“Bangun, Harger.”
Suara berat terdengar setengah berbisik, dan jari – jari kasar itu, terus, setengah mengguncang lengannya untuk menarik Harger ke permukaan. Dia mengernyit dalam, kemudian membuka mata perlahan. Meregangkan tulang – tulang punggung. Mencoba meraih segenap informasi kembali, tetapi pengelihatannya yang samar – samar utuh mulai mendapati beberapa orang berbaris antre. Maju selangkah demi selangkah, tertib mengikuti alur jalan keluar.“Kita sudah sampai?”Ini bukan hanya spekulasi konyol. Harger tahu dia hanya berbasa – basi. Melihat sang hakim akan bangun, tindakannya lebih gesit dari kadar keinginan mentoleransi efek tidur yang lama sepanjang perjalanan.Harger ingat ponselnya beberapa kali bergetar. Kendati dia tidak berusaha tahu siapa yang mendesak ingin bicara dengannya lewat sambungan telepon. Mengutamakan tidur terdahulu, dan menjadikan lengan sang hakim sebagai bantal penyangga, yang terasa jauh lebih menarik dari apa p“Dengarkan kata – kataku, Harger. Bersedih karena pernikahan mantan tunanganmu adalah pekerjaan paling bodoh. Pria bajingan seperti itu memang tidak pantas diperjuangkan. Hanya mereka yang memiliki sifat setara dengannya yang mau memungut ... siapa namanya tadi?” Sebelah alis Howard terangkat, mencoba untuk mengingat – ingat kembali satu nama yang secara sengaja menyebar acak.“Rob. Robertus Sin.” jawab Harger sanksi. Sepertinya Howard salah menafsirkan rentetan cerita darinya setelah beberapa saat sampai di rumah sang hakim. Mereka duduk berdua di ruang tamu, sementara sang hakim berpamitan ke satu lorong, menyibukkan diri dengan tumpukkan berkas penting. Memang secara mendadak Deu mendapat panggilan masuk, itu mengharuskan Howard menambah kecepatan mobil sehingga mereka tiba lebih awal dari waktu yang terduga.“Siapa pun namanya. Bajingan itu memang tidak cocok denganmu. Lupakan saja,” sahut Howard seraya mengibas – ngibas sebelah tangan di depan wajah.Harger mengernyit, seakan per
“Jadi ada kasus pembunuhan berantai dan kau yang akan mengadili perkaranya bersama majelis hakim lain?” Howard fokus menatap lulus ke depan, tetapi dia tidak melewatkan kesempatan mengutarakan beberapa hal demi menciptakan suatu kesan serius selama dalam perjalan menuju satu titik lokasi rahasia. Deu akan mengantarnya, kemudian melakukan pelbagai kesibukan di kantor pengadilan sebagaimana kesibukan seorang hakim. “Ya. Memangnya kenapa?” “Aku hanya bertanya.” Sebenarnya Howard sangat menyayangkan keputusan Deu saat pria itu memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai seorang agen. Kesalahan mutlak sepatutnya utuh ditumpah-ruahkan kepada Laea. Wanita itu telah bermain api. Menyalakan sumbu, lalu terbakar dalam suatu ambisi di luar kendali. Tidak apa – apa seandainya hanya Laea sendiri. Namun keterlibatan Rubby dalam insiden memilukan itu, rasanya seperti benar – benar mencabut Deu dari sebuah kehidupan nyata. Memilih menghukum diri sendiri atas satu tindakan, yang tidak pernah dilaku
Kata – kata Deu mungkin sebuah upaya agar Harger tidak terus memikirkan keinginan mendesak secara terus – terusan. Tetapi Harger mengerti untuk tidak menyeret sang hakim secara paksa dan berulang ke dalam masalahnya. Keputusan final sudah dia ambil; tidak apa – apa membiarkan semua berjalan sebagaimana mestinya. Harger akan menunggu bagaimana keputusan pasti sang hakim, dan jika mendapati jawaban paling mutlak adalah tidak. Dia tak akan mengurai satu hal sebagai suatu tindakan keberpihakan. Mendatangi pernikahan Rob seorang diri terdengar tidak terlalu buruk. Hanya uang yang terdahulu dia asumsikan paling nyata harus segera dimiliki.Pelan, Harger melangkahkan kaki di samping sang hakim. Cukup dengan satu keinginan masuk ke dalam kamar. Itu yang sedang dia pikirkan. Tidak tahu dengan sang hakim, momen hitungan mundur sebelumnya adalah saat – saat mereka sepakat masuk ke dalam rumah.Walau demikian, diliputi kebisuan tanpa alasan, Harger tak bisa menahan segala sesuatu yang selalu penu
