Wajah Bella panik saat ia tahu Edgar akan membawanya ke hotel, bukan ke kampus. Edgar sudah dibutakan oleh cintanya pada Bella.
"Edgar apa kamu sudah gila? Aku ingin kuliah! Antar aku ke kampus sekarang! Ini sudah terlambat!" Bella menggerakkan lengan Edgar yang tengah fokus menyetir."Hanya sebentar Sayang, aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya. Sangat tersiksa, dia sudah diujung!""Kenapa aku harus berada di posisi seperti ini?" isak Bella lirih.Bella melepas genggaman tangannya, lalu menyilang kedua tangan ke atas dada. Memilih untuk diam seribu bahasa, karena percuma saja melawan lelaki itu."Please, Bell." Edgar menyeringai menatap wanita pujaannya. "Hanya sebentar, kita bisa melanjutkan kuliah di jam kedua pelajaran nanti. Yang kita lakukan tadi sangat tanggung, aku belum mencapai klimaks.""Memangnya kamu pikir aku bisa menolak? Toh kamu yang menyetir mobil ini!" dengkus Bella kesal.Edgar mengalihkan pandangan dari jalanan, menatap Bella yang duduk di sampingnya. "Terima kasih, Sayang. Aku tidak akan mengecewakanmu. Aku akan memuaskanmu nanti."Bella membalas tatapan Edgar lalu mengatakan, "Aku tidak butuh kepuasan! Aku hanya ingin menempuh pendidikan, aku tidak ingin terus hidup seperti ini! Kamu tahu kan? Aku sangat tersiksa hidup miskin dan diinjak-injak oleh orang-orang kaya!""Ya, aku tahu. Aku juga ingin melakukan hal yang sama. Aku ingin sukses dan membawamu pergi sejauh-jauhnya dari negara ini! Kita bisa hidup bahagia bersama keluarga kecil kita nanti. Aku, kamu dan anak-anak kita."Bella menghela nafas panjang, melempar pandang keluar jendela sambil memikirkan nasibnya ke depan.Semua kerumitan hidupnya terjadi karena hutang kedua orang tuanya pada Barta (Lintah Darat) Andai saja dia memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang besar, dia akan membayar hutang kedua orang tuanya pada Barta.Edgar menggenggam jemari lentik Bella yang sedari tadi diam membisu.Bella menatap lelaki di sampingnya sangat lekat."Kamu kenapa?" tanya Edgar saat melihat wanita pujaan melamun."Tidak apa-apa, aku hanya lelah harus hidup seperti ini terus," gumam Bella melepas genggaman tangan Edgar."Aku tahu, aku juga merasakan perasaan yang sama. Tapi, kita pasti bisa melewati ini berdua. Tunggu sampai aku mendapatkan pekerjaan dan uang yang banyak. Aku berjanji aku akan menikahimu dan melunasi semua hutang kedua orang tuamu pada ayahku.""Edgar! Apa kamu sadar dengan ucapanmu itu? Kamu masih waras 'kan?" Bella semakin kesal."Tentu saja aku sadar. Aku sangat-sangat sadar dengan ucapanku!" Edgar tersenyum lebar."Maksudku! Kamu … kamu tahu kan kalau hubungan ini terlarang? Aku sudah resmi menjadi Ibu tirimu. Tapi kita justru melewati malam bersama tepat di malam pertamaku dengan ayahmu. Aku sudah resmi menjadi Ibu tirimu, istri dari ayahmu. Kalaupun aku bercerai dengan ayahmu lalu kita menikah. Apa kata orang nanti? Orang pasti akan menjadikan hubungan kita sebagai bahan gunjingan.""Aku tidak perduli pada orang-orang! Toh, bukan mereka yang memberi kita makan! Bukan mereka yang bisa memberi kita kebahagiaan! Jadi untuk apa kita memikirkan orang lain, Bell? Seharusnya yang kita pikirkan adalah hubungan kita! Aku dan kamu! Bukan orang lain yang tidak ada hubungannya dengan kita!"Bella membuang nafas kasar, lelaki di sampingnya memang sudah dibutakan oleh cinta. Hingga membuat akal sehatnya terganggu. Edgar benar-benar tidak tahu resiko yang akan dihadapi nanti, atau dia berpura-pura tidak tahu dan tidak memperdulikan itu?Kegilaan Edgar sudah benar-benar menghancurkan hidup Bella dan membuatnya semakin merasa serba salah."Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu," ucap Bella."Bel, please. Kita bisa melewati ini, aku dan kamu, Bel. Aku yakin semua akan indah pada waktunya, setelah aku mendapatkan pekerjaan dan uang yang banyak. Setelah aku keluar dari rumah Papaku dan bisa hidup mandiri." Edgar menepikan mobil ke pinggir jalan agar bisa leluasa bicara pada Bella."Edgar! Tolong sadarlah. Semua tidak semudah yang kamu pikirkan. Tidak semudah itu. Aku dan kamu benar-benar tidak akan bisa bersatu. Kamu tahu kan bagaimana ayahmu? Dia bisa murka, dia bisa marah besar padamu. Dan kamu bisa menjadi sasaran amukannya.""Aku tidak perduli! Aku yakin aku bisa keluar dari rumah itu dan membawamu. Setelah aku mendapatkan penghasilan sendiri, yang jauh lebih besar dari uang yang dia berikan setiap bulan!" Edgar bersikeras."Bagaimana kamu bisa mewujudkan semua keinginanmu itu kalau kamu saja tidak fokus kuliah? Kamu selalu saja bolos dan lebih mementingkan kesenangan daripada pendidikan! Kamu yakin bisa mendapatkan pekerjaan? Pekerjaan seperti apa? Sedangkan kamu tidak bisa fokus menimba ilmu!" cecar Bella menyadarkan Edgar.Ucapan Bella seakan menjadi cambuk untuk Edgar. Dia terdiam tidak bisa membalas ucapan wanita pujaannya.Ia menghela napas panjang lalu mengatakan, "Aku akan membuktikan ucapanku ini! Kamu tenang saja!"Edgar kembali melajukan mobilnya."Kita ke kampus!" pinta Bella."Aku sulit berkonsentrasi, aku mohon satu kali saja. Hanya sebentar sampai sesuatu yang sudah berada di ujung ini keluar. Ya." Edgar kembali menggenggam jemari lentik Bella."Terserah!" balas Bella kesal.***Mobil berhenti tepat di depan Losmen yang tidak terlalu besar, karena Edgar takut jika membawa Bella ke Hotel berbintang resikonya sangat besar, karena di sana banyak yang mengenal Edgar sebagai anak dari Barta, dan Bella adalah istri dari ayahnya.Sedangkan di Losmen itu, pastinya tidak akan ada yang mengenali mereka."Aku akan memesan kamar, kamu tunggu di sini. Okey?" Edgar mengecup kening Bella lembut. "Aku mencintai, Bell.""Hmm." Bella memalingkan wajah, masih kesal dengan Edgar.Edgar keluar dari dalam mobil, berjalan mendekati resepsionis di depan Losmen tersebut. Dia memesan satu kamar untuk satu hari, kamar yang paling bagus dengan harga paling mahal, karena saat ini dia masih menerima uang bulanan dari ayahnya.Tidak berapa lama. Bella turun dari dalam mobil setelah melihat Edgar melambaikan tangan memanggilnya untuk masuk ke dalam Losmen.Bella berjalan perlahan sambil menyapu pandang keseluruh bangunan Losmen, untuk memastikan tidak ada yang mengenali mereka di sana."Aku memesan kamar yang paling mahal, jadi kamu tidak perlu khawatir tempatnya tidak nyaman. Semua sudah dijamin, kenyamanan dan juga kesejukan kamarnya," ucap Edgar merangkul pinggang Bella.Bella hanya diam membisu, tidak menjawab apapun. Sejujurnya dia sangat takut ada yang melihat dan mengenali mereka.Keduanya berjalan beriringan melewati beberapa kamar lain di Losmen tersebut, menuju kamar yang dipesan Edgar.Bella terus menolak dirangkul oleh lelaki tampan di sampingnya, bahkan berjalan beriringan saja dia tidak berani."Ini kamar kita," ucap Edgar setelah mereka berdiri di depan pintu kamar.Edgar membuka pintu tersebut menggunakan kunci yang diberikan petugas resepsionis.Mendorong pintu kamar hingga terbuka lebar sambil tersenyum. "Silakan masuk, Nona cantik," canda Edgar.Bella berjalan dengan lesu masuk ke