Sepulang sekolah, aku langsung mendatangi sekolah Febrianti untuk menanyakan tentang Darma.Aku tergesa-gesa menuju kelasnya dan berharap Febrianti belum pulang. Sepanjang hari, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Jika terus menyimpan perasaan ini, aku takut semuanya akan meledak tak terkendali.Ya, aku takut Febrianti telah mengkhianatiku. Aku butuh penjelasan Febrianti kalau dia tidak pernah membocorkan soal aku sedang berusaha menyelidiki keberadaan Darma padanya. Aku harus memastikannya langsung.Namun, dalam perjalanan menuju kelas, aku bertabrakan dengan seseorang dengan keras hingga aku terduduk di lantai.“Aduh!” Aku meringis kesakitan. Ponsel cowok itu ikut terlempar ke arahku.“Hati-hati kalau jalan! Pake mata!” Suara cowok itu terdengar kesal. Aku mendongak untuk melihat wajahnya yang tampak jengkel.“Maafkan aku,” jawabku, mencoba bangkit dari posisi duduk. Aku mengembalikan ponselnya yang jatuh.“Untung nggak rusak! Kalau rusak, lo harus ganti!” katanya, mengusap ponse
Aku berdiri di lobi klub dengan perasaan hancur. Dadaku terasa sesak, bukan hanya karena udara malam yang dingin menusuk, tapi juga karena kenyataan yang baru saja kulihat. Darma mabuk sambil bercumbu dengan wanita-wanita bayaran seperti pria lajang yang tak punya tanggung jawab. Aku meremas ponsel di tanganku dengan jari-jari gemetar. Ingin rasanya menelepon Riani saat itu juga dan mengungkapkan semuanya. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa menghancurkan hati adikku dengan kenyataan yang begitu menyakitkan? Aku menghembuskan napas panjang untuk mencoba berpikir jernih. Aku tidak boleh gegabah, karena aku masih butuh bukti lebih banyak sebelum berbicara pada Riani. Aku butuh sesuatu yang bisa membuat Darma tak bisa mengelak. ‘Aku harus masuk lagi.’ Tapi kali ini, aku tidak bisa hanya sekadar melihat. Aku harus lebih berani. Dengan langkah mantap, aku berbalik ke arah klub. Musik masih berdentum keras, aroma alkohol bercampur dengan parfum mahal menusuk hidungku. Aku
(POV Darma) Sial. Sial. SIAL! Aku menghantam tinjuku ke dinding kos dengan penuh amarah. Napasku masih memburu, kepalaku berdenyut hebat, entah karena pengaruh alkohol atau karena Diani yang tiba-tiba muncul entah dari mana dan membuat semua rencanaku kacau. Dari mana gadis menyebalkan itu tahu kalau aku berada di klub orang tuaku? Aku tidak pernah menceritakan hal itu pada Riani atau orang-orang di dekatnya. Aku merosot ke lantai lalu mengacak rambutku dengan frustrasi. Mataku menatap ponsel di atas meja dan tanganku terasa gatal untuk segera menghubungi siapa pun untuk mencari jalan keluar dari kekacauan ini. ‘Diani benar-benar sialan,’ makiku dalam hati. Hanya dia gadis yang berhasil membuatku tak mampu melawan. Padahal aku pernah melakukan kenakalan parah lainnya, salah satunya melecehkan beberapa siswi di sekolah sebelumnya, tetapi para korban sama sekali tidak berani sampai membawa kasus itu ke polisi karena takut kekuasaan orang tuaku. Tetapi berbeda dengan Diani. Aku tid
