Ada yang berdebu. Dipenuhi sarang laba pada ruji roda. Terparkir paling jauh dari gerbang, kendaraan merah itu akhir-akhir ini jarang disapa sang empunya. Tidak ada alasan lain selain mesin di dalamnya dingin, keropos, dan kering tanpa sapuan kasih sayang. Omong-omong soal kasih sayang. Ada juga yang dulu hampa, lembek, dan kosong tak bertuan. Orang menyebutnya hati, tapi Juna merasakan itu adalah ruang di dada juga di kepala. Sesuatu yang lebih luas daripada hati, jiwa. Dulu terbengkalai dan tak terawat oleh Arjuna Abisatya. Namun, tak perlu risau. Masalahnya sudah teratasi oleh semesta yang baik hati, yang mempertemukannya dengan afrodit laksmi. Yang hari ini berjanji untuk bertemu lagi. Sebelum benar-benar pergi, Juna menuruni tangga usai menalikan converse monokromnya dan mengunci pintu kamar indekos itu. Ia terhenti kala menoleh pada kendaraan merah miliknya yang menyendiri. Tak lama kemudian malah jentikkan jari yang Juna persembahkan. "Oke! Nanti gue perbaiki lo, Redeu!" gu
Dia mendapat apa yang diinginkan. Harinya berada di lingkup takdir semesta alam. Perputaran badan secara singkat di depan pintu kelas, beberapa kawan mungkin sempat melihat, mungkin juga abai dengan tingkah Arjuna. Dia sedang berbunga, terlepas dari tiga momentum pendekatan yang agaknya kurang bisa berjalan sempurna. Tak apa, setidaknya hati Juna terhibur oleh genggaman tangan yang rasanya masih saja menempel hingga sekarang, juga persetujuan tentang ajakan berkencan di akhir pekan. Hal-hal itulah yang serasa mekar di sekujur tubuh cowok tersebut, sementara kelopak kembang maya bertabur di setiap langkah kakinya menuju meja tersayang. "Lo mabuk? Jalan mleyot-mleyot gitu," cerca seorang taruna. Fantasi Juna menguap begitu saja kala suara tak asing menyapa gendang telinga. Terdengar tidak ramah sekali ucapan 'selamat pagi' dari sobat karibnya itu. Juna pun menggerutu pelan sebagai respon paling cepat versi dirinya. Entah karena resep kopi yang egois memeluk ruang memori, atau menu '
❬ DAC ❭+628952044xxxx| sumimasen, mau sebar kabar baik nih| Hello archers!Akhirnya kegiatan panahan kita tercinta bisa dilakukan lagi nih! Kapan tuh pelaksanaannya? Yuk, simak baik-baik info di bawah!📆 Sabtu⏰ 08:00-selesai📍 Lapangan yang baru terbuat dari batuJangan lupa datang dan ramaikan, guys! +628964402xxxx| Skuy skuy datang guys! +628112000xxxx| yeayyyBang Aa| Wihiii yang datang ditraktir mas 23M @Bang DamBang Dam| Gak| Aa tu seksi konsumtif+628952044xxxx| konsumsi anjirBang Dam| Ya gitu lahBang Aa| Lapangan kita dah keren guys| Wajib datang pokoknyaPemaparan di atas adalah penyebab getar beruntun yang mendera ponsel Juna. Informasi yang tertera membuat ia berpikir ulang. Pasalnya ada agenda lain yang semestinya Juna lakukan di hari yang sama. Namun, tidak enak juga jika harus absen pada aktivitas klub yang sudah lama minim kegiatan karena lapangan yang sedang dibangun ulang.Siang menuju keburitan, kelas kuliah kedua hari ini baru saja selesai. Beriri
