“Di mana dompetku?”
Harger belum sempat mengatakan apa pun. Dia sedang berdebar untuk mengingat keberadaan Rob di sudut belakang pintu. Pistol di tangan pria itu masih mengontrol situasi, Harger takut jika dia salah bicara. Rob akan meledakkan kepalanya tanpa berpikir panjang.“Signorina ....”Nada bicara sang hakim begitu tidak sabar. Harger mengerti dia seharusnya tidak menunda. Tetapi lidahnya keluh menjelaskan hal ini secara gamblang, meskipun benar ... keberadaan seorang hakim akan memberi pengaruh kepadanya dan Rob.Bukankah mengambil suatu keputusan bagi seorang hakim adalah tindakan yang benar – benar harus penuh pertimbangan. Mereka terbiasa melakukan eksekusi dengan matang. Menghadapi macam – macam kasus yang masuk ke meja hijau melalui proses pengamatan ketat. Memerangi ketidakadilan sebagaimana sumpah yang diucap. Harger rasa, seandainya dia memberitahu sang hakim tentang keberadaan Rob. Pria itu akan segera membantunya.Namun semakin berpikir, Harger seperti diterpa dilema. Kadang – kadang dia merasa ragu untuk mempercayai fakta, ada hakim semuda ini di dunia yang sedang dia hadapi.“Signorina, aku di sini bukan untuk menunggumu diam. Kembalikan dompetku, atau biarkan aku masuk. Kau dan aku perlu bicara serius.”Dan pada kenyatannya, Yang Mulia Deu memang hakim termuda di pengadilan Italia. Memiliki postur tinggi, liat, kokoh, bahkan cara mata kelam menatap lawan bicara luar biasa tajam, mencerminkan sosok hakim yang tegas. Persis pria dengan tipe yang menetapkan undang – undang, hukum, hingga aturan, baik di ruang sidang maupun di kehidupan bebas.Untuk sekarang ini, kesalahan Harger akan berkutat pada satu hal setelah sang hakim dengan lugas menyatakan Harger sangat lancang mengantongi dompetnya.“Maaf, kau tidak bisa masuk.”“Aku tidak mengizinkanmu melangkah sekali saja ke dalam rumahku,” lanjut Harger. Mantap melewatkan kesempatan untuk membuat Rob terjebak dalam kecaman hukum.“Kau yakin tidak memberiku izin masuk?”“Aku tidak masalah jika itu yang kau mau. Tapi, setelah dipikir – pikir memang sebaiknya kita menyelesaikan ini di pengadilan. Satu jam lagi mungkin polisi akan datang menjemputmu, dan ... ya, satu hal perlu kau tahu. Aku punya bukti akurat untuk menjebloskanmu ke penjara.”“Bukti akurat?”“Rekaman cctv bandara. Kebetulan kau melakukan aksimu tepat tidak jauh dari kamera pengintai.”Celakalah. Harger harus ingat sedang berurusan dengan siapa. Dia merasa sekujur tubuhnya mendapat sengatan luar biasa dahsyat. Hanya sanggup menggerakkan iris mata untuk beralih pada titik keberadaan Rob.Dan yang lebih mengejutkan, Rob sudah tak terlihat di tempatnya. Pertanyaan besar seketika mendesak di kepala Harger. Mulai berasumsi kalau Rob secara tidak langsung mendengar panggilan yang dia berikan kepada sang hakim maupun inti percakapan mereka.“Kau boleh masuk, Signore. Silakan ....”Paling tidak kepergian Rob sedikit meledakkan ketenangan di benak Harger. Dia segera menuntun sang hakim duduk di atas sofa.“Aku baru pindah kemari. Anggap saja kau tidak melihat apa pun yang membuatmu tidak nyaman.”Harger memperhatikan beberapa kemungkinan kecil. Tempatnya bisa dibilang sangat kacau. Dia tidak peduli bagaimana reaksi sang hakim, memutuskan untuk menyelipkan kedua tangannya di saku belakang celana.