Meskipun hubungan mereka masih kurang baik akibat masa lalu, Jerry adalah satu-satunya orang yang ia tahu memiliki golongan darah yang sama dengan Zara.
Tanpa membuang waktu, Rian segera merogoh ponselnya dan menghubungi Sandi. Dia satu-satunya orang kepercayaan Rian yang memiliki banyak koneksi."Sandi, aku butuh bantuanmu," suara Rian terdengar tegang."Apa yang terjadi, Pak?" tanya Sandi di seberang telepon."Zara butuh transfusi darah segera, dan hanya Jerry yang bisa menyumbangkannya. Aku butuh kamu ke kantor polisi sekarang dan bawa dia ke rumah sakit, apa pun caranya!"Sandi terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku mengerti. Aku akan segera mengurusnya. Tapi ini tidak mudah. Kita butuh izin dari pihak kepolisian.""Lakukan apa saja! Aku akan menghubungi kepala penjara kalau perlu!" Rian hampir berteriak.Sandi paham situasinya gawat. Tanpa membuang waktu, ia langsung menghubungi beberapa kenalannya di kepolisian dan segera berangkat ke penjara tempat"Lagi-lagi, Jerry menyelamatkan nyawa Zara."Rian berdiri di depan jendela kamar perawatan Zara, menatap istrinya yang masih terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, namun tenang, seolah tak menyadari betapa besar badai yang baru saja menerjang hidup mereka.Di sisi lain, dua bayi kembar mereka berada di inkubator, masih berjuang untuk bertahan di dunia yang baru mereka kenal.Dan semuanya terjadi karena Jerry.Untuk kesekian kalinya, kakaknya itu menjadi penyelamat. Orang yang seharusnya ia benci, namun selalu hadir di saat yang paling menentukan.Rian tidak tahu sudah berapa banyak pengorbanan yang Jerry lakukan selama ini untuk Zara, yang ia tahu hanyalah kenyataan pahit bahwa, meskipun sekarang Zara adalah istrinya ada bagian dari dirinya yang selalu terhubung dengan Jerry.Bukan sekadar karena hubungan keluarga. Bukan hanya karena mereka berbagi darah yang sama. Tapi karena Jerry benar-benar mencintai Zara.Selama bertahun-tahun, Jerry selalu ada
Zara berbaring dengan nyaman di tempat tidurnya setelah kembali dari NICU. Rian duduk di tepi tempat tidur, tidak ingin pergi sedetik pun dari sisinya. Dokter masuk ke dalam ruangan dengan senyuman hangat, membawa hasil pemeriksaan pasca-operasi Zara."Ibu Zara, kondisi Anda sudah mulai stabil. Pendarahannya sudah berhenti, dan rahim Anda mulai pulih dengan baik. Tapi tetap harus banyak istirahat, ya," ujar dokter sambil mengecek catatan medisnya.Zara mengangguk. "Terima kasih, Dok. Tapi saya masih penasaran… Kenapa bayi saya laki-laki dan perempuan? Waktu USG terakhir, dokter bilang mereka laki-laki semua."Dokter tersenyum, seolah sudah terbiasa dengan pertanyaan seperti ini. "USG memang alat yang sangat membantu, tapi tetap ada kemungkinan kesalahan dalam prediksi jenis kelamin. Apalagi kalau hanya dilakukan sekali atau dalam usia kandungan yang masih muda. Kadang posisi janin bisa membuat dokter kesulitan melihat dengan jelas."Zara mengerutkan kening, mencoba m
Zara mengamati reaksi Lena yang tiba-tiba tegang saat melihat siapa yang masuk. Sandi berdiri di ambang pintu dengan ekspresi terkejut, seolah tak menyangka akan bertemu Lena di sini.Lena pun sama, dia yang tadi terlihat emosional kini tampak canggung. Tatapannya beralih ke tangan Zara yang masih menggenggamnya, lalu ke Sandi yang berdiri diam.'Ada apa dengan mereka berdua?'Zara tahu bahwa Lena dan Sandi dulu cukup dekat. Mereka sering bercanda saat bertemu, bahkan pernah saling menggoda satu sama lain. Tapi sejak beberapa bulan terakhir, mereka jadi terlihat asing.Sandi akhirnya menghela napas pelan, lalu melangkah mendekat. “Zara, aku datang untuk memastikan kondisimu baik-baik saja.”Zara mengangguk lemah. “Aku baik, San. Terima kasih sudah datang.”Sandi tersenyum kecil, lalu menoleh sekilas ke Lena sebelum kembali menatap Zara. “Aku juga ingin bicara sesuatu sama kamu. Tapi kalau sekarang bukan waktu yang tepat—”“Aku pergi dulu,” potong Lena tib