Orang-orang baik tapi pemaksa, terkadang mereka juga loyal pada sesama. Sebenarnya bingung juga mendeskripsikan enam manusia yang senantiasa di sisi pemuda berdarah campuran itu. Marven, dia sendiri juga sering menabung tanya akan hal tersebut. Manusia memang sulit dipatok dengan satu sifat saja, ia baru menyadari itu. Duduk di salah satu sofa, Marven memandang empat cowok yang sibuk dengan kebutuhannya masing-masing. Beranjak malam, dua yang lain sedang berbincang dengan para bintang atau bagaimana? Tidak biasanya absen tampang. Dengan alasan satu-dua patah kata entah mengapa basecamp mereka akhir-akhir ini sering terisi. Kubus 4x4 persegi di belakang minimarket adalah tempat berkumpul tujuh mahasiswa itu—entah siapa yang menemukan pertama kali, tapi hingga sekarang menjadi persinggahan favorite mereka. Ingin menebak plot twist-nya? Mungkin jadi bangunan tua itu milik keluarga pun atau kenalan salah satu dari mereka. Tempat lain yang juga sering dikunjungi adalah area paling beri
"Do you guys have any other colors you want me to put in?""Pink?""Okay, I already put in orange and green, so... pink? Okay."Itu adalah monolog si keturunan Apollo ketika melakukan temu sapa dengan para penggemarnya. Sebuah siaran tunggal yang dilakukan lintas dunia maya. Lelaki Asia yang fasih berbahasa Inggris itu sendirian, dua belas rekannya mungkin jadi sedang memenuhi jadwal yang entah seperti apa sibuknya. Dikata fanatik? Tidak juga. Berlabel Carat? Agaknya Arin bisa disebut demikian. Sebab di samping mengisi waktu luang dengan menonton film, ia juga suka mengikuti perkembangan satu boygroup yang cukup terkenal dengan jumlah anggota tiga belas orang—even though they're called Seventeen.Seperti saat ini misal. Ketika remaja di luar sana mulai menikmati weekend dengan menghabiskan waktu bersama kawan sepanjang malam, Arin duduk diam meronce gelang sembari menonton jejak siaran dari sang idola yang juga merangkai manik-manik di tempat tinggalnya. Memang tidak secara langsung,
Rela membatalkan janji temu, semoga balasan baik tidak bersifat semu. Hari Sabtu, jarum pendek jam belum sempat menyapa angka delapan. Juna duduk di atas motor merahnya seraya menyatukan pengait helm di bawah dagu. Hei, dia harus berhasil kali ini sebab tidak ada yang akan membantunya seperti saat mengaitkan topi rubah di Saloka. Ups, kenangan itu terasa manis sekaligus pahit, jadi mari tidak mendorong Juna jatuh ke palung memorinya.Redeu sudah sembuh, bahkan dengan lancar mengantar sang empu menyusuri bulevar menuju kampus. Sesuai agenda yang terjadwalkan, Juna harus berkumpul dengan rekan-rekan dalam UKM panahan. Sampai di tempat, ternyata belum banyak yang datang. Tunggu, memangnya berapa anggota klub itu? Juna agak lupa, sebab ada juga yang baru dilihatnya satu-dua kali saja. "Juna!" Panggilan itu dari seorang pemuda yang tengah mempersiapkan evafoam di sisi barat lapangan. Juna yang masih di parkiran sebelah utara pun membalas dengan lambaian tangan. Jujur sejujur-jujurnya ia
"Pertama, jangan kencan di kafe. Udah biasa. Eh, boleh sih, tapi nanti pas udah mau balik. Cari tempat yang bisa buat nongkong lama gitu, bisa diputerin, syukur nambah pengetahuan lo yang cetek itu.""Anjing ya lo!""Eh, eh, nggak boleh misuh. Nanti gue aduin ke Arin, biar jeblok image lo di mata dia.""Shit!"- - -Sesungguhnya tidak perlu diingat untuk debat tak berfaedah antara Juna dan Banu kemarin sore. Bahkan sarannya juga cuma satu. Itu pun entah bisa dipertimbangkan atau tidak. Namun, malamnya Juna berdiskusi singkat dengan sang pacar tentang ke mana mereka akan pergi berdua. Mungkin ucapan Banu berhasil memengaruhi Juna, sehingga ia menyempatkan diri searching beberapa destinasi yang agaknya bisa menambah ilmu. Minimal tahu bentuk dan tatanan baru, tidak tentang kopi melulu. Lantas pada hari Minggu ini Juna akan pergi, harinya tidak akan sepi. Begitulah yang ia semogakan dalam hati. Jam sembilan pagi, Juna membalutkan sebuah jaket di luar kaus bergaris hitam putih. Sembari m
