Alden menggeram kesal ketika ada yang mengusik tidurnya.
Ponselnya beberapa kali berdering. Awalnya pria itu mengabaikan, akan tetapi deringan ponsel itu terjadi berulang kali, membuat pria itu dengan berat hati mengangkatnya."Ya?" jawabnya dengan suara serak."Den, aku bisa minta bantuanmu?""Nggak bisa, aku sedang sibuk!" jawab pria itu ketus.Terdengar helaan napas dari ujung sana."Dengan wanita?"Alden tertawa pelan. "Oh, ayolah. Kamu pasti sudah tahu kebiasaanku seperti apa.""Kapan kamu akan berubah, Den. Tiap hari begitu terus. Nggak takut terkena penyakit karena sering gonta-ganti wanita?" tanya Zidan dari ujung sana. Sepertinya pria itu tampak lelah untuk menasehati temannya itu."Entahlah, aku happy seperti ini," kata Alden. Namun, dari nada bicaranya terdengar begitu putus asa."Katakan padaku, wanita seperti apa yang kamu inginkan. Aku akan membantumu mencarikannya, agar kamu berhenti untuk bermain-main, Alden."Lagi-lagi pria itu tertawa. "Yang pasti ketika aku di dekatnya, aku selalu merasa nyaman."Tiba-tiba saja pikiran Alden kembali tertuju pada Rayna. Lagi-lagi dia menelan salivanya, pria itu langsung menggeleng cepat, lalu berdeham keras."Jadi, kamu ingin meminta bantuan apa?" tanya Alden, mengalihkan pembicaraan."Jadi gini, kemarin aku meminta Rayna untuk menjemputmu, dan saat ini kondisinya sedang drop. Aku tidak bisa datang menemuinya karena akhir-akhir ini Kafe lagi ramai. Rasanya tidak mungkin aku pergi dari tanggung jawab. Kamu tahu sendiri, kan? Susah payah aku bangun usaha ini sampai pada akhirnya bisa jadi seperti ini--""Kamu dari tadi ngomongin apa, sih? Langsung pada intinya aja," sela Alden cepat."Oke, oke. Sabar dikit, kenapa. Aku ingin meminta bantuanmu, bisa datang ke rumah Rayna sebentar?"Alden mengerutkan keningnya. "Calon istri kamu?""Iya. Tadi dia mengatakan ingin makan bubur ayam, tapi aku tidak bisa mengantarnya."Alden mendengkus keras, pikiran liar Alden dari wanita itu saja belum lepas, sekarang Zidan malah menyuruhnya untuk kembali bertemu dengan dia? Alden bisa gila."Kamu calon suaminya, kenapa jadi nyuruh aku?""Aku hanya meminta bantuan. Lagian dia sakit juga karena habis mengantar kamu.""Aku nggak ada nyuruh dia buat jemput," ujar pria itu tak terima."Oke, aku ngerti. Tapi nggak ada salahnya, kan, kalau kamu bantu? Kamu nggak kasihan sama aku? Kali ini aja kamu membantuku, please," mohon Zidan."Aish! Kamu ini, menyusahkan saja. Baiklah, aku akan membantumu, kirim alamat rumah wanita itu," sahut Alden dengan nada ogah-ogahan."Baiklah, aku akan mengirimkan alamatnya melalui pesan."Alden mematikan sambungan teleponnya. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, ketika dia ingin bangun dari ranjang itu, tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang melingkar di perutnya."Mau ke mana?" tanya wanita itu dengan suara serak."Bukan urusanmu! Sebaiknya kamu kemas-kemas, pakai pakaianmu lagi, aku akan pergi, dan ini bayaran untuk kamu," ucap Alden sambil menyodorkan sebuah cek untuk wanita itu.Wanita itu mengambil cek itu dengan penuh semangat."Senang bekerja sama denganmu, telepon aku kalau kamu kembali membutuhkanku, aku siap melayanimu kapan pun."Alden tersenyum, senyuman jenis ironi. Pria itu langsung membalikkan tubuhnya membelakangi wanita itu."Cepatlah, pergi dari sini!" ujar pria itu dingin.Wanita itu menurut, dia kembali memakai pakaian yang berserakan entah ke mana. Lalu pergi meninggalkan Alden seorang diri.Ucapan Zidan tiba-tiba terngiang di kepala Alden. Pria itu menghela napas berat."Sampai aku menemukan wanita yang benar-benar menggetarkan hatiku. Jika memang ada, pasti akan aku perjuangkan, sekalipun dia sudah menjadi milik orang lain," desis pria itu sambil mengepalkan tangannya dengan erat.