FAICataleya bergerak pelan membalikkan badannya mengarah padaku dan Alan. Begitu tatapan kami bertemu dia tampak terkejut karena tidak menyangka akan kehadiranku namun tak urung senyumnya terkembang.“Mari, Fai, silakan,” kata Alan menyuruhku. Aku masih berdiri di sisi pintu.Dengan perasaan ragu aku membawa langkah mendekati Cataleya. Belum sempat mengatakan apapun padanya Alan lebih dulu mendahuluiku bicara.“Sayang, karena sudah ada Fai di sini jadi aku ke kantor dulu. Aku ada meeting dengan Pak Handoko. Nggak enak kalau sampai telat,” ucap laki-laki itu pada istrinya.Seakan tidak ingin memberi kesempatan pada Cataleya untuk menjawab, Alan memindahkan perhatiannya padaku lalu berkata, “Fai, sorry banget aku harus pergi, aku tinggal nggak apa-apa kan?”“Nggak apa-apa,” jawabku kelu sembari membayangkan kemungkinan aku dan Cataleya hanya akan tinggal berdua saja di sini. Di kamar ini. Kamar Cataleya dan suaminya.“Makasih, Fai,” ucap Alan kemudian mengecup kening Cataleya sebelum p
FAI"Ya, satu kali shoot lagi. Jarinya letakin di dagu. Bukan begitu. Maksudnya ujung telunjuk kamu yang di dagu." Aku mengarahkan gaya pada Wina, model terakhir malam ini."Gini ya, Fai?" Wina bertanya sambil melakukan apa yang kuminta tapi tetap saja tidak sesuai dengan keinginanku.Aku terpaksa beranjak dari tempat lalu meninggalkan kamera sesaat."Begini, Win." Aku meraih tangannya lalu mengarahkan agar ujung telunjuknya menempel di dagu. Sementara Kenzio senyum-senyum sendiri di sofa sudut ruangan.Aku memang membawa Kenzio ke studio agar dia bisa melihat langsung seperti apa pekerjaanku. Lagian malas sendiri di apartemen, katanya.Aku melanjutkan pemotretan sampai selesai. Setelah model terakhir keluar barulah aku bisa bernapas lega."Jadi fotografer kayaknya enak juga ya. Bisa megang-megang cewek." Kenzio terkekeh saat aku menyimpan kamera ke dalam tas.Aku ikut tertawa walau tidak benar-benar datang dari hati. Hari ini pikiranku tidak jauh-jauh dari Cataleya. Aku tidak tahu ke
FAIBagai merasa ada yang memerhatikannya Cataleya memandang ke arahku dan Kenzio. Namun kali ini tidak ada senyum menghiasi bibirnya seperti yang kulihat ketika dia datang di malam berkesan itu.“Itu siapa, Fai?” tanya Kenzio penasaran karena aku menghentikan langkah.“Temen,” jawabku singkat. Baru beberapa menit yang lalu aku mengaku tidak memiliki kekasih tapi sekarang tahu-tahu ada perempuan menunggu di depan pintu.“Cantik banget temen lo, temen apa dulu nih?”“Ya temenlah. Emang temen nggak boleh cantik?”Kenzio mencibir tak percaya lalu meledekku dengan memberi penekanan pada kata ‘temen’. “Berhubung temen lo udah datang jadi gue tetap di sini atau melipir dulu biar kalian bisa quality time?”“Serah lo deh,” jawabku pasrah karena seperti apapun aku menjelaskan padanya Kenzio tetap tidak akan percaya.Sepupuku itu tertawa renyah lalu melangkahkan kakinya di sebelahku.“Udah lama?” tanyaku pada Cataleya setelah kami berhadapan langsung.“Belum terlalu.” Dia menjawab dengan lesu.
