Maaf ya dua hari off karena lagi heboh di dunia nyata. Jangan lupa rate bintangnya ya sahabat Hiza..
Hari berlalu biasa saja bagi Malik. Rutinitas paginya masih seperti biasa. Yang berbeda hanyalah, sekarang setelah menikah Malik akan terbangun lebih pagi. Bersiap lebih cepat dan turun ke ruang makan lebih awal. Malik menyempatkan diri menikmati obrolan Laila bersama Bi Mina dan Mbak Yani. Entah kenapa hal itu membuat hatinya menghangat. Seperti sebuah bekal untuk ia bekerja seharian. Sangat menyenangkan. Dan Laila belum menyadari bahwa selama ini suaminya menguping pembicaraan mereka. Pagi itu, Laila menceritakan tentang desa nya pada Bi Mina dan Mbak Yani. Bi Mina dan Mbak Yani terlihat sangat menikmati cerita yang disampaikan Laila. Bagaimana Malik tahu? Jelas karena ia mengintip ke arah dapur itu. Meski sama-sama dari desa, tapi Mbak Yani apalagi Bi Mina sudah lama sekali tidak pulang ke desanya. Sudah berapa tahun? 5 tahun? 7 tahun? Ah, mungkin lebih. Mereka sampai tidak ingat. Laila terus bercerita sampai ia dengan spontan menceritakan tentang oleh-oleh kelapa yang dipetik ol
Pak Agung memijit-mijit pelipisnya karena pertengkaran istri dan anaknya itu. Istrinya yang memegang teguh persamaan strata sosial dibuat geram oleh keputusan Malik yang menikahi gadis biasa-biasa saja. Salahnya juga karena tidak mengerem istrinya yang terlalu banyak bergaul dengan sosialita-sosialita diluar sana dan ikut termakan hasutan teman-temannya.Sebenarnya tidak ada salahnya dengan kaum sosialita, tapi perkumpulan yang diikuti istrinya itu terlalu mengagungkan kasta sosial dan harta. Dan Pak Agung terlambat menyadarinya.Istrinya yang dulu adalah perempuan lemah lembut dan penurut kini berubah menjadi wanita glamour dan senang mempertontonkan kemewahan yang dimiliki hasil kerja keras suaminya. Pak Agung sadar betul bahwa dibalik kesuksesannya ada peran besar Bu Lina, hal itu lah yang menjadikannya sering memanjakan Bu Lina dengan kebebasan pertemanan tanpa bisa menyaring mana yang baik dan tidak.Terlebih sejak mengenal mama Gladis. Sejak saat itu, Bu Lina berubah. Pak Agung
Langkah Laila terasa ringan saat menuju parkiran kampusnya. Begitu pula hatinya. Senyum tampak terus menghiasi wajahnya selepas bimbingannya dengan pak Eko yang berlangsung selama 1,5 jam tadi.Pak Eko menyambut baik tulisan di bab 3 nya. Bab yang membahas tentang pendekatan metode penelitian yang digunakan Laila dalam mengolah datanya. Pada bab itu nyaris tak ada coretan revisi yang berarti dari sang dosen. Dan dengan ringan pula pak Eko menyuruhnya segera lanjut ke bab 4.Laila tengah berbunga-bunga. Paginya yang ia rasa berat karena hinaan dari mama mertuanya sekarang beralih menjadi rasa syukur yang tak terhingga. Suasana pagi yang ia rasa akan merusak seluruh harinya nyatanya berubah seperti berkah.Sore itu Laila pulang dengan wajah ceria. Kemacetan parah pun seakan tiada artinya baginya. Sepanjang perjalanan dari kampusnya menuju rumah besar keluarga Pak Agung -mertuanya-, Laila bersenandung mengikuti playlist yang sedang diputarnya di handphone, lagu milik Alan Walker - Lily.