Bersama dersik malam, dinginnya menusuk kulit hingga katub jantung para insan. Embusannya mengantarkan roda-roda motor merah pada rumah dengan warna yang sama. Di ambang gerbang, ada rasa bersalah, ragu, dan bimbang. Si adam bersurai hitam sedang memantapkan tujuan bersua pada Minggu yang gelap ini. Berat nian kaki meninggalkan kendaraan untuk melangkah mendekat tempat tinggal sang pujaan. Namun, dengan segala dorongan—salah satunya dengan menyadarkan diri bahwa ia laki-laki sejati—maka Juna kini sudah menekan tombol persegi di pilar sebelah gerbang. Sembari menunggu seseorang keluar, ia beralih ke depan rangkaian besi itu. Tak sengaja terdorong dan ternyata tidak dikunci. "Juna?"Suara lembut itu tak perlu ditanyakan siapa pemiliknya. Arin menyapa pemuda yang datang tak diundang. Sekalinya janjian malah menghilang. Ah, jangan membicarakan perihal tadi siang. Pada detik ketika angin menghempas dedaunan, Arjuna mengulas senyum seraya tangannya mengudara untuk membalas sapaan. Ia mas
Halo!Haihaw di sini!Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us.Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap.Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh.Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan.Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nanti akan
Halo! Haihaw di sini! Terima kasih sudah membaca Miracle. Manifest a miracle also comes to us. Terima kasih sudah bertahan hingga tamat. Hope you enjoy throughout this story yap. Ini adalah karya pertamaku yang dikontrak GoodNovel. Lebih kurang sudah satu tahun sejak Maret 2022 lalu. Aku tahu itu cukup lama untuk sekadar 100 bab. But it's okay. The process is a filling meal. Serius, coba pahami deh. Sudah berusaha keras untuk konsisten menulis dan diunggah, tapi dunia nyata malah sering bercanda. Aku pernah lalai, tapi setelah melewati momen itu dan kembali menyajikan kisah Juna dan kawan-kawan, ada rasa baru yang membuatku lebih mencintai karya ini. Mereka mengajakku kembali bermain dengan dunianya, dan itu menyenangkan. Lantas akhirnya semua berakhir di sini. Miracle sudah selesai—tapi tidak untuk keajaiban-keajaiban di hidup kita. Terima kasih sudah terlibat dalam perjalanan kecil pencarian makna kebersamaan antara Juna, Arin, Sena, dan teman-temannya. Di kesempatan baru nan