CATALEYAFai sepertinya memang tidak ada rasa sedikit pun padaku. Buktinya dia langsung menolak mentah-mentah ideku tanpa bertanya apa dan kenapa kontraknya diperpanjang.Jujur saja aku sedih mengetahuinya. Tapi, memangnya apa yang kuharap darinya? Aku yang sedari awal menawarkan jenis hubungan ini. Aku yang menginginkan hubungan tanpa status dengannya. Jadi kenapa sekarang aku harus galau?Sikap Fai membuatku gentar. Aku semakin yakin untuk menyembunyikan kehamilan ini darinya. Fai tidak perlu tahu daripada aku jadi malu sendiri.Aku memaksa diri memejamkan mata. Berharap kantuk datang menjemput lalu aku tertidur dengan cepat demi melarikan perasaanku.“Memangnya kenapa harus diperpanjang?” Pertayaaan Fai memaksa lagi mataku untuk terbuka.“Itu seandainya, karena aku lihat performa kamu bagus.”Bibir Fai melengkung membentuk senyum tipis. Dia lalu menjawab, “Masih banyak yang lebih bagus dari aku, Leya. Nanti yang gantiin aku pasti jauh lebih pro.”Nobody like you, Fai …Namun kalima
FAI“Ya udahlah, jangan dibahas,” tandas Cataleya menyudahi obrolan kami. Dia tidak menjawab pertanyaan terakhirku tadi dan membiarkannya gantung begitu saja.Aku tidak memaksanya dan menganggap topik tersebut tidak perlu dibincangkan lagi.“Mau ke mana, Fai?” Cataleya menahan tanganku saat aku bergerak dan bermaksud turun dari ranjang.“Ambil kamera.”Cataleya tidak bertanya lagi, tapi matanya menatap penuh rasa penasaran.“Buat apa?” tanyanya saat aku kembali ke ranjang.“Motret kamu.”“Kayak gini?” Dia menunduk, memindai tubuh polosnya.“Nggak apa-apa kan?”“Tapi aku kan udah punya foto kayak gini.”“Yang itu beda. Waktu itu aku agak kaku motret kamu, dan status kita juga baru kenal. Boleh ya?” Aku meminta persetujuannya.Cataleya mengiakan.Aku menyibak selimut yang menutupinya hingga memamerkan lekuk-lekuk indah Cataleya. Dia berbaring menatap ke arah kamera dengan sorot innocent sekaligus sensual. Jika dia fotomodel maka aku jamin jika Cataleya akan dihargai dengan mahal.Aku j
CATALEYAAku terbangun karena merasa lapar dan mendapati Fai tidak berada di sebelahku. Tadi aku bohong padanya waktu mengatakan sudah makan. Aslinya perutku belum berisi apa-apa. Namun sekarang aku sudah tidak bisa menahannya.Menggunakan baju kaos Fai yang longgar di badanku, aku turun dari tempat tidur lalu keluar dari kamar.Televisi di ruang tengah sedang menyala tapi ditinggal tidur oleh penontonnya, Fai dan Kenzio.Selama beberapa saat pemandangan yang tersaji di depan mata memaku gerakanku.Kedua saudara itu tidur di lantai beralaskan karpet setelah menyingkirkan meja di dekat sofa. Walau mereka tinggal di benua yang berbeda tapi Fai dan Kenzio tampak begitu dekat. Ikatan persaudaraan di antara mereka sangatlah kuat.Aku meninggalkan keduanya yang sedang pulas dalam tidur masing-masing saat merasa perutku semakin lapar.Hanya ada makanan ringan seperti roti saat aku memeriksa ruang belakang. Setangkup atau dua tangkup roti tidak akan mempan mengganjal perutku. Aku butuh lebih