Laila terbangun saat mendengar suara tirai pembatas ruang di IGD itu tersibak. Perawat masuk dengan peralatan medis dan satu map catatan medisnya. “selamat pagi Ibu Laila. saya periksa dulu ya.” Perawat itu memasangkan alat tensi di lengan kirinya. “normal. Masih merasakan pusing Bu?” tanya perawat itu sambil melepas tensimeter dari lengannya. “masih sedikit.” Ucap Laila tercekat. Kerongkongannya terasa sangat kering. Dan dia sadar sejak kemarin siang ia belum minum setetes pun. “Suaminya sangat kelelahan sepertinya.” Kata perawat itu saat melirik Malik yang tidur sambil duduk. Perawat itu masih mengatur laju cairan infusnya yang tersisa sedikit lagi sambil tersenyum-senyum. Laila baru menyadarinya dan ikut melirik ke arah Malik. Pantas saja tangannya terasa berat, ternyata tergenggam Malik dan sangat erat. “Ibu sudah boleh pulang setelah cairan infus ini habis ya.. Saya permisi dulu.” Pesan Perawat itu sambil tersenyum menangguk. Laila mengangguk dan melempar senyum pada perawat
Semalaman tidur dengan posisi duduk membungkuk membuat badannya pegal luar biasa. Malik meringis beberapa kali saat memapah Laila yang sebenarnya tak terlalu berat. Tapi badannya yang pegal-pegal membuat nafasnya terengah-engah bak orang selepas berlari memutari lapangan sepak bola. Berat badan Laila tidak lebih dari 50 kilo, tapi Malik merasakan nafasnya semakin terhimpit. Tentu saja tidak mungkin hal itu ia tunjukkan pada Laila. Malik tetap mencoba tetap tegak dan normal seperti biasanya, dia tidak mau dianggap lemah oleh Laila. Dia yang rajin nge-gym tiap 3 hari sekali harusnya tak terlalu bermasalah kalau hanya memapah Laila. Atau karena dia terlalu dimanjakan dengan kasur empuknya tiap hari? Setelah mendudukkan Laila, Malik akan bergegas turun memanggil Bi Mina dan Mbak Yani, tapi niatnya dicegah oleh Laila yang mengutarakan ketakutannya. Perempuan itu takut ada orang lain yang mengetahui kondisi pernikahannya yang sesungguhnya. Atau lebih tepatnya Laila takut jika hal itu sampa
Terdengar ketukan keras diiringi panggilan pada Malik di pintu selama mereka berdua menyantap sarapan plus makan siangnya. Laila dan Malik saling pandang sebentar, lalu Malik berjalan cepat menuju pintu tanpa mengatakan apapun pada Laila. mereka sama-sama tahu apa yang terjadi selanjutnya dan apa maksud kedatangan Mamanya ke kamar itu. Mamanya sudah menatapnya sinis begitu Malik membuka pintu. “Ngapain aja sih? Gladis udah nunggu dari tadi. Cepat turun!” Sergah Bu Lina. “Malik nggak bisa Ma.. kenapa juga harus Malik yang antar? Malik bukan siapa-siapanya.” Tolak Malik. “dia minta tolong Malik, mama nggak mau tau kamu harus temani dia.” Bu Lina sengaja mengeraskan suaranya agar terdengar laila. “Malik lelah, Malik baru pulang, dan mama tahu kan kalau istri Malik sedang terluka. Malik nggak bisa. Maaf.” Malik hampir berbalik menutup pintu tapi ia urungkan. “kenapa bukan mama yang menemani? Dia tamu mama kan? Malik harap mama mengerti. Malik sudah menikah, Ma.. Malik punya istri yang