“Di sini tidak ada minuman mahal. Hanya ada teh dan kopi. Kau mau minum apa, Signore?”“Air putih saja.”Aku menawarkan sesuatu yang bagus, tapi dia memilih yang lain ....Harger bergumam sambil melangkah dengan bahu bergedik tak acuh. Namun dia tidak akan bisa bernapas lega seperti beberapa saat lalu ketika menemukan pintu kamarnya separuh terbuka.Harger tidak cukup ceroboh melupakan kewajiban sekadar memastikan seluruh pintu dalam keadaan tertutup sebelum meninggalkan rumah. Sangat yakin bahwa dia belum melakukan kontak apa pun terhadap ganggang berwarna tembaga itu sejak kali pertama kembali dari kegiatan di luar.Rob ....Harger curiga Rob telah melakukan sesuatu. Dugaannya benar. Seisi kamar serupa kapal pecah. Ini bukan soal badai dan gelombang yang menerjang dengan ganas. Kegilaan Rob-lah yang menghancurkan benda – benda tidak bersalah, termasuk ranjang yang tidak ada kaitannya.Perhatian Harger tertuju persis pada jendela kamar, tapi bagian paling menyedihkan adalah kopernya sudah tidak ada di tempat semula. Dibawa pergi oleh pria yang melompat lewat jendela. Itu terlihat jelas dari bentukan tanah yang seperti terinjak sesuatu yang berat.Harger mendesah putus asa hingga terduduk lemah di kaki ranjang. Seluruh keperluannya telah hilang. Akan dengan apa dia berpakaian? Membeli baru menggunakan sisa uang yang hilang bersama koper, makna paling ironis yang pernah dia pikirkan.Harger benar – benar akan memuntahkan kesedihan ketika tiba – tiba mengingat keberadaan sang hakim.Air putih untuk pria yang sedang menunggu. Harger segera bersikap seolah dia baik – baik saja duduk berhadap – hadapan bersama hakim tampan itu.“Maaf, membuatmu menunggu lama,” ucapnya sekembali dari dapur.“Letakkan saja dompetku di atas meja.”Sebelah alis Harger terangkat merespons tatapan tajam sang hakim.“Bayaran untukku?”“Kau mencuri dompetku, Signorina. Bukan menemukannya dan berharap mendapatkan upah.”“Kalau begitu, bisakah kau kembalikan barang yang kau ambil?”“Aku tidak mengambilnya. Kau sendiri yang menyimpan di saku jasku.”“Tapi kau tahu aku sedang tidak punya pilihan,” ucap Harger pasrah. Bagaimanapun sang hakim ada di lokasi kejadian dan rekaman cctv yang pria itu miliki akan menegaskan betapa semua ini murni sebuah kecelakaan.“Di luar sangat mendung. Apa kau punya mantel hujan yang bisa kupinjam setelah urusan kita selesai?” Alih – alih menanggapi. Sorot mata sang hakim tertuju pada kaca tembus pandang. Mengamati gelapnya langit dan gumpalan awan mengambang di udara.Harger memahami dia tidak memiliki apa pun di sini. Satu koper miliknya telah hilang. Sang hakim tidak akan bisa meminjam, meski hanya mantel sekalipun.“Kau terlalu banyak berpikir, Signorina,” ucap sang hakim sarat nada tidak sabar.“Oh, ya, maaf ....” Di saat yang sama Harger segera mengerjap dan kembali melakukan kontak mata. Memastikan bahwa dia hanya akan menyelesaikan keterlibatan seorang hakim dalam masalah hidupnya.“Urusan kita hanya cukup dengan kau kembalikan barangku. Lalu aku akan mengembalikan dompetmu. Keberatan atau tidak, kau harus setuju. Setelah itu anggaplah masalah kita selesai.” Jeda cukup lama mengharuskan Harger menarik napas. Dia harap ekspresi wajah sang hakim tidak akan merobek ketenangannya.