"Hei, kamu sudah banyak minum, apa ini tidak keterlaluan?!" pekik Rafa, dia terus menggeleng karena Alden terus meminum alkohol itu tanpa jeda."Sebenarnya apa yang kamu pikirkan?" tanya Rafa lagi, karena Alden sama sekali tak menanggapi ucapannya.Alden menatap Rafa singkat, lalu kembali meneguk minuman itu. "Tidak ada," sahutnya datar.Rafa menghela napas berat. "Sepertinya kamu memang tengah banyak masalah. Semoga saja masalahnya cepat teratasi."Alden diam saja, dia sama sekali tidak menggubris ucapan Rafa."Rafa," panggil Alden pelan."Kenapa?""Apa kamu percaya apa yang namanya itu cinta?"Rafa mengerutkan keningnya, tumben sekali Alden berbicara seperti itu."Percaya dong, kamunya aja yang nggak percaya," kata Rafa sinis."Bagaimana rasanya jika orang yang kita cinta itu tengah bermesraan dengan kekasihnya?"Rafa semakin tak mengerti dengan Alden."Kamu ini kenapa?""Entahlah, rasanya hatiku tak enak ketika melihat dia tengah bermesraan dengan kekasihnya, apalagi aku melihat se
Sebisa mungkin Rayna bersikap biasa saja ketika bekerja, dan sepertinya Alden pun juga begitu, kali ini dia bertindak dengan profesional.Alden sama sekali tidak menegur Rayna. Bukankah seperti ini yang wanita itu inginkan?Entah apa yang pria itu lakukan, tiba-tiba saja mendadak rajin mengawasi setiap karyawan yang sedang bekerja."Riska, tolong mejanya dibersihkan," titah pria itu dengan tegas."Yang mana, Pak?""Meja nomor 20, itu aku lihat masih kotor."Riska mengernyit heran. "Tapi, Pak. Baru saja sudah saya bersihkan.""Bersihkan ulang, kamu ini gimana sih kalau kerja," omel pria itu."Tapi, Pak--""Bersihkan!" bentak Alden, membuat yang ada di ruangan itu terkesiap, termasuk Rayna."Ba--baik, Pak."Semua yang ada di situ tampak menunduk ketika Alden memperhatikan mereka satu persatu, kecuali Rayna, dia bingung dengan sikap Alden, tumben sekali pria itu bisa semarah ini, biasanya juga tidak seperti itu."Ini pelajaran buat kalian semua, kalau kerja itu yang benar, jangan asal ce
Alden sama sekali tidak membiarkan Rayna pulang. Padahal ini sudah sangat larut malam.Entah mengapa Rayna mempunyai pikiran jika sedari tadi Alden terus saja mencari-cari kesalahannya walau sekecil apapun."Apakah aku sudah boleh pulang?" tanya Rayna pelan, kentara sekali jika wanita itu sangat letih."Memangnya aku sudah menyuruhmu untuk berhenti?" tanya Alden ketus.Rayna menghela napas berat. "Tapi ini sudah larut malam, kenapa tidak dilanjutkan besok saja. Lagian untuk membersihkan ruanganmu itu sama sekali bukan tugasku." Kali ini Rayna memberanikan diri untuk berbicara seperti itu pada Alden, sungguh saat ini badannya terasa begitu remuk karena Alden sedari tadi selalu saja menyuruhnya."Kau lupa kalau hari ini kamu dihukum?""Ya, aku tahu kalau hari ini aku begitu lalai, tapi hukumanmu itu sangat keterlaluan, Alden," kata Rayna bengis."Oke, dalam kamusmu mungkin itu keterlaluan, tapi dalam kamusku yang namanya hukuman tetaplah hukuman yang harus dikerjakan, itulah konsekuensi
