[FLASHBACK]
2 hari yang lalu …
Hujan mengguyur tepat saat Karen keluar dari restoran tempat kerjanya sore itu. Padahal langit masih cerah beberapa menit yang lalu, namun entah kenapa justru hujan deras yang menyambut Karen untuk pulang.
“Apa Goblin lagi bersedih?” gumam Karen sambil mengeluarkan sebuah payung lipat dari tasnya. Ia menggunakan payung itu dan mulai berjalan menembus hujan agar ia cepat sampai di halte bus. Hujan yang deras membuat Karen harus sedikit merundukkan kepala, dan …
BRAK!
“Akh!”
Karen mengeluh untuk tubuhnya yang tertabrak bahu seseorang dan membuatnya harus terjatuh di atas jalan yang basah. Karen ingin mengumpat, terlebih tubuhnya tidak lagi terlindungi payung karena payung itu terlempar cukup jauh setelah Karen terkejut.
“M-maaf. Maafkan saya.”
Namun Karen tidak jadi mengumpat. Karena selain seseorang yang menabraknya adalah seo
Hari ini adalah hari pertama Morgan kembali bekerja setelah seminggu melimpahkan semua pekerjaan kantornya kepada Doni. Sebagai sosok direktur yang bertanggung jawab, Morgan tentu tidak akan membiarkan sekretarisnya pusing lebih lama lagi. Lagipula sebaik apa pun kinerja Doni, Morgan tetap saja dibutuhkan untuk mendatangani berbagai kontrak kerja sama ataupun laporan bawahannya serta memimpin rapat.Lelaki itu mengambil jas dan dasi dari dalam lemari sebelum meluncur ke dapur untuk menyapa istrinya, Bianca, yang kini berusaha total menjadi istri impian. Sebenarnya Morgan tidak masalah jika Bianca bangun di waktu yang sama dengannya dan membiarkan pelayan menyiapkan sarapan, namun dengan tegas Bianca menolak. Bianca menolak dengan alasan ia ingin menjadi istri yang mandiri. Meskipun tidak lepas dari bantuan pelayan, setidaknya Bianca tidak hanya memerintah dan ikut terjun di dapur.“Selamat Pagi!” sapa Morgan seraya melingkarkan tangan
“Kita pergi bersama. Aku nggak capek, kok. Lagipula-” Bianca memiringkan kepalanya, menunggu Morgan melanjutkan ucapannya. “-aku mau ngajak kamu ke suatu tempat.”“Kemana?”“Nanti juga tahu.” Morgan tersenyum dan mengecup bibir Bianca sekali lagi. “Aku mandi dulu.”Bianca mengangguk paham dan membiarkan Morgan pergi ke kamar mereka untuk membersihkan diri. Selagi menunggu, Bianca mengambil jas dan tas kantor Morgan yang diletakkan sembarangan di atas sofa, lalu membawanya ke kamar.Di kamar, Bianca disambut oleh suara gemericik air dari kamar mandi. Sebuah meja panjang berkaki pendek menjadi tempat Bianca meletakkan tas dan berkas-berkas penting perusahaan Morgan. Meja itu sudah penuh dengan segala warna map, sebuah laptop, sekotak kacamata baca, dan berlembar-lembar kertas berisi laporan bulanan yang belum Morgan koreksi. Di hari pertama Morgan pindah, Bianca menawarkan un
“Aku belum bisa, kak.”“Kamu belum mencobanya, sayang.” Morgan menggenggam jemari Bianca dengan erat dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan mengendalikan laju mobil. “Jabatan itu udah jadi hak sekaligus kewajiban kamu. Kamu tahu sendiri kan isi wasiat Papa?”“Tapi aku belum siap. Aku belum nyelesaiin kuliahku dan-”“Nggak ada yang perlu dikhawatirin, Bi. Kamu hanya perlu lakuin training selama beberapa waktu seperti kata Pak Anwar. Lagian nggak ada yang bisa nentang wasiat Papa walaupun kamu belum tamat kuliah.” Ibu jari Morgan memberikan usapan lembut pada jemari Bianca. Merilekskan otot-otot Bianca yang terasa kaku di dekatnya.“Tapi ... tapi aku takut, aku ...”“Ssstt ...” Telunjuk Morgan mendarat sempurna di bibir Bianca, memaksa gadis itu untuk diam dan tidak lagi mendebat dengan bibir berlekuknya. Mungkin jika tidak sedang mengend