“Aku tidak keberatan. Sayangnya ada sesuatu yang harus kau tahu tentang barang curianmu.”“Apa?” Tubuh Harger menegang saat menyaksikan sudut bibir sang hakim berkedut sinis.“Isi di dalamnya. Kau menempatkan dirimu ke dalam bahaya, Signorina.”Lelah berkutat dengan keraguan sendiri setelah berprasangka bahwa sang hakim mungkin tengah berbohong akhirnya membuat Harger menyerah. Dia menelan ludah kasar sambil memperhatikan sang hakim lekat – lekat. “Baiklah, katakan apa yang kau maksud dan apa isi di dalamnya?”“Cukup mengejutkan ternyata kau tidak tahu apa pun mengenai kontribusi burukmu terhadap Inggirs.” Untuk sesaat sang hakim menyeringai tipis, kemudian mulai melanjutkan. “Sekarang katakan kau berasal dari mana?” Pertanyaan yang sama pernah dilontarkan sang hakim. Harger pikir dia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Atau akan segera dideportasi kembali ke negara asal dalam waktu dekat. “Aku—lahir dari ibuku yang berasal dari Rumania dan ayahku adalah pria Irlandia.” “Rumania?” Kening sang hakim berkerut heran. “Artinya kau bisa berbahasa Roman?” “Tidak. Tentu saja tidak.” Harger mengerti untuk alasan apa sang hakim mempertanyakan hal tersebut. Bahasa Roman memiliki sedikit kemiripan atau serumpun dengan bahasa
“Kau sangat luar biasa, Sayang. Bahkan Harger tidak pernah memperlakukanku semanis ini.” “Kau menyerahkan padaku kenikmatan yang gila. Aku mencintaimu.”Badai ketegangan mengamuk di benak Harger. Itu adalah saat – saat dia harus mengetahui hubungan terlarang antara tunangan dan sahabatnya sendiri. Harger benci untuk menerima pengkhianatan terbesar dalam hidup yang kacau. Bagaimanapun Rob telah menghancurkan segala peristiwa yang Harger anggap sebagai suatu momen manis. Merompak ketenangan maupun kepercayaan Harger, seolah tidak ada harga yang lebih murah dari kesedihan Harger di hari ulang tahun sahabatnya.“Selamat bertambah usia, Alice. Rob adalah hadiah ulang tahun terbaikku untukmu.” Harger mungkin bersedih. Namun dia tidak pernah menyangka akan bersedia melempar seonggok sampah pada tempatnya. Alice dan Rob memberikan pertunjukan serasi. Mereka baru saja bercinta dalam balutan selimut putih tebal. Begitu gelagapan menghadapi Harger yang sama sekali tidak mengalihkan tatapan taja
“Paspormu akan berada di tanganku sampai kuputuskan kapan akan dikembalikan.” Malam menegangkan itu memiliki kesan mengejutkan setelah sang hakim menunjukkan seberapa besar pengaruh yang bisa diberikan kepadanya. Harger tidak mungkin berupaya lebih, karena dia yakin pria yang baru saja ditemui bukan hakim sembarangan. Telalu responsif terhadap hal – hal kecil dan juga memiliki ilmu dasar peka untuk hal yang sama kecilnya. “Kau sungguh memakai baju bekas kemarin saat akan melakukan pertemuan penting?” Cara berkomentar sang hakim juga tidak segan – segan menegaskan bahwa pria itu mengenali apa pun. Walau Harger tidak bercerita tentang pakaiannya yang hilang, sebelum tadi pagi dia benar – benar harus mengatakan kebenaran tersebut sambil menunduk memperhatikan penampilan sendiri. “Bajuku hanya tersisa ini. Sisanya sudah dibawa pergi.” Ajaibnya, Harger punya alasan mengapa dia berterima kasih kepada sang hakim sebelum pertemuan bersama seseorang dengan julukan ‘Dark Shadow’ selesai.
