“Risya, bagaimana menurutmu? Apa Dara akan memyukainya?” tanya Revan antusias sambil melihat k seluruh ballroom yang akan diadakan pernikahannya. Hari ini Revan langsung ke lokasi setelah pulang dari rumah sakit, bahkan Revan tidak ada niatan untuk ganti baju lebih dahulu. “Kak, Dara itu orangnya sederhana, begini dia sudah senang,” ucap Risya. “Tapi aku ingin pernikahan yang mewah untuknya,” jawab Revan dengan senyum yang mengambang di wajahnya. Risya menatap kakaknya dengan senyum yang juga tersungging di bibirnya. Hanya melihat senyum`kakaknya saja Risya sudah tau betapa kakaknya bahagia menyiapkan pernikahan ini. Sungguh Risya bersyukur tambatan hati Kakaknya adalah Dara karena dia mengenal perempuan itu dengan baik.“Aku akan memastikan kalau Dara menyukai ini dan menganggap pernikahan ini sangat membahagiakan,” oceh Revan bertubi-tubi. Lain di depan Risya, lain di depan Dara. Kalau di depan Risya, Revan ingin memastikan kebahagiaan Dara, tetapi kalau di depan Dara, Revan hanya
Dara mengusap tangan Ayahnya dengan handuk basah, Ayahnya sudah sadar sejak operasi beberapa hari lalu. Kini Ayahnya juga sudah makan banyak seperti sebelumnya. “Dara, pacar kamu memang hebat. Dia yang bertugas cek kesehatan ayah setiap saat, dia juga pria yang lembut, tidak pernah marah sama pasien. Pasien-pasien lain juga memuji hal yang sama,” ujar Sahrul antusias. Dara hanya tersenyum dan mengangguk mendengar ucapan Ayahnya. Asal Ayahnya tau saja, Revan yang lembut hanyalah kedok semata, sebenarnya laki-laki itu banyak minusnya, salah satunya sering memaksa Dara berhubungan. “Kapan kamu akan menikah dengan dia? Laki-laki seperti dia tidak baik kalau dianggurin,” ujar Sahrul. “Aku akan menikah dengan dia. Aku juga mau minta restu sama Ayah,” jawab Dara. Sahrul membulatkan matanya mendengar ucapan Dara, “Kamu benar akan menikah dengannya?” tanya Sahrul senang. “Iya, Ayah. Revan sendiri sudah melamarku, mungkin sebentar lagi akan meminta restu sama Ayah,” jawab Dara. “Kalau beg
“Dara, ayo kita pergi dari sini!” ajak Sahrul membuat Dara membulatkan matanya. “Apa maksud Ayah?” tanya Dara tidak terima. “Kita di sini dibiayai oleh Revan. Kamu jangan menyusahkannya lagi! Ibunya tidak rela kalau kamu menikah dengan Revan, itu artinya dia juga keberatan dengan uang anaknya yang digunakan untuk biaya pengobatan Ayah,” jelas Sahrul. “Ayah, jangan anggap ucapan Bu Selin. Pernikahan aku dan Revan yang menjalani, bukan Bu Selin. Aku dan Revan saling mencintai, persetan dengan Bu Selin,” ujar Dara. “Tapi, Dara. Kamu akan semakin diinjak-injak kalau masuk dalam keluarga itu,” kata Sahrul. “Ayah tetap di sini, aku mau melihat adikku,” ucap Dara yang kini berlalu pergi. “Dara, tunggu dulu, Dara!” teriak Sahrul. “Jangan anggap Ayah kalau sampai kamu menikah dengan Revan!” teriak Sahrul lagi. Dara tercenung mendengar ucapan Ayahnya, perempuan itu kembali menemui Ayahnya. “Begini ucapan Ayah setelah apa yang aku lakukan?” tanya Dara. “Asal Ayah tau saja, awalnya aku m
