dara penuh paper bag berisi baju, sepatu dan aksesoris, kini Risya masih mengajaknya membeli tas. Dara tidak enak dengan uang suaminya yang dia belikan barang-barang yang menurutnya tidak berguna. “Risya, aku tidak mau beli tas!” pekik Dara lagi. “Dara, uang suamimu sayang sekali kalau gak dihabiskan. Kita nikmati kemewahan ini dengan baik,” ujar Dara. “Risya, aku baru menikah dengan Kakakmu. Kalau aku menghabiskan banyak uang, aku yang tidak enak. Ini tadi saja hampir lima puluh juta,” tambah Dara menunjukkan paper bagnya. “Aku akan memarahi Kak Revan kalau dia marah sama kamu. Jam tangannya saja seharga dua ratus lima puluh juta, belanjain kamu lima puluh juta saja marah,” seloroh Risya. “Risya, aku mohon. Ini saja!” pinta Dara yang tidak mau belanja lagi. Dara selalu merasa bersalah sudah merampas apa saja dari Revan.
Malam ini Dara menunggu suaminya pulang, tetapi sampai jam dua belas malam suaminya belum menampilkan batang hidungnya membuat Dara gelisah. Sejak siang Dara sudah takut kalau suaminya marah-marah perkara uang yang dia habiskan hampir lima puluh juta, ditambah dia juga takut kena amukan saat suaminya capek pulang lembur. Dara duduk lesehan di lanai seraya merebahkan kepalanya di meja ruang tamu. Dara menahan rasa kantuknya yang semakin menyerangnya, kendati demikian Dara enggan tertidur. Namun, rasa kantuk itu tidak bisa terkendali hingga Dara jatuh terlelap. Bertepatan dengan itu Revan turun dari mobilnya yang sudah berhenti di depan rumahnya. Revan memijat otot lehernya yang terasa kaku karena hari ini banyak pasien mendadak dan observasi adik iparnya. Saat memasuki rumahnya, Revan disambut dengan Dara yang tidur di lantai dengan kepalanya di meja. Revan tersenyum menatap Dara dan menghampiri sang istri perlahan. “Dasar bodoh, kenapa menunggu di sini?” tanya Revan menjitak pelan
“Dara, laki-laki kalau sudah melakukan kekerasan, susah banget sembuhnya,” ujar Arhan yang kini berbicara dengan Dara di taman belakang karena Arhan memaksa Dara untuk mengikutinya. “Kalau kamu ada masalah rumah tangga, kamu bisa mencariku untuk bercerita. Kita sudah lama saling kenal, aku akan jadi pendengar yang baik untukmu,” tambah Arhan. Dara mengangguk seraya tersenyum, “Terimakasih, Dokter. Dari dulu Dokter memang sering membantu saya,” ucap Dara. “Haiyah, tidak perlu seformal itu. Aku saja sudah memanggilmu aku kamu, kamu tidak perlu bicara formal,” kata Arhan yang lagi-lagi diangguki oleh Dara. “Minum minumannya, sepertinya kamu kelelahan. Minuman itu bisa meningkatkan stamina!” titah Arhan menunjuk minuman bersoda di tangan Dara yang tadi diberikan oleh Arhan. “Iya, beberapa hari ini memang lelah. Tapi syukurlah tadi saat melihat Kaivan, keadaannya sudah membaik,” jawab Dara. “Dara, ingat yang aku bicarakan tadi. Penyakit laki-laki yang tidak bisa sembuh itu selingkuh
Dara mengelus tangan adiknya yang masih tidak sadarkan diri, perut Dara terasa mual, pun dirinya yang mendadak pusing. Namun, Dara enggan beranjak dari duduknya. Dara sangat merindukan Kaivan, ingin melihat adik kecilnya dengan celotehan yang tiada henti. Suara pintu terbuka tidak berhasil membuat Dara menatap ke sana, perempuan itu masih menatap Kaivan. Hingga sebuah kertas berada tepat di hadapannya. “Tanda tangan di sini!” pinta Revan. “Ini persetujuan keluarga untuk transplantasi tulang belakang. Besok sudah bisa dilakukan,” tambah Revan. Dara berdiri dan menatap Revan dengan air mata yang bercucuran di wajahnya. Perasaan Dara akhir-akhir ini sangat tidak terkendali, lebih mudah menangis juga sangat sensitif. Ucapan suaminya yang mengatai selingkuh dengan Arhan masih membuat Dara sakit hati, dan sekarang Revan datang membawa kabar baik. “Biar aku yang tanda tangan, dia juga adikku,” ujar Revan yang kini mengambil bolpoin di saku kemejanya dan membubuhkan tanda tangannya. Setel