Setidaknya situasi di kompartemen kereta api jauh lebih baik daripada harus menghindari kejaran orang – orang bertujuan tertentu. Harger melirik ke arah sang hakim. Mereka duduk saling berhadapan. Memiliki sedikit privasi dengan tirai kompartemen yang tertutup.“Jadi bagaimana kau tahu aku ada di gedung tua itu?”Terlalu lama dalam kebungkaman, Harger rasa ini saat yang tepat untuk bicara.“Hanya menduga.”Dia menyipitkan kelopak mata. Lamat mengamati wajah sang hakim yang masih menghadap lurus ke depan.“Menduga dengan tebakan benar probabilitasnya sangat kecil ... Deu.”Ketika memanggil sebutan nama seperti permintaan sang hakim. Harger merasakan tendensi berbeda. Telanjur menghadapi permasalahan konflik yang melibatkan sang hakim sehingga panggilan formal menjadi kebiasaan pertama.“Aku tidak menduga asal – asalan saat kau ada dalam pengawasanku.”Ini bisa disebut observasi, analisis, dan mengambil kesimpulan. Mungkin Harger harus mengakui bahwa sang hakim tidak akan sembarangan be
Sang hakim sudah berpenampilan sangat baik, sementara Harger dalam balutan tak sempurna, masih duduk di atas ranjang mengamati diri sendiri dengan tidak percaya diri untuk kemudian menengadah ke arah pria yang sedang menjulang di hadapannya. “Kau harus makan.” Suara berat Deu diliputi sarapan roti yang dibawakan dengan praktis. Harger tidak ragu menggigit sepotong bagian ujung. Tatap mata tajam tidak pernah berhenti menyorot ke arahnya. “Kau ... sudah sarapan?” Sedikit – sedikit Harger membenahi rambut yang menjuntai di depan wajah. Seharusnya dia tidak perlu menanyakan sang hakim, karena Deu sepertinya tidak tertarik pada sepotong roti. Atau mungkin Harger kesiangan, sehingga tidak memiliki kesempatan melakukan sarapan bersama. “Aku ingin kau memberiku penjelasan tentang batu berlian yang diinginkan mantan tunanganmu.” Sedikit terkejut. Harger tidak pernah mengira sang hakim akan tiba – tiba membahas sesuatu yang dia hinda
“Kau mau membawaku ke mana?” Lorong temaram, lembap dengan beberapa air menetes dari pipa kumuh berlapis serat – serat tanah, yang sepanjang sudut menguarkan aroma basah luar biasa pekat. Harger terus mengikuti ke mana sang hakim akan menuntunnya melangkah. Sebuah pintu besi berkarat di hadapan mereka digeser susah payah. Tidak seperti tampilan luar. Bagian dalam dari tempat yang Harger pijaki persis markas lama, tetapi masih cukup terawat ketika dia menemukan beberapa benda – benda penting tersusun di lemari kaca. “Apa yang membawamu ke sini, Don?” Seseorang tiba – tiba bersuara, menciptakan reaksi kejut. Namun hanya Harger yang merasakan hal demikian. Sementara dia yakin sang hakim sangat tenang melewati tubuh seorang pria, yang membeku saat menatap Harger, seolah tidak percaya terhadap pengelihatan sendiri. Apa yang salah? Harger bertanya dalam hati. Berusaha meyakinkan situasi canggung bukan bagian dari hal buruk yang dia lakukan. “Kau membuatnya takut.” Suara sang hakim tid
