Malam ini Dara menunggu suaminya pulang, tetapi sampai jam dua belas malam suaminya belum menampilkan batang hidungnya membuat Dara gelisah. Sejak siang Dara sudah takut kalau suaminya marah-marah perkara uang yang dia habiskan hampir lima puluh juta, ditambah dia juga takut kena amukan saat suaminya capek pulang lembur. Dara duduk lesehan di lanai seraya merebahkan kepalanya di meja ruang tamu. Dara menahan rasa kantuknya yang semakin menyerangnya, kendati demikian Dara enggan tertidur. Namun, rasa kantuk itu tidak bisa terkendali hingga Dara jatuh terlelap. Bertepatan dengan itu Revan turun dari mobilnya yang sudah berhenti di depan rumahnya. Revan memijat otot lehernya yang terasa kaku karena hari ini banyak pasien mendadak dan observasi adik iparnya. Saat memasuki rumahnya, Revan disambut dengan Dara yang tidur di lantai dengan kepalanya di meja. Revan tersenyum menatap Dara dan menghampiri sang istri perlahan. “Dasar bodoh, kenapa menunggu di sini?” tanya Revan menjitak pelan
“Dara, laki-laki kalau sudah melakukan kekerasan, susah banget sembuhnya,” ujar Arhan yang kini berbicara dengan Dara di taman belakang karena Arhan memaksa Dara untuk mengikutinya. “Kalau kamu ada masalah rumah tangga, kamu bisa mencariku untuk bercerita. Kita sudah lama saling kenal, aku akan jadi pendengar yang baik untukmu,” tambah Arhan. Dara mengangguk seraya tersenyum, “Terimakasih, Dokter. Dari dulu Dokter memang sering membantu saya,” ucap Dara. “Haiyah, tidak perlu seformal itu. Aku saja sudah memanggilmu aku kamu, kamu tidak perlu bicara formal,” kata Arhan yang lagi-lagi diangguki oleh Dara. “Minum minumannya, sepertinya kamu kelelahan. Minuman itu bisa meningkatkan stamina!” titah Arhan menunjuk minuman bersoda di tangan Dara yang tadi diberikan oleh Arhan. “Iya, beberapa hari ini memang lelah. Tapi syukurlah tadi saat melihat Kaivan, keadaannya sudah membaik,” jawab Dara. “Dara, ingat yang aku bicarakan tadi. Penyakit laki-laki yang tidak bisa sembuh itu selingkuh
Dara mengelus tangan adiknya yang masih tidak sadarkan diri, perut Dara terasa mual, pun dirinya yang mendadak pusing. Namun, Dara enggan beranjak dari duduknya. Dara sangat merindukan Kaivan, ingin melihat adik kecilnya dengan celotehan yang tiada henti. Suara pintu terbuka tidak berhasil membuat Dara menatap ke sana, perempuan itu masih menatap Kaivan. Hingga sebuah kertas berada tepat di hadapannya. “Tanda tangan di sini!” pinta Revan. “Ini persetujuan keluarga untuk transplantasi tulang belakang. Besok sudah bisa dilakukan,” tambah Revan. Dara berdiri dan menatap Revan dengan air mata yang bercucuran di wajahnya. Perasaan Dara akhir-akhir ini sangat tidak terkendali, lebih mudah menangis juga sangat sensitif. Ucapan suaminya yang mengatai selingkuh dengan Arhan masih membuat Dara sakit hati, dan sekarang Revan datang membawa kabar baik. “Biar aku yang tanda tangan, dia juga adikku,” ujar Revan yang kini mengambil bolpoin di saku kemejanya dan membubuhkan tanda tangannya. Setel