Cklek!“Kak Morgan masih di sini?”Bianca keluar tepat saat Morgan meletakkan ponselnya di dalam saku celana. Lelaki itu berdehem, sedikit gelagapan dengan kehadiran Bianca yang tiba-tiba. “Aku nunggu kamu.”“Kakak kan bisa nunggu di bawah.” Bianca berjalan dan duduk di kursi riasnya. Ia sudah berpakaian rapi dengan kemeja maroon dengan ujung yang dimasukkan ke dalam rok ketat hitam selutut. Penampilannya terlihat sangat cantik dan elegan, namun tetap tidak bisa membohongi wajah imutnya.“Aku hanya ingin turun bersama istriku.” Morgan mengekori Bianca sebelum membungkuk dan menjatuhkan dagunya di pundak Bianca dan memandang gadis itu melalui pantulan kaca. “Kamu cantik.”Hal yang paling Morgan suka adalah ketika pipi Bianca merona karena mendapat pujian darinya. Bianca tetaplah sosok gadis yang polos, meskipun kini ia mulai terbiasa dengan skinship yang Morgan lakuka
“Bagaimana training-mu hari ini?” tanya Morgan, seraya menyangga kepalanya dengan sebelah lengan dan tubuh menghadap ke samping di atas ranjang. Ia menghadap Bianca yang baru saja keluar dari kamar mandi lalu duduk di depan kaca rias. Aroma manis sabun menguar, mengusik indera penciuman Morgan.“Sangat baik. Ada mbak Sheril yang bantuin aku meriksa biodata pegawai biar aku nggak asing sama wajah mereka!” jawab Bianca sembari mengoles krim malam beraroma lemon di bagian wajahnya.Bianca memutuskan untuk menyebunyikan fakta jika dirinya bertemu dengan Candra. Baginya itu tidak terlalu penting untuk menjadi bahan pembicaraan. Cukup dirinya saja yang terbawa emosi hingga harus bersembunyi di toilet untuk menangis dan menenangkan diri, tidak untuk menambah beban bagi Morgan.“Sheril?” Morgan bangkit dan menghampiri Bianca. Tangannya meraih handuk kecil kering dan menggosokkannya pada rambut panjang Bianca yan
Karen terbangun saat matahari meninggi. Mata puppy-nya mengerjap, berusaha beradaptasi dengan sinar matahari yang cukup terik menembus jendela kecil di salah satu sisi flatnya.Ia berusaha bangkit, menyangga tubuhnya dengan lengan kirinya yang terasa kaku dan semakin terasa sakit ketika Karen memaksanya untuk terduduk sempurna. Dan satu detik kemudian, Karen menyadari jika dirinya tidak tidur di kasurnya.Karen mengernyit. Mencoba mengumpulkan satu persatu memorinya, tentang mengapa ia bisa berada di atas lantai dingin di depan pintu dengan tubuh yang sakit bukan main. Perlahan tapi pasti, Karen mengingatnya.Mengingat waktu di mana Eric datang, memaksa masuk, menyeret ibunya keluar, lalu Karen tidak mengingat apapun lagi selain rasa sakit yang menghantam punggungnya dan tamparan keras di pipinya hingga ia tak sadarkan diri. Hingga ia menyadari bahwa ia terbangun di pagi ini dengan suasana rumah yang tidak lagi sama.“IBU!&rdq
Ini pertama kalinya bagi Karen mendatangi perusahaan Morgan. Duduk di lobby, dengan tangan yang saling meremas, memperhatikan karyawan yang berlalu lalang dan berharap Morgan cepat-cepat datang.“Akh!” Dan sesekali Karen meringis ketika gelombang rasa sakit menghampiri punggungnya. Itu sangat menyakitkan, tapi Karen berusaha menahannya. Ia tidak boleh mengeluh di saat genting seperti ini.“Karen!”Tidak perlu waktu lama untuk menunggu, Morgan datang dengan langkah lebar dan nafas terengah-engah. Karen berdiri perlahan dan bermaksud mengutarakan apa yang membuatnya nekat datang langsung pada Morgan.“Lebih baik kita tidak bicara di sini.” –tetapi Morgan lebih dulu menginterupsi dan Karen mengangguk. Tentu, mereka tidak mungkin membicarakan hal ini diantara banyaknya orang yang mungkin bisa mendengar.Tanpa tahu bahwa alasan Morgan yang sebenarnya adalah-“Karen?”
