"...selama bersama harus saling perhatian, mengingatkan...."Kutipan singkat yang sukses melekat di otak mengakibatkan kaki-kaki berbalut sneakers itu berlari meninggalkan kelas tanpa berpikir panjang. Berhenti di parkiran, dan mengoperasikan Redeu hingga sampai di depan sebuah gerbang bermotif gunungan. Berakhirlah Juna terdiam di atas motornya. Menyilangkan kedua tangan dengan dahi berkerut samar, serta bibir menyun sekian senti panjang. Juna pun menghabiskan lebih banyak waktu sendirian di sana. Sembari berpikir dan menanti kehadiran sang pujaan. Dia bukan lelaki abal-abal, makanya menepati ucapan. Tak peduli dengan netra-netra yang menghujam. Anggap saja penggemar. Seperti itulah motivasi hidup Juna. Meski lama-lama agak risih juga jika tiap orang lewat melirik seenaknya. Satu pinta Juna, semoga Arin cepat datang menyelamatkan. "Wah... Serius nunggu di sini?" Lantun kalimat itu cukup lirih di telinga Juna. Tapi ternyata berhasil menarik pandangan si adam hingga terpaku pada pre
Dua hari favorite sejuta umat pun berlalu. Senin datang bersama haru. Ups, untuk Juna tidak berlaku. Pagi ini Arjuna memasuki gerbang fakultas dengan siulan yang diredam suara Redeu. Tak apa, masih bisa masuk ke telinganya sendiri yang tertutup helm. Setidaknya itu berhasil menambah cerahnya suasana hati Juna. Ia memarkir motor, melepas pelindung kepala, lalu menaruhnya di atas Redeu. Juna memeriksa outfit berupa kemeja denim dan tatanan rambutnya di kaca spion. Kala memutar tubuh untuk pergi ke gedung tempatnya belajar, diorama yang didapat cukup tak terduga. Entah dengan alasan apa, empat pemuda jangkung berkumpul di dekat patung. Ya, ada pahatan batu yang dikelilingi bangku semen di halaman Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Ah, bukan monumen itu yang membuat Juna bertanya-tanya, tapi eksistensi keempat kawan dipagi mendung itu. Lokasi yang dipilih untuk bertemu diam-diam pun nampak tak biasa. Apa ada pesta kejutan untuk Juna? "These brats bukannya UAS di kelas, malah main di si
Waktu ketika kurva bulan menggantung di tengah bintang yang samar bersinar. Malam ini, yang berjumlah jutaan kalah dengan satu-satunya putri malam, sebab hujan menyuruh kabut menenggelamkan mereka bersamaan. Gumpalan kapas kelabu itu membebaskan bulir air jatuh ke segala bidang. Hingga di atap bangunan, kamar Juna pun berisik jadinya. Sang empu baru menyadari hal itu ketika dirinya lepas dari bilik mandi. Juna mengeringkan rambutnya dengan handuk persegi panjang ukuran sedang. Menelisik ke jendela terbuka, ia mempercepat langkah guna menutup kaca tersebut. Setelahnya Juna berbalik, dan tatapannya yang jatuh ke meja pun menemukan kenyataan bahwa ada yang belum dikerjakan. Ujian semester di perkuliahan adalah hal yang amat berbeda dengan ujian di sekolah-sekolah sebelumnya. Ada jadwal, tapi soal-soal kadang turun duluan. Tak melulu pilihan ganda, namun essay lebih dominan. Sebut saja jenis pengerjaan take home. Dikerjakan di mana pun dengan tenggat semau pengampu matkul. Alhasil, ka
Makin siang sang rawi makin pula gencar memancarkan panas ke bumi. Sisa hujan sudah raib. Rerumputan pun amat kering, seolah jauh dari musim turunnya air. Begitu pula dengan tanah lapang di depan gedung rektorat itu. Banyak muda-mudi mendudukinya begitu saja. Alih-alih untuk alas, beberapa dari mereka menggunakan kertas-kertas sebagai kipas. Berbeda dengan dua manusia di sisi barat itu. Dengan sebatang pohon sebagai penampung punggung-punggung, keduanya tenang menghadap materi di masing-masing tangan. Benar, dari luar saja nampak damai. Sebab selalu ada desir di benak milik si adam. Juna tak tahu bagaimana cara fokus belajar ketika tiada jarak antara lengannya dengan pundak sang pacar. Hendak menjauh pun rasanya seluruh tenaga sudah habis untuk rasa euforia. "Belajar apa?" Arin membuka pembicaraan lagi setelah tadi hanya saling sapa di awal pertemuan hari ini. Usai sama-sama duduk, mereka malah diam menyiapkan materi yang harus dicerna. Barulah sekarang bicara. Pemuda yang mena
