"Berdandanlah yang cantik, Aralena. Aku menggunakan kartu terakhirku untuk memintamu menemaniku jalan-jalan."Lena menatap Oliver sejenak, sebelum kemudian menghela napas berat. "Baiklah," ucapnya terpaksa.Dengan malas, dia pergi menuju lemari, mengambil dress lalu terdiam dan menoleh terlebih dahulu untuk sekadar mendapati Oliver yang masih duduk di tepian tempat tidur."Apa lagi yang kau tunggu? Keluarlah. Aku akan berganti pakaian.""Lakukan saja aktivitasmu dengan tenang, Lena. Aku hanya menunggumu.""Yang benar saja Oliver, apa kau secabul itu sampai-sampai ingin melihat wanita sedang berganti pakaian?" gerutu Lena.Namun, Oliver tetap tak bergeming dari tempatnya duduk dan dengan santainya mengangkat bahu."Itu bukan hal besar. Toh aku sudah melihat tiap inci dari dirimu," ujarnya ringan. Tanpa sekalipun menyadari kalau ucapannya itu benar-benar membuat sekujur tubuh Lena merinding."Kau pria paling cabul yang pernah kutemui," hardik Lena seraya bergidik ngeri. Pada akhirnya, s
"Apa kau juga menyewa restoran mewah ini?" tanya Lena sesaat setelah dirinya dan Oliver yang mendapatkan pelayanan khusus dari penjaga pintu juga pelayan di restoran bergaya eropa ini."Aku pikir kau sudah mengertahui jawabannya," sahut Oliver tenang. Dia dengan penuh perhatian memberikantempat duduk pada Lena dan setelah memastikannya duduk dengan nyaman, Oliver pun baru mengambil posisi duduk di kursinya.Tak ada orang lain selain mereka berdua di dalam restoran itu. Namun, karena sudah tahu betul apa yang terjadi, Lena tak ingin bertanya-tanya lagi tentang situasi seperti ini.Selang beberapa lama, seorang pelayan menanyakan hidangan pembuka dan hidangan utama yang akan dipesan dan berlalu pergi setelah menuliskannya."Apa kau menyukai tempat ini?" tanya Oliver memastikan."Apa teman wanitamu juga yang memesan tempat ini untukmu?" sahut Lena balik bertanya. Dengan bosan, dia memainkan gelas winenya, membuat cairan merah di dalam gelasnya itu terus membuat gelombang kecil."Tidak. A
Semalaman suntuk, Lena tak bisa tidur. Dia hanya berguling ke sana kemari di atas pembaringannya karena sama sekali tak menemukan posisi yang nyaman untuk tidur. Bukan tanpa sebab, tapi kegelisahan Lena ini disebabkan karena dirinya yang masih saja terngiang-ngiang ucapan Oliver beberapa jam yang lalu saat mereka berdua sedang berada di dalam Yacht."Dia selama ini melakukan banyak pekerjaan kasar, apa itu alasannya dia terkadang dalam waktu lama tak pernah terlihat di rumah orang tua Vincent?" gumam Lena berbicara sendiri. Pikirannya melayang jauh ke hari di mana Vincent bercerita padanya tentang bagaimana Oliver yang tetap membebani keluarganya, terutama sang ibu, sampai kedua orang tuanya itu meninggal karena kecelakaan yang menimpa keduanya. "Lantas mengapa hal yang diceritakan oleh Oliver sangat berbeda dengan apa yang diceritakan oleh Vincent? Apa sebenarnya tadi itu Oliver mengatakan cerita bohong?"Pada akhirnya, setelah terlalu banyak berpikir, Lena jadi semakin frustrasi. Di