CATALEYA“Dijawab aja telfonnya, Leya,” suruh Fai setelah aku memperlihatkan layar ponsel yang terdapat nama Alan padanya.Aku menggelengkan kepala dan bermaksud me-reject panggilan dari Alan tapi Fai memaksaku agar menerima panggilan tersebut.“Alan nggak biasa nelfon kamu tengah malam begini. Siapa tahu ada yang penting.”Aku pikir dugaan Fai ada benarnya juga. Selama ini setiap kali bersama dengan Fai Alan memberiku waktu. Tidak sekali pun menghubungiku. Maka aku memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut.“Halo.”“Kamu di mana?” suara berat Alan langsung menyambutku tanpa salam pembuka.“Di rumah temen.”“Di rumah temen yang mana?”Aku melirik ke arah Fai sejenak sebelum menjawab pertanyaan tersebut. Fai tidak boleh tahu kalau Alan melegalkanku untuk berhubungan dengannya. Seakan ingin memberiku kebebasan untuk berbicara, Fai beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil air minum di dispenser.“Temen yang biasa,” jawabku pelan.“Fai?”“Iya.”“Katanya kamu lagi sakit, kenapa masi
Harapanku yang tidak ingin kami berpisah kandas begitu saja. Aku melihat Fai menggeret kopernya. Di pundaknya tersandar sebuah ransel.Fai mau ke mana? “Fai!” Aku berteriak memanggilnya. Tapi Fai tidak menyahut. Entah karena suaraku yang terlalu pelan sehingga tidak sampai di telinganya.“Fai, tunggu!” Aku memanggilnya sekali lagi dengan suara yang lebih keras. Tapi Sama seperti sebelumnya Fai tidak memberiku respon apa-apa. Fai menggegas langkah semakin jauh meninggalkanku.Aku ingin berlari mengejarnya, tapi seseorang menahan tanganku.Saat aku menoleh aku mendapati Alan. Dia mencekal lenganku."Lepasin aku, Lan!""Kamu nggak akan ke mana-mana, Leya." Cengkraman Alan bertambah kuat mengunci tanganku."Lepasin aku, Lan!!! Aku harus bicara sama Fai," sentakku tajam."Jangan harap! Kamu nggak akan pernah bertemu dia lagi."Aku menatap Alan lekat dan menemukan sorot dingin di manik matanya."Waktu kalian sudah selesai. Sekarang kamu kembali jadi istriku!""Nggak, nggak, aku nggak mau!!
FAINggak terasa sudah cukup lama aku dan Cataleya berumah tangga. Sejauh ini hubungan kami berjalan dengan harmonis walau ada pasang surut. Tapi setiap kali aku dan Cataleya bertengkar, senyum si kecil Xena membuat kami kembali akur. Xena menyadarkanku dan Cataleya bahwa kami sudah sejauh ini. Kami bisa bersatu seperti sekarang setelah melewati banyak rintangan dan jalan yang berliku. Jadi setelah segala perjuangan panjang itu rasanya terlalu sayang jika mengisinya dengan perpecahan dan perselisihan yang tidak penting.Xena adalah putri kecilku dan Cataleya yang saat ini sudah berumur tiga tahun.Anak itu sekarang sedang aktif-aktifnya dan hampir tidak bisa diam. Dia selalu bergerak lincah ke sana kemari dan ingin tahu segalanya. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu begitu besar. Mama bilang Xena seperti aku waktu kecil.Belajar dari pengalamanku dulu yang kekurangan kasih sayang Papa di awal-awal kelahiranku ke dunia, aku menghujani Xena dengan curahan kasih sayang. Aku memanjakan X
FAIMama dan Papa menatapku dan Cataleya heran karena kami ikut pulang ke rumah bersama mereka.“Lho, kenapa malah pulang ke rumah?” tanya Mama.“Jadi mentang-mentang udah nikah aku nggak boleh lagi pulang ke rumah ya, Ma? Jadi aku bukan anak Mama lagi nih?”"Bukannya begitu, tapi ini kan malam pengantin kalian, nggak mau stay di hotel aja memangnya?""Di rumah aja deh, Ma," jawabku menolak. "Mau di hotel atau di rumah sama aja kok.""Yakin?" Papa ikut bertanya padaku."Yakin, Pa. Lagian udah mainstream banget malam pengantinan di hotel," jawabku beralasan sambil tertawa.Mama dan Papa hanya geleng-geleng kepala tidak mengerti apa yang ada di pikiranku lalu mengajakku dan Cataleya pulang bersama mereka.Setiba di rumah kami langsung menyerbu kamar. Tak lupa menguncinya buat jaga-jaga karena dulu Cleo suka nyelonong masuk untuk menggangguku."Fai, bantuin bukain dong." Cataleya membelakangiku.Aku lalu berdiri di belakangnya. Kukaitkan kedua tanganku di perutnya. Dengan sedikit membung