"Tunggu sebentar, ya."Perempuan berbalut celana jins dan jaket kulit hitam itu melangkah rikat dari satu kamar ke kamar lainnya. Tangan-tangan itu pun cekatan menguncir kuda rambut panjangnya. Hal lain yang ia lakukan bersamaan dengan dua kegiatan itu yaitu memandang sekilas sembari mengatakan permintaan pada seseorang untuk bersabar menunggu ia selesai bersiap.Seseorang yang duduk di ruang tamu dengan kudapan dan minuman sebagai jamuan. "Iya, santai aja," jawabnya.Ini hari Sabtu. Masih pagi, sekitar pukul sembilan menuju angka sepuluh. Hanya memberi gambaran kasar bahwa Juna mengajak Arin ke Surakarta, tapi ia tak menyebutkan hari dan jam secara spesifik. Alhasil, lelaki itu kini harus menunggu kekasihnya bersiap-siap dulu."Juna, kamu udah sarapan?" Sosoknya tak nampak, tapi suara perempuan yang bertanya sedemikian itu terdengar dari arah dapur."Sudah, Bu." Juna menjawab dengan sedikit lantang agar suaranya sampai pada sang pendengar yang dituju."Beneran? Jangan sampai belum ma
Matahari condong di langit barat. Sinarnya menerobos sela-sela ranting dan dedaunan. Hingga akhirnya menerpa wajah-wajah yang baru saja keluar dari pelindung kepala. Sembari disisir dengan ruas jari, surai-surai itupun menari karena terpaan angin sepoi.Dua pria di dekat gerbang FIB itu sibuk dengan penampilan masing-masing. Seperti biasalah, bersiap untuk bertemu sang pujaan."Gue udah tahu weekend ini mau main ke mana," celetuk salah satu pemuda di atas motor hitam.Mendengar hal tersebur, si pemilik Redeu menoleh. "Ke mana?" tanyanya acuh tak acuh."Lo sendiri ada rencana apa?" Sena malah balik bertanya.Juna yang menunduk sambil memainkan helm di pangkuan itu lantas mendongak ke arah kawannya. "Solo," jawabnya singkat."Serius? Lo mau pulang kampung?" Entah kenapa Sena sok terkejut. Padahal bagi perantau memang wajar untuk pulang ke rumah orang tua saat ada kesempatan. Ah, mungkin dia ingat sentimen yang pernah terjadi antara Juna dan keluarganya."Iya, kenapa?" ujar Juna."Nggak
"Gue mau putus."Tidak hanya si gadis bersurai sebahu yang menoleh pada lelaki yang mengucapkan kalimat itu. Tapi penjual jagung manis di tengah pasangan tersebut juga dibuat terperangah seketika."Makasih, pak," kata Rima sembari membayar kudapan yang dibelinya.Dengan paksa, Rima menarik lengan sang pacar pergi dari kumpulan penjual makanan kaki lima. Belum juga melangkah lebih jauh, Banu berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Rima."Gue mau putus," ulangnya.Di tempat yang tak begitu banyak orang itu, sang puan memicing karena jengah dengan si adam yang tiba-tiba mengatakan hal tak menyenangkan. "Udah empat kali lo bilang kayak gitu. Sekarang apa lagi alasannya? Karena gue nggak nemenin lo karaokean kemarin? Gue sibuk anjir, tugas gue banyak," jelas Rima. Ia berusaha keras menekan ego dan emosinya."Nggak usah bohong. Kemarin—" ucapan Banu terpotong karena dirinya yang menyuapkan jagung bertabur keju dan meses itu ke mulut. "Kemarin lo jalan sama orang lain, kan?" lanjutnya.Se
Tok tokDua ketukan pada bangku putih di baris ketiga dari depan. Si empu yang duduk pun menoleh pada sang pelaku. Ternyata sobat sendiri yang mendekat dan tersenyum."Sst," gadis berbandana itu menempelkan telunjuk di bibir sembari duduk di sebelah Arin. Tak lupa, Lila mengeluarkan sebuah sticky note dan memperlihatkannya pada sang kawan.Membaca sejenak, raut Arin nampak terkejut. Manik matanya membulat. Bahkan mulutnya juga menganga dan langsung ia tutup dengan tangan. Sementara Lila tersenyum melihat reaksi gadis di sisinya itu.Kemudian Lila mendongak dan mendapati seorang lelaki jangkung di barisan depan bangkit dari bangkunya sembari menaruh tas di punggung.Tanpa sepatah kata, Lila menepuk lengan Arin. Yang menerima kode pun mengikuti arah pandang Lila. Kedua belia itu pun segera meninggalkan kursi dan keluar dari kelas. Mereka diam-diam mengikuti sosok kasanova di depan sana.Berjarak lebih kurang dua meter, si adam terus menginjakkan kakinya di lantai tiga gedung A Fakultas