Hari ke 14 ....Lena mengepak beberapa helai pakaian miliknya kedalam koper dan membiarkan pakaian yang masih baru dan belum pernah dipakainya itu berada di dalam lemari. "Vincent, aku akan pulang dalam 2 hari lagi. Kuharap kau bisa bersabar sampai hari itu tiba," gumam Lena penuh harap ke arah koper yang ditutupnya itu. Kemudian dia meraih tas tangannya, mengambil selembar tiket pesawat yang dipesannya secara daring itu, lalu dia pun memeluknya erat-erat.Perasaan di hatinya terasa meletup-letup. Dia berharap bisa segera pulang dan segera memeluk Vincent erat-erat. Banyangan tentang momen-momen manis yang bisa dilakukannya bersama Vincent, membuat Lena dipenuhi perasaan rindu yang begitu besar."Sepertinya aku harus mengatakan rencana kepergianku hari ini agar Oliver bisa bersiap-siap dan bisa dengan tenang membiarkanku pergi. Toh untuk bisa pulang, aku tetap membutuhkannya untuk mengantarku sampai ke bandara."Tanpa menunggu
"Aku tahu kau belum mencintaiku. Aku juga tahu kalau hatimu masih dan akan selalu jadi milik Vincent. Namun, meskipun kau belum mencintaiku. Jangan pernah lupakan aku. Tolong selalu ingat aku walaupun dalam bentuk kebencianmu.""Aku harus segera pergi." Lena mengurai pelukannya dan langsung berjalan mundur untuk menjauhkan diri dari Oliver.Secepat kilat dia berbalik dan melangkah pergi menuju ruang tunggu keberangkatan.Namun, belum sampai dia menaiki eskalator, tiba-tiba saja tubuhnya limbung, kehilangan keseimbangan dan langsung jatuh berbaring di lantai. Dalam sisa sisa kesadarannya dia melihat petugas bandara juga Oliver datang menghampirinya."Lena, apa yang terjadi!" pekik Oliver yang dengan paniknya segera merengkuh tubuh lunglai Lena.Beberapa kali dia menepuk pipi Lena untuk menyadarkannya dan berulang kali pula dia memanggil nama istrinya itu. Namun, nihil, Lena tak kunjung membuka matanya. Hal itu semakin menambah kepanikan Oliver."Siapapun tolong pangil ambulan sekarang
Dalam hening ruangan rawat inapnya, Lena tenggelam dalam keputusasaan menghadapi kehamilan yang dinyatakan telah mencapai usia 8 minggu. Pertanyaan yang tak kunjung usai menghantuinya, "Kenapa keadaan ini bisa terjadi padahal aku sudah sanvat berhati-hati dalam mengatur jadwal kesuburan dan waktu tidur bersama Oliver."Air mata Lena mengalir tanpa henti, melambangkan benih kebencian yang tumbuh di dalam hatinya untuk Oliver. Padahal sudah susah payah dia menekan kebenciannya pada pria itu karena dia ingin pulang tenang, tapi kejadian ini membuatnya benar-benar terpukul."Aku tak pernah menginginkan bayi ini," gumam Lena nelangsa.Dengan wajah yang berurai air mata, Lena menatap nanar langit-langit kamarnya ini. Rasanya seperti terkena petir di siang bolong, Lena tak pernah menyangka kalau dirinya akan mengandung darah daging Oliver."Sudah 8 minggu lamanya dia tumbuh, kenapa selama ini aku tak menyadarinya. Padahal aku benar-benar sudah sangat berhati-hati," dengan kasar, Lena menyeka
"Dokter berkata kalau hari ini kau sudah bisa pulang, sebelum itu, apa kau mau mandi dulu?" tanya Oliver penuh perhatian disela-sela kegiatannya mengepak semua pakaian ganti dan beberapa perlengkapan yang Lena pakai selama di rumah sakit itu ke dalam travel bag dari luxury brand.Namun, Lena tak langsung menjawab. Sedari tadi dia hanya melamun menatap langit-langit kamar VVIP yang jadi ruangan rawatnya selama beberapa hari ini, sampai akhirnya dia pun menghela napas berat dan perlahan menoleh pada Oliver yang sudah menunggu jawabannya."Tidak perlu. Aku bisa mandi sendiri," jawabnya dingin. Tanpa kata, Lena beringsut turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi sembari mendorong tiang infusnya. Dia pergi dengan sikap yang masih mengibbarkan bendera perang dinginnya pada Oliver, dan Oliver yang menyadari hal itu pun hanya bisa tersenyum maklum.Suara berisik dari dalam kamar mandi membuat Oliver mengambil langkah lebar menyusul Lena dan langsung membuka pintu kamar mandi