Aku membuka pintu dengan kasar sampai gagangnya membentur dinding dan menimbulkan bunyi nyaring. Rumah masih terang, lampu ruang tamu menyala. Hal pertama yang kulihat adalah istriku. Gadis itu sedang duduk di sofa dengan wajah cemas. Perutnya yang kian membesar terlihat jelas di balik daster longgar yang dikenakannya. Begitu melihatku, dia langsung bangkit berdiri. "Darma..." suaranya bergetar menahan cemas dan sedih. "Kamu dari mana saja? Aku sudah menunggu kamu berhari-hari. Kamu bahkan tidak menjawab telepon atau pesanku. Aku pikir kamu kenapa-kenapa." Aku mengabaikannya, lalu melangkah masuk tanpa niat menjawab. Jaket yang kukenakan kulempar begitu saja ke lantai, sementara aku menuju dapur, membuka kulkas, dan mengambil sebotol air dingin. Aku meneguknya rakus, mencoba mengusir panas di tenggorokanku yang kering karena alkohol. "Darma," Riani mendekat, suaranya sedikit lebih tegas. "Aku tanya kamu dari mana saja?" Aku meletakkan botol di atas meja dengan kasar. "Bukan uru
(POV Riani)Aku duduk di sudut kamar yang gelap sambil memeluk lutut dengan tubuh gemetar. Cahaya dari lampu meja yang remang-remang tidak bisa mengusir kegelapan yang menyelimuti hatiku. Bekas tamparan Darma masih terasa panas di pipiku, tapi yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatiku yang semakin terbuka lebar.Darma pergi lagi. Entah ke mana. Entah untuk berapa lama.Aku bahkan tidak ingin tahu.Setiap kali dia pulang, yang kudapatkan hanya cacian dan pukulan. Setiap kali aku mencoba berbicara, dia hanya menganggapku beban.Aku menunduk dan memandangi perutku yang mulai membesar.Bayiku…Anak ini akan segera lahir, tapi aku masih terjebak dalam penderitaan yang seolah tak berujung. Apakah aku sanggup bertahan di sini? Aku tidak tahu. Jika aku terus tinggal bersama Darma, cepat atau lambat dia akan menyakiti bayi ini juga.Tapi aku bisa pergi ke mana?Aku tidak bisa kembali ke rumah orang tuaku.Mereka sudah cukup menderita dengan utang yang menumpuk. Aku tidak bisa menambah
(POV Diani)Aku menatap layar ponsel yang baru saja menampilkan panggilan berakhir. Perasaan aneh memenuhi hatiku. Pasti telah terjadi sesuatu yang membuat Riani mendadak meneleponku duluan. Nada suaranya terlalu bergetar. Napasnya terdengar tidak stabil dan aku yakin dia sempat menangis sebelum mengangkat telepon tadi. Biasanya aku selalu pertama kali menghubunginya untuk memancingnya agar Riani mau curhat atau berkata jujur mengenai masalah pernikahannya, tetapi dia selalu mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan memintaku untuk tidak mengkhawatirkan apa pun. Aku menggigit bibir sambil menatap kosong ke dinding kamarku. Kekhawatiranku makin menjadi-jadi. Sejak pernikahan adikku dengan Darma, aku tidak pernah bisa hidup tenang karena cowok itu telah merebut Riani.Sekarang Riani telah berubah drastis. Dulu dia gadis yang ceria, penuh semangat dan selalu berantusias saat menceritakan tentang impian-impiannya. Tapi sekarang, setiap kali aku bertanya tentang kehidupannya, jawabann
(POV Riani)Ponselku bergetar di atas meja, mengirimkan getaran halus yang terasa menusuk di hatiku. Aku ragu-ragu sebelum mengambilnya. Nama yang tertera di layar membuat dadaku semakin sesak.“Ibu?”Tanganku gemetar saat aku menyentuh layar untuk menjawab panggilan itu.“Halo, Bu.” Aku berusaha menjawab setenang mungkin.“Gimana kabar kamu hari ini, Nak? Ibu kangen banget sama kamu.” Suara Ibu terdengar lembut dan penuh kerinduan, tapi juga menyimpan kekhawatiran yang begitu jelas. Aku tahu, Ibu pasti sudah lama ingin bertemu denganku. Sudah hampir sebulan aku tidak pulang, tidak berani mengangkat telepon lebih dulu.Aku menelan ludah. Bagaimana aku bisa pergi ke sana dengan kondisi seperti ini?Aku melirik pantulan diriku di cermin kamar. Wajahku masih menampilkan bekas luka. Pipi kiriku memerah dengan sedikit kebiruan. Lengan dan bahuku terasa nyeri setiap kali kugerakkan. Tubuhku sudah penuh dengan memar yang kusembunyikan di balik pakaian longgar.Bagaimana jika Ibu melihatnya?