Harger mengarahkan sudut mata menilai hampir keseluruhan tempat yang dia lewati. Sama sekali tidak tahu apa – apa mengenai keputusan sang hakim terhadap hunian barunya. Dia bahkan tidak menyangka akan berada di dalam rumah bertingkat, terletak di ujung Kota Roma—tepatnya nyaris menjorok ke tengah hutan.Sebuah tempat untuk tidak bertetangga. Di sekitar mereka adalah pohon menjulang tinggi. Samar – samar suara air terjun mencapai di puncak pendengaran. Tetapi beberapa kali perhatian Harger hanya tertuju pada tumpukan kertas berserak, persis pada satu ruang saat sang hakim mempersilakannya masuk.“Kau tinggal sendirian di sini?” Dia bertanya sambil memungut satu berkas dan secara tidak sengaja menjatuhkan secarik foto milik seorang pria asing ... terlihat sangat jauh berbeda ketika Harger membandingkan foto tersebut dekat – dekat di samping wajah Deu.“Ini siapa?”Ada yang aneh dari ekspresi kelam sang hakim. Perubahan pesat yang juga hilang dalam sekejap. Sebelah alis pria itu terangka
Kernyitan Harger sangat dalam untuk sekali lagi menjelikan indera pendengarannya setelah suara tembakan membumbung tinggi di udara. Ledakan yang menggelegar itu bersumber dari halaman belakang. Dia tertarik pergi mencari tahu, dan ketika itu, Harger melihat tubuh sang hakim tegap membelakangi posisinya. Mata kelam yang dalam fokus membidik ke arah sasaran. Demikian lengan dengan otot – otot mencuak, lurus ... benar – benar menegaskan betapa pria itu telah terlatih. Hal yang wajar dari mantan seorang agen. “Deu—“ Harger terlonjak mengangkat kedua tangan saat secara spontan sang hakim nyaris menekan pelatuk di depan wajahnya. Pria itu memiliki sikap waspada berlebihan, meskipun dengan napas terasa menggebu dan keringat mengucur dari sudut wajah. “Kau terbangun karena suara tembakan?” Harger mengangguk. Menelan ludah kasar mengamati sang hakim menyugar rambut separuh basah ke belakang. Alis hitam pekat yang tumbuh rapi juga tidak kalah
Tidak. Harger tidak ingin mengambil risiko tersebut dengan mengabaikan kebutuhan sekarang. Langsung menerobos masuk hingga sebuah pemandangan tak terduga, sungguh, seolah ingin menyeretnya melangkah mundur. Dia menyaksikan sendiri sebentuk tubuh sang hakim sedang menduduki tubuh seseorang. Tangan pria itu membentuk kepala mantap, yang berulang kali dilayangkan ke wajah pria malang—terkapar—dengan keseluruhan dilimuri darah. “Deu.” Harger tidak mungkin membiarkan suaminya terlarut lama ke dalam angkara murka yang mengerikan. Berlari secepatnya hanya untuk menghentikan pria itu lewat tindakan membabi buka. Deu tidak bisa mengambil tindakan tersebut di saat – saat seperti ini, meskipun bukan hal mudah memisahkan pria yang sungguh telah meledakkan seluruh hal terpendam dalam emosi yang selama ini tertunda. “Sudah, Deu, hentikan.” Napas Harger tak kalah menggebu saat dia harus benar – benar menarik tubuh sang hakim. Untunglah setelah melewati pelbagai kesulitan, dia perlahan men
Harger mungkin menikmati masakan dari suaminya yang telah bersedia meluangkan waktu berkutat lama di dapur, tetapi dia tetap merasa ganjil ketika pria itu menolak ajakan makan bersama. Alih – alih setuju, justru Harger mendapati sang hakim berpamitan pergi—ntah akan ke mana. Dia mencoba menemukan petunjuk. Tanpa sepengetahuan sang hakim, Harger telah melakukan sesuatu tepat saat di mana pria itu beranjak ke kamar. Dia tidak bisa membiarkan rasa ingin tahu yang membludak, terus membara seperti benar – benar ingin membakarnya. Tidak akan sanggup bertahan lebih lama. Itu benar. Secara naluriah tangan Harger meletakkan garpu untuk bersinggungan di atas piring. Bisa menikmati lasagna belakangan waktu. Sekarang dia harus melakukan satu hal pas. Merogoh ponsel di saku celana. Howard. Ya, saat – saat seperti ini Harger akan sangat membutuhkan kemampuan Howard. [Ada apa menghubungiku, Lil’H?] Suara pria itu mencu