Hari ini Dara sangat senang karena Ayahnya sudah boleh pulang dari rumah sakit karena keadaannya sudah membaik. Penyembuhan pasca operasi juga sangat cepat karena Revan memberikan banyak vitamin dan makanan bergizi untuk calon mertuanya. Revan membantu memasukkan baju-baju Sahrul ke tas besar, sedangkan Sahrul hanya menatap Revan dengan pandangan yang sulit diartikan. “Revan, biar aku saja yang membereskan. Kamu kan masih ada visit,” ujar Dara menahan tangan Revan. “Masih jam istirahat, aku bisa mengantar ayahmu juga untuk pulang,” jawab Revan. “Tidak perlu, aku bisa naik ojek,” sela Sahrul dengan cepat. “Tidak apa-apa biar aku antar saja,” jawab Revan kukuh. “Huh, Kak Revan gak temenan sama aku. Ayahku boleh pulang dari sini, tapi aku gak boleh,” keluh Kaivan yang kini berada di sudut ruangan sambil membawa buku gambar. “Aku bosan di sini, mau pulang, mau main sama teman-teman,” rengek Kaivan lagi. Dara menatap adiknya dan menghela napasnya sejenak, “Kaivan, kamu tunggu di sin
Revan, Dara, Sahrul dan Kaivan sampai di rumah sederhana Dara. Revan pernah ke sini sebelumnya, tetapi belum sempat masuk. “Kak Revan, ayo masuk dulu. Aku buatkan Kak Revan minuman yang enak,” ucap Kaivan yang sekarang sangat senang dengan Revan, padahal sebelumnya bocah itu sangat takut. “Kak Revan harus kembali ke rumah sakit, dia masih banyak pekerjaan,” sahut Dara. “Aku akan mampir sebentar,” jawab Revan membantu membawa barang-barang Kaivan, sedangkan Sahrul sudah lebih dahulu masuk ke rumahnya. “Ayah istirahat saja, langsung tidur biar aku nanti yang masak!” titah Dara membantu Ayahnya. “Itu Revan buatkan minuman dan makanan dulu!” titah Sahrul. “Iya,” jawab Dara sambil menyelimuti tubuh Ayahnya agar cepat istirahat karena di rumah sakit tidak jenak saat istirahat. Revan masuk ke kamar kecil milik Kaivan. Tidak banyak barang di sana, hanya mainan-mainan kecil. “Kakak, aku akan buatkan kakak minuman dulu,” ucap Kaivan. “Tidak perlu. Kamu langsung tidur saja di sini
“Sudah, Bu, aku tidak mau lagi sama Revan. Dia tidak menginginkanku, bahkan dia malah mempermalukanku,” seloroh Angel pada Selin. Perempuan itu datang ke rumah Selin hanya untuk uring-uringan. “Bu, aku sudah melakukan banyak cara untuk menunjukkan kalau aku tulus sama dia, tapi dia tetap memilih wanita dengan keluarga berpenyakitan itu,” tambah Angel. “Kamu jangan menyerah dong, Angel. Kamu lebih cantik, lebih baik, dan lebih segalanya dari Dara. Ibu yakin suatu saat Revan akan mau sama kamu,” ujar Selin. Angel menjatuhkan tubuhnya di sofa saking kesalnya, dia sudah menjatuhkan harga dirinya di depan Revan, tetapi Revan tetap tidak meliriknya. Angel sendiri merasa kalau dirinya jauh lebih cantik dari Dara, entah bagaimana mata Revan melihatnya sampai mengabaikannya. “Angel, Revan itu sebenarnya baik. Maka itu dia kasihan melihat Dara yang mengurus dua orang sakit, dia pikir dengan menikahinya bisa membantu Dara, sampai-sampai dia tidak peduli kalau menikah itu atas dasar cinta. Di
Nyatanya keapesan Devano belum berakhir setelah tadi mabuk-mabukan naik angkutan umum, kini cowok itu harus jalan kaki lumayan jauh. Devano melompati genangan air karena takut celananya kotor. “Risya, sebenarnya kamu mau kemana sih?” tanya Devano bersungut-sungut. “Membawamu ke neraka jahanam,” jawab Risya. “Jangan ngeri-ngeri, Risya. Kita belum menikah,” ujar Devano. Risya menghentikan langkahnya mendadak membuat Devano juga berhenti mendadak sampai menubruk tubuh Risya. Untung saja Risya bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. “Aku tidak mau menikah denganmu, dan kemana pun aku pergi tolong jangan ikuti aku!” pinta Risya. “Aku diam saja deh, yang penting bisa mengikutimu,” ujar Devano yang kukuh mau mengikuti Risya. Risya menghentakkan kakinya kesal, bagi Risya Ibunya sangat egois karena mengambil keputusan sepihak menjodohkannya dengan Devano padahal dia tidak suka dengan cowok itu. Devano terus mengikuti Risya meski dirinya memaki-maki dalam hati. Hingga mereka sampai di rumah
