"Kuharap kau bisa mewujudkan mimpi itu untuknya, Lena."Lena butuh beberapa waktu untuk bisa menelaah ucapan Esme, sampai akhirnya dia pun meringis sendiri. Sebab, bagaimana pun juga Lena merasa itu hal yang sangat mustahil."Mewujudkan mimpi Oliver itu seperti hal yang mustahil, nona Esme. Aku tak berniat sejauh itu. Mungkin dikemudian hari hal itu bisa diwujudkan dengan perempuan yang bukan aku orangnya. Kau sepertinya salah paham, aku tak akan lama bersama dengan Oliver. Kami akan berpisah dalam waktu dekat," ujar Lena penuh tekad.Bukan tanpa alasan. Tapi, Lena merasa kalau dengan melakukan strategi dimana Oliver harus membayar dalam nominal tertentu untuk jasa yang dia inginkan darinya, Lena pikir dia akan segera mencapai tujuannya untuk punya uang yang cukup agar dia bisa membeli tiket dan kabur dari pria itu. Setidaknya, Lena ingin melunasi uang yang telah Oliver berikan pada Vincent agar dia bisa terbebas dari belenggu pria itu.Esme mena
"Selama aku berada di sini, bukankah inu pertama kalinya kau membantuku mandi bahkan memberikanku aroma terapi yang berbeda dari yang disimpan di kamar mandi ini? Aroma terapinya lebih harum," tanya Lena yang berendam di dalam bathub berisi air hangat yabg harun oleh aroma terapi yang menenangkan, sembari menikmati pijatan yang diberikan maid itu pada pundaknya."Tuan Eduardo yang meminta saya memberikan aroma terapi khusus itu untuk anda."Lena menaikan sebelah alisnya. "Dia memberiku aroma terapi khusus? Untuk alasan apa?" lanjut Lena bertanya. Kini dia mendadak merasa risau karena takut Oliver merencanakan hal jahat untuknya melalui aroma terapi itu."Alasannya karena tuan Oliver merasa kalau nona sedang kelelahan, maka dari itu beliau meminta saya memberikan aroma terapi dan membantu anda mandi untuk sedikit meringankan rasa lelah anda," jawab maid itu kembali memberikan penjelasan.Lena menghembuskan napas lega setelah mendengar hal itu, tapi kemudian tertegun untuk beberapa saat
Tak henti-hentinya Oliver mengulas senyum di wajahnya, sekalipun senyuman itu hanyalah senyuman lemah karena dia yang kehilangan tenaga karena tubuhnya yang roboh terserang demam.Dengan langkah kaki yang lambat dan sesekali terhuyung karena rasa pening yang mendera kepalanya, Oliver tetap mengikuti langkah Lena dari belakang dengan begitu senang hati."Ternyata aku tak bisa berlama-lama marah padamu, Lena. Mendengar kau yang begitu perhatian padaku, membuat amarahku tiba-tiba menguap begitu saja," ujar Oliver senang. Walaupun sesekali terbatuk."Kau terlalu percaya diri. Siapa yang kau pikir sedang memberikan perhatian padamu? Aku tak melakukan hal itu. Jangan salah paham, pak tua. Aku memintamu tidur di satu ranjang yang sama denganku bukan berarti aku menaruh perhatian padamu," tegas Lena.Namun, apa pedulinya Oliver. Entah Lena menampik hal itu sampai seribu kali pun Oliver tak akan mengubah anggapannya kalau sikap Lena yang mulai baik padanya ini adalah bentuk perhatian untuknya.