dalam. "Tolong lakukan dengan cepat! Aku ingin kuliah," pinta Bella."Iya, Sayang," ucap Edgar membawa Bella semakin mendekati ranjang setelah mengunci pintu. "Aku menginginkanmu setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik."Edgar mendorong pelan tubuh Bella hingga terjatuh ke atas ranjang empuk. "Langsung saja, ya," katanya lalu naik ke atas tubuh Bella."Hmm, cepat lakukan aku ingin berangkat kuliah!" dengkus Bella."Okey," balas Edgar lalu mulai meloloskan pakaian Bella satu persatu.Harga mobil yang meledak pada malam itu memang tidak seberapa, tetapi bagi Barta Wijaya, mengusik ketenangannya sama saja sudah mengajak perang. Saat ini di tengah perjalanan menuju markas musuhnya--para preman yang sering kali berbuat ulah. Barta sudah bersiap untuk memberi pelajaran pada mereka semua. "Mengusik ketenanganku, sama saja mencari mati!" desis Barta seraya memasukan peluru ke dalam Glock kesayangannya.Anak buah Barta menyadari kemarahan Tuan mereka. Tak ada ampun bagi orang yang sudah berani berurusan dengan rentenir kejam itu. Semua orang yang terjun ke dunia hitam tahu siapa Barta Wijaya, tetapi masih saja ada yang berani mengusiknya. "Jam berapa kejadian ledakan semalam?" tanya Barta pada anak buahnya. "Kemungkinan jam dua belas malam, Tuan." Anak buahnya menjawab sambil menundukkan tubuh.Barta berfikir sejenak lalu kembali mengatakan, "Apa kalian sudah mengecek semua CCTV di rumahku?"Pertanyaan itu sontak membuat anak buah Barta yang duduk di kursi depan salin
Seorang asisten rumah tangga masuk ke dalam kamar yang menjadi saksi bisu penyatuan peluh antara Edgar dan Bella. Wanita paruh baya itu melihat ada bercak darah di atas seprai putih. "Kok ada darah? Darah siapa ini?" gumamnya. Tak ingin berpikir macam macam, ia pun menggulung seprai tersebut lalu memasukkan seprai ke dalam keranjang yang biasa digunakan untuk menampung pakaian kotor.Sepanjang jalan menuju ruang khusus mencuci pakaian. Pikiran wanita paruh baya itu melayang jauh, masih mengingat jelas kalau bercak darah di seprai tadi seperti sisa pergumulan pasangan yang melewati malam panas. Namun seingatnya, yang menikah semalam adalah Tuan Barta dengan wanita cantik bernama Bella, tetapi di dalam kamar pengantin justru tidak ada bercak darah apapun. Ranjangnya juga terlihat sangat bersih. "Bik, ngapain ngelamun begitu?" Suara berat seorang laki laki mengangetkan wanita yang biasa dipanggil dengan sebutan Bik Inah."Anu, itu ... apa ya ... ngga tahu. Udah, ah. Bibi lagi banyak
"Pegang anak kurang ajar ini! Aku ingin memberinya pelajaran!" titah Barta pada anak buahnya.Dua orang anak buah Barta mendekati Edgar.Melihat itu Edgar melangkah mundur menjauh dari anak buah ayahnya tersebut."Menjauh dariku! Sialan!" bentak Edgar."Maaf Tuan Muda, kami hanya menjalankan perintah."Edgar menatap ayahnya lalu berkata, "Pa, aku tidak melakukan itu. Aku bisa menjelaskan semuanya." Ia melangkah mundur menghindari anak buah ayahnya.Barta tersenyum sinis, bukannya menghentikan anak buahnya dia justru kembali mengatakan, "Lumpuhkan dia! Cepat!""Baik Tuan.""Menjauh dariku! Jangan mendekat! Bangsat kalian semua!" bentak Edgar mencoba melawan. "Maaf Tuan Muda. Tolong jangan melawan, atau kami tidak akan segan segan untuk menyakiti Anda." Dua orang anak buah Barta memegang lengan Edgar, mencengkram kuat.Edgar masih berusaha memberontak. Namun, pada akhirnya Edgar berhasil dilumpuhkan oleh dua orang anak buah bertubuh lebih besar dari lelaki tampan itu. Saat ini, Edgar