Karen tidak bisa tidur. Seberapa keraspun ia mencoba, ia tetap tidak bisa tertidur dan melupakan segala kekhawatirannya. Tubuhnya lelah, tetapi otaknya berbanding terbalik, mereka tidak bisa berhenti berpikir dan terus memutar hal yang sama.Nyonya Maudy. di mana ia sekarang?Apa Candra kembali memukulinya? Kembali menorehkan bekas luka yang bahkan baru sembuh beberapa hari yang lalu?Pemikiran negatif itu tidak lepas dari kepala Karen. Ia tidak mampu berpikir positif, karena pada nyatanya, apa pun tentang Candra dan Eric tidak pernah baik di mata Karen.Karen telah menutup dirinya dengan selimut kebencian.Kebencian karena ia masih mengingat jelas perlakuan buruk Candra kepada ibu kandungnya.Dan kebenciannya yang bertambah karena kemungkinan besar Maudy menjadi sasaran perlakuan buruk pria itu.Tanpa sadar jemari Karen mengepal. Menyimpan segala amarahnya di dalam kepalan tangannya.Cklek!“Kak Morgan-”
“Kami hanya makan siang. Astaga! Kau bahkan bisa menghabiskan waktu semalaman dengan adikku. Bertemu dia sepanjang pagi, sedangkan aku hanya bertemu saat makan siang. Come on, gorila,” sahut Gregory mulai ngedumel juga.Jawaban yang diterima Gregory hanya Ethan yang memeletkan lidahnya pada pria itu. Ethan lalu membawa Megan pergi begitu saja dan meninggalkan Gregory bersama para tamu undangan yang tidak menyadari kepergian yang punya acara ulang tahun. Gregory terpaksa menjadi tuan rumah pengganti untuk sementara sampai semua tamu itu pamit undur diri dengan sederet pesan untuk Ethan.“Kenapa aku merasa sedang jadi asisten pribadi gorila itu ya?” keluh Gregory pada Alex, setelah kesekian kalinya dia menerima titipan ucapan selamat ulang tahun dari para tamu yang berpamitan pulang.“Tuan, Yuna mendekat kesini,” bisik Alex cepat saat melihat Yuna berdiri di antara para tamu undangan yang akan berpamitan pada Gregory.“Hmm,” sahut Gregory lalu melanjutkan perannya melepas kepergian para
“Berjanjilah ini terakhir kalinya kalian melibatkan diri dalam situasi yang berbahaya seperti kemarin.”Maudy meremas lembut kedua telapak tangan dalam genggamannya. Sangat bersyukur mengetahui dirinya masih mampu menatap pemilik telapak tangan itu tanpa harus kehilangan salah satunya. “Tante percaya, Morgan ataupun Vyan, mereka pasti bisa memperbaiki kehancuran karena si keparat itu.”Bianca mengangguk. Ia mengusap pipinya yang basah. Di otaknya terlintas sosok Morgan yang tengah tersenyum menenangkan kepadanya. “Aku-pun percaya. Sangat percaya. Kita harus memperbaiki hidup kita setelah ini.”“Ya, itu benar.” Karen menanggapi. “Setelah itu aku akan hidup tanpa bayang-bayang Pak Candra. Bahkan aku nggak sudi panggil dia ayah.”“Ibu juga akan mengurus surat cerai secepatnya.”Bianca dan Karen sontak saling berpandangan dan terkejut. Keterkejutan mereka tentu beralasan kare
