Swastamita kali ini mendung. Gumpalan kapas kelabu menghiasi angkasa. Namun, sebelum seluruh bagiannya tenggelam, matahari sekuat tenaga menyisakan sorot kemerahan di langit barat. Setidaknya, ada yang memanjakan mata jika nantinya hujan datang. Ternyata tak semua insan menikmati panorama tersebut. Seperti lelaki di atas motor itu misal. Pandangannya hanya tertuju pada gerbang yang tak jauh dari tempatnya. Dengan posisi duduk sambil bersedekap, Juna berulang kali memanjangkan leher guna memeriksa kondisi di sekitar bangunan FIB. Tentu ada sesuatu yang ia cari. Beberapa saat kemudian banyak mahasiswa keluar dari kelas. Salah satu di antara mereka ada yang berlari kecil keluar gerbang dan mendekati Juna di bawah pohon rindang. Si adam pun seketika meninggalkan Redeu. "Kamu nggak apa-apa, kan?"Kalimat interogatif itu merupakan ucapan pertama yang keluar dari mulut Juna ketika bertemu pacarnya. Ia memandang puncak kepala hingga ujung kaki berbalut flat shoes itu. Bahkan Juna menangkup
Lembayung senja lenyap dibalut petang. Sang surya beranjak tidur, sedangkan putri malam bangkit untuk bersolek di antara kerlip bintang. Bulat penuh, pancaran sinar itu pun membantu bohlam menerangi jalanan. Satu bangunan di belakang minimarket itu juga memerlukan penerang kala para penghuni singgah sejemang. Selain lampu panjang putih terang, ada pula neon-neon di sudut ruang. Dominan magenta dan tergeletak begitu saja. Benar-benar diabaikan sang empunya sebab enam lelaki di sana sibuk dengan ponsel masing-masing.Brak"Hai, guys! Sudahi blue screen-mu, mari main bersamaku!"Pintu utama basecamp tersebut dibuka dari luar. Satu manusia berdiri di ambang dengan suara lantang. Selain kalimatnya yang acak, penampilan Haydar tak kalah berantakan. Selalu saja demikian. "Dari mana lo?" Nada serta raut Cakra yang bertanya nampak dingin. Mungkin kesal karena aktivitasnya dengan game terganggu sang kawan. "Jadi babu, puas lo?" balas Haydar. Ia duduk di salah satu sofa sambil menaruh kaleng
Ada saat di mana bumi terasa berotasi sangat cepat. Walau sebenarnya tetap sama, namun perasaan manusia kadang berpendapat sesukanya. Setelah melewati kemarin dengan segala peristiwanya, keesokan hari yang merupakan sekarang si adam kembali ke tempat seharusnya. Menjadi barista berbalut celemek cokelat, tapi masih tetap tampan paripurna. Sayangnya, Juna yang terus menunduk di area pekerja paling belakang menjadi diorama tak mengenakkan di kafe tersebut. Hal itu juga mengakibatkan Morgan berusaha keras sendirian menghalau para pemesan di dekat barrier panjang. 'Ah, gue pasti dimarahin nih,' batin Juna was-was. Sejak tadi manajer di hadapannya tak kunjung bicara. Juna jadi berspekulasi dalam diamnya. Kedua tangan yang bertautan di depan tubuh pun hampir tremor jadinya."Karena baru sekali, jadi saya maafkan. Toh jatah cutimu masih ada. Tapi, lain kali bilang kalau mau bolos," ucap manajer kafe itu.Seketika mendongak, Juna kaget dan bingung. 'Gimana ceritanya bolos bilang-bilang?' t
Tok tok tokItu bukan ajakan untuk membuat manusia salju bersama. Di samping tidak tinggal di negara empat musim, ini juga terlalu larut untuk bermain di luar. Ketukan pada pintu tersebut berarti ada seseorang yang bertamu. CklekPapan kayu ditarik dari dalam. Sang tuan rumah yang bersurai tergerai itu langsung mendapati tamu tak asing malam ini. "Marven? Tumben, ada apa?" tanya Arin. Ia memajukan kepala guna melihat halaman rumahnya hingga ke titik gerbang, barangkali si adam membawa teman. "Sendiri aja?" imbuhnya usai tak mendapati insan lain di sana. Dengan agak kikuk, lelaki itu mengangguk. Berbalut jaket denim, kedua tangan Marven nampak tak tenang. Rautnya juga melukiskan kelesah. Udara dingin pun jadi amat terasa menerpa tubuhnya kala sang puan tak kunjung mempersilakan masuk."Oh iya, mau masuk dulu?" kini Arin memiringkan tubuh dengan ayunan tangan menunjukkan jalan. "Thanks," kata Marven. Alas kaki berupa converse navy pun dilepas, ia melangkah memasuki tempat tinggal sa