Saat ini, Edgar tengah berada di dalam ruangan pengap tanpa adanya ventilasi udara. Ruang bawah tanah yang biasa menjadi tempat sang ayah memberinya hukuman saat dia melakukan kesalahan. Ruangan yang minim pencahayaan itu menjadi saksi bisu kesedihan Edgar dan kekejaman Barta pada dirinya.Edgar tengah duduk di atas lantai dingin sambil menyandarkan kepalanya ke dinding.Kilasan kenangan tentang ibunya melintas di dalam ingatan saat dia memejamkan kedua mata.Tepat lima tahun yang lalu, saat ibundanya masih hidup. Ibunya selalu membela Edgar dan meminta Barta untuk mengampuninya. Namun sekarang, siapa yang akan menolongnya? Siapa yang akan mendengar ceritanya? Deg!Edgar membuka mata lebar saat ia mengingat, Bella .... "Jam berapa sekarang? Apa dia sudah pulang kuliah?" Edgar berjalan cepat menuju pintu yang tertutup rapat. "Buka pintunya! Buka! Tolong buka pintu ini! Atau aku akan membakar rumah ini! Buka!"Suara teriakan menggema Edgar tak ditanggapi oleh tiga anak buah Barta, y
Tidak bisa menghindar lagi dan tidak mungkin ada pertolongan dari Edgar. Bella memasrahkan diri kalau memang dia harus melayani suami sahnya. Barta tersenyum melecehkan saat melihat Bella keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya menggunakan lingerie seksi. Ia menatap tubuh sintal istrinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Ke sini, Sayang. Cepat, aku sudah tidak bisa menahannya lagi." Barta mendekati Bella yang terlihat gugup dan ketakutan.Bella melangkah perlahan dengan ragu sambil menundukkan kepala. "Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu. Aku tahu caranya memanjakan wanita di atas tempat tidur. Aku pastikan kamu akan menikmatinya dan mungkin kamu akan meminta lagi dan lagi." Barta tersenyum mesum. Lintah Darat itu memegang bahu Bella, membawa istrinya menuju tempat tidur. "Kamu takut? Apa yang kamu takutkan, Sayang?" Barta berisik mesra di telinga Bella yang masih terlihat sangat canggung. Bahkan wanita cantik itu tidak berani menatap suaminya. Bella mengatur napas y
Bella tidak pernah menyangka pernikahannya akan membuat luka mendalam seperti ini. Disiksa, bahkan tidak dianggap sebagai seorang istri dari laki laki yang sudah resmi menjadi suaminya. Belum lagi, dia juga mendapat pelecehan dari anak tirinya sendiri. Hingga mereka melewati malam panas berkali kali. Saat ini di dalam kamar. Bella tengah disiksa oleh suaminya sebelum mereka melewati malam panas di atas ranjang."Ayolah Sayang, jangan menangis. Nikmati ini. Kita akan bersenang senang malam ini." Barta tersenyum mesum melihat tubuh polos istrinya. Cetak! Cambukan kembali menghujani tubuh Bella membuat istrinya itu menjerit kesakitan. Tangisan Bella terdengar semakin kencang. Ia menatap sang suami dengan tatapan lirih, meminta ampun. Akan tetapi, Barta justru semakin menggila."Sudah Tuan. Sakit, tolong hentikan," isak Bella berlutut di depan suaminya. Barta tertawa jengah. "Tahan rasa sakitnya. Setelah ini kamu akan menikmati permainanku. Aku akan membayar rasa sakit ini dengan ke
Berada di dalam kamar mandi setelah dia beralasan ingin buang air. Edgar mencari celah agar bisa keluar dari kamar mandi yang ternyata tidak memiliki jendela untuk melarikan diri. Di dalam ruangan sempit itu tidak ada ventilasi udara ataupun jendela, karena kamar mandi yang digunakan olehnya saat ini, adalah kamar mandi milik anak buah Barta."Sial! Brengsek! Bagaimana caranya aku bisa keluar dari kamar mandi ini? Tidak ada ventilasi ataupun jendela. Mana mungkin aku bisa melarikan diri," gumam Edgar yang berada di dalam sana selama hampir setengah jam. Tok Tok Tok! Terdengar suara ketukan pintu, Edgar berhenti mundar mandir mencari cara untuk keluar. "Tuan Edgar, sedang apa Anda di dalam? Kenapa lama sekali?" teriak anak buah Barta. "Aku sedang buang air. Kenapa? Apa kalian ingin melihatnya? Di sini tidak ada ventilasi ataupun jendela, aku tidak akan bisa kabur. Kalian tenang saja. Kalau pun aku mati di dalam sini, kalian tidak akan terkena hukuman," sahut Edgar sambil menutup h