"Halo, Zidan," sapa Rayna lirih, tubuhnya masih gemetar karena efek tadi, hampir saja mereka kebablasan."Kamu masih belum pulang? Kenapa dari tadi aku ketuk rumahmu nggak nyahut?" tanya pria itu dari ujung sana.Rayna menggigit bibir bawahnya sambil melirik ke arah Alden.'Duh, ini gimana ya cara ngomongnya, apa jujur aja kali ya.'"A--aku masih di tempat kerja," ujar wanita itu dengan suara terbata."Masih di tempat kerja?" ulang pria itu, "Rayna, ini udah jam berapa? Kenapa kamu masih di sana?" Kentara sekali jika pria itu emosi."Ini memang salahku, karena kecerobohanku, akhirnya aku mendapat hukuman, tidak apa-apa, hanya malam ini saja," ucap Rayna mencoba meyakinkan."Nggak bisa gitu dong, Rayna. Alden benar-benar sudah keterlaluan. Dihukum sih dihukum, tapi kira-kira juga, ini udah malam. Kamu di situ sama siapa?"Rayna tersentak, tidak mungkin dia jujur kalau di sini bersama Alden, yang ada nanti pria itu malah berpikir yang tidak-tidak."Aku sendiri."Alden mengerutkan kening
Rencana Zidan berantakan karena Rayna tidak datang ke tempat itu.Tidak! Zidan sama sekali tidak menyalahkan Rayna, karena wanita itu memang tidak salah. Semua ini salah Alden, dialah penyebab tidak hadirnya Rayna.Entah apa maksud pria itu memberikan hukuman pada Rayna, bukankah itu sudah keterlaluan?Zidan menatap cincin yang ada digenggamannya dengan hampa, hari ini sudah sangat jauh dia rencanakan, sudah dia pikirkan secara matang-matang. Bahkan tempat sudah Zidan dekorasi secantik dan semenarik mungkin, tapi Zidan harus menelan kekecewaan, usahanya sia-sia.Zidan mengambil ponsel di saku celana, menghubungi nomor wanita itu."Sudah pulang?" tanya Zidan to the poin."Sudah, kenapa?""Tidak, hanya ingin memastikan saja. Ya sudah, istirahatlah," perintah pria itu."Ini juga lagi tiduran, omong-omong tadi kamu katanya mau ngomong sesuatu, aku jadi penasaran apa yang mau kamu omongin."Zidan tersenyum miris. "Nanti saja, tunggu ada waktu.""Kenapa nggak sekarang aja?" tanya Rayna. Sep
"Kenapa tuh si Alden, kok tingkahnya aneh banget?" tanya Rafa yang tiba-tiba duduk di sebelah Zidan.Zidan yang tadinya terus memandangi kepergian Alden, tersentak kaget karena mendengar suara Rafa, kini Zidan menoleh ke arah Rafa sambil mengedikkan bahunya acuh."Nggak tahu, mungkin lagi ada banyak masalah," gumam pria itu."Ini cuma perasaan aku aja kali ya, akhir-akhir ini Alden tuh jarang banget datang ke sini, ke kafe kamu. Biasanya dia tuh hari-hari datang ke sini, tapi kok sekarang udah nggak lagi ya, terus aku juga ngerasa kalau sikap dia itu juga berubah. Kamu ngerasa juga nggak sih?" celetuk Rafa."Dia itu juga punya kesibukan kali, Fa. Mungkin waktu dia sering datang ke sini, dia lagi ada waktu senggang, atau dia nggak punya aktivitas lain. Jangan berpikir yang nggak baik, itu nggak boleh."Rafa berdecak sebal. "Ini nih, kamu itu selalu aja berpikiran positif, memang nggak salah sih nerapin hal itu, tapi ada salahnya juga. Maksudnya kita itu jangan terlalu berpikir positif
Rayna tersenyum sumringah ketika mendengar bunyi bel dari rumahnya."Itu pasti Zidan, kok cepat banget ya nyampainya," gumam wanita itu.Meskipun begitu, dia tetap membukakan pintu rumahnya begitu semangat."Pasti kamu ngebut-ngebut di jalan ya, kok cepat banget sampai--" Ucapan Rayna terputus, matanya membulat ketika melihat seseorang yang saat ini ada di hadapannya.Dia bukan Zidan, tapi Alden."Kamu? Ngapain datang ke sini?" tanya Rayna heran.Alden mendesah berat. "Aku hanya memastikan kalau kamu baik-baik saja.""Aku baik-baik saja.""Terus kenapa tadi tidak berangkat kerja?" tanya pria itu."Karena aku capek, sudah, kan? Kalau begitu kamu udah boleh pergi."Lagi-lagi Alden mendesah. "Apa seperti itu cara memperlakukan tamu?""Alden, please. Aku nggak suka basa-basi. Sebentar lagi Zidan akan datang, aku tidak mau kalau dia nantinya salah paham. Sebaiknya kamu pergi," usir wanita itu.Alden mengabaikan ucapan Rayna, dia terbatuk-batuk kecil sambil memegangi tenggorokannya."Sepert