Risya menatap dengan seksama Devano yang tengah mengerjakan tugasnya. Risya hanya mengatakan satu kali, tetapi Devan sudah bisa melakukannya dengan baik, pun dengan Devano yang kini hampir selesai mengerjakan tugasnya. Devano melirik Risya, “Jadi gimana, Nona? Sudah memikirkan cara berterimakasih padaku?” tanya Devano membuat Risya menguap. “Aku ngantuk, mau tidur sebentar,” jawab Risya yang kini ingin merebahkan kepalanya di meja kerja, tetapi tangan Devano menahannya membuat Risya meniduri punggung tangan kiri pria itu. “Eh, singkirkan tanganmu!” titah Risya. Devano tidak menuruti ucapan Risya. “Mejanya sangat dingin,” jawab Devano. Risya menyentuh meja itu, dan benar telapak tangannya langsung dingin apalagi kalau nanti pipinya yang menempel. “Tidur saja, nanti aku akan menggendongmu,” ujar Devano. Risya merebahkan kepalanya di atas tangan berbulu milik Devano. Bukan karena Risya menyukai Devano, tetapi karena perempuan itu merasa rezeki tidak boleh ditolak. Risya merebahkan
Malam ini Revan pulang lebih dahulu daripada Dara. Beberapa hari Revan sibuk lembur dan menyuruh Risya menghibur istrinya, kini Revan berada di dapur berusaha masak, tetapi sekarang pria itu lebih cocok dikatakan mengacak-acak dapur. Revan melempar telur rebus yang sudah dikupas ke wajan hingga minyak menyiprat kemana-mana. Revan kembali melempar telur dengan kencang hingga tepat ke wajan. Sudah tidak karu-karuan dapur yang bersih setelah Revan mencoba memasak. Karena api yang dinyalakan Revan sangat besar, telur itu pun meledak-ledak membuat Revan semakin menjauh. Pria itu seorang Dokter yang sering melihat luka pada pasien, tetapi cowok itu takut terluka dengan minyak dan telur. “Revan, apa yang kamu lakukan?” tanya Dara memasuki dapur tergesa-gesa saat dia mendengar teriakan Revan. “Dara, awas. Ada serangan!” pekik Revan menunjuk kompor. Buru-buru Dara ke sana dan mengecilkan apinya, dengan mudah perempuan itu membalik telur-telur di wajan. “Dara, hati-hati. Kamu bisa terluka
Napas Dara terengah-engah saat percintaan panas itu sudah selesai. Ada yang berbeda dari Revan sebelumnya, Dara menyadari kalau malam ini Revan tidak berhenti senyum dan lebih lembut dari sebelum-sebelumnya. Bahkan dalam percintaan kali ini tidak ada kata-kata kasar atau menyakitkan dari bibir Revan, hanya ada cumbuan yang sangat menggairahkan untuk Dara. Pun dengan saat ini Dara telentang berbantalkan lengan Revan. “Haus?” tanya Revan. Dara semakin bingung dengan pertanyaan sang suami, biasanya mau dia kehausan pun Revan tidak peduli. Semakin Dara tersiksa, semakin Revan senang. Sekarang saat Revan perhatian, Dara takut setengah mati. “Akan aku ambilkan air,” ucap Revan yang kini mengangkat sedikit kepala Dara dengan satu tangannya hingga tangan yang lain tidak lagi ditindih Dara. Revan menarik celana pendek dan memakainya cepat, “Tunggu di sini!” pinta Revan pada Dara, pun dengan Dara yang mengangguk. Dara berpikir keras kenapa sikap Revan berubah, hingga ingatannya saat di dapu
“Dara, cepetan! Aku harus ke tempat Devano setelah ini,” ujar Risya menarik paksa tangan Dara agar mengikutinya. Kini Dara melangkahkan kakinya terseok-seok karena ulah Risya yang tidak bisa sabar. “Risya, kami mau apa lagi membawaku e mall begini?” tanya Dara yang takut uang suaminya habis. “Aku harus memberikan hadiah pada Devano. Meski aku membencinya, tetapi dia sudah membantuku lembur beberapa hari lalu,” jawab Risya. “Halah, bilang saja kalau kamu menyukainya. Kamu terlalu banyak alasan,” ejek Dara. “Lalu bagaimana denganmu? Sudahkah kamu mengucapkan suka sama Kakakku?” tanya Risya. Dara mengangguk kecil membuat Risya membulatkan matanya. “Terus bagaimana dengan kakakku? Apa kakaku balik mengatakan suka sama kamu?” tanya Risya berbinar. Dara menggeleng, sedangkan Risya berkacak pinggang. Risya lah yang mendesak Dara mengucapkan kalimat suka pada Revan agar hubungan keduanya lebih baik, tetapi setelah Dara mengucapkan, Revan malah tidak ada pergerakan apa-apa. “Tapi ada se