Gaun merah yang pernah Harger kenakan di malam itu; malam pekerjaan lapangan bersama tim yang harus dia lalui bagaimanapun caranya. Saat ini adalah satu – satunya gaun pilihan yang dia tata sedemikian rapi sebelum dimasukkan ke dalam koper. Kemudian Harger melipat pakaian santai hingga piyama tidurnya, mengatur kain – kain tersebut menjadi satu tingkat berurutan. Lalu berikutnya, ruang kosong yang tersisa secara khusus merupakan kebutuhan untuk menyusun kemeja putih maupun celana panjang milik sang hakim. Dua kaos polos dengan warna senada mengikuti. Begitu rapi. Dan yang terakhir, dalaman .... Harger membentuk dalamannya menjadi gulungan kecil, secara sengaja menyelipkan ke sudut paling pojok sekadar menghemat ruang. Dia berbalik badan, berniat mencari dalaman Deu, tetapi yang dia temukan hanya beberapa helai boxer polos, yang sepertinya akan begitu ketat mengikat lingkar pinggul sang hakim. Membayangkan hal itu wajah Harger memanas. Dia mengerjap cepat. Tak ing
Britania Raya, Wales....“Kau tahu kita hanya membawa satu koper. Mengapa malah memesan dua kamar?”Harger sudah menunggu saat – saat yang tepat, dia bertanya ketika pegawai hotel meninggalkannya dan sang hakim untuk berdiri saling membelakangi. Sebuah keputusan yang ntah mengapa, membuat Harger merasa aneh sekaligus takjub membayangkan dia maupun Deu masing – masing akan menempati kamar berseberangan.“Aku pikir kau akan lebih senang tidur di kamar hotel sendirian.”Jawaban cerdas memang membutuhkan waktu beberapa saat sebelum teungkap secara lugas. Harger langsung mengerti dan kebetulan dia sedang menghadap pintu kamar hotelnya. Tidak jauh berbeda dari apa yang dilakukan sang hakim. Pria itu mungkin akan segera melangkah masuk, jika Harger tidak memalingkan separuh wajah, kembali bertanya seraya membaca gerakan Deu lewat ekor mata.“Soal pakaianmu bagaimana?”Dengan pasti Harger berhasil mengurungkan niat sang hakim yang nyaris memindai kartu untuk membuka pintu kamar hotel. Pria
Sarapan pagi baru beberapa jam berakhir, sekarang Harger kembali duduk berhadap – hadapan bersama sang hakim, menikmati makan siang di restoran yang sama, nyaris di meja yang sama—hanya satu urutan ke belakang. Posisi lebih baik untuk mendapat sudut pandang keindahan. Mereka bisa menikmati pemandangan air laut yang membiru di bawah biasan sinar matahari dan hamparan pasir terdesak oleh ombak.Harger mengunyah satu suapan terakhir di rongga mulutnya. Sedikit memikirkan tentang satu hal penting. Antara ragu dan mau, tetapi dia tak bisa terus – terusan menganggap ringan bagian dari kebutuhannya sendiri.“Kau membayar semua ini untukku. Apa uangmu tidak akan habis, Deu?”Dengan keberanian yang telah terkumpul, Harger menatap lekat – lekat sorot mata gelap di hadapannya. Untuk waktu cukup lama dia membuat sang hakim terdiam. Deu seperti tergelitik sekaligus ingin serius menanggapi.Sudut bibir sang hakim tertarik sebentar. B
