Rian duduk di ruang kerjanya, menatap dokumen yang baru saja dikirimkan oleh tim kepercayaannya. Semakin ia membaca, semakin hatinya terasa berat.
Semua informasi yang Zara berikan benar.Siska tidak hanya memiliki saham di perusahaan-perusahaan pesaing Hendrawan Group, tapi juga memiliki hubungan bisnis dengan Nadine. Beberapa transaksi keuangan menunjukkan adanya aliran dana antara perusahaan milik Siska dan bisnis keluarga Nadine.Mereka bekerja sama.Pikiran itu membuat Rian mengepalkan tangan. Ia merasa bodoh telah mempercayai mereka, terutama Siska. Wanita itu selalu tampil dengan citra sebagai investor yang peduli, sementara Nadine berpura-pura sebagai wanita yang ingin berdamai dengan masa lalu.Namun, kenyataannya jauh lebih gelap dari itu.Mereka telah menjebaknya.Mulai dari menyebarkan berita skandalnya dengan Nadine hingga mendorongnya menerima investasi dari Siska. Semua itu adalah bagian dari rencana besar untuk menghancurkannya.Rian mRian memandang cermin di ruang kerjanya, mencoba menenangkan dirinya. Keadaan semakin kacau, dan ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus segera membersihkan namanya. Berita mengenai skandal yang melibatkan dirinya dan Nadine sudah tersebar luas di media, mempengaruhi bukan hanya kehidupan pribadinya tetapi juga reputasi bisnisnya.Setiap pagi, berita itu muncul di layar kaca dan di berbagai portal berita online. Tidak hanya foto-foto dirinya dengan Nadine yang dipajang di setiap sudut, tapi juga spekulasi liar yang beredar mengenai hubungan mereka. Tidak sedikit yang menyebutkan bahwa mereka terlibat dalam perselingkuhan demi mendapatkan keuntungan bisnis.Ini bukan hanya tentang reputasi pribadi, tapi tentang Hendrawan Group yang kini berada di ujung tanduk. Para klien mulai ragu, beberapa rekan bisnis mulai menarik diri, dan investor merasa terkhianati. Rian tahu bahwa ini adalah ujian terbesar dalam hidupnya.“Sandi…” panggil Rian setelah beberapa detik terme
Setelah konferensi pers itu, dunia luar seolah terpecah menjadi dua. Sebagian mendukung Rian dan mempercayainya, sementara yang lain semakin terpengaruh oleh kabar yang disebarkan Nadine. Meskipun Rian merasa sedikit lega setelah mengungkapkan kebenaran di depan umum, ia tahu perjuangannya belum berakhir.Di balik layar, para pengacara dan tim investigasi mulai bekerja keras untuk mengumpulkan bukti yang dapat menentang tuduhan terhadapnya. Namun, semakin dalam mereka menggali, semakin rumit situasi ini terjadi.Nadine ternyata memiliki koneksi kuat dengan beberapa media dan pihak berkuasa yang bisa memanipulasi informasi demi kepentingannya sendiri. Ini membuat Rian merasa semakin terpojok.Zara, meskipun sedang hamil besar, tidak bisa mengabaikan beban yang ditanggung suaminya. Dalam keheningan malam, setelah makan malam selesai dan rumah terasa sunyi, Zara mendekat dan menanyakan,“Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”Rian terdiam beberapa detik, menatap keluar jendela rumah me
Setelah pertemuan yang penuh ketegangan, Nadine akhirnya menghubungi Rian dan memberi kabar yang tak terduga. Proyek yang hampir saja batal kini bisa dilanjutkan, tapi dengan satu syarat yang membuat Rian terkejut. Nadine menginginkan sesuatu yang jauh lebih pribadi dari sekadar kerja sama bisnis.“Rian,” Nadine mulai dengan suara lembut melalui telepon, “Aku memutuskan untuk melanjutkan proyek ini, tapi ada satu hal yang harus kamu penuhi terlebih dahulu.”Rian mengernyitkan kening, merasa ada yang tidak beres. “Apa maksudmu?”Nadine tidak ragu. “Kamu harus menjadi milikku, Rian. Tidak hanya dalam bisnis, tetapi juga dalam kehidupan pribadimu. Aku tahu kamu sudah menikah, tapi aku ingin kamu memilih aku. Aku akan memberikanmu segala yang ka u inginkan, proyek ini, kekuasaan, kekayaan, semuanya. Tapi kamu harus bersamaku.”Rian merasa seluruh tubuhnya menegang. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Nadine, yang sebelumnya tampak profesional dan berfokus pada keuntu