"Apa kau sudah merasa lebih baik?" tanya Oliver seraya memijat tengkuk Lena menggunakan minyak aroma terapi. Lena enggan menjawab. Dia tak ingin mengakui bahwa sikap perhatian Oliver yang memijat tengkuknya tiap selesai muntah adalah hal yang paling membuat kondisi tubuhnya terasa lebih nyaman dari sebelumnya."Padahal sebelum tahu kalau aku sedang hamil, aku tak pernah sekalipun merasa mual yang parah seperti yang biasa dialami oleh perempuan lain di awal kehamilan mereka. Namun, mengapa setelah mengetahui bahwa usia kehamilan sudah 8 minggu, tiba-tiba saja aku merasakan mual dan muntah-muntah yang parah setiap harinya. Ini aneh dan menyebalkan," keluh Lena seraya menyeka air matanya dengan kesal.Dia tak menangis, hanya saja saking seringnya dia muntah, sampai tanpa sadar air mata pun keluar. Sudah tak bisa dia bayangkan lagi bagaimana perasaan dan juga tubuhnya sekarang, sehingga dia tak bisa menahan diri untuk mengeluh."Jangan berbicara buruk, Lena. Bayi di dalam kandunganmu bis
Kali pertama dalam hidupnya, Vincent baru merasakan kalau melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak ternyata begitu membahagiakan setelah ia bebas dari penjara. Dulu, sebelum hidupnya jungkir balik seperti sekarang, Vincent tidak pernah merasa bersyukur pada hal sekecil apa pun yang ia dapatkan. Fokus Vincent pada hal besar serta hal-hal yang belum ia dapatkan sehingga ia melupakan hal yang sudah ia punya dan raih selama ini. “Udara pagi ini terasa begitu segar. Tidak pernah kudengar kicauan burung semerdu ini.” Vincent berkata pada dirinya sendiri sembari tersenyum kecut. Hari-hari yang ia lewati sebelum hari ini adalah hari penyiksaan. Hidup di penjara bagaikan neraka. Hanya jeruji besi, atap, baju dan selimut tipis yang menemani Vincent selama di penjara. Hidup Vincent di penjara tidak pernah menyenangkan. Ia dipaksa oleh keadaan untuk menyesuaikan diri. Mengerjakan pekerjaan kasar yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Menyapu, mencuci, membersihkan
"Sayang, apa kamu sudah siap?" teriak Esme dari dapur. Wanita itu tampak sibuk menata bekal untuk anak-anaknya dan juga untuk Sebastian tentunya. Karena tidak mendengar jawaban apa pun, Esme menjeda terlebih dahulu kegiatannya dan berjalan untuk masuk ke kamar putrinya. Dia takut kalau ada yang perlu dibutuhkan oleh putrinya. "Kamu perlu bantuan?" tanya Esme saat baru membuka pintu kamar putrinya. Gisel, gadis berusia sembilan tahun itu masih berdiri di depan cermin dengan seragam sekolahnya itu tersenyum manis. "Sebenarnya aku ingin bersiap sendiri tanpa bantuan Mama, tapi sepertinya aku tetap ingin dibantu. Lihat, terlihat masih belum rapi, kan?" tanya Gisel sambil melihat seragamnya yang kusut. Esme tersenyum, lalu mendekati putrinya itu. Dengan cekatan dia membantu merapikan seragam yang sudah dipakai Gisel agar terlihat lebih rapi. "Anak gadis Mama rupanya ingin belajar lebih mandiri, ya. Seragamnya sudah cukup rapi, Mama hanya perlu membenarkan sedikit saja," tuturnya. Gi