Sandi bergegas keluar dari kamar rawat Zara, langkahnya cepat dan penuh tekad. Ia melihat ke arah lorong rumah sakit, mencari sosok Lena di antara para pengunjung dan petugas medis yang berlalu-lalang.Lena tidak boleh pergi begitu saja. Tidak kali ini.Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, Sandi akhirnya menemukan Lena yang sedang berjalan cepat ke arah pintu keluar rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengejarnya."Lena!" panggilnya.Lena terhenti sesaat, tapi ia tidak berbalik. Ia hanya menarik napas panjang, seakan berusaha menguatkan diri, lalu kembali melangkah.Sandi tidak menyerah. Ia mempercepat langkahnya, lalu berdiri di hadapan Lena, menghalangi jalannya."Jangan pergi," katanya, suaranya terdengar sedikit putus asa. "Kita perlu bicara."Lena menatapnya dengan ekspresi rumit. Ada kemarahan, kesedihan, dan sesuatu yang Sandi tidak bisa baca dengan jelas."Apa yang mau kita bicarakan, Sandi?" tanya Lena, suaranya datar
Lena tetap berdiri di taman rumah sakit, menatap punggung Sandi yang semakin menjauh hingga akhirnya menghilang di balik gedung. Ia menghela napas panjang, berusaha memahami perasaannya sendiri.Sudah lama ia dan Sandi tidak bertemu seperti ini, berbicara dari hati ke hati tanpa gangguan. Tapi seperti biasa, kebersamaan mereka selalu berakhir dengan Sandi harus pergi karena urusan pekerjaan.Ia melangkah perlahan menuju bangku taman yang kosong dan duduk di sana, membiarkan pikirannya melayang. Rasa rindu yang selama ini ia abaikan muncul kembali, membawa serta kenangan-kenangan yang seharusnya sudah ia lupakan.Ia dan Sandi dulu begitu dekat, tak terpisahkan. Namun, sejak Sandi mulai bekerja untuk perusahaan Rian, segalanya berubah.Lena mengerti bahwa Sandi memiliki tanggung jawab besar, tetapi kadang ia merasa diabaikan. Tidak ada lagi obrolan panjang di malam hari, tidak ada lagi kejutan-kejutan kecil yang dulu sering diberikan Sandi. Semua terasa semakin jauh, d
Setelah beberapa jam menunggu, pintu rumah Lena akhirnya terbuka. Sandi masuk dengan langkah pelan, tampak ragu-ragu. Mata mereka bertemu sejenak, lalu Sandi menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan ketegangan di wajahnya.Lena, yang sudah menunggu sejak beberapa waktu lalu, hanya bisa terdiam, memandangi pria itu dengan perasaan campur aduk.“Kamu datang juga,” ujar Lena, suaranya agak tercekat. Ia merasa gugup meskipun sudah tahu bahwa pertemuan ini tak bisa dihindari.Sandi mengangguk pelan, lalu menatap Lena dengan tatapan penuh makna. “Iya, aku rasa ini waktunya. Kita harus bicara, Lena.”Lena berdiri, melangkah ke arah meja kecil yang ada di ruang tamu, mengambil dua cangkir kopi yang sudah ia siapkan sebelumnya. “Ayo duduk,” katanya sambil menyerahkan satu cangkir kepada Sandi. “Kita bisa bicara di sini.”Mereka duduk di sofa, berhadapan satu sama lain, namun tidak ada kata yang keluar. Suasana menjadi kaku, penuh dengan kata-kata yang tak terucapkan. L
Nadine akhirnya dibawa ke penjara, setelah serangkaian penyelidikan yang panjang dan bukti yang tak terbantahkan. Kejahatan yang telah dilakukannya selama ini, dari manipulasi hingga pengkhianatan, serta berbagai skema yang merugikan banyak orang akhirnya terungkap ke permukaan.Semua itu, yang selama ini tersembunyi di balik topeng kecantikan dan pesonanya, kini menjadi kenyataan yang tak bisa dipungkiri lagi.Hari itu, di ruang sidang yang penuh sesak, Nadine duduk dengan wajah tanpa ekspresi. Semua yang terjadi seakan tidak menyentuhnya. Ia menatap kosong ke depan, seolah tak merasa sedikit pun penyesalan atas segala perbuatannya.Baginya, ini hanyalah babak baru dalam kehidupannya. Meskipun kali ini, tak ada lagi pintu keluar yang bisa ia gunakan untuk melarikan diri.Rian, yang sebelumnya merasa terpukul oleh segala tindakan Nadine, kini hadi di sana, matanya tajam penuh keyakinan. Semua rasa kecewa dan amarah yang pernah ia rasakan berubah menjadi tekad untuk m