This is the day.Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Fai. Kami berdua menyerahkan segala penyelenggaraannya pada Daddy. Daddy lah yang mengurus, mengatur dan mewujudkan segalanya hingga acara pernikahan yang indah ini akhirnya terselenggara.Tadinya aku pikir intimate wedding yang Daddy maksud hanyalah acara pernikahan biasa yang sama seperti acara intimate wedding pada umumnya. Namun ternyata perkiraanku salah. Pesta buatan Daddy jauh lebih mewah dari yang kukira.Konsep acara buatan Daddy lebih ke acara pernikahan ala pesta kerajaan. Aku dan Fai menaiki kereta kencana yang ditarik oleh seekor kuda putih. Empat orang pengawal yang menggunakan kostum ala kerajaan mengawal kami pada sisi kanan dan kiri. Membuatku dan Fai merasa seperti raja dan ratu sungguhan.Setiba di lokasi acara kusir pun berhenti. Para orang tua kami sudah menanti.Daddy mengulurkan tangan untuk membantuku turun dari kereta. Wajahnya begitu bahagia.Setelahnya Daddy mengembalikanku pada Fai. Fai menggandengku
CATALEYASaat Fai pulang aku langsung menyampaikan perihal kedatangan Daddy tadi dan keinginannya untuk mengajak kami dinner di rumahnya, juga mengenai pesta yang dikehendakinya.“Tadi Daddy ke sini, dia minta kita dinner di rumahnya. Katanya ingin membicarakan hal yang penting,” beritahuku.“Hal penting apa?” Fai menatapku lekat sambil melepas tali sneaker-nya.Aku mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu. Tapi Daddy bilang sangat penting. Kita wajib datang ke rumahnya, nggak boleh menolak. Selain itu tadi Daddy juga bilang akan mengadakan party untuk kita. Aku udah jelasin kalau itu nggak akan mungkin karena aku lagi hamil. Tapi Daddy bilang nanti cuma mau ngadain intimate wedding, jadi yang diundang hanya teman-teman dan koleganya Daddy. Gimana menurut kamu?”“Jadi nanti teman-temannya Mama dan Papa nggak diundang?”“Nggak sih. Pada awalnya Daddy mau pestanya diselenggarakan secara besar-besaran, tapi itu nggak akan mungkin. Jadi jalan tengahnya Daddy mau ngadain intimate wedding buat
CATALEYA“Leya, yang ini bagus, suka nggak?”Aku memandang pada gaun putih berpotongan A line yang ditunjukkan Tante Zola padaku. Gaun itu cantik dan terkesan glamour. Modelnya yang juga strapless memperkuat kesan summer wedding.“Bagus, Tante, suka banget,” ucapku menjawab pertanyaan Tante Zola.“Cobain yuk!”Aku mengangguk setuju lalu mengikuti Tante Zola menuju fitting room setelah dia berbicara dengan penjaga butik.Selagi aku mencoba gaun tersebut Tante Zola menungguku di luar.Aku memindai diri sendiri dari puncak kepala hingga bagian paling bawah. Gaun pengantin itu kini melekat sempurna di tubuhku. Ukurannya yang longgar berhasil menyamarkan bagian perutku yang membola.Cantik. Tidak hanya gaunnya, tapi juga diriku.Karena Fai ada job hari ini maka Tante Zola yang menemaniku ke bridal butik. Beruntung kami menemukan persediaan gaun yang sesuai denganku tanpa harus memesan dulu.“Leya? G
CATALEYASejak kecil aku selalu bertanya pada Mama di mana Papa karena tidak sekali pun melihatnya. Mama bilang Papa bekerja di tempat yang jauh. Namun bukan berarti jawaban itu membuatku lekas puas. Para ayah teman-temanku juga bekerja tapi mereka pulang ke rumah setiap hari. Tapi kenapa papaku tidak?Aku menginginkan momen-momen di mana aku butuh seorang ayah. Aku ingin Papa hadir mendampingi saat merayakan ulang tahun di sekolah seperti temanku yang lain. Tapi nyatanya hanya Mama yang selalu ada untukku.Sampai setelah umurku beranjak lima belas tahun dan akal sehatku sudah tidak lagi bisa menerima alasan yang terus Mama kemukakan, aku mulai menuntut Mama kenapa Papa nggak pernah pulang. Memangnya Papa mau mencari uang sebanyak apa?Mama akhirnya jujur menceritakan kisah hidupnya. Dan aku pada saat itu begitu terguncang mengetahuinya. Tapi aku belajar ikhlas dan mencoba untuk menerima keadaan. Aku selalu menyimpan foto Papa di dompetku tanpa pernah berharap akan bertemu dengannya. K