Sore ini Risya menuju ke kantor Devano, perempuan itu membawa paper bag berisi hadiah untuk Devano. Akhirnya setelah dua hari merajut, Risya berhasil membuat sesuatu untuk Devano. Saat sampai lobi, Risya melihat Devano tengah berjalan dengan beberapa pria yang memakai pakaian serba hitam. Untuk sesaat Risya terpana melihat penampilan Devano yang memakai jas hitam, pria itu tampak menawan dari sebelumnya. “Selamat atas keberhasilannya, Pak. Semoga kita bisa kerja sama di lain waktu,” ucap pria paruh baya yang kini mengulurkan tangannya pada Devano. “Terimakasih, Pak,” jawab Devano balas tersenyum. Saat beberapa pria itu pergi, tinggalah seorang perempuan di samping Devano. “Dasimu miring, biar aku benarkan,” ujar perempuan itu segera berdiri di hadapan Devano untuk membenarkan dasi pria itu. Risya yang melihat Devano sama perempuan pun tersenyum sinis, “Dasar bandit cabul,” maki Risya bergegas pergi. Risya kesal setengah mati dengan Devano, saat tidak kerja Devano selalu mengejarn
Hari ini Dara kesal setengah mati karena suaminya tidak bilang-bilang saat menjemput adiknya, sedangkan dia sudah jalan kaki ke sekolah capek-capek. Sampai pukul dua belas siang, Revan tidak membawa adiknya pulang membuat Dara bingung mau ngapain. Kalau ada Kaivan, Dara bisa bermain dengan adiknya. Dara berusaha menghubungi Revan, tetapi nomor pria itu tetap tidak aktif. Hingga mata Dara memicing saat mengingat ucapan adiknya kalau Revan pernah ditatap oleh Putri tanpa berkedip. Dara mondar-mandir di ruang tamu rumahnya, sesekali perempuan itu melihat hp yang dia genggam. Hingga suara mobil masuk ke halaman rumahnya terdengar. Buru-buru Dara berdiri di depan pintu yang masih tertutup rapat. Suara langkah kaki dan celotehan terdengar, hingga pintu terbuka menampilkan wajah Revan yang kini menatapnya. “Kakak, aku tadi ikut Kak Revan ke rumah sakit. Di sana susternya cantik-cantik. Kenapa pas aku sakit dulu susternya bukan suster itu?” tanya Kaivan. “Masih kecil sudah genit, sana ga
“Aku tidak mau melihatmu lagi. Pergi dari sini!” titah Revan mendesis. “Revan, kedatangan ibu ke sini membawakan buah untuk istri kamu. Ini ibu beli banyak, ada makanan juga untuk Kai,” jawab Selin. “Istriku tidak butuh! Lagipula tidak ada yang menjamin apa buah dan makanan itu bebas dari racun. Aku bisa menjamin kehidupan istri dan adikku sendiri!” desis Revan. Sebenarnya Revan tidak tega mengatakan demikian, tetapi kekecewaan Revan pada ibunya sudah di ujung tanduk. Karena ibunya, hubungannya dan Dara sempat renggang. Revan tidak mau mengambil resiko lagi. “Revan, ibu mengaku salah yang kemarin. Tapi kali ini ibu memang membelikan buah dan makanan untuk kalian tanpa ada niat apapun. Ibu—” “Pergi dari sini!” bentak Revan membuat Selin kaget. Tidak hanya perempuan itu, tetapi juga Kaivan yang kini sangat takut. Dara yang mendengar keributan pun segera keluar, “Revan, kenapa kamu teriak-teriak?” tanya Dara. Dara melihat Selin yang di tangannya memegang kantong plastik dan bebera