Tentang dia yang katanya bisa memantik tantrum orang-orang di dekatnya."Kelompok terakhir yaitu Ayuna, Dea, Gita, Kamal, Mahesa, dan Peter." Wanita berkacamata itu menyebut satu per satu nama mahasiswa di kelompok ketujuh yang beliau buat. "Silakan mulai mengerjakan tugas. Kumpulkan pada kormat dalam bentuk soft file, lalu kormat mengumpulkan pada saya maksimal besok jam sepuluh pagi. Paham semuanya?" jelas sang dosen tersebut."Paham," balas sebagian besar seisi kelas."Baiklah kita akhiri kelas hari ini. Selamat siang," pamit dosen itu sebelum akhirnya meninggalkan ruangan usai anak didiknya membalas serempak.Seseorang di samping meja Ayuna pun berdiri. Dia mengamati arloji di tangan kiri. "Masih ada lima belas menit, mau bahas tugas sekarang di sini?" tanya Mahesa pada Ayuna, Dea, dan Gita yang duduk sebaris."Boleh," kata Ayuna. Dua gadis lain pun juga setuju."Kamal, sini dulu bentar, bahas tugas!" Mahesa memanggil satu lelaki jangkung yang sudah berdiri dengan ransel di pungg
Derit pintu tak ubahnya menarik atensi enam insan di dalam ruangan itu. Petak persegi yang baunya tak pasti. Kadang hanya parfuma badan, kadang makanan ringan, kadang juga bau khas konsol mainan baru. Lalu si orang ketujuh kini menutup kembali pintu. Namun, ia tak kunjung duduk di kursi empuk."I wanna talk," ucap si blasteran, Marven.Haydar, Randi, dan Aji masih fokus pada kesibukannya melempar kartu UNO di meja. Cakra dan Jovi hanya nampak punggung saat menghadap mesin game gulat. Sementara satu manusia lagi di kursi nampaknya bersedia mengalihkan pandang dari ponsel ke arah Marven berdiri."Ada apa?" tanya Jayendra. Tak lebih baik, dia kembali sibuk dengan elektronik pipih di tangannya.Haydar pun menyadari eksistensi Marven. "Oh, my bro! Sini, ngapain berdiri?" ucapnya santai.Diamnya Marven adalah penolakan. Ia mengeraskan rahang dengan kepalan tangan yang tertutup jaket jins panjangnya. Logika dan hatinya berusaha tetap sinkron untuk membulatkan keputusan."I'm done," katanya.
Bohlam-bohlam keemasan yang menggelantung itu bersinar terang. Semakin malam, makin banyak pula yang berdatangan. Memang benar kegiatan ngopi paling nikmat adalah saat malam hari."Mas, vietnam drip sama einspänner ya," ucap seorang pria berkaus polo hitam. Sesuai jumlah pesanan, ia tentu tak sendiri. Ada seorang gadis di belakangnya. Perempuan yang nampak tak asing di mata Juna. Hawa yang mengenggam posesif tangan si adam dengan senyuman manisnya."Mohon ditunggu, ya. Silakan duduk dulu," kata Juna sambil mengesampingkan rasa penasarannya.Sepasang pembeli itu pun menuju bangku kosong yang dipilih. Sementara Juna segera menyiapkan minuman yang dipesan.'Kayaknya gue pernah lihat dia,' batin Juna.Sembari terus mencoba mengingat-ingat siapa wanita semampai, bersurai sedikit gelombang, dengan ciri khas anting panjang. Sepertinya ini bukan kunjungan pertamanya di kafe tempat Juna bekerja. Makanya si pemuda itu seolah pernah melihatnya.Juna menaruh dua minuman yang telah siap ke atas na