Terjatuhnya Edgar dari atap kamar menggagalkan penyatuan Barta dan Bella di atas tempat tidur. Barta terlihat murka, terlebih dia melihat anaknya kabur dari dalam penjara bawah tanah. Dengan cepat ia memakai piyama tidur lalu mendekati pintu kamar lalu membuka pintu. "Cepat keluar dari kamar ini! Anak brengsek!" amuk Barta berteriak kencang. Bella yang masih berada di atas tempat tidur terlihat shock berat, ia menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya sambil menatap Edgar yang berbaring dengan posisi tengkurap. "Anak kurang ajar!" bentak Barta kemudian mendekati Edgar yang diam membisu. "Tuan, sepertinya Edgar pingsan. Kepalanya berdarah," ucap Bella sambil menggerakkan tubuh Edgar. "Pingsan?" Barta naik ke atas tempat tidur lalu menggerakkan tubuh anaknya.Tak ada gerakan sama sekali. Ia melompat dari ranjang lalu mendekati anaknya. Barta menarik lengan Edgar hingga anaknya tersebut terjatuh dari atas tempat tidur. "Edgar! Kamu kenapa?" pekik Barta dengan wajah panik. I
Satu tahun kemudian, memasuki usia Bryan dan Nancy yang ke 6. Tepat hari itu pula, sebuah acara besar-besaran digelar dengan sangat meriah.Hari ini adalah hari dimana Naomi akan melangsungkan pernikahan dengan Galih. Setelah sebelumnya Edgar dan Bella berusaha untuk menjodohkan mereka, akhirnya keduanya kembali dekat dan saling mengungkapkan perasaan.Hingga akhirnya setelah satu tahun menjalin hubungan, kini Naomi dan Galih pun memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.“Sayang, aku sangat bahagia karena akhirnya Naomi dan Galih benar-benar akan menikah,” kata Bella pada Edgar, sesaat setelah mereka tiba di aula pernikahan tersebut.“Aku juga sangat bahagia, Sayang. Tidak sia-sia kita membuat kedekatan di antara mereka lagi.” Edgar mengangguk setuju.Bella hanya terkekeh mendengar perkataan sang suami. Kini mereka melanjutkan langkah mereka, menjadi saksi pernikahan antara Naomi dan Galih.Tepat di atas pelaminan, keduanya tampak bersanding dengan senyum yan
“Rencana kita pagi ini mau kemana?” tanya Edgar pada anak-anak dan istrinya.Mereka telah menyelesaikan acara sarapannya dan kini tengah bersiap untuk berangkat menuju tempat liburan.“Bagaimana kalau ke water park atau ke pantai saja, Pa?” Nancy menawarkan.“Hmm, sepertinya bagus juga. Ya sudah, kalau begitu kita pergi ke water park dulu, setelah itu baru kita pergi ke pantai.” Edgar mengangguk setuju.“Yeeii.” Bryan dan Nancy bersorak kegirangan.Kedua anak kecil itu dengan antusias segera masuk ke dalam mobil, hendak disusul oleh Bella dan Edgar. Namun sebelum mereka masuk mobil, tiba-tiba saja datang sebuah taksi yang berhenti tepat di depan rumah mereka.Tak lama setelah itu, terlihat seorang wanita yang melangkah masuk ke halaman dan berhenti di hadapan Bella.“Bella,” ucapnya menyapa wanita itu.Mendengar suara itu, sontak membuat Bella terkejut dan segera mengangkat wajahnya. Seketika ia tercengang, saat melihat sosok Naomi sedang berdiri di hadapannya.“Naomi!” pekik Bella kag