***Alden menghela napas berat, dia melihat plastik yang saat ini tengah dipegangnya, yaitu bubur pesanan Rayna."Berasa lagi punya pacar, dan lagi bucin," gumam pria itu.Alden mengedikkan bahunya acuh, dia mendekati rumah wanita itu, lalu mengetuk pintu dengan agak keras.Beberapa kali dia ketuk, akhirnya pintu itu pun terbuka. Kepala Rayna menyembul dari balik pintu, lalu matanya terbelalak ketika melihat Alden ada di depan rumahnya."Kamu? Ngapain di sini?" tanya wanita itu heran.Alden mengusap tengkuknya secara perlahan. "Disuruh Zidan nganterin bubur pesanan kamu, nih."Rayna menatap plastik yang disodorkan oleh Alden, bukannya langsung diambil, Rayna malah menatap plastik itu dengan tatapan kosong, membuat Alden mengerjap bingung."Halo," ucap Alden sambil mengibaskan tangannya berkali-kali.Rayna tersentak, kemudian tersenyum kikuk. "Ah, ya, terima kasih," kata wanita itu.Alden tahu bahwa saat ini Rayna tampak kecewa, kentara sekali dari raut wajah wanita itu. Mungkin wanita itu sedang mengharapkan kedatangan Zidan, tapi nyatanya orang lain yang datang, begitulah pikirnya."Kamu sakit?" tanya Alden, tanpa sadar tangan pria itu refleks memegang kening Rayna. "Ya ampun, kamu demam!" kata Alden panik."Ini udah biasa," jawab Rayna seraya melepaskan tangan Alden dari keningnya. "Omong-omong, makasih ya untuk buburnya, dan juga maaf karena sudah merepotkanmu."Alden meringis pelan, entah kenapa dia merasa lancang sudah memegang kening wanita itu tanpa izin."Oh, nggak, nggak apa-apa kok, hitung-hitung bantu teman. Kamu sudah berobat?"Rayna mengangguk. "Udah minum obat.""Oh, bagus deh."Tiba-tiba saja suasana menjadi canggung, cukup lama mereka saling terdiam, hingga pada akhirnya Alden berdeham sedikit keras."Sepertinya aku harus pulang, karena tugasku sudah selesai," pamit Alden."Eh, tunggu dulu!" cegah Rayna. "Ini bubur ayamnya ada dua porsi, kayaknya aku nggak bakalan habis untuk makan semuanya, gimana kalau kita makan bersama?" tawar Rayna.Mana mungkin Alden akan menyia-nyiakan kesempatan itu, kepalanya ingin dia anggukkan namun entah mengapa terasa berat. Jiwa gengsinya tiba-tiba saja muncul."Sepertinya tidak bisa," tolak pria itu halus."Oh, begitu, ya. Ya udah deh, nggak apa-apa."Alden memerhatikan raut wajah sendu Rayna, membuat pria itu menghela napas pelan.Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Alden mempunyai rasa kasihan, padahal pria itu terkenal tidak pernah peduli dengan orang lain, terkecuali dengan Zidan, temannya."Aduh, sepertinya ucapanku tadi aku tarik lagi deh, kebetulan banget aku belum makan. Apa tawaran itu masih berlaku?" tanya Alden sambil nyengir lebar.Rayna tertawa kecil, membuat Alden tertegun. Sialnya, jantungnya berdebar tak karuan.'Sial! Apa ini. Apa iya aku punya riwayat penyakit jantung, kenapa jadi seperti ini?' batin pria itu."Silakan masuk, aku akan siapkan buburnya dulu."Rayna pergi dari hadapan Alden, membuat pria itu sedikit bernapas lega.'Ingat, Alden. Dia bukan wanita yang sering kamu sewa, dia adalah calon istri Zidan. Jadi stop berpikir yang tidak-tidak. Come on, kali ini