Langit biru mulai berubah kekuningan saat aku melangkah keluar dari rumah Ibu. Udara sore terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku menghela napas panjang untuk mencoba menguatkan diri. Pertemuan singkat dengan Ibu membuat dadaku semakin sesak. Apalagi saat aku memasuki rumah itu yang mengingatkanku pada masa kecilku. Aku sangat merindukan semua momen bahagia saat aku dan Diani menghabiskan waktu bersama dengan orang tuaku. Meski masalah utang terus mengancam kami, aku masih bisa berbahagia menikmati kebersamaan keluarga. Bukan seperti sekarang. Setiap hari hanya ada air mata dan ketakutan. Aku menyesal telah menyerahkan diriku pada Darma karena cinta. Kata-kata manisnya seolah dia sangat mencintaiku telah meracuni pikiranku. Dia telah menghancurkan seluruh hidupku. Aku menghela napas berat. Tidak ada gunanya aku menyesali semua yang telah terjadi. Semuanya telah terlambat untuk diperbaiki. Sekarang aku harus fokus menanggung kesalahannya, m
(POV Diani)Hari itu langit tampak suram, seakan merasakan kesedihan yang menyelimuti keluargaku. Aku berdiri di samping makam Riani, menatap batu nisan yang tertutup bunga dan tanah basah. Hati ini rasanya hampir tak sanggup menahan beban yang terus datang. Riani, adikku, yang dulu selalu ceria, yang dulu selalu ada untukku, kini hanya bisa kuingat dalam kenangan.Kami baru saja menguburkan Riani. Pemakaman ini terjadi begitu cepat. Begitu banyak hal yang belum sempat aku katakan padanya. Begitu banyak yang belum sempat kami selesaikan. Tapi kini, semuanya telah terlambat. Aku tidak tahu harus merasa apa. Duka mendalam? Iya, pasti. Tetapi ada juga perasaan marah yang membara dalam dada. Marah pada Darma. Marah pada ketidak peduliannya. Marah pada dunia yang begitu kejam padanya. Aku sudah terlalu lama diam.Ketika kami pulang dari pemakaman, rumah kami dipenuhi oleh keheningan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ayah dan ibu duduk di ruang tamu, wajah mereka hancur. Mereka ti
(POV Darma)Aku masih sangat jengkel saat Diani menyerangku dan mempermalukanku di klub beberapa saat lalu. Makiannya terus terngiang-ngiang di telingaku, meski aku sudah meneguk beberapa gelas alkohol.Sekarang teman-temanku terus-menerus menanyaiku tentang Riani dan meminta penjelasan tentang pernikahan kami. Padahal aku mengaku pada mereka bahwa aku masih lajang.Sial! Beraninya gadis itu mempermalukanku aku di depan teman-teman balap liarku.Aku meremas gelas alkohol saat teringat tatapan penuh kebencian dan tangisan histeris Diani. Sebenarnya aku juga heran tentang kepergian Riani, karena baru pertama kali dia pergi tanpa izinku.Apalagi saat Diani menangis histeris di depanku, membuatku makin penasaran. Dia memang selalu mengkhawatirkan adiknya, tetapi kali ini berbeda, seolah-olah Riani sedang di ambang malapetaka.Namun, bukan itu yang kucemas. Ada perasaan aneh yang memenuhi di dadaku dan aku tidak tahu bagaimana cara menyingkirkannya.Aku merasa cemas dan tegang tanpa alasan