Sudah menjadi kebiasaan bagi si adam mengantar kekasihnya hingga di depan gerbang Fakultas Ilmu Budaya. Seperti pagi ini, dua roda Redeu berhenti kala rem-rem mengapitnya kuat. Pir-pir spiral pun tertekan kala sang penumpang jok belakang berusaha turun. Arin melepas helm dan diberikannya pada Juna. Entahlah, hari ini ia nampak tergesa-gesa. Bahkan surai panjang itu tak dipedulikan meski berantakan terhempas udara. "Aku duluan, ya," ucapnya singkat sambil melambaikan tangan pada kekasihnya. Juna yang sedang mengaitkan tali helm ke motor jadi kelabakan. Pasalnya ada yang hendak ia tanyakan dulu. "Eh—" Meski terpotong, tetapi pekikan Juna membuat Arin menoleh. Kaki jenjang berbalut flat shoes itu tetap berlari kecil, padahal kepala Arin tidak menatap jalanan yang dipijaknya. Ia menunggu kekasihnya melanjutkan perkataannya. "Hati-hati! Lihat jalan!" titah Juna. Arin tersenyum. Ia mengangguk kecil dan sekali lagi mengayunkan tangan di udara. Belia itu raib usai memasuki gerbang bersa
Selesai menghabiskan waktu luang siang-siang dengan sang pacar, Juna kembali ke kelas untuk mengikuti perkuliahan. Hanya satu mata kuliah, lantas seratus menit kemudian ia pergi dari ruang tempatnya menimba ilmu. Lebih tepatnya saat ini dirinya melangkah di koridor lantai dua gedung oranye tersebut. "Woi!"Di tengah banyaknya mahasiswa yang juga menapaki keramik itu, Juna masih bisa mendengar sebuah panggilan dari suara yang familiar. Ia menoleh dan melihat empat lelaki jangkung yang berlagak keren membelah orang-orang hingga mereka semua menyingkir ke tepian. Memutar pupil mata, Juna kembali menghadap depan dan melanjutkan perjalanan ke arah anak tangga. Agaknya malas meladeni kawan-kawannya itu. Namun, sayang sekali sebuah lengan terlanjur mengalung di tengkuknya. "Mau ke mana, bruh?" tanya Banu tepat di dekat rungu Juna. Si lelaki beranting segera menjauh dan mengusap daun telinganya. Ia rasa itu sangat menggelikan. "Sehari nggak cari perhatian bisa nggak?" sarkas Juna sembari
Quality time bersama teman-teman adalah momentum yang ditunggu-tunggu para manusia sibuk di dunia. Selesai berkutat dengan hiruk-pikuk kehidupan kampus, malam ini empat gadis itu berbondong-bondong menapak sebuah teras rumah. Tok tok tok Bukan lagu 'Do you wanna build a snowman' yang terdengar, tetapi knop pintu yang ditekan hingga papan kayu terbuka lebar. Seorang gadis berkaus putih nan longgar ada di sana. "Oh, udah datang," celetuk si pemilik nama Yusi. "Bantuin-bantuin, berat banget," ucap sang puan berbaju hitam. Lila membuat raut yang nampak begitu lelah, padahal hanya membawa seplastik bahan makanan. "Lebay," sahut Yusi sembari meraih apa yang tadinya dibawa oleh Lila. Seketika ia menoleh dan menatap temannya itu dengan tajam, sebab sebenarnya tiada kata berat untuk barang di tangannya itu. "Keluarga lo di sini?" tanya Chantika yang mengekor di belakang Yusi. Perempuan yang memimpin jalan itu pun menjawab, "Nggak, santai aja. Kita bisa bebas di rumah ini.""Boleh reb
Satin hitam berkerah V dengan kain persegi yang membalut leher jenjang itu menambah sisi chic Arjuna Abisatya. Dia sedang bekerja sebagai model tentunya. Hari ini tidak sendiri, tidak juga dengan partner familiar macam Arin. Tetapi ada seorang pemuda yang dititah oleh sang fotografer untuk mendukung pose-pose Juna. Seperti sekarang, misal. Pemuda berkemeja putih itu berdiri di belakang Juna yang duduk di kursi. Dia mengarahkan tangan kiri ke depan wajah Juna. Tepatnya untuk menutupi bibir hingga rahang si model utama itu. Menatap lurus pada lensa kamera, Juna menyipitkan mata kanan, sementara alis kirinya menukik. Ekspresi itu adalah output dari konsep pemotretan hari ini—dark, chic, serious, sentimental."Oke, nice!" ujar si paman yang mengoperasikan kamera dan mengambil banyak foto untuk tiap gerakan Arjuna. Selang sekian menit, pengabadian gambar pun selesai dengan baik. Saling memuji pekerjaan satu sama lain, tak lupa Juna berterima kasih kepada sang fotografer dan karyawan di