aja berpikirlah sedikit waras,' batin pria itu mengingatkan dirinya sendiri."Aku beneran nggak bisa antar kamu, Sayang."Rayna tersenyum kecut, selalu saja mendapat penolakan dari Zidan. Padahal dia hanya menginginkan ditemani oleh pria itu."Alasannya sibuk lagi?" tanya wanita itu sambil tersenyum miris."Iya, kafenya ramai banget.""Nggak ada alasan lain selain kafe ramai? Dari dulu selalu itu saja yang kamu ucapkan.""Maaf, Sayang. Aku memang berbicara jujur. Harusnya kamu senang, dong, karena nanti kalau kita sudah menikah, hidup kita nggak bakalan susah lagi," terang pria itu dari ujung sana."Aku cuma butuh waktu kamu, Dan. Nggak lebih." Rayna memohon, rasanya sungguh lelah karena setiap dirinya ingin mengajak calon suaminya bertemu, Zidan selalu saja menolak.Dari ujung sana, Zidan menghela napas berat. "Maaf, Rayna. Aku beneran nggak bisa, lain waktu aja ya. Atau kamu pergi ke toko buku aja sendiri. Sekali lagi maaf, aku melakukan semua ini untuk masa depan kita."Rayna mengepalkan tangannya. Rasanya sudah muak dengan alasan yang Zidan lontarkan. Pria
Sepanjang perjalanan, Rayna terus saja menggeleng pelan. Masih tak menyangka apa yang dia lihat barusan."Dasar laki-laki gila! Bisa-bisanya dia berbuat mesum di depan umum. Dan apa-apaan wanita itu, kenapa dia mau aja digituin sama dia. Nggak habis pikir aku," gerutu wanita itu."Hei, Rayna. Tunggu!"Rayna menoleh ke belakang, mengerutkan keningnya karena rupanya sedari tadi pria itu terus membuntutinya.Karena malas berhadapan dengan pria itu, ditambah lagi Rayna masih syok dengan pemandangan tadi, wanita itu memutuskan untuk mengacuhkan pria itu."Rayna, please berhenti dulu. Aku mau ngomong sama kamu. Kamu dengar nggak sih aku panggil?""Nggak dengar," sahut Rayna malas.Rayna tersentak kaget ketika ada yang menarik tangannya. Akibatnya, kini tubuh wanita itu menubruk pada dada bilang milik pria itu."Kamu ini kenapa sih, aku panggil-panggil malah dicuekin," gerutu pria itu."Kamu yang kenapa? Kenapa harus ngejar aku sampai sejauh ini, apa kita punya masalah?" tanya Rayna balik.Al
Rayna mendelik tajam karena sedari tadi Alden terus saja menatapnya. Dia bukan percaya diri karena pria itu naksir padanya, tapi sudah pasti pria itu terus menatapnya karena ingin melihat bagaimana cara kerjanya. Tetap saja hal itu membuatnya risih, apalagi dengan tatapan Alden yang begitu intens.Rayna mendekati Alden, menggebrak meja itu dengan keras membuat lelaki itu terperanjat kaget."Bapak ngapain ngeliatin saya seperti itu?" tanya wanita itu dengan mata melotot.Alden menatap sekitar, jelas saja saat ini mereka tengah menjadi bahan tontonan banyak orang, terutama pelanggan."Siapa juga yang ngeliatin kamu, jangan Geer," geramnya kesal."Itu dari tadi mata Anda selalu saja mengarah pada saya, pasti Anda berpikir mesum ya?"Alden mengusap wajahnya dengan kasar. Memang benar yang Rayna katakan, bahwa sedari tadi dirinya menatap wanita itu.Entah mengapa matanya selalu tertuju pada Rayna. Tapi kalau dibilang mikir mesum? Bisa jadi iya bisa jadi juga tidak.Alden melipatkan kedua ta