Rafa menatap Zidan dengan miris. Baru saja dia berbicara seperti itu kemarin, dan ternyata ucapannya malah benar-benar terjadi.Rafa benar-benar tidak menginginkan hal ini terjadi, dia hanya ingin Zidan selalu berhati-hati, tak tahunya memang ada sesuatu yang Alden sembunyikan."Dari awal aku juga udah bilang kalau kamu harus hati-hati sama Alden, tapi kamu itu selalu ngeyel, bilang Alden itu orangnya baik lah, inilah, itulah, lihat sendiri, kan, sekarang?"Awalnya Zidan tertawa, tapi lama-lama pria itu terisak pelan. Ini adalah kali pertama Rafa melihat Zidan menangis. Rafa tahu Zidan tidak lemah, dia hanya sakit hati karena telah dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus. Rayna, sebagai orang yang begitu spesial di hati Zidan, dan Alden, orang yang selalu dia percaya, bahkan sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri."Aku benar-benar tidak percaya kalau mereka seperti itu," lirih pria itu.Rafa menghela napas panjang. "Sebenarnya kalau kamu tidak selalu menitipkan Rayna ke dia, pas
"Selamat, Bro. Akhirnya nikah juga," kata Zidan seraya memeluk temannya itu.Alden pun membalas pelukan pria itu. "Terima kasih, Zidan. Kalau bukan karena kamu, nggak mungkin aku bisa seperti ini, menikah dengan orang yang aku cintai. Semua ini berkat kamu, karena kamu yang bantu aku, dan juga merelakan rasa egomu hanya untukku. Maaf karena aku udah egois banget sama kamu, mengambil pacarmu tapi tidak memikirkan bagaimana perasaanmu."Zidan tersenyum getir. "Aku rela mengorbankan perasaanku karena aku kasihan sama kamu. Aku tidak pergi, aku hanya membatasi diri untuk tidak menggangu Rayna lagi. Jujur, sampai saat ini aku belum bisa melupakannya, aku masih mencintainya, tapi aku sadar kalau aku ini bukan pilihannya. Alden, jaga Raynaku baik-baik, sampai kapanpun itu. Hanya itu yang kupinta darimu," pinta pria itu."Apa kamu berniat ingin menghancurkan acara pernikahan ini?" tanya Alden dengan suara berat, kentara sekali kalau sedang menahan gejolak amarah."Nggak, aku cuma mau mengelua
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari ini adalah hari pernikahan Alden dan juga Rayna.Zidan menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin seraya tersenyum tipis.Sebentar lagi dia akan datang ke tempat acara mereka berdua, lantas kenapa dia menjadi gugup seperti ini?"Dek, bagus nggak sih kalau pakai ini?" tanya Zidan.Zara geleng-geleng kepala seraya tersenyum tipis. "Mas udah ganti baju berapa kali sih? Coba lihat tuh, berantakan," ujar wanita itu seraya menunjuk ke arah pakaian Zidan.Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil nyengir lebar. "Aduh, maaf ya, Dek. Nanti aku bantuin rapihin deh, habisnya aku merasa pakai baju apa aja nggak ada yang cocok. Heran deh," keluh pria itu."Bukan pada nggak cocok, tapi Mas itu terlalu gugup. Yang Mas pakai saat ini udah bagus kok, cocok banget. Udah ya, nggak usah diganti lagi," pinta istrinya itu."Tapi aku kurang suka sama warna bajunya.""Terus Mas mau pakai baju yang mana? Biar aku bantu cariin deh," usul wanita itu