Aku keluar dari club dengan dadaku masih terbakar rasa marah dan benci yang bercampur aduk. Percakapanku dengan Darma barusan benar-benar membuatku muak. Bagaimana mungkin dia bisa sekejam itu? Bahkan di saat Riani sedang dalam kondisi yang tidak jelas, dia masih saja tidak peduli.Langkahku terasa berat saat berjalan di trotoar. Udara malam terasa dingin, tapi bukan itu yang membuat tubuhku menggigil. Rasa takut dan gelisah terus menghantui pikiranku. Aku masih belum tahu di mana Riani dan orang tuaku berada. Darma jelas tidak peduli. Dia bahkan berharap Riani mati.Pikiran itu membuat dadaku sesak. Aku mengeluarkan ponselku dan mencoba menelepon Ayah sekali lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Aku benar-benar tidak tahu harus mencari mereka ke mana lagi.Tetapi, tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benakku. Beberapa bulan yang lalu, aku pernah mengantar Riani ke rumah sakit karena dia pingsan di kosan. Saat itu, dokter menyuruhnya untuk banyak istirahat dan tidak terlalu stres.Mun
(POV Diani)Hari ini cukup melelahkan. Aku baru saja selesai menemani temanku membeli beberapa baju untuk acara akhir pekan. Ketika sampai di depan rumah, hal yang kupikirkan adalah mandi lalu tidur.Namun, saat aku membuka pintu rumah dan memasuki ruang tamu, perasaan cemas langsung menyelimuti hatiku. Rumah yang biasanya ramai dengan kehadiran orang tua, kini terasa kosong. Tidak ada suara Ibu yang biasanya menyambutku saat pulang. Tidak ada suara televisi yang sering Ayah tonton.Aku berdiri sejenak sambil menatap ke sekeliling. Suasananya sangat berbeda dari sebelumnya. Sangat sepi dan hampa.“Bu?” Aku mencari mereka di semua ruangan, tetapi tidak ada. Ini aneh. Ibu dan Ayah jarang sekali pergi pada malam hari, apalagi tanpa memberitahuku. Biasanya mereka selalu mengabari ke mana mereka pergi, meski hanya sebentar. Tapi malam ini, tidak ada kabar sama sekali. Aku mulai merasa khawatir. Ada yang tidak beres.Aku mengeluarkan ponsel dari tas dan mengirimi pesan pada Ibu dan Ayah.“K
(POV Riani) Aku berusaha tetap sadar, meski semuanya terasa gelap dan rasa sakit di seluruh tubuhku membuatku nyaris pingsan. Pandanganku kabur dan perutku terasa kram luar biasa. Aku mencoba memegang dinding untuk berusaha bangkit berdiri, tetapi tenaga yang kumiliki habis sehingga aku kembali terduduk lemas di lantai. Aku teringat pada bayi di dalam kandunganku. Aku memegangi perutku yang sudah membesar. Rasa nyeri hebat menghantam dinding perutku, membuat darah mengalir dari selangkanganku. ‘Tolong, Tuhan. Jangan sampai aku kehilangan bayiku!’ jeritku dalam hati. Aku mengerang pelan sambil mencoba bangkit dengan bertumpu pada meja kecil di dekatku. Namun, tanganku gemetar hebat dan pandanganku makin gelap. Sebelum aku bisa berdiri dengan sempurna, sikuku menyenggol gelas di atas meja. Gelas itu jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping, suaranya menggema dalam kesunyian rumah yang mencekam. Aku tersentak dengan napas tersengal-sengal. Aku kembali meraih meja di dekatku, tetap
Langit biru mulai berubah kekuningan saat aku melangkah keluar dari rumah Ibu. Udara sore terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku menghela napas panjang untuk mencoba menguatkan diri. Pertemuan singkat dengan Ibu membuat dadaku semakin sesak. Apalagi saat aku memasuki rumah itu yang mengingatkanku pada masa kecilku. Aku sangat merindukan semua momen bahagia saat aku dan Diani menghabiskan waktu bersama dengan orang tuaku. Meski masalah utang terus mengancam kami, aku masih bisa berbahagia menikmati kebersamaan keluarga. Bukan seperti sekarang. Setiap hari hanya ada air mata dan ketakutan. Aku menyesal telah menyerahkan diriku pada Darma karena cinta. Kata-kata manisnya seolah dia sangat mencintaiku telah meracuni pikiranku. Dia telah menghancurkan seluruh hidupku. Aku menghela napas berat. Tidak ada gunanya aku menyesali semua yang telah terjadi. Semuanya telah terlambat untuk diperbaiki. Sekarang aku harus fokus menanggung kesalahannya, m