Setelah cukup lama Rayna dan Zidan tidak bertukar kabar, akhirnya Rayna memutuskan untuk mendatangi kafe pria tersebut. Dia juga mau meminta maaf karena saat dirinya melamar kerja tidak izin dulu pada pria itu.Rayna tersenyum ketika dia sudah berada di kafe itu, dia melangkahkan kakinya, masuk ke dalam kafe tersebut.Dia tersenyum lebar ketika usaha kekasihnya kini berjalan dengan lancar, banyak pengunjung yang mendatangi tempat itu."Loh, Rayna. Tumben datang ke sini?"Rayna lagi-lagi tersenyum. "Iya nih.""Kangen sama Zidan ya?" ledek pria itu. Rafa, teman Zidan yang pria itu percaya dalam hal pekerjaan."Hehehe, tau aja nih. Zidannya mana ya?" tanya wanita itu, matanya mengedar ke segala arah untuk mencari keberadaan kekasihnya itu."Lagi sibuk banget dia. Ngurusin pengunjung yang nggak kelar-kelar. Mau minum apa nih?" tawar pria itu.Rayna menggeleng. "Nggak usah.""Jangan gitu dong, nanti aku dimarahin sama Zidan, karena udah anggurin kekasihnya."Rayna tak mendengarkan ucapan Ra
Hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan bagi Rayna. Karena apa, hari ini adalah hari ulang tahunnya.Tandanya dia akan menghabiskan waktu bersama Zidan, kekasihnya. Pria itu sudah berjanji akan mengajak Rayna ke suatu tempat. Katanya spesial, dan Rayna tidak boleh tahu, Zidan ingin Rayna melihat tempat itu dengan mata kepala wanita itu sendiri.Rayna sudah bersiap-siap dandan, beberapa kali dia tampak menghapus make-upnya karena menurutnya kurang cocok. Bukan hanya make-up, tapi pakaian juga dia melakukan seperti itu.Sekarang kamarnya tampak begitu berantakan karena tumpukan baju-baju itu, Rayna yang melihatnya hanya bisa meringis pelan."Gampanglah diberesin. Nanti habis pulang senang-senang baru aku rapihin kamar ini," gumamnya pelan.Drrttt ... drrrtttt ...Ponsel Rayna tiba-tiba bergetar, dia kembali tersenyum, dia menduga jika Zidanlah yang mengirimi dia pesan.Terbukti, pesan itu memang dari Zidan, Rayna membaca pesan itu dengan teliti.[Selamat ulang tahun, Sayang. Semog
Alden tersentak ketika mendengar ucapan Rayna. Buru-buru pria itu bangun dari tubuh Rayna.Alden mengusap wajahnya dengan kasar, sesekali menjambak rambutnya."Berengsek! Sialan! Apa yang kamu lakukan, Alden," geram pria itu.Pria itu melirik Rayna sebentar, wanita itu kini memejamkan matanya, sesekali meringis pelan.Alden terus menggeleng, dia benar-benar merutuki kebodohannya karena sudah berani mencium wanita itu, wanitanya Zidan, temannya sendiri. Bisa-bisanya Alden bertindak di luar batas? Sialnya sampai saat ini dia masih menginginkan wanita itu."Zidan," kata wanita itu lirih, tak lama kemudian Rayna terisak pelan.Alden terenyuh karena mendengar suara tangisan wanita itu, dia mendekati wanita itu lalu berbisik pelan. "Kamu kenapa?""Zidan.""Aku bukan Zidan, aku temannya," koreksi Alden."Ke mana dia?" tanyanya dengan mata terbuka.Alden terdiam cukup lama, lalu menghela napas berat. "Dia sedang mengadakan launching kafe barunya. Dia yang menyuruhku untuk temani kamu ketika di
Berkali-kali Alden membasuh wajahnya di wastafel tersebut. Wajah Rayna yang tengah mabuk itu selalu terbayang-bayang di dalam ingatannya."Sial! Lupakan Alden, lupakan. Dia bukan untuk dijadikan bahan fantasi, dia adalah tunangan temanmu. Ingat itu, Alden," ucapnya dalam memperingati dirinya sendiri.Alden masih ingat betul kejadian malam itu, ketika Rayna menggoda dirinya. Alden tahu jika Rayna baru pertama kalinya bertindak seperti itu, terbukti dari caranya yang begitu amatir. Kendati demikian, Alden begitu bergairah dengan sentuhan-sentuhan yang Rayna berikan."Argghhh!" Alden berteriak, dia frustrasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Pikiran itu sangat mengganggunya.Drrttt ... drtttt ... drtttt ...Alden melirik ponsel yang ada di meja, dia langsung menyambar ponsel itu, dia melakukan seperti itu agar pikirannya tentang Rayna segera hilang.Zidan is calling.Alden tersenyum sinis. "Mau apa lagi nih orang, selalu menyusahkan diriku saja," gerutunya pelan."Halo, kenapa?" tany