“Papa, ayo kita main!” Suara seorang anak laki-laki memecahkan kesunyian di pagi hari yang cerah.Bersamaan dengan itu, terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras dari arah luar kamar.Tak terasa lima tahun kemudian berlalu dengan sangat cepat. Kehidupan Edgar dan Bella semakin bahagia sekarang. Mereka tinggal di rumah utama milik Barta, bersama dengan kedua anaknya dan ditemani oleh kedua asisten rumah tangga yang setia, Bi Marni dan Bi Imah yang merupakan mantan asisten rumah tangga Barta dulu.Tok! Tok! Tok!“Papa, bangun!”Edgar membuka selimutnya dengan cepat. Pria itu tampak menghembuskan nafasnya kasar. Ia memutar bola matanya malas, seraya melirik pada Bella yang sedang tertawa kecil sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Astaga, Sayang! Kenapa sepagi ini Bryan sudah mengganggu momen kebersamaan kita?” dengus Edgar pelan.“Karena dia tahu kalau hari ini kamu tidak masuk kantor, Sayang. Jadi dia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk bermain denganmu,” jawab Bella sembari
Edgar menajamkan pandangannya, untuk memastikan jika pria pengemis yang dilihatnya itu memang benar-benar adalah Barta.“Iya, tidak salah lagi. Itu memang papa.” Ia mengangguk cepat.Setelah memastikan bahwa pria pengemis itu adalah Barta, maka Edgar pun lekas turun dari mobilnya. Ia berniat untuk menemui papanya itu. Dari kejauhan, Edgar sudah mengamati setiap detail penampilan papanya. Barta tampak mengenakan pakaian dan topi compang camping yang seolah menyembunyikan jati dirinya.Tak akan ada satu orang pun yang mengira jika pria itu adalah Barta Wijaya, sosok rentenir kaya raya yang terkenal kejam.Tak butuh waktu lama, kini akhirnya langkah Edgar pun tiba juga di hadapan Barta. Ia melihat pria itu terus saja membungkukkan kepalanya.Namun satu hal yang membuat Edgar merasa kebingungan, karena sejak tadi papanya itu tampak sembunyi-sembunyi memainkan sebuah ponsel mewah dari balik bajunya.“Papa,” panggil Edgar dengan keheranan.Suara panggilan dari Edgar itu pun sontak membuat
“Sudah apa, Bi?” desak Edgar merasa penasaran, karena ia merasa jika ART nya itu terlalu berbelit-belit untuk bicara padanya.“Begini, Den. Setahu bibi, Tuan Barta pernah mempunyai seorang nasabah yang tidak sanggup membayar hutangnya. Dia juga tidak punya apa-apa untuk bisa dijadikan sebagai jaminan atau penebus hutang. Jadi Tuan Barta mengirim para debt colector untuk menagih hutang nasabahnya itu. Tapi rupanya tak hanya sekedar menagih hutang saja, para debt colector itu bahkan sampai mencelakai nasabah itu dan membuatnya meninggal dunia,” terang wanita paruh baya itu dengan sedikit takut-takut.“Astaga!” Edgar membeliak, sebab rupanya pernyataan dari asisten rumah tangga di rumah papanya itu cukup membuatnya terkejut bukan main.Edgar meraup wajahnya kasar, merasa frustasi dengan apa yang sudah dilakukan oleh papanya. Pria itu bahkan tampak menghembuskan nafasnya yang terasa berat, seolah menyimpan sebuah beban besar di dadanya.“Bibi serius? Orang itu sampai meninggal dunia?” tan
Edgar merasa sangat terkejut saat melihat ada foto Brata yang terpampang di dalam sebuah artikel berita. Namun yang lebih membuatnya terkejut, yakni karena artikel itu memuat berita jika Barta masuk dalam DPO atau Daftar Pencarian Orang, alias buronan.“Ini benar papa kan? Lalu kenapa papa bisa jadi DPO?” Edgar bertanya pada dirinya sendiri, dengan kedua mata yang membelalak kaget.Pria itu terus menatap lekat ke arah foto pria yang terpampang di ponselnya tersebut. Ia ingin memastikan sekali lagi, bahwa pria di foto itu bukanlah Barta.Namun, mau sekeras apapun Edgar berusaha untuk meyakinkan dirinya, tetap saja tak bisa memungkiri bahwa pria di berita itu memanglah papanya.“Astaga! Ini memang benar-benar papa. Sebaiknya nanti aku cari dia dan tanyakan apa yang sebenarnya terjadi,” angguk Edgar pada dirinya sendiri.Jam sudah menunjuk ke angka setengah tujuh, membuat Edgar tak punya banyak waktu lagi untuk lebih berlama-lama berada di tempat perbelanjaan tersebut.Pria itu pun denga