Revan sangat senang mendapat pesan dari Dara, hal yang membahagiakan bagi Revan adalah ketika rasa sukanya dibalas. Revan sudah mandi di rumah sakit, kini pria itu memakai kemeja barunya dan mematut dirinya di cermin, pun dengan dia yang menata rambutnya berkali-kali, padahal dalam keadaan apapun pria itu cukup tampan. “Ekhem.” Suara deheman membuat Revan menatap ke sumber suara. Arhan yang sejak tadi duduk tidak jauh darinya sudah tidak dianggap Revan, tetapi cowok itu malah caper. “Dokter Arhan sudah waktunya pulang?” tanya Revan yang akhirnya tanya. “Iya,” jawab Arhan. “Sekalian bareng saya pulang mau? Kayaknya kita searah, soalnya saya mau ke rumah Dara juga,” ujar Revan membuat Arhan segera berdiri. “Ke rumah Dara?” tanya Arhan. “Iya, ke rumah calon istri. Oh iya, saya lupa memberi undangan pada Dokter. Ini undangannya,” ucap Revan mengambil undangan di tasnya dan memberikan pada Arhan. Arhan menerima undangan itu dengan tangan yang bergetar, dia sudah lama menginginkan Dar
Hari ini Dara kesal setengah mati karena suaminya tidak bilang-bilang saat menjemput adiknya, sedangkan dia sudah jalan kaki ke sekolah capek-capek. Sampai pukul dua belas siang, Revan tidak membawa adiknya pulang membuat Dara bingung mau ngapain. Kalau ada Kaivan, Dara bisa bermain dengan adiknya. Dara berusaha menghubungi Revan, tetapi nomor pria itu tetap tidak aktif. Hingga mata Dara memicing saat mengingat ucapan adiknya kalau Revan pernah ditatap oleh Putri tanpa berkedip. Dara mondar-mandir di ruang tamu rumahnya, sesekali perempuan itu melihat hp yang dia genggam. Hingga suara mobil masuk ke halaman rumahnya terdengar. Buru-buru Dara berdiri di depan pintu yang masih tertutup rapat. Suara langkah kaki dan celotehan terdengar, hingga pintu terbuka menampilkan wajah Revan yang kini menatapnya. “Kakak, aku tadi ikut Kak Revan ke rumah sakit. Di sana susternya cantik-cantik. Kenapa pas aku sakit dulu susternya bukan suster itu?” tanya Kaivan. “Masih kecil sudah genit, sana ga
“Aku tidak mau melihatmu lagi. Pergi dari sini!” titah Revan mendesis. “Revan, kedatangan ibu ke sini membawakan buah untuk istri kamu. Ini ibu beli banyak, ada makanan juga untuk Kai,” jawab Selin. “Istriku tidak butuh! Lagipula tidak ada yang menjamin apa buah dan makanan itu bebas dari racun. Aku bisa menjamin kehidupan istri dan adikku sendiri!” desis Revan. Sebenarnya Revan tidak tega mengatakan demikian, tetapi kekecewaan Revan pada ibunya sudah di ujung tanduk. Karena ibunya, hubungannya dan Dara sempat renggang. Revan tidak mau mengambil resiko lagi. “Revan, ibu mengaku salah yang kemarin. Tapi kali ini ibu memang membelikan buah dan makanan untuk kalian tanpa ada niat apapun. Ibu—” “Pergi dari sini!” bentak Revan membuat Selin kaget. Tidak hanya perempuan itu, tetapi juga Kaivan yang kini sangat takut. Dara yang mendengar keributan pun segera keluar, “Revan, kenapa kamu teriak-teriak?” tanya Dara. Dara melihat Selin yang di tangannya memegang kantong plastik dan bebera