"Kau bisa mewujudkan mimpi besarmu itu dengan perempuan lain yang juga akan mencintaimu. Sebab, sangat tidak mungkin kau punya keluarga bahagia denganku karena aku tak mencintaimu dan tak akan pernah mencintaimu, pak tua," tegas Aleah.Oliver terdiam. Napasnya terdengar menderu karena demam juga rasa linu pada setiap persendian yang membuat tubuhnya menggigil."Apa kau akan benar-benar meninggalkan aku?" gumam Oliver dengan kedua kelopak matanya yang perlahan terpejam. Dia mulai merasa ngantuk, terlebih peluk hangat Lena benar-benar menenangkannya seperti sebuah nyanyian pengantar tidur yang membuat Oliver merasa seperti sedang dalam buaian.Lena mengangguk. "Iya, aku akan meninggalkanmu sesegera mungkin. Jadi lekaslah sembuh, beri aku uang sebanyak-banyak agar aku bisa melunasi uang satu juta dolar yang kau berikan pada Vincent. Ini kali pertama aku bisa berbicara setenang ini padamu karena kau sedang sakit."Oliver diam. Kedua matanya sudzmah terpejam rapat, diiringi dengan napas t
"Bangunlah. Kau harus makan," ujar Lena sembari dengan lembut membangunkan Oliver, walaupun ucapannya justru cukup kasar.Lagi-lagi hati Lena berdesir tak nyaman saat melihat ketidak berdayaan Oliver, terlebih saat ini kedua mata pria itu yang biasanya selalu berbinar indah dan penuh semangat, justru kini menatapnya dengan tatapan sayu. Kedua mata indah pria itu kehilangan binarnya.Apa dia akan meninggal?. Batin Lena sedikit ketakutan."Aku belum punya selera untuk makan. Lidahku masih terasa pahit...." Oliver berucap dengan suara yang terengah-engah. Seolah-olah untuk mengucapkan satu kalimat saja Oliver sudah merasa sangat kelelahan."Tapi kau harus makan. Abaikan rasa pahitnya dan makan saja. Lagipula maid yang kau pekerjakan itu membuat seduhan teh lemon hangat, itu pasti akan sedikit membuatmu segar. Bangunlah...."Oliver butuh beberapa kali mengerjapkan matanya untuk benar-benar bisa berada dalam kesadaran penuh setelah dipaksa bangun dari tidur lelapnya.Tanpa kata, Oliver pun
Oliver menepati janjinya untuk tidur di sayap kiri bangunan mansion ini lebih tepatnya di ruang kerjanya. Pria itu membeli single bed dan menaruhnya di sebuah ruang kosong yang tersedia di ruang kerjanya itu."Apa dia belum juga sembuh?" tanya Lena pada Maid yang baru saja kembali dari memberikan obat juga sarapan untuk Oliver."Iya, nona Blade. Tuan Oliver masih belum bisa beranjak dari tempat tidurnya.""Apa dia makan makanannya dan minum obatnya dengan benar?""Beliau hanya makan 3 suap saja," ujar maid itu seraya menunjukan semangkuk bubur yang benar-benar hanya berkurang sedikit.Lena pun hanya bisa menghela napas berat. Kemudian tanpa kata, Lena pun mengambil langkah lebar menuju sayap kiri dari mantion ini. Dia berniat menemui Oliver dan memarahi pria itu karena terlalu berleha-leha dengan sekitnya."Apa ada orang yang terkena flu sampai terbaring selama ini? Dia terlalu menyebalkan," gerutunya. "Dia benar-benar tak bisa dibiarkan."Dengan kesal Lena mengetuk pintu ruang kerja O
"Apa kau merasa panik terhadap kondisiku, Lena?" tanya Oliver dalam perjalanan mereka menuju rumah sakit."Kau terlalu banyak bicara, Oliver. Diamlah," tegur Lena tajam."Rupanya kau benar-benar panik pada kondisiku. Ini menyenangkan. Haruskah aku terbaring sakit agar bisa mendapat semua perhatianmu?" Lena tak menjawab. Dia memilih untuk tetap menatap lurus ke depan tanpa bisa menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya. Sementara dirinya tetap membiarkan Oliver berbaring di pahanya."Jika aku mati datanglah ke pemakamanku dan tolong menangislah untukku, Lena. Agar setidaknya aku tak mati kesepian karena tak punya satu pun keluarga.""Kau tak akan mati hanya karena mimisan, Oliver. Pria sepertimu aku yakin akan berumur panjang.""Begitukah?" Oliver terkekeh lemah. "Tapi untuk apa berumur panjang jika aku hanya merasa kesepian. Rasanya hampa dan tak punya arah. Namun, setelah kau tinggal bersamaku, aku jadi punya tujuan untuk pulang lebih cepat. Ah, andai saja kita berada dalam pernikahan
