Harger terpaku sesaat pada sebentuk tubuh pria; separuh tenggelam di antara air jernih; hanya seperempat bahu telanjang terungkap dengan butiran – butiran air mengalir berusaha menjadikannya kering. Tidak banyak yang dilakukan pria itu di sana, seperti hanya berendam atau menunggu momen yang tepat untuk menyelam ke dalam air.Harger menelan ludah sebentar, kemudian segera membuka pintu mobil jip untuk kemudian mengumpulkan perlengkapan yang telah disediakan. “Terima kasih atas tumpanganmu, French. Kau boleh pergi, nanti aku akan pulang bersama Deu.”Dengan handuk dibiarkan menjuntai di garis bahu dan sebelah lengan mendekap ember mandi berisi sabun maupun sampo, Harger melambaikan tangan kepada French yang menyalakan mesin mobil. Pria itu tersenyum tipis seraya berpamitan pergi.Lurus – lurus iris mata Harger menunggu sampai mobil jip meninggalkan daerah dengan limpasan air jernih dan tenang; sebuah sungai di mana bebatuan terlihat lebih mencolok, bahkan pohon – pohon menjulang sanga
Sudah Harger duga. Dia melotot tak percaya mengamati setiap detil langkah sang hakim adalah untuk membuatnya tak berdaya di tempat. Secara naluri Harger menengadah dan menyengir lebar saat sang hakim sudah menjulang tinggi di hadapannya. Tubuh pria yang basah, tak pernah luput dari air – air yang menetes. “Kenapa kau ke sini, Yang Mulia? Mandilah dengan cepat. Setelah itu, kita akan pulang.” Harger melakukan gerakan tangan mendorong. Harap – harap sang hakim segera menyingkir, tetapi dia hanya menciptakan sebuah tujuan konyol. Cengirannya semakin tidak terkendali mendapati wajah luar biasa datar. Bahkan tubuh Harger terlonjak saat telapak tangan dingin itu mencekal lengannya. “Ampun, Yang Mulia, tidak lagi. Aku tidak akan mendorongmu lagi!” Kendati demikian, Harger masih diliputi perasaan geli; ingin kembali tertawa, sayangnya dia tak cukup berani mengeluarkan suara semacam itu. Terlebih kali ini tatapan sang hakim semakin tak terbaca. Luar biasa datar. “Kau memanggilku apa?” tany
“Seperti itu, Deu. Di sana. Pelan - pelan ....”Nikmat-nya hampir membuat ketiduran. Tanpa sadar tubuh Harger terdorong bersandar di dada sang hakim. Itu mungkin akan membuat Deu mengalami sedikit kesulitan, tetapi sang hakim tidak sekali pun mengajukan kata – kata protes. Secara naluri membuat Harger tahu bagaimana harus menegakkan tubuh.Beberapa saat masih terasa seperti kebebasan menghadapi udara segar. Sentuhan sang hakim masih di sana, di puncak kepalanya, walau Harger tak menapik sedikit gerakan ganjil perlahan membuat pijatan sang hakim nyaris tak terasa.Mungkin kelelahan ....Mula – mula itu yang dia pikirkan. Tanpa menaruh curiga, Harger benar – benar hanya menunggu tindakan sang hakim kembali bertenaga. Seharusnya demikian.Beberapa saat, tiba – tiba gerakan pria itu menjauh. Bunyi suara air menegaskan sang hakim sedang mencuci tangan. Membasuh busa sampo untuk kemudian menekan pelipis dengan kedua pergelangan tangan. Dan setelah menyadari keanehan di sana, Harger mulai me
“Di mana Deu, Harger? Dia tidak ikut turun denganmu?”Pertanyaan seperti ini sudah terduga. Harger tersenyum gugup ke arah Daisy, mencoba mencari kata – kata yang tepat. Makan malam akan dimulai tanpa sang hakim. Sejak mengunyah obat, pria itu masih tertidur sampai detik ini. Harger sudah berusaha membangunkan, tetapi hanya suara ngantuk yang menjawab.“Maaf, Daisy. Deu sedikit tidak enak badan. Aku rasa, tidak apa – apa kalau kubawakan makan malam ke kamar.”Sebelah alis Daisy terangkat tinggi. “Tidak enak badan? Bukankah sebelum menemuinya di sungai, sore tadi dia baik – baik saja?” tanya Daisy sesaat menghentikan kegiatan makan.Ekspresi wajah wanita tua itu tak bohong betapa sedang diliputi perasaan gelisah. Gerakan tidak tenang terlihat beberapa kali, tetapi akhirnya berhasil dikendalikan. “Deu tak mungkin sakit hanya karena didorong ke kotoran kuda, bukan?” Mr. Thamlin bertanya seraya terkekeh pelan. “Atau karena dia mendapat serangan rudal ember dariku?” tambahnya puas sekali