Makan malam kali ini, untuk pertama kalinya terasa hambar dan sunyi bagi Malik. Padahal Papa dan Mamanya ada di depannya sedang menikmati makanannya masing-masing. Papa dan Mamanya berbincang seperti biasanya, tapi bagi Malik suara denting sendok yang beradu dengan piring yang memenuhi pendengarannya.Laila tentu saja sedang tidak bisa ikut bergabung. Ah, selama di rumah itu memang ia belum menikmati makan bersama dengan keluarga Malik. Mama mertuanya tentu tak menyukainnya duduk satu meja bersamanya.Malik mendesah pelan. Sejak sore tadi selepas Laila terbangun, Laila tidak merespon dengan benar setiap tanya yang dilontarkan Malik. Malik sedang mencoba melunak pada Laila, tapi respon Laila sungguh diluar dugaannya. Laila hanya menjawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak’. Wanita itu juga selalu membuang pandangannya ke arah lain setiap kali Malik mencoba mendekatinya.“bagaimana keadaan Laila?” tanya Pak Agung memecah lamunan Malik.Tidak ada jawaban dari Malik. Malik seperti patung, tatapannya
Sejujurnya Laila masih ragu dengan perubahan sikap Malik. Apakah laki-laki di depannya ini berkata jujur atau hanya karena ingin menahannya lebih lama di sini sebagai tawanannya.Laila melebarkan matanya ketika tangan lebar itu berdiam di pipinya tapi tetap dalam tunduknya. Telapak tangan itu mampu menangkup seluruh wajah Laila bahkan jika ia menyekapnya. Laila kembali terperangah ketika Malik menegaskan bahwa dia suaminya dan memintanya jangan meninggalkannya. Apakah maksudnya jangan meninggalkannya? Laila terdiam sebelum memberikan jawaban. Dia merasakan jantungnya berdebar sejak tangan kekar itu menggenggamnya. Dia merasakan nyaman saat tubuh kekar itu merengkuhnya. Dan dia merasa sakit saat ia meminta laki-laki itu menceraikannya.Laila mengangguk pada akhirnya. Ia tak berani menatap Malik yang masih dirasanya asing. Ia masih merasa takut jika Malik sedang baik begini. Laila takut semuanya palsu, Laila masih takut ia tersakiti. Ini adalah pengalaman pertamanya berhubungan dengan l
Beberapa bulan kemudian.Tangis balita memenuhi ruangan. Suaranya menggema riuh rendah, padahal hanya satu bayi. Cucu kebanggaan Keluarga Bagaskara telah hadir di tengah-tengah kesunyian yang melanda rumah besar itu.Bu Lina bahagia luar biasa, ingin rasanya terus menimang-nimang kalau saja ia bisa. Sayangnya, ia sudah harus beristirat tidak diperbolehkan terlalu lelah oleh dokter. Sejak sebulan yang lalu Bu Lina harus kembali menggunakan tongkat untuk membantu berjalan dan kursi roda jika diperlukan, beliau terpeleset sewaktu di kamar mandi, dan riwayat patah tulang dahulu kala menjadikan kecelakaan kali itu bukan hanya terpeleset biasa. Tapi membuka luka lama dan memperparahnya.Padahal ingin sekali ia menikmati waktu menimang-nimang cucu satu-satunya saat itu.Sambil terus bersemoga agar Mahardika dan Raisa segera diberi keturunan.Ya. Mahardika berhasil meyakinkan orang tua Raisa bahwa ia benar-benar menginginkan Raisa dan mencintainya.Beberapa bulan yang lalu.Dengan tangan berg
Malik memegang ponselnya diputar-putar lalu berhenti dan mencari aplikasi pesan. Menatapnya lama, lalu kembali memainkan ponselnya.Sekian kalinya lalu ia berhenti dan mantap mengirimkan sebuah pesan.‘Wanita memang butuh kepastian, Bang. Tapi mereka juga tidak akan suka dengan kesemena-menaan. Aku udah pernah melakukan itu, jadi Abang tidak perlu mengulangi kesalahanku. Dia ada di rumahku sekarang kalau Abang mau meluruskan masalah kalian.’Pesan yang cukup panjang. Lalu Malik tutup dengan helaan nafas panjang. Ia tidak tahu masalah apa yang Dika lalui hingga mendapatkan status duda itu. Tapi melihat kesembronoan Dika, rasanya Malik segera mengerti bagaimana sikap Mahardika jika berhadapan dengan perempuan.Benar-benar mirip dengannya. Beruntungnya, Laila cukup mau bersabar menghadapinya dan mau memaafkan semua tingkah lakunya hingga ia tidak jadi menyandang status duda itu. Jika saja… Ah, jangan sampai. Malik tak mau berandai-andai.Laila dan Raisa bercengkerama sekian lamanya hingg