Revan merasa kehidupannya yang sekarang sangat menyenangkan. Dimana ada istri di sisinya, ada juga adik iparnya yang menyebalkan. Saat ini Revan tengah sibuk membuatkan susu ibu hamil untuk istrinya, sedangkan istrinya sibuk dengan pakaian baru Kaivan. Hari ini pertama kali Kaivan masuk sekolah, bocah itu sangat antusias karena ini yang dia inginkan“Sudah siap pakaiannya, kamu ganteng banget pakai seragam ini,” puji Dara pada adiknya. “Dara, susunya sudah siap. Diminum gih!” pinta Revan pada istrinya. “Iya, sebentar,” jawab Dara. “Kakak, ini tuh dasinya gak gini. Ini masih miring,” rengek Kaivan karena dasi yang dipakaikan kakaknya miring. Dengan sigap Dara membenarkan dasi adiknya. Revan yang melihat itu segera melepas kancing kemejanya dan mengacak sedikit kerahnya. “Sayang, bajuku berantakan,” rengek Revan bagai anak kecil. Dara menatap ke kerah baju Revan. “Tadi aku lihat sudah rapi, kenapa sekarang kayak gitu?” tanya Dara pada suaminya. “Entahlah,” jawab Revan. Dara meng
“Kaivan, makan yang banyak biar cepet gede!” pinta Devano berusaha menyuapi Kaivan, tetapi Kaivan tetap lari-larian. Malam ini Devano dan Risya mengajak Kaivan ke time zone, Devano ingin Risya melihatnya sebagai pria yang sayang anak-anak agar Risya cepat mengatakan kalau mau menikah dengannya. Namun, Kaivan sangat sulit diajak kerja sama, bocah itu terus lari-larian saking senangnya. Kaivan tidak pernah diajak ke sini oleh kakaknya. “Kaivan, cepet makan!” titah Devano mendekati Kaivan lagi. “Om, tadi Kak Revan kasih aku uang, aku mau main game lempar bola itu,” ujar Kaivan mengeluarkan uang dari sakunya. Devano mengembalikan uang itu lagi ke saku Kaivan. “Om punya banyak uang, jadi Om saja yang bayar. Yang penting kamu makan!” desis Devano terus berusaha menyuapi Kaivan. Risya tertawa geli karena Kaivan tidak mau disuapi, “Makannya jadi orang yang lemah lembut biar anak-anak menyukai. Anak-anak itu jujur, kalau dia tidak mau disuapi tandanya kamu bukan orang yang baik,” oceh Ris
Saat ini Dara tengah menundukkan kepalanya di ruang tamu rumahnya dan Revan, perempuan itu tidak berani menatap suaminya yang kini berdiri di depannya. Melalui ekor matanya Dara melihat sang suami tengah mondar-mandir seraya bersedekap dada. Saat Dara akan melihat lebih jelas, buru-buru Dara menunduk lagi. “Sudah puas kaburnya?” tanya Revan menatap istrinya. “Hem,” jawab Dara. “Sekarang kenapa menemuiku? Apa sudah bosan kabur terus atau sudah—”“Karena aku mendengarmu tengah sama wanita lain, makanya aku datang lagi,” jawab Dara yang kini berdiri dari duduknya. Perempuan yang tadinya malu menatap wajah suaminya kini menjadi berani dan mendorong tubuh Revan hingga Revan menubruk tembok belakangnya. Brak!Dara memukul tembok tepat di sebelah kepala Revan membuat pria itu kaget. “Aku hanya kabur, tidak bercerai denganmu. Saat aku mengatakan pisah, kamu juga tidak melayangkan perceraian padaku. Jadi aku dan kamu masih suami istri. Saat aku mendengarmu sama perempuan lain, jelas aku ke
Dara merasa terancam dengan keberadaan perempuan lain di hidup Revan. Revan bilang hanya menyukainya, tetapi Revan malah sama yang lainnya. Saat ini Dara pulang tanpa membawa barang apapun, juga Dara tidak memberitahu Ayahnya. Sesampainya di rumah Revan, Satpam bilang kalau Revan tidak ada di rumah, alhasil Dara tidak jadi masuk karena tidak berani. “Nyonya, kenapa tidak masuk?” tanya penjaga keamanan itu pada Dara. Sedangkan Dara hanya menggeleng pelan. “Biasanya Pak Revan kalau keluar malam, pulangnya juga larut,” ujar pak Satpam membuat Dara mengangguk. Dara bersiap pergi, tetapi kembali lagi, “Pak, kalau boleh tau dimana perginya Revan?” tanya Dara. “Biasanya kalau malam sih di bar,” jawab pria di depan Dara itu. Dara membelalakkan matanya, ternyata Revan masih sering keluar masuk bar. Perempuan itu menuju ke taksi yang menantinya. Di sisi lain Revan tengah bersama rekan-rekan bisnisnya, pria itu sudah banyak minum, tetapi tidak membuatnya mabuk, sedangkan teman-temannya sud