Risya menatap dengan seksama Devano yang tengah mengerjakan tugasnya. Risya hanya mengatakan satu kali, tetapi Devan sudah bisa melakukannya dengan baik, pun dengan Devano yang kini hampir selesai mengerjakan tugasnya. Devano melirik Risya, “Jadi gimana, Nona? Sudah memikirkan cara berterimakasih padaku?” tanya Devano membuat Risya menguap. “Aku ngantuk, mau tidur sebentar,” jawab Risya yang kini ingin merebahkan kepalanya di meja kerja, tetapi tangan Devano menahannya membuat Risya meniduri punggung tangan kiri pria itu. “Eh, singkirkan tanganmu!” titah Risya. Devano tidak menuruti ucapan Risya. “Mejanya sangat dingin,” jawab Devano. Risya menyentuh meja itu, dan benar telapak tangannya langsung dingin apalagi kalau nanti pipinya yang menempel. “Tidur saja, nanti aku akan menggendongmu,” ujar Devano. Risya merebahkan kepalanya di atas tangan berbulu milik Devano. Bukan karena Risya menyukai Devano, tetapi karena perempuan itu merasa rezeki tidak boleh ditolak. Risya merebahkan
Hari ini Dara kesal setengah mati karena suaminya tidak bilang-bilang saat menjemput adiknya, sedangkan dia sudah jalan kaki ke sekolah capek-capek. Sampai pukul dua belas siang, Revan tidak membawa adiknya pulang membuat Dara bingung mau ngapain. Kalau ada Kaivan, Dara bisa bermain dengan adiknya. Dara berusaha menghubungi Revan, tetapi nomor pria itu tetap tidak aktif. Hingga mata Dara memicing saat mengingat ucapan adiknya kalau Revan pernah ditatap oleh Putri tanpa berkedip. Dara mondar-mandir di ruang tamu rumahnya, sesekali perempuan itu melihat hp yang dia genggam. Hingga suara mobil masuk ke halaman rumahnya terdengar. Buru-buru Dara berdiri di depan pintu yang masih tertutup rapat. Suara langkah kaki dan celotehan terdengar, hingga pintu terbuka menampilkan wajah Revan yang kini menatapnya. “Kakak, aku tadi ikut Kak Revan ke rumah sakit. Di sana susternya cantik-cantik. Kenapa pas aku sakit dulu susternya bukan suster itu?” tanya Kaivan. “Masih kecil sudah genit, sana ga
“Aku tidak mau melihatmu lagi. Pergi dari sini!” titah Revan mendesis. “Revan, kedatangan ibu ke sini membawakan buah untuk istri kamu. Ini ibu beli banyak, ada makanan juga untuk Kai,” jawab Selin. “Istriku tidak butuh! Lagipula tidak ada yang menjamin apa buah dan makanan itu bebas dari racun. Aku bisa menjamin kehidupan istri dan adikku sendiri!” desis Revan. Sebenarnya Revan tidak tega mengatakan demikian, tetapi kekecewaan Revan pada ibunya sudah di ujung tanduk. Karena ibunya, hubungannya dan Dara sempat renggang. Revan tidak mau mengambil resiko lagi. “Revan, ibu mengaku salah yang kemarin. Tapi kali ini ibu memang membelikan buah dan makanan untuk kalian tanpa ada niat apapun. Ibu—” “Pergi dari sini!” bentak Revan membuat Selin kaget. Tidak hanya perempuan itu, tetapi juga Kaivan yang kini sangat takut. Dara yang mendengar keributan pun segera keluar, “Revan, kenapa kamu teriak-teriak?” tanya Dara. Dara melihat Selin yang di tangannya memegang kantong plastik dan bebera