Harger hati – hati menarik lepas jepit terakhir di rambutnya. Mengatur helai – helai berpelintir di sekitar handuk untuk terlepas dan dibiarkan tergerai dengan pola keriting yang terpisah menjadi tiap – tiap gumpalan. Kemudian jari – jari tangan Harger mulai menyisir, menyatukan rambut panjang yang menjuntai; cantik bergelombang, memukau di depan kaca.Hanya perlu tahap terakhir—sebelah lengan Harger terulur meraih botol berisi cairan pengeras rambut. Bunyi gemerisik mencuak ke permukaan begitu Harger menekan katup dengan lubang kecil di bagian tengah. Cairan itu membentuk titik – titik yang bertebaran kemudian menghinggap di rambutnya. Membuat tekstur halus itu sedikit lebih keras dengan aroma khas.Sudut bibir Harger membentuk lengkung tinggi ... sekali lagi mengamati penampilan dengan make-up terpoles sempurna. Warna merah di bibirnya senada gaun merah—cukup terbuka di bagian dada.Sesaat Harger meneliti sesuatu yang membuatnya merasa kurang. Sesuatu yang dirasa tidak perlu disembu
“Kau tak pernah berpakaian seksi seperti ini di depanku, Harger.” Mata jelalatan Rob, meski dengan kain tipis menutup sekalipun akan menembus pada kain menyerupai jaring itu. Seolah dunia hanya berpusat pada satu inti, Rob sungguh, luar biasa terpukau menelusuri lekuk – lekuk tubuh Harger. Begitu penasaran pada bokong yang pernah terasa sangat lembut terbelai oleh tangannya dengan gerakan yang seakan – akan, memang, tidak sengaja dilakukan. Rob menyukai garis dada yang terhimpit rapat mencuak samar – samar di hadapannya. Sangat mengakui kali ini Harger memberi kesan penyesalan yang terjal. “Aku datang ke sini hanya untuk menanyakan padamu satu hal. Kau, kan, yang sudah mencuri batu berlian itu dan menjualnya?” Langsung menembak ke dalam pembicaraan serius. Harger menyakini waktunya terlalu penting sekadar meladeni sikap kurang ajar Rob. Dia merasa beruntung bahwa Deu membiarkan tubuhnya, paling tidak, tak langsung terjamah oleh mata bajingan itu. Kendati tatapan liar Rob membuat Ha
Tidak. Harger tidak ingin mengambil risiko tersebut dengan mengabaikan kebutuhan sekarang. Langsung menerobos masuk hingga sebuah pemandangan tak terduga, sungguh, seolah ingin menyeretnya melangkah mundur. Dia menyaksikan sendiri sebentuk tubuh sang hakim sedang menduduki tubuh seseorang. Tangan pria itu membentuk kepala mantap, yang berulang kali dilayangkan ke wajah pria malang—terkapar—dengan keseluruhan dilimuri darah. “Deu.” Harger tidak mungkin membiarkan suaminya terlarut lama ke dalam angkara murka yang mengerikan. Berlari secepatnya hanya untuk menghentikan pria itu lewat tindakan membabi buka. Deu tidak bisa mengambil tindakan tersebut di saat – saat seperti ini, meskipun bukan hal mudah memisahkan pria yang sungguh telah meledakkan seluruh hal terpendam dalam emosi yang selama ini tertunda. “Sudah, Deu, hentikan.” Napas Harger tak kalah menggebu saat dia harus benar – benar menarik tubuh sang hakim. Untunglah setelah melewati pelbagai kesulitan, dia perlahan men
Harger mungkin menikmati masakan dari suaminya yang telah bersedia meluangkan waktu berkutat lama di dapur, tetapi dia tetap merasa ganjil ketika pria itu menolak ajakan makan bersama. Alih – alih setuju, justru Harger mendapati sang hakim berpamitan pergi—ntah akan ke mana. Dia mencoba menemukan petunjuk. Tanpa sepengetahuan sang hakim, Harger telah melakukan sesuatu tepat saat di mana pria itu beranjak ke kamar. Dia tidak bisa membiarkan rasa ingin tahu yang membludak, terus membara seperti benar – benar ingin membakarnya. Tidak akan sanggup bertahan lebih lama. Itu benar. Secara naluriah tangan Harger meletakkan garpu untuk bersinggungan di atas piring. Bisa menikmati lasagna belakangan waktu. Sekarang dia harus melakukan satu hal pas. Merogoh ponsel di saku celana. Howard. Ya, saat – saat seperti ini Harger akan sangat membutuhkan kemampuan Howard. [Ada apa menghubungiku, Lil’H?] Suara pria itu mencu