Halo!Haihaw di sini!Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us.Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap.Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh.Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan.Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nanti akan
Halo! Haihaw di sini! Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us. Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap. Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh. Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan. Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nan
"Tunggu sebentar, ya."Perempuan berbalut celana jins dan jaket kulit hitam itu melangkah rikat dari satu kamar ke kamar lainnya. Tangan-tangan itu pun cekatan menguncir kuda rambut panjangnya. Hal lain yang ia lakukan bersamaan dengan dua kegiatan itu yaitu memandang sekilas sembari mengatakan permintaan pada seseorang untuk bersabar menunggu ia selesai bersiap.Seseorang yang duduk di ruang tamu dengan kudapan dan minuman sebagai jamuan. "Iya, santai aja," jawabnya.Ini hari Sabtu. Masih pagi, sekitar pukul sembilan menuju angka sepuluh. Hanya memberi gambaran kasar bahwa Juna mengajak Arin ke Surakarta, tapi ia tak menyebutkan hari dan jam secara spesifik. Alhasil, lelaki itu kini harus menunggu kekasihnya bersiap-siap dulu."Juna, kamu udah sarapan?" Sosoknya tak nampak, tapi suara perempuan yang bertanya sedemikian itu terdengar dari arah dapur."Sudah, Bu." Juna menjawab dengan sedikit lantang agar suaranya sampai pada sang pendengar yang dituju."Beneran? Jangan sampai belum ma
Matahari condong di langit barat. Sinarnya menerobos sela-sela ranting dan dedaunan. Hingga akhirnya menerpa wajah-wajah yang baru saja keluar dari pelindung kepala. Sembari disisir dengan ruas jari, surai-surai itupun menari karena terpaan angin sepoi.Dua pria di dekat gerbang FIB itu sibuk dengan penampilan masing-masing. Seperti biasalah, bersiap untuk bertemu sang pujaan."Gue udah tahu weekend ini mau main ke mana," celetuk salah satu pemuda di atas motor hitam.Mendengar hal tersebur, si pemilik Redeu menoleh. "Ke mana?" tanyanya acuh tak acuh."Lo sendiri ada rencana apa?" Sena malah balik bertanya.Juna yang menunduk sambil memainkan helm di pangkuan itu lantas mendongak ke arah kawannya. "Solo," jawabnya singkat."Serius? Lo mau pulang kampung?" Entah kenapa Sena sok terkejut. Padahal bagi perantau memang wajar untuk pulang ke rumah orang tua saat ada kesempatan. Ah, mungkin dia ingat sentimen yang pernah terjadi antara Juna dan keluarganya."Iya, kenapa?" ujar Juna."Nggak
"Gue mau putus."Tidak hanya si gadis bersurai sebahu yang menoleh pada lelaki yang mengucapkan kalimat itu. Tapi penjual jagung manis di tengah pasangan tersebut juga dibuat terperangah seketika."Makasih, pak," kata Rima sembari membayar kudapan yang dibelinya.Dengan paksa, Rima menarik lengan sang pacar pergi dari kumpulan penjual makanan kaki lima. Belum juga melangkah lebih jauh, Banu berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Rima."Gue mau putus," ulangnya.Di tempat yang tak begitu banyak orang itu, sang puan memicing karena jengah dengan si adam yang tiba-tiba mengatakan hal tak menyenangkan. "Udah empat kali lo bilang kayak gitu. Sekarang apa lagi alasannya? Karena gue nggak nemenin lo karaokean kemarin? Gue sibuk anjir, tugas gue banyak," jelas Rima. Ia berusaha keras menekan ego dan emosinya."Nggak usah bohong. Kemarin—" ucapan Banu terpotong karena dirinya yang menyuapkan jagung bertabur keju dan meses itu ke mulut. "Kemarin lo jalan sama orang lain, kan?" lanjutnya.Se