Kehidupan Rian dan Zara berubah drastis setelah mereka menjadi orang tua. Bayi kembar mereka, yang pertama kali terlihat sebagai kejutan besar bagi mereka berdua, kini menjadi sumber kebahagiaan yang tak tergantikan.Kehidupan mereka yang dulu terfokus pada pekerjaan dan ambisi pribadi, kini mulai terpusat pada keluarga kecil mereka. Rian, yang sebelumnya dikenal dengan sifat tegas dan terkadang keras, mulai menunjukkan sisi lembutnya yang selama ini tersembunyi.Begitu juga Zara, yang meskipun awalnya merasa cemas dengan peran barunya sebagai seorang ibu, mulai tumbuh menjadi sosok yang penuh kasih sayang dan perhatian.Setiap pagi, ketika matahari baru saja muncul, Rian akan bangun lebih awal untuk membantu Zara menyiapkan kebutuhan bayi kembar mereka. Ia mengambil alih tugas-tugas kecil seperti mengganti popok atau menenangkan bayi yang menangis.Terkadang, Zara melihatnya dengan rasa terharu. Ia tidak pernah menyangka bahwa pria yang dulu ia anggap terlalu sibuk
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
Rian tiba-tiba saja berjongkok di hadapan istrinya, mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. Dia mengungkapkan cintanya, melamar Zara lagi. Dia bilang, mungkin dulu mereka menikah karena paksaan dan Rian hanyalah peran pengganti Jerry. Namun, sekarang Rian ingin hidup bersama dengan Zara, saling mencintai.Zara menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh, campuran antara keterkejutan dan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. "Rian..." suaranya hampir tak terdengar.Rian membuka kotak kecil itu, menampilkan cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman mereka. "Zara, aku ingin kita memulai kembali. Kali ini, bukan karena keadaan atau paksaan. Aku ingin menikahimu lagi, dengan sepenuh hati dan dengan rasa cinta yang tak terbantahkan."Zara menutup mulutnya, air mata mulai mengalir. Hatinya berdesir hangat mendengar pengakuan itu. Sejak dulu, ia selalu mempertanyakan bagaimana perasaan Rian sebenarnya. Apakah ia hanya menjadi bayanga
Hari itu, suasana di Hendrawan Group terasa berbeda. Para karyawan berbisik-bisik sejak pagi, membicarakan satu hal yang menjadi pusat perhatian mereka. Kembalinya Jerry Hendrawan sedang menjadi topik hangat. Setelah empat tahun berlalu, nama Jerry kembali menggema di dalam gedung perusahaan.Sejak kepergiannya, banyak hal telah berubah. Rian, yang selama ini mengelola perusahaan, sudah menyiapkan semuanya. Ia tidak ingin ada kekacauan atau ketidakjelasan dalam transisi ini. Bagaimanapun, Jerry adalah pemilik sah Hendrawan Group, dan Rian tahu saatnya sudah tiba untuk mengembalikan hak tersebut.Saat Jerry memasuki gedung, semua mata tertuju padanya. Pria itu mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih bersih, langkahnya tegas dan penuh percaya diri. Tidak ada lagi bayangan pria yang dulu penuh kemarahan dan dendam. Wajahnya terlihat lebih matang, lebih tenang, meskipun masih menyimpan ketegasan yang khas.Ketika lift membawanya ke lantai eksekutif, sekretaris Rian sege
Zara melangkah memasuki rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Setelah sekian lama absen dari dunia medis, hari ini adalah hari pertamanya kembali bertugas sebagai dokter.Meskipun ia sudah terbiasa membantu Rian di perusahaan, dunia rumah sakit adalah tempat di mana hatinya benar-benar berada. Perasaan nostalgia langsung menyergapnya begitu ia melewati koridor yang dulu sangat akrab baginya."Selamat datang kembali, Dokter Zara," sapa salah satu perawat yang dikenalnya, Rina, dengan senyum ramah.Zara membalas dengan anggukan hangat. "Terima kasih, Rina. Bagaimana keadaan di sini? Apa ada perubahan besar selama aku pergi?"Rina tertawa kecil. "Tidak banyak, hanya saja kami kehilangan seorang dokter yang sangat berdedikasi. Sekarang, kami senang karena dokter itu kembali."Zara tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang ganti. Ia mengenakan jas putihnya dengan perasaan familiar yang menyenangkan. Setelah merapikan rambutnya, ia menuju ruang rapat untuk