Zidan menghela napas berkali-kali. Semenjak mendengar Alden dan Rayna akan menikah, pria itu tampak selalu menyendiri.Katakanlah kalau dia itu memang munafik, jika di depan Alden, pria itu terus ceria, seolah-olah berkata kalau dirinya sudah tak memiliki perasaan apapun lagi dengan Rayna, kenyataannya itu salah besar.Rasanya rumit kalau untuk dijelaskan, tapi ingin berteriak untuk hal yang dirasakan. Dari hati yang paling dalam, ada yang masih mengganjal di hati Zidan, entah itu apa.Kepala Zidan menengadah ke atas seraya memejamkan matanya."Pintu yang tidak dibukakan jangan diketuk lagi, itu namanya nggak sopan, Zidan. Lupakan saja, lupakan. Dia hanya masa lalu kamu, sementara kamu saat ini sudah mempunyai masa depan, yaitu istri kamu. Berhentilah menyakiti diri kamu sendiri dan juga orang yang ada di sampingmu, Zidan," gumam pria itu guna mengingatkan dirinya sendiri."Kenapa nggak masuk, Mas? Udara di luar tampak begitu dingin."Zidan tersentak, dia menoleh ke arah sumber suara
"Aku nggak mau, Alden. Kita nggak perlu rayain pesta yang begitu megah, seadanya aja udah cukup."Alden menggeleng. "Hari pernikahan kita harusnya kita rayakan dengan pesta besar-besaran, Rayna. Ingat, itu pernikahan kita loh, kita harus merayakannya hitung-hitung buat kenangan di hari tua kita kelak," bantah Alden."Kenapa kita harus capek-capek merayakan yang jelas-jelas pernikahan hanya di laksanakan hanya satu hari saja? Harusnya kita memikirkan bagaimana nantinya ketika kita sudah menikah, kita selamanya akan hidup berdua. Harusnya kita memikirkan hal itu, Alden," jelas Rayna."Gini, Sayang. Ya, aku tahu kalau hari pernikahan itu hanya sekali atau sehari, tapi itu, kan, hari yang sakral. Momen di mana tempat kita melepas lajang. Jadi--""Ya udah deh, terserah kamu aja. Aku ngikut aja," sela Rayna cepat."Nah, gitu dong. Wanita lain itu ketika ingin menikah, pasti minta pesta yang besar-besar, tapi kamu ini nggak mau, aneh banget. Aku senang loh kalau kamu minta ini minta itu, per
"Thanks ya, karena kamu akhirnya Rayna mau diajak nikah."Zidan mendengkus pelan. "Cuma gitu aja, cuma bilang makasih aja? Ya kali, kasih hadiah kek, mobil atau apa gitu," cibir pria itu.Alden mendelik kesal. "Dikasih hati malah minta jantung. Kemarin pas kamu nikah, aku udah kasih kamu mobil ya, kira-kira dong kalau minta.""Halah! Kamu kasih hadiah mobil juga bukan karena hadiah pernikahanku, tapi karena aku berhasil suruh Rayna datang," kata Zidan tak terima.Alden tertawa keras. "Nah, anggap aja itu sama.""Nggak bisa gitu. Harusnya kamu kasih aku hadiah dobel. Hadiah karena berhasil membuat Rayna datang ke sini, hadiah untuk hari pernikahanku, dan yang terakhir, hadiah karena aku udah berhasil bujuk Rayna mau nikah sama kamu. Sekarang mana dong hadiahnya?" pinta Zidan sambil memberi kode ke arah Alden menggunakan tangannya."Nanti aku pikirin, kalau aku udah nikah sama Rayna. Sial! Harusnya aku yang dikasih hadiah, kenapa jadi aku yang kasih hadiah?" tanya pria itu seraya meliri
Setelah berbicara dengan Zidan, akhirnya pikiran Rayna pun mulai terbuka. Dia akan membuka hatinya untuk Alden walau hanya sedikit demi sedikit."Zidan nggak ngomong macam-macam, kan, sama kamu?" tanya Alden memastika.Rayna menggeleng. "Harusnya kamu bersyukur karena mempunyai teman sebaik dia."Alden mendengkus pelan. "Apa nih maksudnya? Kok tiba-tiba bicara kayak gitu?""Aku udah tahu semuanya kok. Tadi Zidan yang cerita sama aku, kalau selama ini kamu yang nyuruh Zidan buat ketemu sama aku. Padahal diam-diam kamu ngelihat aku dari kejauhan, kan?"Alden menghela napas berat. 'Sial! Kenapa tuh orang mulutnya bocor banget,' gerutu Alden dalam hati."Kenapa harus Zidan yang kamu suruh terus? Kasihan loh dia.""Kalau aku langsung temuin kamu, yang ada kamu langsung kabur. Makanya aku diam-diam perhatikan kamu dari kejauhan. Aku selalu mencari momen yang pas, agar kita bisa ketemu, tanpa ada paksaan sedikit pun. Dan menurutku waktu pernikahan Zidan memang momen yang begitu pas. Lagian Z