Revan merasa kehidupannya yang sekarang sangat menyenangkan. Dimana ada istri di sisinya, ada juga adik iparnya yang menyebalkan. Saat ini Revan tengah sibuk membuatkan susu ibu hamil untuk istrinya, sedangkan istrinya sibuk dengan pakaian baru Kaivan. Hari ini pertama kali Kaivan masuk sekolah, bocah itu sangat antusias karena ini yang dia inginkan“Sudah siap pakaiannya, kamu ganteng banget pakai seragam ini,” puji Dara pada adiknya. “Dara, susunya sudah siap. Diminum gih!” pinta Revan pada istrinya. “Iya, sebentar,” jawab Dara. “Kakak, ini tuh dasinya gak gini. Ini masih miring,” rengek Kaivan karena dasi yang dipakaikan kakaknya miring. Dengan sigap Dara membenarkan dasi adiknya. Revan yang melihat itu segera melepas kancing kemejanya dan mengacak sedikit kerahnya. “Sayang, bajuku berantakan,” rengek Revan bagai anak kecil. Dara menatap ke kerah baju Revan. “Tadi aku lihat sudah rapi, kenapa sekarang kayak gitu?” tanya Dara pada suaminya. “Entahlah,” jawab Revan. Dara meng
“Kaivan, makan yang banyak biar cepet gede!” pinta Devano berusaha menyuapi Kaivan, tetapi Kaivan tetap lari-larian. Malam ini Devano dan Risya mengajak Kaivan ke time zone, Devano ingin Risya melihatnya sebagai pria yang sayang anak-anak agar Risya cepat mengatakan kalau mau menikah dengannya. Namun, Kaivan sangat sulit diajak kerja sama, bocah itu terus lari-larian saking senangnya. Kaivan tidak pernah diajak ke sini oleh kakaknya. “Kaivan, cepet makan!” titah Devano mendekati Kaivan lagi. “Om, tadi Kak Revan kasih aku uang, aku mau main game lempar bola itu,” ujar Kaivan mengeluarkan uang dari sakunya. Devano mengembalikan uang itu lagi ke saku Kaivan. “Om punya banyak uang, jadi Om saja yang bayar. Yang penting kamu makan!” desis Devano terus berusaha menyuapi Kaivan. Risya tertawa geli karena Kaivan tidak mau disuapi, “Makannya jadi orang yang lemah lembut biar anak-anak menyukai. Anak-anak itu jujur, kalau dia tidak mau disuapi tandanya kamu bukan orang yang baik,” oceh Ris
Saat ini Dara tengah menundukkan kepalanya di ruang tamu rumahnya dan Revan, perempuan itu tidak berani menatap suaminya yang kini berdiri di depannya. Melalui ekor matanya Dara melihat sang suami tengah mondar-mandir seraya bersedekap dada. Saat Dara akan melihat lebih jelas, buru-buru Dara menunduk lagi. “Sudah puas kaburnya?” tanya Revan menatap istrinya. “Hem,” jawab Dara. “Sekarang kenapa menemuiku? Apa sudah bosan kabur terus atau sudah—”“Karena aku mendengarmu tengah sama wanita lain, makanya aku datang lagi,” jawab Dara yang kini berdiri dari duduknya. Perempuan yang tadinya malu menatap wajah suaminya kini menjadi berani dan mendorong tubuh Revan hingga Revan menubruk tembok belakangnya. Brak!Dara memukul tembok tepat di sebelah kepala Revan membuat pria itu kaget. “Aku hanya kabur, tidak bercerai denganmu. Saat aku mengatakan pisah, kamu juga tidak melayangkan perceraian padaku. Jadi aku dan kamu masih suami istri. Saat aku mendengarmu sama perempuan lain, jelas aku ke
Dara merasa terancam dengan keberadaan perempuan lain di hidup Revan. Revan bilang hanya menyukainya, tetapi Revan malah sama yang lainnya. Saat ini Dara pulang tanpa membawa barang apapun, juga Dara tidak memberitahu Ayahnya. Sesampainya di rumah Revan, Satpam bilang kalau Revan tidak ada di rumah, alhasil Dara tidak jadi masuk karena tidak berani. “Nyonya, kenapa tidak masuk?” tanya penjaga keamanan itu pada Dara. Sedangkan Dara hanya menggeleng pelan. “Biasanya Pak Revan kalau keluar malam, pulangnya juga larut,” ujar pak Satpam membuat Dara mengangguk. Dara bersiap pergi, tetapi kembali lagi, “Pak, kalau boleh tau dimana perginya Revan?” tanya Dara. “Biasanya kalau malam sih di bar,” jawab pria di depan Dara itu. Dara membelalakkan matanya, ternyata Revan masih sering keluar masuk bar. Perempuan itu menuju ke taksi yang menantinya. Di sisi lain Revan tengah bersama rekan-rekan bisnisnya, pria itu sudah banyak minum, tetapi tidak membuatnya mabuk, sedangkan teman-temannya sud