“T-tante Maudy ...”Suara itu terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan tiga orang di sana. Sementara itu, Maudy dan Vyan yang terkejut, lantas terpaku pada seseorang yang duduk di atas kursi roda, mengenakan baju rumah sakit yang sama seperti milik Maudy dan dengan mata berkaca-kaca.“B-Bianca ...”(Flashback)“Bolehkah aku mengunjungi Karen bersama Kak Nesha? Aku harus tau keadaan sepupuku.”Morgan sempat terkejut sebelum mengembalikan ekspresi datarnya. “Tapi.”“Maaf Bi, sepertinya belum bisa sekarang Karen perlu perawatan intensif untuklukanya dan ia belum diperbolehkan untukbanyak berbicara terlebih dahulu. Mungkin kamu bisa menemuinya besok atau lusa,” ujar Reynald menginterupsi.“Reynald benar, Bi.” Nesha menambahkan setelah ia melihat raut kecewa Bianca. Ia sangat paham dengan kekhawatiran Bianca, namun seperti yang Reynald ka
Morgan berjongkok, meraih rahang Candra dengan ujung jarinya. Candra sama sekali tidak melawan karena tengah berperang melawan rasa sakit, namun matanya menyiratkan kebencian yang hanya dibalas Morgan dengan kekehan.“Gimana rasanya disekap dalam ruangan kotor ini? Dengan tangan terikat dan ancaman di depan mata lo, hm?” tanya Morgan, mempertahankan nada rendah dalam suaranya. Terdengar menusuk dan cukup membuat Candra kehilangan sedikit demi sedikit keberaniannya.“C-cukup menyenangkan. A apa kau ingin balas dendam atas istrimu? Cih!” Tapi rupanya Candra tidak ingin terlihat lemah. Ia masih sempat memberikan decihan, sementara Morgan mulai dikuasai emosi.Sial! Kalau saja Morgan tidak ingat jika dirinya tidak boleh menjadi pembunuh mungkin Morgan akan melenyapkan nyawa pria itu dengan tangannya sendiri. Berani beraninya ia membicarakan Bianca di depan Morgan!“Sepuluh kali lipat.” Morgan mencengkeram rahang Candra deng
“Apa yang mereka omongin? Kayaknya super penting,” gumam Nesha yang mampu didengar oleh Bianca. Bedanya, Bianca sama sekali tidak ambil pusing dengan urusan dua pria itu.“Aku juga nggak tau, Kak ...”“Ah ya, Bi, gimana Karen? Aku dengar dia terluka.”Detik berikutnya, Bianca harus kembali murung, mengingat ia belum bertemu Karen kembali setelah insiden penyerangan tadi malam. Dan jujur saja, Bianca ingin menemui Karen, memastikan gadis itu baik-baik saja dan mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikannya.“Aku ... aku belum ketemu sama dia kak Morgan yang ngelarang, katanya aku harus memulihkan kondisiku dulu dan nggak perlu cemas karena Karen sudah berhasil di operasi. Tapi ... tapi tetap saja. Aku merasa bersalah udah bikin dia terluka.”“Aku setuju tentang Morgan yang ngelarang kamu.” Nesha duduk di sisi Bianca, meraih tangan kanan Bianca yang terbebas dari selang infuse dan me
“K-kamu … kamu menyembunyikannya dariku?”Bianca menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sungguh, ia tidak bermaksud menyembunyikan kehamilannya dari Morgan. Ia ingin memberitahu Morgan, namun waktu masih belum mengizinkannya. Toh Bianca tidak memiliki satu alasanpun mengapa ia harus menyembunyikan calon buah hati mereka.“T-tidak … A-aku nggak m-menyembunyikannya … a-aku … t-tadi malam mau b-bilang-”Semuanya berjalan terlalu cepat. Bianca yang berusaha menjelaskan semuanya, lalu Morgan yang tiba-tiba mendekati Bianca dan membawa gadis itu dalam pelukan eratnya. Bianca kehilangan kemampuan bicara, tubuhnya menegang dan matanya mengerjab bingung. Semakin bingung ketika ia mendengar isakan dari samping telinganya.Apa Morgan menangis?Tangan Bianca mengambang di udara. Ia ingin membalas pelukan Morgan, tapi Morgan tiba-tiba melepas pelukannya. Membuat wajah sembabnya terlih