“Apa yang kau lihat, Deu?” Mereka sedang berbelanja, tetapi baru saja sang hakim membuatnya seperti bicara kepada patung. Harger tidak mengerti apa terjadi dan mengapa dia harus mendapati Deu terlihat berbeda dari mula – mula mereka memasuki pusat pembelanjaan. Ditambah kenyataan harus menatap cengkeraman tangan yang mengetat di troli bayi, itu makin meninggalkan perasaan ganjil tak tertahan. Nyaris lima bulan setelah masa – masa indah menjadi orang tua, Harger tidak pernah menyaksikan sang hakim menunjukkan sikap tak terbantahkan. Mata gelap itu mendelik tajam. Seperti sembunyi – sembunyi menyimpan sesuatu. Namun, dia sama sekali tak sanggup menggapai satu pun terhadap apa yang sedang suaminya pikirkan. Hanya sekelebat menatap ke mana arah pandang pria itu. Pun ... Harger tidak menemukan sesuatu secara spesifik, selain bahu seseorang yang telah meninggalkan tempat di mana beberapa orang berjalan keluar masuk. Tak tahan. Dia memutuskan untuk menyentuh lengan sang hakim. Pria itu
Harger meletakkan bayi kecil yang baru saja dimandikan ke keranjang. Di rumah sedang kedatangan banyak tamu. Pak Sekretaris bersama seluruh keluarga. Ada Daisy dan Mr. Thamlin. Benar – benar ramai mengagumkan. Harger tidak tahu harus berkata seperti apa bahwa dia sungguh diterima dengan sangat baik. Ada ibu mertua, saudari ipar, dan hal – hal yang sering sekali mereka perhatikan. Rasanya dia nyaris tidak diperbolehkan melakukan apa pun, bahkan meski hanya mengerjakan sesuatu di dapur, yang lagipula sang hakim akan mengajukan diri—menyelesaikan semua, kemudian mereka akan berbincang – bincang, hampir seperti berbisik agar bayi tidak terbangun. Satu hal yang tidak Harger lupakan. Charlene dan Deminti juga sudah mendatanginya, mereka tiba di Italia tanpa sepengetahuan Harger, kecuali sang hakim. Ajaibnya pria itu setuju untuk merahasiakan kenyataan tersebut sesuai permintaan Charlene, bahkan menyiapkan kejutan untuknya. Harger bahagia bahwa semua orang yang dia kenal sangat dekat,
Hari ini .... Tiba pada momen yang menegangkan. Harger tidak tahu bagaimana dia akan menghadapi proses melahirkan yang sudah berada di depan mata. Dimintai untuk berjalan – jalan lebih sering dan melakukan apa pun supaya menghadapi persalinan dengan mudah. Tetapi Harger merasa beruntung memiliki suami seperti sang hakim. Pria itu dengan sabar menemani dia berjalan ke mana pun di taman rumah sakit. Mengerjakan apa saja yang Harger sudah tak bisa lakukan setelah menghadapi perutnya yang membesar. Seperti sekarang terjadi. Harger menahan napas ketika tanpa sengaja menjatuhkan sapu tangan, kemudian sang hakim segera membungkuk, meraih benda tersebut dan menyerahkannya kembali. “Terima kasih, Yang Mulia. Aku mencintaimu.” Saat – saat seperti ini memang dibutuhkan keromantisan. Harger berpengangan erat di lengan suaminya. Mereka berjalan sangat pelan menyusuri jalan yang dibeton, tetapi Harger sedang bertelanjang kaki. Pada beberapa momen tertentu sang hakim