Nadine berdiri di depan rumah Rian dan Zara, mengenakan pakaian elegan dengan senyuman manis yang penuh kepalsuan. Ia telah memikirkan langkah ini dengan matang. Jika ia tidak bisa mendapatkan Rian secara langsung, maka ia akan menggunakan cara lain.Dengan langkah tenang, Nadine menekan bel pintu. Beberapa detik kemudian, seorang asisten rumah tangga membuka pintu dan menatapnya dengan sedikit kebingungan."Saya ingin bertemu dengan Zara," kata Nadine dengan suara lembut dan penuh keramahan.Sang asisten tampak ragu, tetapi sebelum bisa berkata apa-apa, suara Zara terdengar dari dalam."Siapa?"Asisten itu menoleh ke dalam, lalu dengan ragu menjawab, "Ibu Nadine, Nyonya. Katanya ingin bertemu."Zara yang sedang duduk di ruang tamu meletakkan cangkir tehnya dengan hati-hati. Matanya menyipit, tak menyangka bahwa Nadine akan datang menemuinya. Wanita itu jelas bukan tipe orang yang datang hanya untuk berbasa-basi.Zara menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berdiri dan berjalan ke
Siang itu, Zara menerima pesan dari nomor tak dikenal."Aku ingin bicara baik-baik. Temui aku. Aku janji ini terakhir kalinya aku mengganggu kalian."Zara menatap pesan itu lama. Nadine. Wanita itu tak pernah berhenti mengusiknya. Tapi jika ini benar-benar kesempatan untuk mengakhiri segalanya, mungkin ia harus mengambilnya. Lagipula, ia ingin tahu apa yang Nadine rencanakan selanjutnya.Tanpa memberitahu Rian, Zara mengambil kunci mobilnya dan pergi ke tempat yang disebutkan. Setibanya di sana, kafe tampak sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk di sudut. Nadine sudah menunggu di salah satu meja dekat jendela. Senyumnya terlihat ramah, tapi Zara tidak percaya pada ekspresi palsu itu."Aku senang kamu datang, Zara." Nadine menyilangkan kakinya anggun, matanya meneliti Zara dari ujung kepala hingga kaki. "Bagaimana kabarmu? Dan … bayimu?"Zara duduk dengan hati-hati, tak ingin memperlihatkan kegelisahannya. "Katakan apa maumu, Nadine. Aku tak punya banyak wa
Lampu operasi menyala terang di atas tubuh Zara yang sudah berbaring di meja operasi. Para dokter dan perawat bergerak cepat, memastikan semua alat siap. Monitor di samping Zara berbunyi pelan, menunjukkan detak jantungnya yang semakin melemah.“Kita harus segera melakukan operasi caesar darurat. Tidak bisa ditunda lebih lama lagi,” kata dokter utama, Dr. Wibowo, dengan nada tegas.Salah satu perawat mendekati Zara dan memegang tangannya dengan lembut. “Bu Zara, kami akan segera melakukan operasi untuk menyelamatkan bayi-bayi Anda. Kami akan memberi anestesi spinal agar Anda tetap sadar selama prosedur.”Meskipun wajahnya pucat dan tubuhnya lemah akibat kehilangan banyak darah, Zara mencoba mengangguk lemah. “Tolong… selamatkan mereka…”Dokter anestesi segera menyuntikkan obat bius spinal di bagian punggung bawah Zara. Beberapa saat kemudian, tubuh bagian bawahnya mulai mati rasa.“Kita mulai,” ujar Dr. Wibowo setelah memastikan Zara dalam kondisi stabil.Ia
Meskipun hubungan mereka masih kurang baik akibat masa lalu, Jerry adalah satu-satunya orang yang ia tahu memiliki golongan darah yang sama dengan Zara.Tanpa membuang waktu, Rian segera merogoh ponselnya dan menghubungi Sandi. Dia satu-satunya orang kepercayaan Rian yang memiliki banyak koneksi."Sandi, aku butuh bantuanmu," suara Rian terdengar tegang."Apa yang terjadi, Pak?" tanya Sandi di seberang telepon."Zara butuh transfusi darah segera, dan hanya Jerry yang bisa menyumbangkannya. Aku butuh kamu ke kantor polisi sekarang dan bawa dia ke rumah sakit, apa pun caranya!"Sandi terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku mengerti. Aku akan segera mengurusnya. Tapi ini tidak mudah. Kita butuh izin dari pihak kepolisian.""Lakukan apa saja! Aku akan menghubungi kepala penjara kalau perlu!" Rian hampir berteriak.Sandi paham situasinya gawat. Tanpa membuang waktu, ia langsung menghubungi beberapa kenalannya di kepolisian dan segera berangkat ke penjara tempat