"Kita duluan atau nunggu dulu?"Tanpa menatap lawan bicara, si pemuda bersurai gelap malah terus menunduk sambil melempar pertanyaan itu. Tentu ada sesuatu di hadapan wajahnya, dan itu adalah benda pipih kesayangan sejuta umat. Dari gerak jemarinya, Juna sedang mengetik rangkaian alfabet di layar. Kontak tujuannya tebak saja atas nama Arina. "Nunggu yang lain, pergi bareng-bareng aja," balas Sena. Lelaki satu itu berjalan seiring langkah Juna sambil mengunyah manisan di mulutnya. Tangan kiri kemudian menjatuhkan bungkus bergambar hewan warna-warni ke tong sampah.Selesai mengikis koridor lantai dua fakultas, keduanya akan menginjak anak tangga. Menuju bidang pertama, tapi suara langkah dari tingkat ketiga cukup menginterupsi para kasanova itu. "Tungguin Kamal!" pekik si pemilik surai kecoklatan. Sesuai realita, Kamal memang termuda di antara circle pertemanan itu. Tingkahnya macam anak TK. Sementara badannya seperti Gatot Kaca. Dan sekarang sedang mengekor para tetua. "Tara gimana
Suatu hari menuju penghujung bulan Desember, ada momen berakhirnya Ujian Akhir Semester. Yup, inilah saat yang ditunggu-tunggu para pelaku UAS tersebut.Lewat tengah hari, lazuardi masih memimpin meski kelabu perlahan muncul di langit. Sinar sang rawi pun belum surut memanasi bumi. Masuk lewat celah jendela, cahayanya menempa kaki-kaki yang berlarian menuruni anak tangga. Badan semampainya berbalut kaus bergaris monokrom di balik kemeja hitam. Jins senada beserta converse bertali pas di kaki. Pundaknya menampung strap bag dari tas kotak. Melihat senyum pada wajahnya saja sudah bisa diterka apa yang sedang dipikirkan Arjuna. Langkah Juna makin cepat menuju parkiran depan bangunan. Lalu ia mendadak berhenti sambil memasang wajah terkejutnya. Bagaimana tidak? Ia mengira terjadi sesuatu selama perjalanan singkat itu hingga dirinya telah sampai surga. God, ada malaikat di depannya. "Kenapa kamu yang ke sini?" tanya Juna sedikit tergagap. Ah, ia belum juga mengatur raut mukanya. "Sekali
Menghabiskan masa kecil hingga SMA di kota budaya Surakarta, satu setengah tahun lalu akhirnya sang pemuda Abisatnya berpisah dari dua pasang tangan hangat orang tuanya. Si anak tunggal pun melanjutkan pendidikan di ibukota provinsi hingga sekarang. Lantas setelah hampir enam bulan lamanya, hari ini, detik ini Juna pulang. Lebih kurang jam tujuh malam, hujan masih menerpa kala Juna memarkirkan motor di garasi rumahnya. Bangunan dominan putih dengan dua lantai di dalamnya. Petak hangat meski hanya bertiga yang mengisinya. Juna pikir betapa kosongnya tempat tinggal itu ketika dirinya tak ada. Ia tak tega pada orang tua, tapi untuk merasakan rindu harus ada perpisahan dulu, bukan? Juna selalu percaya bahwa tiap orang butuh survive sendirian. Seperti ia yang harus berani menantang dunia saat memutuskan untuk belajar di Semarang dan ia yang berani pulang sendirian di tengah hujan seperti sekarang. Mantel kelabu dilepas, helm sudah sejak tadi mencium tanah. Redeu menggigil, sang empu pun
Apa yang dilakukan anak burung ketika kehilangan induknya? Induk yang pamit mencari makan, tapi tak kunjung pulang. Apa yang bisa bayinya lakukan? Berteriak hingga kulit lembek tak berbulu itu menampilkan urat. Menangis sampai air mata mengering. Mengepakkan sayap meski tahu tak cukup bertenaga untuk terbang. Lalu perlahan diam, kedinginan, dan tertidur dengan perut lapar. Awalnya insan itu menolak untuk bernasib sama dengan si bayi burung. Tubuhnya memang meremang mendengar penuturan di luar batas imajinasinya seumur hidup. Maniknya memanas, tiga objek di depan mata bukanlah gambar yang pernah ia lukiskan. Kakinya melemas, tapi dipaksa untuk tetap kokoh menopang hati yang tergores nestapa. Ia juga cukup memungkinkan untuk pergi saat telinga, mata, dan bibir terlampau kelu untuk bekerja sesuai tugas. Situasinya mengejutkan, Juna belum bisa mencerna meski secara perlahan. Berada di hadapan ayah-ibu, serta lelaki yang mengaku sebagai kakaknya adalah hal mustahil untuk Juna tanggapi