"Sayang!" Lena berseru saat keluar kamar menuju ruang tamu, membawa perutnya yang kini sudah sebesar semangka lalu duduk di samping Oliver. "Apa, Sayang?" tanya Oliver tanpa menghentikan gerakan tangannya menggulir tab. Kurang dari lima belas menit lagi dia harus berangkat ke kantor, tetapi sampai sekarang masih sibuk mengurusi materi meeting siang nanti. "Lihat ini dulu sebentar." Lena menyodorkan ponselnya hingga menutupi layar tab. Membuat si empunya menghela napas pasrah dan terpaksa menekan tombol home. Pada layar ponsel Lena, terpampang gambar sebuah taman bunga. Sebagian besar isinya diisi oleh bunga mawar, sedangkan yang lain Oliver tidak paham. Lelaki itu mengangkat sebelah alis sembari bertanya, "kamu mau ke situ? Memang itu di mana? Dalam negeri atau luar negeri? Nanti kita ke situ setelah kamu melahirkan dan anak kita cukup besar." "Aku maunya lihat sekarang!" Lena cemberut dan langsung membelakangi tubuh Oliver. "Iya, tapi ...." Belum sempat Oliver menyelesa
Pagi ini kediaman Oliver lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang berlalu lalang untuk mempersiapkan acara tujuh bulanan Lena yang akan dilaksanakan sore nanti. Oliver mempersiapkan acara ini dengan sangat matang. Dia menyewa vendor terbaik untuk membantu terselenggaranya acara. Ruang keluarga yang luas disulap dengan dekorasi cantik yang penuh dengan bunga karena Lena menyukai itu. Oliver sengaja memesan semua bunga segar. Ada mawar, tulip, lili, ester hingga bunga matahari. Semua itu ditata dengan begitu apik. Membuat acara perayaan kehamilan Lena yang sudah memasuki usia tujuh bulan itu semakin terasa meriah. Di sisi kiri dan kanan ruangan juga ditata dengan meja yang sudah dihias. Nantinya meja tersebut akan diisi dengan aneka minuman, dessert serta hidangan utama. Tentu saja Oliver memesan semua hidangan terbaik dan memanjakan lidah. Awalnya Lena menginginkan acara digelar di halaman belakang tetapi Oliver tidak setuju mengingat cuaca sekarang yang tidak menentu.
Mobil Sebastian sudah berhenti di depan rumah Oliver, pria itu turun dari mobil dan menekan bel. Suasana rumah masih terlihat sepi, sepertinya dia datang terlalu pagi, tapi jika dia tidak datang pagi-pagi takutnya Matthew nanti merepotkan.Setelah menekan bel dua kali, akhirnya Oliver sendiri yang membukakan pintu. Dari wajahnya, Oliver baru bangun tidur."Oh, kamu rupanya. Aku kira siapa," ucap Oliver dengan suara serak lhas orang baru bangun tidur."Maaf aku datang pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menjemput Matthew kemarin malam, tapi aku pulang terlalu larut. Jadi kupikir lebih baik aku menjemput pagi ini saja agar tidak mengganggu kalian." Sebastian merasa tidak enak.Oliver tersenyum. "Tidak masalah. Ayo masuk."Lena juga baru saja beranjak dari sofa, wanita itu menggulung rambutnya agar lebih rapi. "Kamu datang pagi sekali, Matthew masih di kamar dan sepertinya dia belum bangun," ucapnya."Aku akan menggendongnya saja, tid
Malam ini Matthew tidur di tengah-tengah Oliver dan Lena sebab Sebastian dan Esme mengatakan akan menghabiskan waktu berdua saja di hotel sebagai perayaan. Tentu saja keputusan itu disambut baik dengan mereka berdua karena Oliver sudah menganggap Matthew sebagai putranya sendiri. "Apa kau senang bisa tidur bersama kami?" tanya Oliver. "Tentu saja aku sangat senang sekali!" jawab Matthew antusias. "Baguslah. Kau memang anak pintar," puji Oliver sembari mengusap lembut kepala Matthew. Di sisi lain, Lena senyum-senyum sendiri sambil menatap ke arah suaminya dan Matthew secara bergantian. Sepertinya Lena sangat bahagia dengan situasi sekarang ini. Siapa sangka sikapnya tersebut ternyata disadari oleh Oliver. "Sepertinya ada yang senang juga di sini selain Matthew," celetuk Oliver. Lena sedikit terkejut ketika Oliver menegurnya. Namun, ia tak dapat menyangkal jika ia memang sangat senang.