Revan merasa kehidupannya yang sekarang sangat menyenangkan. Dimana ada istri di sisinya, ada juga adik iparnya yang menyebalkan. Saat ini Revan tengah sibuk membuatkan susu ibu hamil untuk istrinya, sedangkan istrinya sibuk dengan pakaian baru Kaivan. Hari ini pertama kali Kaivan masuk sekolah, bocah itu sangat antusias karena ini yang dia inginkan“Sudah siap pakaiannya, kamu ganteng banget pakai seragam ini,” puji Dara pada adiknya. “Dara, susunya sudah siap. Diminum gih!” pinta Revan pada istrinya. “Iya, sebentar,” jawab Dara. “Kakak, ini tuh dasinya gak gini. Ini masih miring,” rengek Kaivan karena dasi yang dipakaikan kakaknya miring. Dengan sigap Dara membenarkan dasi adiknya. Revan yang melihat itu segera melepas kancing kemejanya dan mengacak sedikit kerahnya. “Sayang, bajuku berantakan,” rengek Revan bagai anak kecil. Dara menatap ke kerah baju Revan. “Tadi aku lihat sudah rapi, kenapa sekarang kayak gitu?” tanya Dara pada suaminya. “Entahlah,” jawab Revan. Dara meng
“Kaivan, makan yang banyak biar cepet gede!” pinta Devano berusaha menyuapi Kaivan, tetapi Kaivan tetap lari-larian. Malam ini Devano dan Risya mengajak Kaivan ke time zone, Devano ingin Risya melihatnya sebagai pria yang sayang anak-anak agar Risya cepat mengatakan kalau mau menikah dengannya. Namun, Kaivan sangat sulit diajak kerja sama, bocah itu terus lari-larian saking senangnya. Kaivan tidak pernah diajak ke sini oleh kakaknya. “Kaivan, cepet makan!” titah Devano mendekati Kaivan lagi. “Om, tadi Kak Revan kasih aku uang, aku mau main game lempar bola itu,” ujar Kaivan mengeluarkan uang dari sakunya. Devano mengembalikan uang itu lagi ke saku Kaivan. “Om punya banyak uang, jadi Om saja yang bayar. Yang penting kamu makan!” desis Devano terus berusaha menyuapi Kaivan. Risya tertawa geli karena Kaivan tidak mau disuapi, “Makannya jadi orang yang lemah lembut biar anak-anak menyukai. Anak-anak itu jujur, kalau dia tidak mau disuapi tandanya kamu bukan orang yang baik,” oceh Ris
Saat ini Dara tengah menundukkan kepalanya di ruang tamu rumahnya dan Revan, perempuan itu tidak berani menatap suaminya yang kini berdiri di depannya. Melalui ekor matanya Dara melihat sang suami tengah mondar-mandir seraya bersedekap dada. Saat Dara akan melihat lebih jelas, buru-buru Dara menunduk lagi. “Sudah puas kaburnya?” tanya Revan menatap istrinya. “Hem,” jawab Dara. “Sekarang kenapa menemuiku? Apa sudah bosan kabur terus atau sudah—”“Karena aku mendengarmu tengah sama wanita lain, makanya aku datang lagi,” jawab Dara yang kini berdiri dari duduknya. Perempuan yang tadinya malu menatap wajah suaminya kini menjadi berani dan mendorong tubuh Revan hingga Revan menubruk tembok belakangnya. Brak!Dara memukul tembok tepat di sebelah kepala Revan membuat pria itu kaget. “Aku hanya kabur, tidak bercerai denganmu. Saat aku mengatakan pisah, kamu juga tidak melayangkan perceraian padaku. Jadi aku dan kamu masih suami istri. Saat aku mendengarmu sama perempuan lain, jelas aku ke
Dara merasa terancam dengan keberadaan perempuan lain di hidup Revan. Revan bilang hanya menyukainya, tetapi Revan malah sama yang lainnya. Saat ini Dara pulang tanpa membawa barang apapun, juga Dara tidak memberitahu Ayahnya. Sesampainya di rumah Revan, Satpam bilang kalau Revan tidak ada di rumah, alhasil Dara tidak jadi masuk karena tidak berani. “Nyonya, kenapa tidak masuk?” tanya penjaga keamanan itu pada Dara. Sedangkan Dara hanya menggeleng pelan. “Biasanya Pak Revan kalau keluar malam, pulangnya juga larut,” ujar pak Satpam membuat Dara mengangguk. Dara bersiap pergi, tetapi kembali lagi, “Pak, kalau boleh tau dimana perginya Revan?” tanya Dara. “Biasanya kalau malam sih di bar,” jawab pria di depan Dara itu. Dara membelalakkan matanya, ternyata Revan masih sering keluar masuk bar. Perempuan itu menuju ke taksi yang menantinya. Di sisi lain Revan tengah bersama rekan-rekan bisnisnya, pria itu sudah banyak minum, tetapi tidak membuatnya mabuk, sedangkan teman-temannya sud