Hari minggu pagi jadi hari kepulangan Oliver dari rumah sakit. Dengan perasaan lelah Lena menggandeng tangan Oliver dan membantu pria itu masuk ke dalam kamar utama, lalu dengan perlahan membantu Oliver duduk di sofa.Untuk saat ini Lena bahkan mulai bingung mengartikan kebenciannya pada Oliver. Bisa-bisanya situasi mendadak bias. Lena tak bisa mengindentifikasi apakah rasa sesak di dada adalah bentuk kebenciannya pada Oliver atau bukan karena anehnya selama berhari-hari dia begitu tenangnya mengurus Oliver selama di rumah sakit, tanpa rasa marah ataupun jengkel."Jangan pergi," pinta Oliver seraya menahan tangan Lena agar tak meninggalkannya."Aku hanya ingin pergi ke kamar mandi.""Kemari, duduklah di sampingku." Oliver menepuk sisi kosong di sampingnya.Dengan berat hati Lena pun duduk di samping pria itu dengan posisi yang saling berhadapan."Ada apa?" tanya Lena sedikit ketus.Oliver tak menjawab. Sebaliknya, di detik berikutnya tanpa aba-aba dan dalam waktu sepersekian detik Oli
Kali pertama dalam hidupnya, Vincent baru merasakan kalau melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak ternyata begitu membahagiakan setelah ia bebas dari penjara. Dulu, sebelum hidupnya jungkir balik seperti sekarang, Vincent tidak pernah merasa bersyukur pada hal sekecil apa pun yang ia dapatkan. Fokus Vincent pada hal besar serta hal-hal yang belum ia dapatkan sehingga ia melupakan hal yang sudah ia punya dan raih selama ini. “Udara pagi ini terasa begitu segar. Tidak pernah kudengar kicauan burung semerdu ini.” Vincent berkata pada dirinya sendiri sembari tersenyum kecut. Hari-hari yang ia lewati sebelum hari ini adalah hari penyiksaan. Hidup di penjara bagaikan neraka. Hanya jeruji besi, atap, baju dan selimut tipis yang menemani Vincent selama di penjara. Hidup Vincent di penjara tidak pernah menyenangkan. Ia dipaksa oleh keadaan untuk menyesuaikan diri. Mengerjakan pekerjaan kasar yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Menyapu, mencuci, membersihkan
"Sayang, apa kamu sudah siap?" teriak Esme dari dapur. Wanita itu tampak sibuk menata bekal untuk anak-anaknya dan juga untuk Sebastian tentunya. Karena tidak mendengar jawaban apa pun, Esme menjeda terlebih dahulu kegiatannya dan berjalan untuk masuk ke kamar putrinya. Dia takut kalau ada yang perlu dibutuhkan oleh putrinya. "Kamu perlu bantuan?" tanya Esme saat baru membuka pintu kamar putrinya. Gisel, gadis berusia sembilan tahun itu masih berdiri di depan cermin dengan seragam sekolahnya itu tersenyum manis. "Sebenarnya aku ingin bersiap sendiri tanpa bantuan Mama, tapi sepertinya aku tetap ingin dibantu. Lihat, terlihat masih belum rapi, kan?" tanya Gisel sambil melihat seragamnya yang kusut. Esme tersenyum, lalu mendekati putrinya itu. Dengan cekatan dia membantu merapikan seragam yang sudah dipakai Gisel agar terlihat lebih rapi. "Anak gadis Mama rupanya ingin belajar lebih mandiri, ya. Seragamnya sudah cukup rapi, Mama hanya perlu membenarkan sedikit saja," tuturnya. Gi