"Lagi-lagi, Jerry menyelamatkan nyawa Zara."Rian berdiri di depan jendela kamar perawatan Zara, menatap istrinya yang masih terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, namun tenang, seolah tak menyadari betapa besar badai yang baru saja menerjang hidup mereka.Di sisi lain, dua bayi kembar mereka berada di inkubator, masih berjuang untuk bertahan di dunia yang baru mereka kenal.Dan semuanya terjadi karena Jerry.Untuk kesekian kalinya, kakaknya itu menjadi penyelamat. Orang yang seharusnya ia benci, namun selalu hadir di saat yang paling menentukan.Rian tidak tahu sudah berapa banyak pengorbanan yang Jerry lakukan selama ini untuk Zara, yang ia tahu hanyalah kenyataan pahit bahwa, meskipun sekarang Zara adalah istrinya ada bagian dari dirinya yang selalu terhubung dengan Jerry.Bukan sekadar karena hubungan keluarga. Bukan hanya karena mereka berbagi darah yang sama. Tapi karena Jerry benar-benar mencintai Zara.Selama bertahun-tahun, Jerry selalu ada
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
Rian tiba-tiba saja berjongkok di hadapan istrinya, mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. Dia mengungkapkan cintanya, melamar Zara lagi. Dia bilang, mungkin dulu mereka menikah karena paksaan dan Rian hanyalah peran pengganti Jerry. Namun, sekarang Rian ingin hidup bersama dengan Zara, saling mencintai.Zara menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh, campuran antara keterkejutan dan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. "Rian..." suaranya hampir tak terdengar.Rian membuka kotak kecil itu, menampilkan cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman mereka. "Zara, aku ingin kita memulai kembali. Kali ini, bukan karena keadaan atau paksaan. Aku ingin menikahimu lagi, dengan sepenuh hati dan dengan rasa cinta yang tak terbantahkan."Zara menutup mulutnya, air mata mulai mengalir. Hatinya berdesir hangat mendengar pengakuan itu. Sejak dulu, ia selalu mempertanyakan bagaimana perasaan Rian sebenarnya. Apakah ia hanya menjadi bayanga
Hari itu, suasana di Hendrawan Group terasa berbeda. Para karyawan berbisik-bisik sejak pagi, membicarakan satu hal yang menjadi pusat perhatian mereka. Kembalinya Jerry Hendrawan sedang menjadi topik hangat. Setelah empat tahun berlalu, nama Jerry kembali menggema di dalam gedung perusahaan.Sejak kepergiannya, banyak hal telah berubah. Rian, yang selama ini mengelola perusahaan, sudah menyiapkan semuanya. Ia tidak ingin ada kekacauan atau ketidakjelasan dalam transisi ini. Bagaimanapun, Jerry adalah pemilik sah Hendrawan Group, dan Rian tahu saatnya sudah tiba untuk mengembalikan hak tersebut.Saat Jerry memasuki gedung, semua mata tertuju padanya. Pria itu mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih bersih, langkahnya tegas dan penuh percaya diri. Tidak ada lagi bayangan pria yang dulu penuh kemarahan dan dendam. Wajahnya terlihat lebih matang, lebih tenang, meskipun masih menyimpan ketegasan yang khas.Ketika lift membawanya ke lantai eksekutif, sekretaris Rian sege
Zara melangkah memasuki rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Setelah sekian lama absen dari dunia medis, hari ini adalah hari pertamanya kembali bertugas sebagai dokter.Meskipun ia sudah terbiasa membantu Rian di perusahaan, dunia rumah sakit adalah tempat di mana hatinya benar-benar berada. Perasaan nostalgia langsung menyergapnya begitu ia melewati koridor yang dulu sangat akrab baginya."Selamat datang kembali, Dokter Zara," sapa salah satu perawat yang dikenalnya, Rina, dengan senyum ramah.Zara membalas dengan anggukan hangat. "Terima kasih, Rina. Bagaimana keadaan di sini? Apa ada perubahan besar selama aku pergi?"Rina tertawa kecil. "Tidak banyak, hanya saja kami kehilangan seorang dokter yang sangat berdedikasi. Sekarang, kami senang karena dokter itu kembali."Zara tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang ganti. Ia mengenakan jas putihnya dengan perasaan familiar yang menyenangkan. Setelah merapikan rambutnya, ia menuju ruang rapat untuk