Laila disambut pelukan hangat suaminya begitu tubuhnya muncul dari balik pintu besi lapas yang menjulang tinggi. Gurat kekhawatiran sangat jelas di wajah suamiya, sebab takut kalau-kalau Gladis gelap mata dan menyerang istrinya yang tengah berbadan dua. “Kamu enggak apa-apa kan, Sayang?” Tanya Malik segera setelah melepaskan pelukannya. Meraba-raba wajah dan tubuh istrinya memastikan tidak ada yang kurang dan bertambah. Bertambah ada luka atau lebam. “Enggak apa-apa Mas. Kami cuma ngobrol kok.” “Aku takut kalau sampai dia nekad.” Katanya sambil menuntun Laila memasuki mobil. “Mbak Gladis kasihan sekali, Mas. wajahnya tirus dan kelihatan sangat tertekan. Tubuhnya kurus sementara perutnya menggembung buncit.. Aku enggak tega.” Ia kembali mengingat rupa Gladis sebelum dan sesudah peristiwa itu. Dulu, Gladis adalah perempuan yang cantik. Tubuhnya tinggi dan montok. Wajahnya merah segar tidak seperti yang ia lihat baru saja. Matanya yang belok terlihat semakin belok karena semakin t
Suasana rumah besar keluarga Bagaskara kini semakin akrab untuk Laila terlebih ketika mama mertuanya sudah berubah untuknya. Sudah menerimanya dan semakin sayang padanya.Bermacam-macam hadiah yang diberikan sang mertua untuknya, terutama untuk kebutuhan ibu hamil dan menyusui.Sepulangnya dari Bali, Laila dan Malik tidak langsung ke rumahnya sendiri. Tapi terlebih dulu ke rumah orang tuanya, melepas rindu sekaligus memberikan oleh-oleh yang dibawanya.Ternyata, bukan hanya dia yang memberikan oleh-oleh itu, Laila juga menerima hadiah yang telah disebutkan tadi dari ibu mertuanya.“Ini banyak sekali, Ma..” Kata Laila terharu sekaligus terperangah.Lina mengeluarkan semua belanjaannya berkarton-karton paper bag untuk Laila.“Mama tadinya ingin sekalian belanja baju bayi untuk anakmu, karena kamu pasti lelah setelah perjalanan dari Bali. Kandungan mu juga semakin besar. Tapi Mama enggak mau lancang, ini anak pertama kalian, pasti kalian antusias ingin belanja kebutuhannya sendiri.” Ungk
“Kamu jangan main-main! Lamar-lamar anak orang! Siapa dia, siapa orang tuanya, dari mana asalnya kita enggak tahu. Hanya karena dia adalah teman Laila kemudian kita akan menerimanya? Apa orang tuanya tahu kamu membawanya kemari?” Cecar Mama Lina sepeninggal Raisa.Meski dalam hati ia ikut tergelak sebab anak sulungnya meminta dilamarkan seorang gadis. Namun. Ia tetap tidak bisa menerima sikap sembrono Dika, anaknya.“Kamu itu sudah tua, Dika. Jangan main-main soal menikah.” Lanjutnya ketika jawaban yang diharapkan tak kunjung keluar.“Dika enggak main-main, Ma.” Jawab Dika sungguh-sungguh.Pak Agung hanya duduk mendengarkan celotehan istrinya yang ditanggapi anak sulungnya biasa-biasa saja. Benar-benar duplikat Agung Bagaskara.“Lalu dimana rumahnya? Siapa orang tuanya?” Tanya Lina lagi.Dika menggeleng. “Dika hanya tau apartemennya, tapi rumah orang tuanya Dika belum tanya.”“Lihat anakmu, Pa. Papa sebut dia dewasa? Umurnya saja yang tua, tapi pikirannya, ya ampun… Papa saja yang uru