"Sayang!" Lena berseru saat keluar kamar menuju ruang tamu, membawa perutnya yang kini sudah sebesar semangka lalu duduk di samping Oliver. "Apa, Sayang?" tanya Oliver tanpa menghentikan gerakan tangannya menggulir tab. Kurang dari lima belas menit lagi dia harus berangkat ke kantor, tetapi sampai sekarang masih sibuk mengurusi materi meeting siang nanti. "Lihat ini dulu sebentar." Lena menyodorkan ponselnya hingga menutupi layar tab. Membuat si empunya menghela napas pasrah dan terpaksa menekan tombol home. Pada layar ponsel Lena, terpampang gambar sebuah taman bunga. Sebagian besar isinya diisi oleh bunga mawar, sedangkan yang lain Oliver tidak paham. Lelaki itu mengangkat sebelah alis sembari bertanya, "kamu mau ke situ? Memang itu di mana? Dalam negeri atau luar negeri? Nanti kita ke situ setelah kamu melahirkan dan anak kita cukup besar." "Aku maunya lihat sekarang!" Lena cemberut dan langsung membelakangi tubuh Oliver. "Iya, tapi ...." Belum sempat Oliver menyelesa
Pagi ini kediaman Oliver lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang berlalu lalang untuk mempersiapkan acara tujuh bulanan Lena yang akan dilaksanakan sore nanti. Oliver mempersiapkan acara ini dengan sangat matang. Dia menyewa vendor terbaik untuk membantu terselenggaranya acara. Ruang keluarga yang luas disulap dengan dekorasi cantik yang penuh dengan bunga karena Lena menyukai itu. Oliver sengaja memesan semua bunga segar. Ada mawar, tulip, lili, ester hingga bunga matahari. Semua itu ditata dengan begitu apik. Membuat acara perayaan kehamilan Lena yang sudah memasuki usia tujuh bulan itu semakin terasa meriah. Di sisi kiri dan kanan ruangan juga ditata dengan meja yang sudah dihias. Nantinya meja tersebut akan diisi dengan aneka minuman, dessert serta hidangan utama. Tentu saja Oliver memesan semua hidangan terbaik dan memanjakan lidah. Awalnya Lena menginginkan acara digelar di halaman belakang tetapi Oliver tidak setuju mengingat cuaca sekarang yang tidak menentu.
Mobil Sebastian sudah berhenti di depan rumah Oliver, pria itu turun dari mobil dan menekan bel. Suasana rumah masih terlihat sepi, sepertinya dia datang terlalu pagi, tapi jika dia tidak datang pagi-pagi takutnya Matthew nanti merepotkan.Setelah menekan bel dua kali, akhirnya Oliver sendiri yang membukakan pintu. Dari wajahnya, Oliver baru bangun tidur."Oh, kamu rupanya. Aku kira siapa," ucap Oliver dengan suara serak lhas orang baru bangun tidur."Maaf aku datang pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menjemput Matthew kemarin malam, tapi aku pulang terlalu larut. Jadi kupikir lebih baik aku menjemput pagi ini saja agar tidak mengganggu kalian." Sebastian merasa tidak enak.Oliver tersenyum. "Tidak masalah. Ayo masuk."Lena juga baru saja beranjak dari sofa, wanita itu menggulung rambutnya agar lebih rapi. "Kamu datang pagi sekali, Matthew masih di kamar dan sepertinya dia belum bangun," ucapnya."Aku akan menggendongnya saja, tid
Malam ini Matthew tidur di tengah-tengah Oliver dan Lena sebab Sebastian dan Esme mengatakan akan menghabiskan waktu berdua saja di hotel sebagai perayaan. Tentu saja keputusan itu disambut baik dengan mereka berdua karena Oliver sudah menganggap Matthew sebagai putranya sendiri. "Apa kau senang bisa tidur bersama kami?" tanya Oliver. "Tentu saja aku sangat senang sekali!" jawab Matthew antusias. "Baguslah. Kau memang anak pintar," puji Oliver sembari mengusap lembut kepala Matthew. Di sisi lain, Lena senyum-senyum sendiri sambil menatap ke arah suaminya dan Matthew secara bergantian. Sepertinya Lena sangat bahagia dengan situasi sekarang ini. Siapa sangka sikapnya tersebut ternyata disadari oleh Oliver. "Sepertinya ada yang senang juga di sini selain Matthew," celetuk Oliver. Lena sedikit terkejut ketika Oliver menegurnya. Namun, ia tak dapat menyangkal jika ia memang sangat senang.