Tok tokDua ketukan pada bangku putih di baris ketiga dari depan. Si empu yang duduk pun menoleh pada sang pelaku. Ternyata sobat sendiri yang mendekat dan tersenyum."Sst," gadis berbandana itu menempelkan telunjuk di bibir sembari duduk di sebelah Arin. Tak lupa, Lila mengeluarkan sebuah sticky note dan memperlihatkannya pada sang kawan.Membaca sejenak, raut Arin nampak terkejut. Manik matanya membulat. Bahkan mulutnya juga menganga dan langsung ia tutup dengan tangan. Sementara Lila tersenyum melihat reaksi gadis di sisinya itu.Kemudian Lila mendongak dan mendapati seorang lelaki jangkung di barisan depan bangkit dari bangkunya sembari menaruh tas di punggung.Tanpa sepatah kata, Lila menepuk lengan Arin. Yang menerima kode pun mengikuti arah pandang Lila. Kedua belia itu pun segera meninggalkan kursi dan keluar dari kelas. Mereka diam-diam mengikuti sosok kasanova di depan sana.Berjarak lebih kurang dua meter, si adam terus menginjakkan kakinya di lantai tiga gedung A Fakultas
Tentang dia yang katanya bisa memantik tantrum orang-orang di dekatnya."Kelompok terakhir yaitu Ayuna, Dea, Gita, Kamal, Mahesa, dan Peter." Wanita berkacamata itu menyebut satu per satu nama mahasiswa di kelompok ketujuh yang beliau buat. "Silakan mulai mengerjakan tugas. Kumpulkan pada kormat dalam bentuk soft file, lalu kormat mengumpulkan pada saya maksimal besok jam sepuluh pagi. Paham semuanya?" jelas sang dosen tersebut."Paham," balas sebagian besar seisi kelas."Baiklah kita akhiri kelas hari ini. Selamat siang," pamit dosen itu sebelum akhirnya meninggalkan ruangan usai anak didiknya membalas serempak.Seseorang di samping meja Ayuna pun berdiri. Dia mengamati arloji di tangan kiri. "Masih ada lima belas menit, mau bahas tugas sekarang di sini?" tanya Mahesa pada Ayuna, Dea, dan Gita yang duduk sebaris."Boleh," kata Ayuna. Dua gadis lain pun juga setuju."Kamal, sini dulu bentar, bahas tugas!" Mahesa memanggil satu lelaki jangkung yang sudah berdiri dengan ransel di pungg
Derit pintu tak ubahnya menarik atensi enam insan di dalam ruangan itu. Petak persegi yang baunya tak pasti. Kadang hanya parfuma badan, kadang makanan ringan, kadang juga bau khas konsol mainan baru. Lalu si orang ketujuh kini menutup kembali pintu. Namun, ia tak kunjung duduk di kursi empuk."I wanna talk," ucap si blasteran, Marven.Haydar, Randi, dan Aji masih fokus pada kesibukannya melempar kartu UNO di meja. Cakra dan Jovi hanya nampak punggung saat menghadap mesin game gulat. Sementara satu manusia lagi di kursi nampaknya bersedia mengalihkan pandang dari ponsel ke arah Marven berdiri."Ada apa?" tanya Jayendra. Tak lebih baik, dia kembali sibuk dengan elektronik pipih di tangannya.Haydar pun menyadari eksistensi Marven. "Oh, my bro! Sini, ngapain berdiri?" ucapnya santai.Diamnya Marven adalah penolakan. Ia mengeraskan rahang dengan kepalan tangan yang tertutup jaket jins panjangnya. Logika dan hatinya berusaha tetap sinkron untuk membulatkan keputusan."I'm done," katanya.
Bohlam-bohlam keemasan yang menggelantung itu bersinar terang. Semakin malam, makin banyak pula yang berdatangan. Memang benar kegiatan ngopi paling nikmat adalah saat malam hari."Mas, vietnam drip sama einspänner ya," ucap seorang pria berkaus polo hitam. Sesuai jumlah pesanan, ia tentu tak sendiri. Ada seorang gadis di belakangnya. Perempuan yang nampak tak asing di mata Juna. Hawa yang mengenggam posesif tangan si adam dengan senyuman manisnya."Mohon ditunggu, ya. Silakan duduk dulu," kata Juna sambil mengesampingkan rasa penasarannya.Sepasang pembeli itu pun menuju bangku kosong yang dipilih. Sementara Juna segera menyiapkan minuman yang dipesan.'Kayaknya gue pernah lihat dia,' batin Juna.Sembari terus mencoba mengingat-ingat siapa wanita semampai, bersurai sedikit gelombang, dengan ciri khas anting panjang. Sepertinya ini bukan kunjungan pertamanya di kafe tempat Juna bekerja. Makanya si pemuda itu seolah pernah melihatnya.Juna menaruh dua minuman yang telah siap ke atas na