Egbert menghela napasnya. Entah apa yang akan dia katakan. Kalau sampai dia tidak mengakui Cataleya bukan masalah bagi kami. Yang penting aku dan Cataleya tahu seperti apa faktanya."Daddy, kenapa nggak dijawab? Apa Daddy pernah menikah sebelumnya? Apa Daddy punya anak selain aku?" Dengan mata berkaca-kaca Rasti ikut mendesak Egbert agar berterus terang."Egbert, please, tolong jawab semuanya sekarang. Kami hanya ingin tahu kebenarannya. Kami nggak bermaksud apa-apa apalagi memanfaatkan situasi." Papa ikut turun tangan agar Egbert membuka mulut.Pria berambut pirang lurus itu mengembuskan napas sekali lagi. Dia menatap kami satu demi satu lalu matanya berhenti lama saat beradu pandang dengan Cataleya. Posisi dudukku dan Cataleya yang tidak berjarak membuatku bisa merasakan saat tubuh Cataleya menegang."Okay. Aku akan jujur." Egbert mengeluarkan suaranya. "Aku memang pernah menikah sebelumnya, tapi aku tidak tahu kalau dia hamil. Aku benar-benar tidak tahu.""Oh my Gosh, Daddy! Jadi i
FAIAku membawa Cataleya ke ruang depan untuk menemui Rasti dan orang tuanya. Mendapat tatapan tajam dari Rasti, Cataleya mengeratkan tangannya di dalam genggamanku.Kami lalu duduk dengan posisi Cataleya di sebelahku berhadapan dengan Rasti yang duduk bertiga di sofa panjang bersama kedua orang tuanya. Kedua orang tua Rasti menggilir mata memandangku dan Cataleya bergantian sebelum bicara padaku."Fai, kami sudah berbicara dengan orang tua kamu dan sekarang kami ingin mendengar langsung dari kamu. Sejujurnya kami sangat kecewa atas apa yang kamu lakukan pada Rasti," ucap Tante Nira mengawali obrolan."Maaf, Tante. Aku nggak bermaksud untuk menyakiti Rasti. Sedikit pun tidak. Tapi aku nggak mungkin terus bersama Rasti. Aku anggap aku dan Rasti tidak berjodoh. Aku juga minta maaf kalau ternyata aku di luar bayangan Tante dan keluarga Tante. Aku nggak sesuai ekspektasi.""Ya, kamu memang sangat jauh berada di luar ekspektasi kami, Fai. Tante kecewa," jawab Tante Nira menaikkan intonasi
CATALEYAAku tidak mampu menjawab pertanyaan itu sendiri. Dan aku juga sangat terbebani oleh keingintahuan yang menggebu.Tidak. Sekalipun dia benar ayahku maka aku nggak akan meminta pertanggungjawaban apa-apa padanya atau pun pengakuan untuk diakui sebagai anak. Aku hanya ingin tahu. Itu saja."Leya?” Usapan lembut Fai di pundakku membuat mataku terbuka. Aku beralih menatapnya."Fai, kalau misalnya namanya Egbert adalah Egbert Van Linden apa menurutmu dia adalah papaku?" tanyaku hati-hati.Fai terdiam mendengar kata-kataku. Dia juga terlihat kaget. Sebelum kebingungannya berlarut-larut, aku mengimbuhkan penjelasan."Foto di dompet itu sangat mirip dengan Egbert. Jadi menurutku dia adalah papaku. Menurut dugaanku, setelah meninggalkan Mama, Egbert menikah lagi lalu memiliki anak perempuan yaitu Rasti. Jadi kemiripanku dari segi fisik dengan Rasti aku pikir sangat beralasan. Tapi ini hanya dugaanku aja sih."Untuk kedua kali Fai aku buat tidak sanggup berkata-kata. Dia memikirkan ana