“Kak Revan, aku kangen Kak Dara,” rengek Kaivan yang saat ini duduk di mobil Revan. Revan yang sudah menjalankan mobilnya pun menatap ke arah Kaivan. Sumpah demi apapun mengurus anak kecil sangat menyebalkan, ini rewel itu rewel. Minta sekolah sudah Revan wujudukan, sekarang malah merindukan Dara. “Aku mau telfon sama Kak Dara, Kak. Kangen banget, kangennya sudah segini,” oceh Kaivan menunjukkan bulatan besar tanda kangennya. “Kalau tau gak bisa jauh-jauh sama Kak Dara, kenapa kamu malah kabur?” tanya Revan. “Kalau aku sama Kak Revan, nanti Kak Dara nyariin, akhirnya kalian ketemu lagi deh,” jawab Kaivan. Revan menggeleng pelan mendengar ucapan Kaivan, masih kecil tapi bisa-bisanya punya rencana untuk menyatukan orang dewasa. “Ini telfon kakakmu, tapi bilang kalau kak Revan gak ada di samping kamu!” titah Revan memberikan hpnya pada Kaivan, pun dengan Kaivan yang menerima hp kakaknya. Bocah itu langsung menghubungi nomor kakaknya yang ternyata disematkan oleh Kak Revan. Di sisi
Sudah beberapa hari Selin mengurus menantunya yang hamil, perempuan itu ikut tinggal menemani Dara meski Dara selalu menolaknya. Sama halnya pagi ini untuk pertama kalinya Selin masak lagi setelah sekian lama selalu mengandalkan asisten rumah tangga. Selin sibuk di dapur, terkadang barang-barang jatuh karena perempuan itu tidak becus sama halnya dengan Revan.Dara berjalan sempoyongan menuju dapur karena haus, sesampainya di sana Dara malah melihat mertuanya bertingkah. Menggoreng telur saja jaraknya lebih dari dua meter.Selin yang melihat Dara pun tersenyum, “Dara, kamu duduk saja di situ, biar Ibu yang menyiapkan sarapan,” ujar Selin.“Sebenarnya apa maumu? Kenapa kamu tidak pulang-pulang?” tanya Dara pada Selin.“Dara, Ibu tau ibu pernah salah, tapi ibu di sini untuk mengurus kamu yang sedang hamil. Ayahmu kerja, kalau sampai ada apa-apa sama kamu bagaimana? Pada siapa kamu meminta tolong?” tanya Selin.Dara memutar bola matanya malas mendengar ucapan Selin. Sedangkan selin memega
“Dokter, ini Kaivan minta ketemu,” ucap Alvian memasuki rumah Revan yang terbuka lebar. Revan yang tengah merapikan bajunya siap pergi pun langsung menghentikan langkahnya. Kaivan berlari menghampiri Revan. “Kak Revan, aku kangen hiks hiks hiks … aku mau sama Kak Revan,” rengek Kaivan yang saat ini menangis sesenggukan sambil memegang kaki Revan. Revan menatap Kaivan yang memeluk kakinya dengan erat, pria itu juga merindukan Kaivan, terakhir kali bertemu dengan Kaivan, bocah itu sudah mulai gembul, tetapi sekarang Kaivan kurus lagi. “Kaivan, kamu tidak banyak makan selama ini?” tanya Revan mengangkat tubuh Kaivan dan menggendongnya. “Aku gak mau makan, aku mau ketemu sama Kak Revan,” jawab Kaivan yang kini memeluk erat leher Revan saat sudah digendong. “Kenapa tidak mau makan?” tanya Revan. Kaivan hanya diam saja dan menyandarkan kepalanya ke pundak Kakak iparnya. “Kak Revan, aku mau di sini. Meski aku disuruh kerja pun aku mau, aku bisa beres-beres, aku juga gak pilih-pilih mak