“Masih ingin memberitahu Daisy atau tidak?” Harger menengadah tinggi – tinggi tepat setelah dia menyaksikan sang hakim menjulang nyaris tanpa jarak darinya. Sang dekat, persis sebuah ancaman mengintai jika dan jika Harger memiliki komitmen yang utuh. Memang seharusnya, dia bahkan tak pernah membayangkan Deu akan marah untuk hal seperti ini.“Masih,” ucap Harger setelah membiarkan waktu mengambil keheningan di kamar. Bukannya tegang, dia menyengir lebar mendapati sang hakim berdecak malas. Satu tangan pria itu terangkat sekadar memberi cubitan ringan di tulang pipi Harger ... sangat tipis mendekati mata. Harger terkikik sebentar, ntah bagaimana sang hakim membuatnya tertawa pulas.“Kau tidak bisa memberitahu Daisy, Mrs. Keroppi. Aku suamimu. Perintah suami lebih penting,” bisik sang hakim memberitahu. Tahu betul seperti apa cara membujuk, sehingga Harger menggeleng seraya mencekak pinggang.“Oh, ya, itu benar. Tapi perintah suamiku adalah perintah tidak masuk akal. Sangat tidak dianju
“Turunkan aku di sini.”Harger memberi perintah tegas setelah tiba di dapur, tetapi alih – alih sang hakim menuruti permintaan tersebut, pria itu justru membawa Harger ke satu tempat, berikut dengan tindakan membiarkan bokong Harger menyentuh dingin permukaan meja bar; dia persis harus menyaksikan sang hakim sibuk menyeduh sereal ke dalam mangkok. Kepulan asap membayang di bawah siraman lampu. Harger terus mengamati jari – jari tangan sang hakim telaten mengaduk kebutuhan pria itu sendiri. Caranya yang serius selalu terlihat seksi, diam – diam menarik sudut bibir Harger melekuk tipis acapkali mendapati sang hakim akan melirik ke arahnya.“Mau?” tanya sang hakim seraya mengangkat satu sendok tinggi ke hadapan Harger, yang hanya mengangguk, lalu membuka mulut menerima satu suapan instan.“Mau lagi.” Bibir Harger terbuka lebih lebar. Betapa dia tak ragu menerima suapan yang telah ditiup untuk masuk ke dalam mulut. Tersenyum, kemudian menelan sereal ke kerongkongan. Terus seperti itu;
Nyatanya Harger tak sungguh – sungguh membenarkan pernyataan terakhirnya untuk hanya bicara saat tiba di terminal. Dia tidur di sepanjang jalan, ntah saat sedang berada di dalam bis atau ketika pesawat telah melakukan penerbangan. Harger merasa nyaman sekali tidur lelap di lengan suami sendiri. Sang hakim tidak pernah melontarkan kalimat protes; yang bahkan, hanya benar – benar membangunkan Harger jika perjalanan akan kembali menandai derap – derap panjang menuju pelabuhan terakhir.Betapa Harger tidak sabar begitu pintu kamar hotel dibuka. Semua keperluan berada di tangan sang hakim. Dia hanya perlu membawa diri dan merasa puas setelah menemukan ranjang untuk kemudian menelungkup memeluk bantal.Rasanya lega sekali. Namun, Harger tak pernah lupa kalau sebenarnya dia sedang memikirkan sesuatu. Sang hakim membutuhkan hadiah. Sulur – sulur suara ranjang berderak membuat Harger bersikap waspada. Dia mengatur posisi telentang untuk menatap sang hakim sedang membuka jaket tebal yang membal
Setelah kegiatan menguras energi secara konsumtif. Sekarang adalah waktu untuk mengisi perut yang berbunyi. Harger duduk berseberangan bersama sang hakim, saling menatap dan senyum lembut bermain – main di bibir pria itu. Di depan mereka, ketika akan sama – sama berpaling, iris gelap sang hakim maupun amber milik Harger akan menemukan keberadaan menara yang menjadi lambang identitas negara. Sebuah menara yang menjulang. Indah sekali begitu Harger menengadah ke arah puncak yang nyaris hilang di ketinggian. Sang hakim tahu begitu banyak, seolah kamar hotel ini sudah dipersiapkan; dicari yang paling dekat dengan pemandangan indah. Mereka memang memesan makanan cepat saji. Sama – sama memutuskan untuk menikmati di balkon hotel yang menjorok ke arah Menara Eifel. Menggambarkan betapa tempat ini penuh cinta. Sama seperti bagaimana perasaan hangat sembunyi – sembunyi memainkan peran besar. Harger segera menggigit potongan burger. Dia menatap sang hakim saat sedang mengunyah. “Enak?” tanya