“Kak Revan, aku kangen Kak Dara,” rengek Kaivan yang saat ini duduk di mobil Revan. Revan yang sudah menjalankan mobilnya pun menatap ke arah Kaivan. Sumpah demi apapun mengurus anak kecil sangat menyebalkan, ini rewel itu rewel. Minta sekolah sudah Revan wujudukan, sekarang malah merindukan Dara. “Aku mau telfon sama Kak Dara, Kak. Kangen banget, kangennya sudah segini,” oceh Kaivan menunjukkan bulatan besar tanda kangennya. “Kalau tau gak bisa jauh-jauh sama Kak Dara, kenapa kamu malah kabur?” tanya Revan. “Kalau aku sama Kak Revan, nanti Kak Dara nyariin, akhirnya kalian ketemu lagi deh,” jawab Kaivan. Revan menggeleng pelan mendengar ucapan Kaivan, masih kecil tapi bisa-bisanya punya rencana untuk menyatukan orang dewasa. “Ini telfon kakakmu, tapi bilang kalau kak Revan gak ada di samping kamu!” titah Revan memberikan hpnya pada Kaivan, pun dengan Kaivan yang menerima hp kakaknya. Bocah itu langsung menghubungi nomor kakaknya yang ternyata disematkan oleh Kak Revan. Di sisi
Sudah beberapa hari Selin mengurus menantunya yang hamil, perempuan itu ikut tinggal menemani Dara meski Dara selalu menolaknya. Sama halnya pagi ini untuk pertama kalinya Selin masak lagi setelah sekian lama selalu mengandalkan asisten rumah tangga. Selin sibuk di dapur, terkadang barang-barang jatuh karena perempuan itu tidak becus sama halnya dengan Revan.Dara berjalan sempoyongan menuju dapur karena haus, sesampainya di sana Dara malah melihat mertuanya bertingkah. Menggoreng telur saja jaraknya lebih dari dua meter.Selin yang melihat Dara pun tersenyum, “Dara, kamu duduk saja di situ, biar Ibu yang menyiapkan sarapan,” ujar Selin.“Sebenarnya apa maumu? Kenapa kamu tidak pulang-pulang?” tanya Dara pada Selin.“Dara, Ibu tau ibu pernah salah, tapi ibu di sini untuk mengurus kamu yang sedang hamil. Ayahmu kerja, kalau sampai ada apa-apa sama kamu bagaimana? Pada siapa kamu meminta tolong?” tanya Selin.Dara memutar bola matanya malas mendengar ucapan Selin. Sedangkan selin memega
“Dokter, ini Kaivan minta ketemu,” ucap Alvian memasuki rumah Revan yang terbuka lebar. Revan yang tengah merapikan bajunya siap pergi pun langsung menghentikan langkahnya. Kaivan berlari menghampiri Revan. “Kak Revan, aku kangen hiks hiks hiks … aku mau sama Kak Revan,” rengek Kaivan yang saat ini menangis sesenggukan sambil memegang kaki Revan. Revan menatap Kaivan yang memeluk kakinya dengan erat, pria itu juga merindukan Kaivan, terakhir kali bertemu dengan Kaivan, bocah itu sudah mulai gembul, tetapi sekarang Kaivan kurus lagi. “Kaivan, kamu tidak banyak makan selama ini?” tanya Revan mengangkat tubuh Kaivan dan menggendongnya. “Aku gak mau makan, aku mau ketemu sama Kak Revan,” jawab Kaivan yang kini memeluk erat leher Revan saat sudah digendong. “Kenapa tidak mau makan?” tanya Revan. Kaivan hanya diam saja dan menyandarkan kepalanya ke pundak Kakak iparnya. “Kak Revan, aku mau di sini. Meski aku disuruh kerja pun aku mau, aku bisa beres-beres, aku juga gak pilih-pilih mak