“Kak Revan, aku kangen Kak Dara,” rengek Kaivan yang saat ini duduk di mobil Revan. Revan yang sudah menjalankan mobilnya pun menatap ke arah Kaivan. Sumpah demi apapun mengurus anak kecil sangat menyebalkan, ini rewel itu rewel. Minta sekolah sudah Revan wujudukan, sekarang malah merindukan Dara. “Aku mau telfon sama Kak Dara, Kak. Kangen banget, kangennya sudah segini,” oceh Kaivan menunjukkan bulatan besar tanda kangennya. “Kalau tau gak bisa jauh-jauh sama Kak Dara, kenapa kamu malah kabur?” tanya Revan. “Kalau aku sama Kak Revan, nanti Kak Dara nyariin, akhirnya kalian ketemu lagi deh,” jawab Kaivan. Revan menggeleng pelan mendengar ucapan Kaivan, masih kecil tapi bisa-bisanya punya rencana untuk menyatukan orang dewasa. “Ini telfon kakakmu, tapi bilang kalau kak Revan gak ada di samping kamu!” titah Revan memberikan hpnya pada Kaivan, pun dengan Kaivan yang menerima hp kakaknya. Bocah itu langsung menghubungi nomor kakaknya yang ternyata disematkan oleh Kak Revan. Di sisi
Sudah beberapa hari Selin mengurus menantunya yang hamil, perempuan itu ikut tinggal menemani Dara meski Dara selalu menolaknya. Sama halnya pagi ini untuk pertama kalinya Selin masak lagi setelah sekian lama selalu mengandalkan asisten rumah tangga. Selin sibuk di dapur, terkadang barang-barang jatuh karena perempuan itu tidak becus sama halnya dengan Revan.Dara berjalan sempoyongan menuju dapur karena haus, sesampainya di sana Dara malah melihat mertuanya bertingkah. Menggoreng telur saja jaraknya lebih dari dua meter.Selin yang melihat Dara pun tersenyum, “Dara, kamu duduk saja di situ, biar Ibu yang menyiapkan sarapan,” ujar Selin.“Sebenarnya apa maumu? Kenapa kamu tidak pulang-pulang?” tanya Dara pada Selin.“Dara, Ibu tau ibu pernah salah, tapi ibu di sini untuk mengurus kamu yang sedang hamil. Ayahmu kerja, kalau sampai ada apa-apa sama kamu bagaimana? Pada siapa kamu meminta tolong?” tanya Selin.Dara memutar bola matanya malas mendengar ucapan Selin. Sedangkan selin memega
“Dokter, ini Kaivan minta ketemu,” ucap Alvian memasuki rumah Revan yang terbuka lebar. Revan yang tengah merapikan bajunya siap pergi pun langsung menghentikan langkahnya. Kaivan berlari menghampiri Revan. “Kak Revan, aku kangen hiks hiks hiks … aku mau sama Kak Revan,” rengek Kaivan yang saat ini menangis sesenggukan sambil memegang kaki Revan. Revan menatap Kaivan yang memeluk kakinya dengan erat, pria itu juga merindukan Kaivan, terakhir kali bertemu dengan Kaivan, bocah itu sudah mulai gembul, tetapi sekarang Kaivan kurus lagi. “Kaivan, kamu tidak banyak makan selama ini?” tanya Revan mengangkat tubuh Kaivan dan menggendongnya. “Aku gak mau makan, aku mau ketemu sama Kak Revan,” jawab Kaivan yang kini memeluk erat leher Revan saat sudah digendong. “Kenapa tidak mau makan?” tanya Revan. Kaivan hanya diam saja dan menyandarkan kepalanya ke pundak Kakak iparnya. “Kak Revan, aku mau di sini. Meski aku disuruh kerja pun aku mau, aku bisa beres-beres, aku juga gak pilih-pilih mak