Rayna mendorong tubuh Alden sekuat tenaga."Maksud kamu apa, Alden?" tanya Rayna tak percaya, dia masih begitu syok dengan tindakan Alden barusan. Bukankah itu tindakan yang sangat kurang ajar? Alden telah melecehkan Rayna."A--aku hanya mencontohkan apa yang kamu lakukan padaku tadi malam," jawab pria itu gugup.Rayna menggeleng cepat, dia tidak mungkin percaya dengan ucapan yang pria itu berikan. Bukankah pria itu penjahat wanita? Bisa saja itu adalah sebuah trik agar Rayna jatuh dalam permainannya. Tapi sayangnya Rayna masih mempunyai akal sehat. Semarah-marahnya dia dengan Zidan, tidak mungkin segampang itu cintanya goyah."Kamu pikir aku percaya?" tanya Rayna sinis."Untuk apa aku berbohong padamu," kata Alden tak terima. "Nggak ada untungnya," lanjutnya kemudian."Bukankah seperti itu untuk menjerat wanita? Itu kan trik yang selalu kamu lakukan agar para wanita bertekuk lutut padamu?""Kamu nggak usah ngalihin pembicaraan, memang kenyataannya kamu memang seperti itu, mencoba mera
"Selamat, Bro. Akhirnya nikah juga," kata Zidan seraya memeluk temannya itu.Alden pun membalas pelukan pria itu. "Terima kasih, Zidan. Kalau bukan karena kamu, nggak mungkin aku bisa seperti ini, menikah dengan orang yang aku cintai. Semua ini berkat kamu, karena kamu yang bantu aku, dan juga merelakan rasa egomu hanya untukku. Maaf karena aku udah egois banget sama kamu, mengambil pacarmu tapi tidak memikirkan bagaimana perasaanmu."Zidan tersenyum getir. "Aku rela mengorbankan perasaanku karena aku kasihan sama kamu. Aku tidak pergi, aku hanya membatasi diri untuk tidak menggangu Rayna lagi. Jujur, sampai saat ini aku belum bisa melupakannya, aku masih mencintainya, tapi aku sadar kalau aku ini bukan pilihannya. Alden, jaga Raynaku baik-baik, sampai kapanpun itu. Hanya itu yang kupinta darimu," pinta pria itu."Apa kamu berniat ingin menghancurkan acara pernikahan ini?" tanya Alden dengan suara berat, kentara sekali kalau sedang menahan gejolak amarah."Nggak, aku cuma mau mengelua
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari ini adalah hari pernikahan Alden dan juga Rayna.Zidan menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin seraya tersenyum tipis.Sebentar lagi dia akan datang ke tempat acara mereka berdua, lantas kenapa dia menjadi gugup seperti ini?"Dek, bagus nggak sih kalau pakai ini?" tanya Zidan.Zara geleng-geleng kepala seraya tersenyum tipis. "Mas udah ganti baju berapa kali sih? Coba lihat tuh, berantakan," ujar wanita itu seraya menunjuk ke arah pakaian Zidan.Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil nyengir lebar. "Aduh, maaf ya, Dek. Nanti aku bantuin rapihin deh, habisnya aku merasa pakai baju apa aja nggak ada yang cocok. Heran deh," keluh pria itu."Bukan pada nggak cocok, tapi Mas itu terlalu gugup. Yang Mas pakai saat ini udah bagus kok, cocok banget. Udah ya, nggak usah diganti lagi," pinta istrinya itu."Tapi aku kurang suka sama warna bajunya.""Terus Mas mau pakai baju yang mana? Biar aku bantu cariin deh," usul wanita itu