Puas mengobrol sekaligus menemani istri tuan rumah, Sebastian mengajak Esme pulang. Karena Lena masih belum pulih, Oliverlah yang kebagian mengantar tamunya hingga ke depan pintu.Esme menggandeng tangan Matthew di depan sedangkan Sebastian dan Oliver berjalan di belakang. Kedua lelaki berbeda usia itu kembali membahas mengenai rencana Sebastian melamar."Apa kamu sudah melamar Esme secara resmi? Atau baru sebatas obrolan biasa?" tanya Oliver."Aku belum melamarnya secara resmi. Baru mengutarakan niat kemarin saat kami berbaikan," sahut Sebastian. it"Ah, seperti itu. Tidak apa-apa, itu pun sudah menjadi langkah awal yang bagus. Setidaknya, Esme jadi tahu kalau kamu serius dengan hubungan kalian."Oliver menepuk pundak Sebastian. Memuji keberanian lelaki itu."Aku selalu serius dengan Esme. Walaupun kami beberapa kali bertengkar, tetapi aku tidak pernah memiliki niat meninggalkan."Tatapan mata Sebastian fokus pada dua o
Begitu mendengar kabar bahwa Lena telah diperbolehkan pulang oleh dokter, Esme langsung berinisiatif untuk pergi ke rumah wanita itu dan menolongnya beberes. Esme yakin walaupun di rumah nanti Lena akan banyak dibantu oleh pembantunya, tapi tetap saja dia pasti membutuhkan support system dari sahabatnya. Esme ke sana tentu saja tidak seorang diri. Matthew dan Sebastian juga ikut menemani. Sejak meminta maaf kepada Sebastian atas kesalahannya tempo hari, dada dan pundak Esme terasa lebih ringan, seolah beban berat yang ia pikul selama ini menghilang dalam sekejap. Apalagi setelah Sebastian mengutarakan niatnya kepada Esme untuk mengikat hubungan mereka ke jenjang pernikahan, hidup Esme terasa berubah. Ia jauh lebih bahagia, tenang dan selalu tersenyum. Yang paling bahagia tentu saja Matthew. Meskipun mereka belum bilang secara langsung kepada bocah tujuh tahun itu, tapi dengan kehadiran Sebastian yang lebih sering dari sebel
Setelah lama di rumah sakit, Lena akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Oliver sengaja menyewa banyak pengawal tambahan untuk mengawal kepulangannya dan Lena. Istrinya itu sampai terheran melihat semua pengawalnya."Kenapa kamu sampai menyewa banyak sekali pengawal?" tanya Lena saat sudah berada di dalam mobil dan melihat mobilnya dikelilingi.Oliver menggenggam tangan Lena dengan lembut. "Aku melakukan itu untuk keselamatanmu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu lagi.""Tapi bukankah ini terlalu berlebihan?""Tidak, ini semua normal."Lena tidak bisa membantah lagi, jika Oliver sudah melakukan sesuatu tidak ada gunanya berdebat lagi. Toh juga ini semua juga untuk keselamatannya dan juga calon bayinya.Setelah perjalanan beberapa menit dari rumah sakit, akhirnya rombongan mobil sampai juga di kediaman Oliver, saking banyaknya seperti ada iring-iringan.Tidak kalah banyak pengawal saat perjalanan, di rumah pun Oliver me