Halo!Haihaw di sini!Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us.Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap.Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh.Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan.Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nanti akan
Halo! Haihaw di sini! Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us. Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap. Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh. Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan. Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nan
"Tunggu sebentar, ya."Perempuan berbalut celana jins dan jaket kulit hitam itu melangkah rikat dari satu kamar ke kamar lainnya. Tangan-tangan itu pun cekatan menguncir kuda rambut panjangnya. Hal lain yang ia lakukan bersamaan dengan dua kegiatan itu yaitu memandang sekilas sembari mengatakan permintaan pada seseorang untuk bersabar menunggu ia selesai bersiap.Seseorang yang duduk di ruang tamu dengan kudapan dan minuman sebagai jamuan. "Iya, santai aja," jawabnya.Ini hari Sabtu. Masih pagi, sekitar pukul sembilan menuju angka sepuluh. Hanya memberi gambaran kasar bahwa Juna mengajak Arin ke Surakarta, tapi ia tak menyebutkan hari dan jam secara spesifik. Alhasil, lelaki itu kini harus menunggu kekasihnya bersiap-siap dulu."Juna, kamu udah sarapan?" Sosoknya tak nampak, tapi suara perempuan yang bertanya sedemikian itu terdengar dari arah dapur."Sudah, Bu." Juna menjawab dengan sedikit lantang agar suaranya sampai pada sang pendengar yang dituju."Beneran? Jangan sampai belum ma
Matahari condong di langit barat. Sinarnya menerobos sela-sela ranting dan dedaunan. Hingga akhirnya menerpa wajah-wajah yang baru saja keluar dari pelindung kepala. Sembari disisir dengan ruas jari, surai-surai itupun menari karena terpaan angin sepoi.Dua pria di dekat gerbang FIB itu sibuk dengan penampilan masing-masing. Seperti biasalah, bersiap untuk bertemu sang pujaan."Gue udah tahu weekend ini mau main ke mana," celetuk salah satu pemuda di atas motor hitam.Mendengar hal tersebur, si pemilik Redeu menoleh. "Ke mana?" tanyanya acuh tak acuh."Lo sendiri ada rencana apa?" Sena malah balik bertanya.Juna yang menunduk sambil memainkan helm di pangkuan itu lantas mendongak ke arah kawannya. "Solo," jawabnya singkat."Serius? Lo mau pulang kampung?" Entah kenapa Sena sok terkejut. Padahal bagi perantau memang wajar untuk pulang ke rumah orang tua saat ada kesempatan. Ah, mungkin dia ingat sentimen yang pernah terjadi antara Juna dan keluarganya."Iya, kenapa?" ujar Juna."Nggak
"Gue mau putus."Tidak hanya si gadis bersurai sebahu yang menoleh pada lelaki yang mengucapkan kalimat itu. Tapi penjual jagung manis di tengah pasangan tersebut juga dibuat terperangah seketika."Makasih, pak," kata Rima sembari membayar kudapan yang dibelinya.Dengan paksa, Rima menarik lengan sang pacar pergi dari kumpulan penjual makanan kaki lima. Belum juga melangkah lebih jauh, Banu berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Rima."Gue mau putus," ulangnya.Di tempat yang tak begitu banyak orang itu, sang puan memicing karena jengah dengan si adam yang tiba-tiba mengatakan hal tak menyenangkan. "Udah empat kali lo bilang kayak gitu. Sekarang apa lagi alasannya? Karena gue nggak nemenin lo karaokean kemarin? Gue sibuk anjir, tugas gue banyak," jelas Rima. Ia berusaha keras menekan ego dan emosinya."Nggak usah bohong. Kemarin—" ucapan Banu terpotong karena dirinya yang menyuapkan jagung bertabur keju dan meses itu ke mulut. "Kemarin lo jalan sama orang lain, kan?" lanjutnya.Se