"Aku mau ketemu sama Rayna sebentar saja.""Nggak boleh!" tolak Alden mentah-mentah.Zidan mendengkus keras. "Kamu ini kenapa? Kok mendadak jadi posesif begini?" tanya pria itu ketus."Gimana nggak posesif coba, Rayna aja baru aku temuin, kalau nggak kayak gitu nanti dia hilang lagi, pergi lagi," gerutu Alden."Ya tapi jangan dikurung juga kali, kasihan dia. Bukannya dia jatuh cinta sama kamu, yang ada malah dia jadi ilfil ngelihat tingkah kamu kayak gini. Lagian aku mau ketemu sama Rayna, aku mau ngomong serius sama dia."Alden berdecih pelan. "Nah, yang mau diomongin itu kira-kira apa. Kamu beneran mau jadikan Rayna istri kedua? Yang benar saja?""Hahahaha, masih aja dipikirin. Ya nggak lah, aku cuma mau yakinin dia aja kalau kamu itu serius sama dia. Kalau lihat pergerakan kamu yang kayak gini aja, mana mungkin Rayna luluh sama kamu. Pikiran kamu aja di ranjang melulu, coba sekali-kali kamu ajak dia itu bicara serius, dari hati ke hati, biar hasilnya tuh maksimal."Alden mengusap w
"Kamu udah ketemu sama Rayna?"Alden mendengkus keras karena mendapat pertanyaan dari temannya itu, Zidan."Omong kosong macam apa itu? Bukannya kamu udah lihat sendiri waktu di acara pernikahanmu?" tanya pria itu sinis.Zidan tergelak kencang. "Yaelah, basa-basi doang aja kok. Terus sekarang Rayna ke mana ya? Kok aku hubungi nomornya nggak aktif-aktif?"Alden memicingkan kedua matanya, menatap temannya itu dengan curiga. "Kamu coba hubungi Rayna? Untuk apa? Kamu lupa kalau kamu itu udah nikah?" tanya Alden dengan tatapan tajam."Apaan, cuma mau tahu kabarnya aja. Waktu itu, kan, dia kamu bawa pergi entah ke mana. Makanya aku sedikit was-was, nggak usah mikir aneh gitu lah, lagian aku juga tahu batasan.""Aneh aja gitu loh, jangan-jangan kamu masih naruh perasaan lagi sama dia?" tebak Alden."Sembarangan, pikiranmu itu loh ke mana, Den. Mana mungkin aku seperti itu, kasihan sama istriku," dengkus Zidan."Siapa tahu aja, kan?""Nggak ada. Jadi waktu itu kamu bawa Rayna ke mana?" tanya
Rayna berdecak kesal karena dikurung oleh Alden di dalam kamar. Wanita itu benar-benar bingung dengan apa yang terjadi, seingatnya ketika mereka habis bercinta, Rayna langsung tidur karena benar-benar kelelahan.Ya, Rayna dan Alden kembali mengulang kejadian waktu itu di tempat yang sama. Namun kali ini Aldenlah yang begitu bersemangat. Rayna meringis pelan ketika melihat Alden meminum obat kuat, entah dari mana asalnya pria itu bisa berpikir seperti itu, yang jelas Alden berkata jika pria itu akan membuat Rayna hamil.Mereka bercinta berkali-kali, sampai Rayna lemas dengan tenaga Alden yang tak kunjung reda, sialnya stamina pria itu malah semakin kuat. Kalau saja Rayna tak mengeluh lelah, sudah pasti Alden akan menyetubuhinya hingga pagi.Beruntungnya Alden mempunyai rasa kasihan pada Rayna, jelas saja membuat wanita itu bernapas lega. Rayna memutuskan untuk beristirahat, setelah itu akan pulang, sayangnya itu hanya rencana wanita itu saja. Ketika wanita itu membuka mata, dia sudah b