Surya sore menyemburat menembus pohon-pohon di taman itu hingga menciptakan bias dan pendar yang menyapa dua insan yang duduk di sana. Duduk berjauhan bak orang asing. Satu perempuan dan satu laki-laki, tidak saling menatap tapi gesture mereka mengisyarakatkan bahwa mereka serasi menjadi sepasang kekasih. Tatapan mengernyit dari si perempuan dan wajah datar si laki-laki mempertegas bahwa hubungan mereka memang sedang berjarak. “Maksudnya apa?” Tanya Raisa tak sabar. “Ikutlah ke rumahku.” “Iya, tapi untuk apa? Ngomong yang jelas! Bisa enggak sih jadi laki-laki yang tegas gitu. Ngomong sepotong-potong bikin aku bingung. Sikapmu itu bikin aku bingung tau enggak. sebentar ngasih perhatian, sebentar ngilang.. Sekarang tiba-tiba ngajak ke rumah? Untuk apa? Aku sudah pernah ke rumahmu dan sudah kenal orang tuamu ngomong-ngomong, kalau itu maumu. Enggak perlu kalau setelah ini kamu akan tiba-tiba ngilang lagi.” Cecar Raisa. Ia sudah tak tahan lagi bermain tarik ulur seperti ini. Ia merasa
Tok tok tokPintu kamar Lina diketuk lembut dari luar. Sudah hampir tiga hari ia tak keluar kamar dan menolak ditemui Dika, anak sulungnya.Lina mendengus. Sejujurnya ia sudah terlalu tua untuk merajuk, tapi apa yang dilakukan Mahardika menurutnya telah keterlaluan dan menyakitinya.“Ma.. Dika mohon buka pintunya.” Seru Dika dari balik pintu.“Temui dia, Ma. Sudah berhari-hari mama enggak keluar kamar. Dika juga berhari-hari seperti orang gila karena terkurung di dalam rumah. Padahal dia harus ke kantor membantu Papa.” Bujuk Pak Agung.“Papa yakin dia sudah benar berubah? Dia enggak akan pergi lagi?” Bu Lina menelisik mata suaminya mencari kesungguhan disana. Meminta keyakinan dan diyakinkan sebenarnya.“Papa yakin.” Jawab Pak Agung.Bukan apa-apa, Bu Lina hanya ingin di usianya senjanya semua anak-anaknya berada di dekatnya. Rejeki bisa nanti dicari, dan pengalaman, dia rasa sudah cukup bagi Dika menghabiskan bertahun-tahun untuk mencari pengalaman itu di luar belantara sana.Tok tok
“Apa maksudmu?” Tanya Lina pelan-pelan. Sejujurnya dadanya sudah bergejolak marah karena anak sulungnya ternyata menyembunyikan berita besar.“Dika sudah pernah menikah.” Jawab Dika singkat.Dika sudah tak mungkin lagi berkelit. Ia harus jujur sekarang juga atau mamanya akan terus menuntutnya soal menikah. Namun, reaksi mamanya sungguh diluar dugaan.“Bicara yang benar, Mahardika! Mamamu yang tua ini enggak ngerti. Menikah dengan siapa? Dimana? Kenapa enggak bilang sama mama dan papamu?” Bentak Lina yang sudah sabar dengan sikap Dika yang santai dan cuek.“Maafin Dika, Ma.”“Siapa? Siapa yang kamu nikahi? Dimana dia sekarang?” Cecar Lina lagi. Melihat Dika hanya diam, membuat kesabaran Lina semakin menipis.“Katakan Dika! Jangan diam saja? Mau ditaruh mana muka mama kalau sampai kamu menelantarkan anak gadis orang!”“Dika tidak pernah menelantarkannya, Dika mencintainya, tapi orang tuanya yang tidak menyukai Dika karena menurutnya Dika menelantarkan anaknya karena Dika terlalu lama pe
Satu bulan kemudian.“Sudah siap?”Laila mengangguk merona. Sambil terus menyunggingkan senyum mereka akan melakukan perjalanan ke Bali karena ingin menikmati baby moon sekaligus honey moon mereka yang tak pernah terlaksana.Malik menyeret koper di tangan kirinya dan tangan kanannya menggenggam tangan Laila erat. Berjalan menyusuri lorong resort tempat mereka menginap. Mereka memilih daerah uluwatu dan kintamani untuk menghabiskan masa baby moon mereka selama satu minggu.Menyewa resort di tepi pantai untuk menikmati masa-masa tinggal berdua dan memperdalam hubungan mereka setelah berbagai badai yang menyambut awal rumah tangga mereka.Malik sudah sepenuhnya pulih, ia memutuskan untuk sebentar mengambil libur sebelum kembali benar-benar terjun mengurusi perusahaan sang papa.Lagi-lagi, Dika lah yang dijadikannya tumbal. Terpaksa masih harus memenuhi permintaannya yang seperti tak kunjung ada ujungnya. Dika bahkan tak bisa menikmati waktu kencan berdua.Ya, kencan. Dika sudah memantapk