Tok tokDua ketukan pada bangku putih di baris ketiga dari depan. Si empu yang duduk pun menoleh pada sang pelaku. Ternyata sobat sendiri yang mendekat dan tersenyum."Sst," gadis berbandana itu menempelkan telunjuk di bibir sembari duduk di sebelah Arin. Tak lupa, Lila mengeluarkan sebuah sticky note dan memperlihatkannya pada sang kawan.Membaca sejenak, raut Arin nampak terkejut. Manik matanya membulat. Bahkan mulutnya juga menganga dan langsung ia tutup dengan tangan. Sementara Lila tersenyum melihat reaksi gadis di sisinya itu.Kemudian Lila mendongak dan mendapati seorang lelaki jangkung di barisan depan bangkit dari bangkunya sembari menaruh tas di punggung.Tanpa sepatah kata, Lila menepuk lengan Arin. Yang menerima kode pun mengikuti arah pandang Lila. Kedua belia itu pun segera meninggalkan kursi dan keluar dari kelas. Mereka diam-diam mengikuti sosok kasanova di depan sana.Berjarak lebih kurang dua meter, si adam terus menginjakkan kakinya di lantai tiga gedung A Fakultas
Tentang dia yang katanya bisa memantik tantrum orang-orang di dekatnya."Kelompok terakhir yaitu Ayuna, Dea, Gita, Kamal, Mahesa, dan Peter." Wanita berkacamata itu menyebut satu per satu nama mahasiswa di kelompok ketujuh yang beliau buat. "Silakan mulai mengerjakan tugas. Kumpulkan pada kormat dalam bentuk soft file, lalu kormat mengumpulkan pada saya maksimal besok jam sepuluh pagi. Paham semuanya?" jelas sang dosen tersebut."Paham," balas sebagian besar seisi kelas."Baiklah kita akhiri kelas hari ini. Selamat siang," pamit dosen itu sebelum akhirnya meninggalkan ruangan usai anak didiknya membalas serempak.Seseorang di samping meja Ayuna pun berdiri. Dia mengamati arloji di tangan kiri. "Masih ada lima belas menit, mau bahas tugas sekarang di sini?" tanya Mahesa pada Ayuna, Dea, dan Gita yang duduk sebaris."Boleh," kata Ayuna. Dua gadis lain pun juga setuju."Kamal, sini dulu bentar, bahas tugas!" Mahesa memanggil satu lelaki jangkung yang sudah berdiri dengan ransel di pungg
Derit pintu tak ubahnya menarik atensi enam insan di dalam ruangan itu. Petak persegi yang baunya tak pasti. Kadang hanya parfuma badan, kadang makanan ringan, kadang juga bau khas konsol mainan baru. Lalu si orang ketujuh kini menutup kembali pintu. Namun, ia tak kunjung duduk di kursi empuk."I wanna talk," ucap si blasteran, Marven.Haydar, Randi, dan Aji masih fokus pada kesibukannya melempar kartu UNO di meja. Cakra dan Jovi hanya nampak punggung saat menghadap mesin game gulat. Sementara satu manusia lagi di kursi nampaknya bersedia mengalihkan pandang dari ponsel ke arah Marven berdiri."Ada apa?" tanya Jayendra. Tak lebih baik, dia kembali sibuk dengan elektronik pipih di tangannya.Haydar pun menyadari eksistensi Marven. "Oh, my bro! Sini, ngapain berdiri?" ucapnya santai.Diamnya Marven adalah penolakan. Ia mengeraskan rahang dengan kepalan tangan yang tertutup jaket jins panjangnya. Logika dan hatinya berusaha tetap sinkron untuk membulatkan keputusan."I'm done," katanya.
Bohlam-bohlam keemasan yang menggelantung itu bersinar terang. Semakin malam, makin banyak pula yang berdatangan. Memang benar kegiatan ngopi paling nikmat adalah saat malam hari."Mas, vietnam drip sama einspänner ya," ucap seorang pria berkaus polo hitam. Sesuai jumlah pesanan, ia tentu tak sendiri. Ada seorang gadis di belakangnya. Perempuan yang nampak tak asing di mata Juna. Hawa yang mengenggam posesif tangan si adam dengan senyuman manisnya."Mohon ditunggu, ya. Silakan duduk dulu," kata Juna sambil mengesampingkan rasa penasarannya.Sepasang pembeli itu pun menuju bangku kosong yang dipilih. Sementara Juna segera menyiapkan minuman yang dipesan.'Kayaknya gue pernah lihat dia,' batin Juna.Sembari terus mencoba mengingat-ingat siapa wanita semampai, bersurai sedikit gelombang, dengan ciri khas anting panjang. Sepertinya ini bukan kunjungan pertamanya di kafe tempat Juna bekerja. Makanya si pemuda itu seolah pernah melihatnya.Juna menaruh dua minuman yang telah siap ke atas na