Zidan menghela napas berkali-kali. Semenjak mendengar Alden dan Rayna akan menikah, pria itu tampak selalu menyendiri.Katakanlah kalau dia itu memang munafik, jika di depan Alden, pria itu terus ceria, seolah-olah berkata kalau dirinya sudah tak memiliki perasaan apapun lagi dengan Rayna, kenyataannya itu salah besar.Rasanya rumit kalau untuk dijelaskan, tapi ingin berteriak untuk hal yang dirasakan. Dari hati yang paling dalam, ada yang masih mengganjal di hati Zidan, entah itu apa.Kepala Zidan menengadah ke atas seraya memejamkan matanya."Pintu yang tidak dibukakan jangan diketuk lagi, itu namanya nggak sopan, Zidan. Lupakan saja, lupakan. Dia hanya masa lalu kamu, sementara kamu saat ini sudah mempunyai masa depan, yaitu istri kamu. Berhentilah menyakiti diri kamu sendiri dan juga orang yang ada di sampingmu, Zidan," gumam pria itu guna mengingatkan dirinya sendiri."Kenapa nggak masuk, Mas? Udara di luar tampak begitu dingin."Zidan tersentak, dia menoleh ke arah sumber suara
"Aku nggak mau, Alden. Kita nggak perlu rayain pesta yang begitu megah, seadanya aja udah cukup."Alden menggeleng. "Hari pernikahan kita harusnya kita rayakan dengan pesta besar-besaran, Rayna. Ingat, itu pernikahan kita loh, kita harus merayakannya hitung-hitung buat kenangan di hari tua kita kelak," bantah Alden."Kenapa kita harus capek-capek merayakan yang jelas-jelas pernikahan hanya di laksanakan hanya satu hari saja? Harusnya kita memikirkan bagaimana nantinya ketika kita sudah menikah, kita selamanya akan hidup berdua. Harusnya kita memikirkan hal itu, Alden," jelas Rayna."Gini, Sayang. Ya, aku tahu kalau hari pernikahan itu hanya sekali atau sehari, tapi itu, kan, hari yang sakral. Momen di mana tempat kita melepas lajang. Jadi--""Ya udah deh, terserah kamu aja. Aku ngikut aja," sela Rayna cepat."Nah, gitu dong. Wanita lain itu ketika ingin menikah, pasti minta pesta yang besar-besar, tapi kamu ini nggak mau, aneh banget. Aku senang loh kalau kamu minta ini minta itu, per
"Thanks ya, karena kamu akhirnya Rayna mau diajak nikah."Zidan mendengkus pelan. "Cuma gitu aja, cuma bilang makasih aja? Ya kali, kasih hadiah kek, mobil atau apa gitu," cibir pria itu.Alden mendelik kesal. "Dikasih hati malah minta jantung. Kemarin pas kamu nikah, aku udah kasih kamu mobil ya, kira-kira dong kalau minta.""Halah! Kamu kasih hadiah mobil juga bukan karena hadiah pernikahanku, tapi karena aku berhasil suruh Rayna datang," kata Zidan tak terima.Alden tertawa keras. "Nah, anggap aja itu sama.""Nggak bisa gitu. Harusnya kamu kasih aku hadiah dobel. Hadiah karena berhasil membuat Rayna datang ke sini, hadiah untuk hari pernikahanku, dan yang terakhir, hadiah karena aku udah berhasil bujuk Rayna mau nikah sama kamu. Sekarang mana dong hadiahnya?" pinta Zidan sambil memberi kode ke arah Alden menggunakan tangannya."Nanti aku pikirin, kalau aku udah nikah sama Rayna. Sial! Harusnya aku yang dikasih hadiah, kenapa jadi aku yang kasih hadiah?" tanya pria itu seraya meliri
Setelah berbicara dengan Zidan, akhirnya pikiran Rayna pun mulai terbuka. Dia akan membuka hatinya untuk Alden walau hanya sedikit demi sedikit."Zidan nggak ngomong macam-macam, kan, sama kamu?" tanya Alden memastika.Rayna menggeleng. "Harusnya kamu bersyukur karena mempunyai teman sebaik dia."Alden mendengkus pelan. "Apa nih maksudnya? Kok tiba-tiba bicara kayak gitu?""Aku udah tahu semuanya kok. Tadi Zidan yang cerita sama aku, kalau selama ini kamu yang nyuruh Zidan buat ketemu sama aku. Padahal diam-diam kamu ngelihat aku dari kejauhan, kan?"Alden menghela napas berat. 'Sial! Kenapa tuh orang mulutnya bocor banget,' gerutu Alden dalam hati."Kenapa harus Zidan yang kamu suruh terus? Kasihan loh dia.""Kalau aku langsung temuin kamu, yang ada kamu langsung kabur. Makanya aku diam-diam perhatikan kamu dari kejauhan. Aku selalu mencari momen yang pas, agar kita bisa ketemu, tanpa ada paksaan sedikit pun. Dan menurutku waktu pernikahan Zidan memang momen yang begitu pas. Lagian Z