Puas mengobrol sekaligus menemani istri tuan rumah, Sebastian mengajak Esme pulang. Karena Lena masih belum pulih, Oliverlah yang kebagian mengantar tamunya hingga ke depan pintu.Esme menggandeng tangan Matthew di depan sedangkan Sebastian dan Oliver berjalan di belakang. Kedua lelaki berbeda usia itu kembali membahas mengenai rencana Sebastian melamar."Apa kamu sudah melamar Esme secara resmi? Atau baru sebatas obrolan biasa?" tanya Oliver."Aku belum melamarnya secara resmi. Baru mengutarakan niat kemarin saat kami berbaikan," sahut Sebastian. it"Ah, seperti itu. Tidak apa-apa, itu pun sudah menjadi langkah awal yang bagus. Setidaknya, Esme jadi tahu kalau kamu serius dengan hubungan kalian."Oliver menepuk pundak Sebastian. Memuji keberanian lelaki itu."Aku selalu serius dengan Esme. Walaupun kami beberapa kali bertengkar, tetapi aku tidak pernah memiliki niat meninggalkan."Tatapan mata Sebastian fokus pada dua o
Begitu mendengar kabar bahwa Lena telah diperbolehkan pulang oleh dokter, Esme langsung berinisiatif untuk pergi ke rumah wanita itu dan menolongnya beberes. Esme yakin walaupun di rumah nanti Lena akan banyak dibantu oleh pembantunya, tapi tetap saja dia pasti membutuhkan support system dari sahabatnya. Esme ke sana tentu saja tidak seorang diri. Matthew dan Sebastian juga ikut menemani. Sejak meminta maaf kepada Sebastian atas kesalahannya tempo hari, dada dan pundak Esme terasa lebih ringan, seolah beban berat yang ia pikul selama ini menghilang dalam sekejap. Apalagi setelah Sebastian mengutarakan niatnya kepada Esme untuk mengikat hubungan mereka ke jenjang pernikahan, hidup Esme terasa berubah. Ia jauh lebih bahagia, tenang dan selalu tersenyum. Yang paling bahagia tentu saja Matthew. Meskipun mereka belum bilang secara langsung kepada bocah tujuh tahun itu, tapi dengan kehadiran Sebastian yang lebih sering dari sebel
Setelah lama di rumah sakit, Lena akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Oliver sengaja menyewa banyak pengawal tambahan untuk mengawal kepulangannya dan Lena. Istrinya itu sampai terheran melihat semua pengawalnya."Kenapa kamu sampai menyewa banyak sekali pengawal?" tanya Lena saat sudah berada di dalam mobil dan melihat mobilnya dikelilingi.Oliver menggenggam tangan Lena dengan lembut. "Aku melakukan itu untuk keselamatanmu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu lagi.""Tapi bukankah ini terlalu berlebihan?""Tidak, ini semua normal."Lena tidak bisa membantah lagi, jika Oliver sudah melakukan sesuatu tidak ada gunanya berdebat lagi. Toh juga ini semua juga untuk keselamatannya dan juga calon bayinya.Setelah perjalanan beberapa menit dari rumah sakit, akhirnya rombongan mobil sampai juga di kediaman Oliver, saking banyaknya seperti ada iring-iringan.Tidak kalah banyak pengawal saat perjalanan, di rumah pun Oliver me