Senyum Harger lagi – lagi melebar saat mengamati sesuatu yang terasa indah.Garis dua ....Tadi pagi hampir tanpa sadar dia melompat girang. Melakukan tes, lalu mendapati bahwa dirinya positif hamil, itu merupakan momen tak terlupakan setelah harus menghadapi pelbagai desakan tidak nyaman belakangan ini. Keinginan untuk muntah, golakan mual, dan semua yang menghantam Harger sebagai satu kesatuan paling mengerikan—sebuah alasan serius mengapa kebutuhan – kebutuhan tersebut akhirnya meninggalkan perasaan curiga. Dia telah mengambil keputusan yang tepat dengan mengetahui kebenaran terlalu dini.Langkah Harger tentatif mendekat ke lemari pakaian. Ada sesuatu yang perlu dia lakukan sebelum memberitahu informasi ini kepada suaminya. Ya, meletakkan benda pipih di tanganya ke dalam kotak persegi panjang, lalu pelan – pelan membongkar lipatan kain di dalam rak demi mengambil sesuatu di sana. Pakaian rajut bayi buatan tangan Daisy, yang masih tersimpan utuh di sana, untuk kemudian
“Jika kau tidak pernah siap, kita tidak akan turun, Harger.”Harger mengerjap setelah beberapa saat jatuh ke dalam pemikiran usang di benaknya. Semua sudah saling memaafkan. Sesuatu yang mengikuti di belakang bahunya kan selalu mengingatkan bahwa Laea sudah tenang di mana pun wanita itu berada. Tidak ada yang akan Harger katakan. Dia menatap sang hakim dengan sudut bibir melekuk tipis. Mereka memang memutuskan untuk berziarah ke makam Laea. Banyak yang ingin Harger curahkan, meski dia mungkin tak mengeluarkan suara ke permukaan sementara sang hakim ada di sampingnya. Hanya menatap setengah kosong pada undakan tanah yang indah—terawat begitu baik, dengan rumput – rumput terpotong begitu rapi merata.Ujung tangan Harger terulur meletakkan buket mawar, kemudian menyentuh nisan atas nama saudari perempuannya. Sedikit rasa sesak seperti berusaha menumbuk jantung Harger. Berulang kali dia berusaha menarik napas pelan, dan mengembuskan ke udara, tetapi kadang – kadang matanya
“Apa yang kau pikirkan, Deu?” Harger bertanya sarat nada lambat. Hati – hati dia menyentuh punggung tangan sang hakim. Perlahan menautkan jari – jari tangan mereka, lalu meremasnya lembut. “Kau kepikiran soal adikmu? Apa yang benar – benar sudah kalian bicarakan? Aku hanya dengar beberapa, tapi yakin kau tidak akan seperti ini jika bukan karena sesuatu. Sekarang ceritakan padaku?'" Tadinya, Harger memang tak berniat mencampuri lebih banyak. Merasa tidak berhak. Namun, jika pada akhirnya Deu akan terus – terusan terpengaruh, dia tidak akan bisa menahan diri. Tidak tahu kapan sang hakim akan selesai dengan perselisihan batin yang terlihat luar biasa mencolok. Harger akan menunggu. Semenit, dua menit, hingga waktu yang berjalan seperkian saat. Cukup lama ... lalu embusan napas sang hakim terdengar kasar. “Astoria menolak perintahku untuk meninggalkan bajingan itu.” “Dengan mengakui bahwa Orion tidak pernah tahu dia hamil, aku rasa bukan
“Aku bingung bagaimana alat peledak bisa berada di kepala Orion. Memangnya seberapa kecil ukuran alat peledak itu?”Harger bicara sayup – sayup di dapur sambil memegangi senter untuk menerangi pemandangan di sekitar suaminya. Sang hakim sibuk menyiapkan lasagna menjadi potongan sama rata setelah tadi ... menyalakan kembali ke api oven, dan mereka menunggu beberapa saat.Wajah tampan itu benar – benar begitu serius. Harger mengembuskan napas cukup kasar ... ntah kapan sang hakim akan menjawab pertanyaannya.“Deu.”Harger tidak akan tahan ketika sang hakim hanya diam. Masing – masing potongan lasagna diletakkan di atas piring, yang kemudian disusun di atas nampan—akan siap dibawa ke ruang tamu. Tetapi sebelum itu, iris gelap sang hakim mendadak fokus menatap lurus ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu, atau mungkin telah berniat memberi Harger tanggapan.“Ukurannya sebesar kapsul obat, yang dimasukkan melalui rongga hidung dengan cara ditembak.”Seharusnya