“Apa yang kau lihat, Deu?” Mereka sedang berbelanja, tetapi baru saja sang hakim membuatnya seperti bicara kepada patung. Harger tidak mengerti apa terjadi dan mengapa dia harus mendapati Deu terlihat berbeda dari mula – mula mereka memasuki pusat pembelanjaan. Ditambah kenyataan harus menatap cengkeraman tangan yang mengetat di troli bayi, itu makin meninggalkan perasaan ganjil tak tertahan. Nyaris lima bulan setelah masa – masa indah menjadi orang tua, Harger tidak pernah menyaksikan sang hakim menunjukkan sikap tak terbantahkan. Mata gelap itu mendelik tajam. Seperti sembunyi – sembunyi menyimpan sesuatu. Namun, dia sama sekali tak sanggup menggapai satu pun terhadap apa yang sedang suaminya pikirkan. Hanya sekelebat menatap ke mana arah pandang pria itu. Pun ... Harger tidak menemukan sesuatu secara spesifik, selain bahu seseorang yang telah meninggalkan tempat di mana beberapa orang berjalan keluar masuk. Tak tahan. Dia memutuskan untuk menyentuh lengan sang hakim. Pria itu
Harger meletakkan bayi kecil yang baru saja dimandikan ke keranjang. Di rumah sedang kedatangan banyak tamu. Pak Sekretaris bersama seluruh keluarga. Ada Daisy dan Mr. Thamlin. Benar – benar ramai mengagumkan. Harger tidak tahu harus berkata seperti apa bahwa dia sungguh diterima dengan sangat baik. Ada ibu mertua, saudari ipar, dan hal – hal yang sering sekali mereka perhatikan. Rasanya dia nyaris tidak diperbolehkan melakukan apa pun, bahkan meski hanya mengerjakan sesuatu di dapur, yang lagipula sang hakim akan mengajukan diri—menyelesaikan semua, kemudian mereka akan berbincang – bincang, hampir seperti berbisik agar bayi tidak terbangun. Satu hal yang tidak Harger lupakan. Charlene dan Deminti juga sudah mendatanginya, mereka tiba di Italia tanpa sepengetahuan Harger, kecuali sang hakim. Ajaibnya pria itu setuju untuk merahasiakan kenyataan tersebut sesuai permintaan Charlene, bahkan menyiapkan kejutan untuknya. Harger bahagia bahwa semua orang yang dia kenal sangat dekat,
Hari ini .... Tiba pada momen yang menegangkan. Harger tidak tahu bagaimana dia akan menghadapi proses melahirkan yang sudah berada di depan mata. Dimintai untuk berjalan – jalan lebih sering dan melakukan apa pun supaya menghadapi persalinan dengan mudah. Tetapi Harger merasa beruntung memiliki suami seperti sang hakim. Pria itu dengan sabar menemani dia berjalan ke mana pun di taman rumah sakit. Mengerjakan apa saja yang Harger sudah tak bisa lakukan setelah menghadapi perutnya yang membesar. Seperti sekarang terjadi. Harger menahan napas ketika tanpa sengaja menjatuhkan sapu tangan, kemudian sang hakim segera membungkuk, meraih benda tersebut dan menyerahkannya kembali. “Terima kasih, Yang Mulia. Aku mencintaimu.” Saat – saat seperti ini memang dibutuhkan keromantisan. Harger berpengangan erat di lengan suaminya. Mereka berjalan sangat pelan menyusuri jalan yang dibeton, tetapi Harger sedang bertelanjang kaki. Pada beberapa momen tertentu sang hakim