“Aku sama sekali tidak tahu dimana Tuan Barta, Pa. Sejak semua permainan licikku terbongkar dan para polisi menangkapku, dia marah dan pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku tahu kalau dia pasti marah dan kecewa, apalagi setelah tahu bahwa anak kami bukanlah anak laki-laki seperti yang dia harapkan,” jawab Naomi dengan suaranya yang serak menahan isak tangis.“Tapi kenapa kamu sampai nekat melakukan itu, Naomi? Sedangkan kamu tahu sendiri, seperti apa Tuan Barta itu.” Mamanya Naomi ikut menimpali.Naomi kembali mengangkat wajahnya, menatap pada kedua orang tuanya itu secara bergantian. Gadis itu pun juga lekas menyeka air matanya dengan kasar.“Karena Tuan Barta berjanji untuk memberikan hartanya pada anakku, jika aku berhasil melahirkan anak laki-laki, Ma. Kalau sampai aku melahirkan anak perempuan, maka dia pasti tidak akan mau memberikan hartanya pada kami.” Naomi masih saja menangis tanpa bisa ia bendung lagi.Kedua orang tuanya pun kini nampak saling berpandangan. Rasa iba mulai
“Bagaimana, Sayang? Apa kamu setuju?” tanya Edgar, membuat Bella segera tersadar atas pertanyaan suaminya barusan.“Tentu saja aku sangat setuju, Edgar. Lagipula aku juga sudah mulai menyayangi bayi ini, sama seperti aku menyayangi Bryan.” Bella mengangguk, setuju dengan apa yang disarankan oleh Edgar, jika mereka akan mengasuh bayi itu.“Syukurlah kalau kamu setuju. Sekarang kita harus memberi nama pada bayi ini.”“Kalau begitu, biar aku saja yang memberi nama pada bayi ini,” sahut Bella tiba-tiba.“Silahkan, Sayang.”Bella segera tersenyum manis, sembari menatap bayi mungil dalam gendongannya itu. Dibelainya pipi sang bayi yang masih merah itu, lalu dikecupnya kening bayi tersebut dengan sangat lembut.“Aku akan memberinya nama Nancy. Ya, Nancy Wijaya,” ucap Bella dengan wajah yang sangat bahagia.“Wah, nama yang sangat indah, Sayang. Mulai sekarang, kita punya sepasang bayi yang tampan dan cantik. Bryan dan Nancy.” Edgar pun turut merasa bahagia.“Iya, dan mereka adalah anak kita.
“Syukurlah karena sekarang kamu sudah kembali ke pelukan papa, sayang,” ucap Edgar sambil terus menciumi wajah baby Bryan berulang kali.Pria itu tak hentinya menitikkan air mata, tapi buru-buru menyekanya karena perasaan haru kini sudah mulai menguasainya. Edgar mengangkat wajah, menatap pada para polisi yang membawa Naomi ke mobil mereka. Lalu pandangannya kembali tertuju pada Baby Bryan yang kini nampak tertawa-tawa di pelukan Edgar.“Semuanya sudah berakhir, Sayang. Sekarang kita pulang dan temui mama kamu. Oke?”Edgar tersenyum dan menciumi wajah putranya sekali lagi. Dengan langkah tergesa, pria itu pun lekas menuju ke mobilnya yang terparkir di basement hotel tersebut.Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, kini ia pun lekas mengemudikan mobilnya menuju ke rumahnya, dimana saat ini Bella pasti sedang menunggu kedatangannya.***Di rumahnya, sejak tadi Bella terus saja mondar-mandir dengan perasaan panik. Ia terus berdecak cemas, memikirkan nasib Edgar yang kini entah berada dim