“A-aku ... -Ugh!” Morgan semakin bingung ketika Bianca tidak berucap dan justru menutup mulutnya dengan telapak tangan. Gadis itu tampak gelisah tanpa bisa Morgan ketahui penyebabnya.“Hey ada apa? Jangan bikin aku takut-”“Toilet!” Bianca kembali menutup mulutnya setelah menyerukan satu kata yang membuat kernyitan muncul di dahi Morgan.“A-apa?” tanya Morgan. Otaknya penuh dengan tanda tanya besar, terlebih melihat Bianca yang tiba-tiba turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi sambil membawa stand infuse-nya.Morgan terdiam bengong. Beberapa detik kemudian, ia tersentak saat mendengar suara muntah dari toilet di ujung ruangan. Morgan lantas menghampiri Bianca yang berjongkok di depan closet seraya memuntahkan isi perutnya.“Bianca,” Bianca menoleh mendengar panggilan Morgan. Wajah pucatnya terlihat jelas oleh Morgan yang langsung menghampiri Bianca dan memijat pelan tengk
Sejak awal, Vyan selalu mensugesti dirinya untuk menerima apa pun risiko yang harus ia terima setelah mendapatkan Karenina dalam dekapannya.Ia tahu, dan bahkan hafal di luar kepala, jika Karenina bukanlah sosok perempuan remaja kebanyakan yang menghabiskan waktu untuk bergossip, bersolek, merawat diri di salon, ataupun bersikap manja kepada pasangannya.Tapi, mungkin itu pula yang membuat Vyan bertekuk lutut pada sosok gadis bernama Karen itu. Vyan terlanjur terpesona dengan kepribadian Karen, dan mungkin juga kekurangan gadis itu.Tidak ada satu hal-pun yang tidak membuat Vyan terpesona dari diri Karenina. Hanya saja, Vyan juga tidak menampik jika ia merasa kesal ketika Karen selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.Jujur saja, Vyan merasa marah. Marah untuk siapa? Vyan-pun tidak tahu. Ia hanya tidak suka melihat Karen menderita karena pengorbanannya.“Janji kalo ini terakhir kalinya.” Sisa-sisa amarah
[Still FLASHBACK ...]Karen merintih kesakitan dan Bianca memekik shock. Darah segar mulai mengalir, membasahi bagian depan blouse biru muda yang dikenakan Karen, menimbulkan aroma anyir yang menyengat.“Karen! Sadarlah!”Karen ambruk dan Bianca dengan sigap membawa Wanita itu ke pangkuannya. Tangisan Bianca pecah melihat Karen meringis menahan sakit, bulir-bulir keringat di dahinya dan bibirnya yang mulai memucat. Tangannya gemetar menggenggam tangan Karen yang berlumuran darah, mencoba menguatkan Wanita itu dengan pikiran kacau tak tentu arah.Sementara itu, Eric berdecak sebal. “Lagi-lagi lo ngancurin rencana gue, Karenina!” geramnya yang mampu di dengar Bianca namun Wanita itu sama sekali tak perduli.Dan Eric lalu berlari keluar untuk kabur menyelamatkan diri sebelum seseorang menyadari teriakan Karen.Bianca terisak semakin parah. Ia ingin berteriak meminta tolong, namun suaranya hilang entah kemana. Kepalanya m