(POV Riani)Ponselku bergetar di atas meja, mengirimkan getaran halus yang terasa menusuk di hatiku. Aku ragu-ragu sebelum mengambilnya. Nama yang tertera di layar membuat dadaku semakin sesak.“Ibu?”Tanganku gemetar saat aku menyentuh layar untuk menjawab panggilan itu.“Halo, Bu.” Aku berusaha menjawab setenang mungkin.“Gimana kabar kamu hari ini, Nak? Ibu kangen banget sama kamu.” Suara Ibu terdengar lembut dan penuh kerinduan, tapi juga menyimpan kekhawatiran yang begitu jelas. Aku tahu, Ibu pasti sudah lama ingin bertemu denganku. Sudah hampir sebulan aku tidak pulang, tidak berani mengangkat telepon lebih dulu.Aku menelan ludah. Bagaimana aku bisa pergi ke sana dengan kondisi seperti ini?Aku melirik pantulan diriku di cermin kamar. Wajahku masih menampilkan bekas luka. Pipi kiriku memerah dengan sedikit kebiruan. Lengan dan bahuku terasa nyeri setiap kali kugerakkan. Tubuhku sudah penuh dengan memar yang kusembunyikan di balik pakaian longgar.Bagaimana jika Ibu melihatnya?
(POV Diani)Aku menatap layar ponsel yang baru saja menampilkan panggilan berakhir. Perasaan aneh memenuhi hatiku. Pasti telah terjadi sesuatu yang membuat Riani mendadak meneleponku duluan. Nada suaranya terlalu bergetar. Napasnya terdengar tidak stabil dan aku yakin dia sempat menangis sebelum mengangkat telepon tadi. Biasanya aku selalu pertama kali menghubunginya untuk memancingnya agar Riani mau curhat atau berkata jujur mengenai masalah pernikahannya, tetapi dia selalu mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan memintaku untuk tidak mengkhawatirkan apa pun. Aku menggigit bibir sambil menatap kosong ke dinding kamarku. Kekhawatiranku makin menjadi-jadi. Sejak pernikahan adikku dengan Darma, aku tidak pernah bisa hidup tenang karena cowok itu telah merebut Riani.Sekarang Riani telah berubah drastis. Dulu dia gadis yang ceria, penuh semangat dan selalu berantusias saat menceritakan tentang impian-impiannya. Tapi sekarang, setiap kali aku bertanya tentang kehidupannya, jawabann
(POV Riani)Aku duduk di sudut kamar yang gelap sambil memeluk lutut dengan tubuh gemetar. Cahaya dari lampu meja yang remang-remang tidak bisa mengusir kegelapan yang menyelimuti hatiku. Bekas tamparan Darma masih terasa panas di pipiku, tapi yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatiku yang semakin terbuka lebar.Darma pergi lagi. Entah ke mana. Entah untuk berapa lama.Aku bahkan tidak ingin tahu.Setiap kali dia pulang, yang kudapatkan hanya cacian dan pukulan. Setiap kali aku mencoba berbicara, dia hanya menganggapku beban.Aku menunduk dan memandangi perutku yang mulai membesar.Bayiku…Anak ini akan segera lahir, tapi aku masih terjebak dalam penderitaan yang seolah tak berujung. Apakah aku sanggup bertahan di sini? Aku tidak tahu. Jika aku terus tinggal bersama Darma, cepat atau lambat dia akan menyakiti bayi ini juga.Tapi aku bisa pergi ke mana?Aku tidak bisa kembali ke rumah orang tuaku.Mereka sudah cukup menderita dengan utang yang menumpuk. Aku tidak bisa menambah