"Aku mau ketemu sama Rayna sebentar saja.""Nggak boleh!" tolak Alden mentah-mentah.Zidan mendengkus keras. "Kamu ini kenapa? Kok mendadak jadi posesif begini?" tanya pria itu ketus."Gimana nggak posesif coba, Rayna aja baru aku temuin, kalau nggak kayak gitu nanti dia hilang lagi, pergi lagi," gerutu Alden."Ya tapi jangan dikurung juga kali, kasihan dia. Bukannya dia jatuh cinta sama kamu, yang ada malah dia jadi ilfil ngelihat tingkah kamu kayak gini. Lagian aku mau ketemu sama Rayna, aku mau ngomong serius sama dia."Alden berdecih pelan. "Nah, yang mau diomongin itu kira-kira apa. Kamu beneran mau jadikan Rayna istri kedua? Yang benar saja?""Hahahaha, masih aja dipikirin. Ya nggak lah, aku cuma mau yakinin dia aja kalau kamu itu serius sama dia. Kalau lihat pergerakan kamu yang kayak gini aja, mana mungkin Rayna luluh sama kamu. Pikiran kamu aja di ranjang melulu, coba sekali-kali kamu ajak dia itu bicara serius, dari hati ke hati, biar hasilnya tuh maksimal."Alden mengusap w
"Kamu udah ketemu sama Rayna?"Alden mendengkus keras karena mendapat pertanyaan dari temannya itu, Zidan."Omong kosong macam apa itu? Bukannya kamu udah lihat sendiri waktu di acara pernikahanmu?" tanya pria itu sinis.Zidan tergelak kencang. "Yaelah, basa-basi doang aja kok. Terus sekarang Rayna ke mana ya? Kok aku hubungi nomornya nggak aktif-aktif?"Alden memicingkan kedua matanya, menatap temannya itu dengan curiga. "Kamu coba hubungi Rayna? Untuk apa? Kamu lupa kalau kamu itu udah nikah?" tanya Alden dengan tatapan tajam."Apaan, cuma mau tahu kabarnya aja. Waktu itu, kan, dia kamu bawa pergi entah ke mana. Makanya aku sedikit was-was, nggak usah mikir aneh gitu lah, lagian aku juga tahu batasan.""Aneh aja gitu loh, jangan-jangan kamu masih naruh perasaan lagi sama dia?" tebak Alden."Sembarangan, pikiranmu itu loh ke mana, Den. Mana mungkin aku seperti itu, kasihan sama istriku," dengkus Zidan."Siapa tahu aja, kan?""Nggak ada. Jadi waktu itu kamu bawa Rayna ke mana?" tanya
Rayna berdecak kesal karena dikurung oleh Alden di dalam kamar. Wanita itu benar-benar bingung dengan apa yang terjadi, seingatnya ketika mereka habis bercinta, Rayna langsung tidur karena benar-benar kelelahan.Ya, Rayna dan Alden kembali mengulang kejadian waktu itu di tempat yang sama. Namun kali ini Aldenlah yang begitu bersemangat. Rayna meringis pelan ketika melihat Alden meminum obat kuat, entah dari mana asalnya pria itu bisa berpikir seperti itu, yang jelas Alden berkata jika pria itu akan membuat Rayna hamil.Mereka bercinta berkali-kali, sampai Rayna lemas dengan tenaga Alden yang tak kunjung reda, sialnya stamina pria itu malah semakin kuat. Kalau saja Rayna tak mengeluh lelah, sudah pasti Alden akan menyetubuhinya hingga pagi.Beruntungnya Alden mempunyai rasa kasihan pada Rayna, jelas saja membuat wanita itu bernapas lega. Rayna memutuskan untuk beristirahat, setelah itu akan pulang, sayangnya itu hanya rencana wanita itu saja. Ketika wanita itu membuka mata, dia sudah b