Senyum Harger lagi – lagi melebar saat mengamati sesuatu yang terasa indah.Garis dua ....Tadi pagi hampir tanpa sadar dia melompat girang. Melakukan tes, lalu mendapati bahwa dirinya positif hamil, itu merupakan momen tak terlupakan setelah harus menghadapi pelbagai desakan tidak nyaman belakangan ini. Keinginan untuk muntah, golakan mual, dan semua yang menghantam Harger sebagai satu kesatuan paling mengerikan—sebuah alasan serius mengapa kebutuhan – kebutuhan tersebut akhirnya meninggalkan perasaan curiga. Dia telah mengambil keputusan yang tepat dengan mengetahui kebenaran terlalu dini.Langkah Harger tentatif mendekat ke lemari pakaian. Ada sesuatu yang perlu dia lakukan sebelum memberitahu informasi ini kepada suaminya. Ya, meletakkan benda pipih di tanganya ke dalam kotak persegi panjang, lalu pelan – pelan membongkar lipatan kain di dalam rak demi mengambil sesuatu di sana. Pakaian rajut bayi buatan tangan Daisy, yang masih tersimpan utuh di sana, untuk kemudian
“Jika kau tidak pernah siap, kita tidak akan turun, Harger.”Harger mengerjap setelah beberapa saat jatuh ke dalam pemikiran usang di benaknya. Semua sudah saling memaafkan. Sesuatu yang mengikuti di belakang bahunya kan selalu mengingatkan bahwa Laea sudah tenang di mana pun wanita itu berada. Tidak ada yang akan Harger katakan. Dia menatap sang hakim dengan sudut bibir melekuk tipis. Mereka memang memutuskan untuk berziarah ke makam Laea. Banyak yang ingin Harger curahkan, meski dia mungkin tak mengeluarkan suara ke permukaan sementara sang hakim ada di sampingnya. Hanya menatap setengah kosong pada undakan tanah yang indah—terawat begitu baik, dengan rumput – rumput terpotong begitu rapi merata.Ujung tangan Harger terulur meletakkan buket mawar, kemudian menyentuh nisan atas nama saudari perempuannya. Sedikit rasa sesak seperti berusaha menumbuk jantung Harger. Berulang kali dia berusaha menarik napas pelan, dan mengembuskan ke udara, tetapi kadang – kadang matanya
“Apa yang kau pikirkan, Deu?” Harger bertanya sarat nada lambat. Hati – hati dia menyentuh punggung tangan sang hakim. Perlahan menautkan jari – jari tangan mereka, lalu meremasnya lembut. “Kau kepikiran soal adikmu? Apa yang benar – benar sudah kalian bicarakan? Aku hanya dengar beberapa, tapi yakin kau tidak akan seperti ini jika bukan karena sesuatu. Sekarang ceritakan padaku?'" Tadinya, Harger memang tak berniat mencampuri lebih banyak. Merasa tidak berhak. Namun, jika pada akhirnya Deu akan terus – terusan terpengaruh, dia tidak akan bisa menahan diri. Tidak tahu kapan sang hakim akan selesai dengan perselisihan batin yang terlihat luar biasa mencolok. Harger akan menunggu. Semenit, dua menit, hingga waktu yang berjalan seperkian saat. Cukup lama ... lalu embusan napas sang hakim terdengar kasar. “Astoria menolak perintahku untuk meninggalkan bajingan itu.” “Dengan mengakui bahwa Orion tidak pernah tahu dia hamil, aku rasa bukan
“Aku bingung bagaimana alat peledak bisa berada di kepala Orion. Memangnya seberapa kecil ukuran alat peledak itu?”Harger bicara sayup – sayup di dapur sambil memegangi senter untuk menerangi pemandangan di sekitar suaminya. Sang hakim sibuk menyiapkan lasagna menjadi potongan sama rata setelah tadi ... menyalakan kembali ke api oven, dan mereka menunggu beberapa saat.Wajah tampan itu benar – benar begitu serius. Harger mengembuskan napas cukup kasar ... ntah kapan sang hakim akan menjawab pertanyaannya.“Deu.”Harger tidak akan tahan ketika sang hakim hanya diam. Masing – masing potongan lasagna diletakkan di atas piring, yang kemudian disusun di atas nampan—akan siap dibawa ke ruang tamu. Tetapi sebelum itu, iris gelap sang hakim mendadak fokus menatap lurus ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu, atau mungkin telah berniat memberi Harger tanggapan.“Ukurannya sebesar kapsul obat, yang dimasukkan melalui rongga hidung dengan cara ditembak.”Seharusnya