Wajah pria enam puluh tahun itu memerah. Menjadi satu pertanda bahwa kemarahannya sudah berada di puncak tertinggi.
Ia tidak habis pikir dengan tindakan putra pertamanya itu. Bisa-bisanya mengambil keputusan tanpa persetujuan darinya.
Apa kata media dan relasi bisnis Johnson Corporation jika mengetahui hal ini? Bukankah ini sangat mempengaruhi perkembangan bisnis yang sudah turun temurun selama bertahun-tahun?
“Ini tidak boleh terjadi,” pikir Alexander dalam hati. Dan tak lama kemudian, perkataan Gabriel kembali membuat darahnya semakin mendidih.
“Dengan atau tanpa persetujuan Daddy, Gabriel akan melakukan apa pun yang aku mau. Termasuk menikahi wanita yang saat ini menjadi kekasihku,” ucap Gabriel tegas dan dingin. Jangan lupakan sorot matanya yang secara terang-terangan menunjukkan kesungguhan kepada Alexander.
“Kau bahkan sudah berpikiran menjadikan dia seorang istri?” Pria itu menggelengkan kepalanya tak perc
Perasaan Gabriel tiba-tiba berkecamuk. Tidak ada alasan untuk menghindar, karena ia tahu, cepat atau lambat hari ini akan datang.Bagaimanapun juga pria paruh baya itu adalah ayah biologis dari istrinya. Dan itu berarti, dia adalah mertuanya.Lelaki yang tampak sedikit gugup itu menghela napas dalam-dalam. Berharap, hal remeh itu bisa mengurangi kegugupannya. Tidak lucu bukan jika seorang Gabriel yang biasanya berwibawa menjadi gugup.“Silakan, Tuan Franklin.”Sesaat setelah suara Algio bergema, Gabriel yang masih duduk di kursi kebesarannya seketika melirik ke arah pintu. Di sana seorang pria paruh baya seusia Daddynya berdiri.Mereka saling menatap dalam waktu singkat. Sebelum pada akhirnya, adalah Gabriel yang kemudian bangkit, dan menyilakan pria itu duduk di sofa.“Maaf mengganggu waktu Anda, Tuan Johnson.”Menjaga sikap dan wibawanya, Gabriel mengulas satu senyuman. “Tak apa. Kebetulan saya se
Entah kata apa yang pantas menggambarkan perasaan pria enam puluh tahun itu. Di antara beberapa kata yang berada dalam susunan bahasa pun tampak tak benar-benar bisa mewakilkan.‘Apa tadi dia bilang?Is-istri?Yang benar saja.Bagaimana bisa dia mengakui putriku sebagai istrinya?’Namun, melihat dari wajah lelaki muda yang memancarkan binar-binar cinta itu, tak ada alasan bagi Gerald menolak ucapannya barusan.‘Tidak mungkin.’Begitu mudah kata hatinya menyangkal. Jika mengatakan sebagai pasangan kekasih, mungkin ia akan maklum. Tapi, ini istri.‘Bagaimana bisa?’Gerald masih membeku dengan tatapan yang tak lepas dari manik kebiruan milik Gabriel. Jujur saja ia masih syok mendengar pertanyaan lelaki itu.“Mengapa Anda tampak terkejut?” tanya Gabriel dengan santai.“Saya ....”Sial! Gerald kehilangan semua kosa kata di benaknya. Apakah ia per
Gerald mengeraskan rahangnya. Pertemuan dengan lelaki muda yang ia yakini membawa putrinya tidak menemukan hasil. Lucunya lagi, ia pun tak bisa apa-apa ketika ada satu kenyataan yang menyatakan memang keduanya telah menikah.“Apa yang harus aku katakan pada istriku?”Untuk beberapa saat lamanya ia berdiam diri di balik kemudi. Sepuluh jemarinya mencengkeram erat seolah-olah ingin meremukkan benda itu sebagai pelampiasan emosinya.Tak lama kemudian, satu panggilan dari nomor yang sangat ia kenali terpampang di layar ponselnya. Seketika ia dilanda kebingungan.“Ada apa, Honey?”Terdengar jelas helaan napas wanita itu di seberang sana. Dan telinga Gerald tak akan salah mendengar ada getaran lirih di dalam pertanyaan yang diberikan olehnya.“Kau di mana?”Pria paruh baya itu memejamkan mata dan mengucapkan maaf di dalam hati. “Aku ... di jalan.”“Pulanglah. Aku menunggumu
Waktu telah menunjukkan pukul satu siang. Sebagian karyawan pun sudah berlalu lalang di lobi kantor untuk keluar menikmati waktu istirahat mereka.Namun, hal itu berbanding terbalik dengan yang terjadi di ruangan sang CEO. Lelaki dua puluh sembilan tahun itu masih berkutat dengan beberapa dokumen di mejanya.Tanpa memedulikan jam makan siangnya, lelaki itu tampak fokus dengan deretan angka yang di dalam proposal kerja sama dengan perusahaan lain. Karena setengah hari ini, ia harus melayani kemarahan Daddy-nya dan juga menyambut kedatangan seorang pria yang mana adalah ayah dari istrinya.Suara ketukan pintu yang menggema membuyarkan konsentrasi lelaki itu untuk beberapa detik. Ia mendengkus.“Masuk.”Kembali pada dokumen di tangannya, ia tak memedulikan sang asisten masuk dengan seorang wanita bersetelan formal. Kemeja merah muda yang dipadukan dengan rok mini, ditambah sehelai blazer berwarna senada membuat penampilan wanita itu memeso
Wanita yang sedari tadi berdiri melihat pemandangan di luar unit menghela napas dalam-dalam. Sejak keberangkatan sang suami, ia tak berniat keluar kamar. Ia masih kesal mengingat perdebatan mereka tadi pagi.“Mama berharap ketika kau sudah menikah, kau bisa menjadi istri yang baik. Mama tidak bisa selalu ada di sampingmu untuk mengingatkan kau, Sayang.”“Ingat satu hal ini. Semarah apa pun dengan suamimu, jangan sampai kau tak melayaninya di rumah, maupun di ranjang. Diam tak selamanya menyelesaikan masalah. Bicarakan dengan kepala dingin apa yang membuatmu tak suka atau apa kesalahan yang suamimu lakukan.”“Semoga ... kau selalu mengingat Mama meskipun nanti kau harus tinggal bersama suamimu, Sayang. Bagaimanapun juga kau adalah putri Mama satu-satunya.”Tiba-tiba saja ingatan tentang nasehat sang mama memenuhi pikiran wanita itu. Membuatnya tersenyum kecut.‘Apakah artinya aku harus mengalah?’
“Ya ampun, Nyonya,” pekik Sherly ketika melihat darah yang menetes dari telapak tangan Becca. Becca meringis seraya menekan luka itu dengan tangan kanannya. Namun, ia masih bisa mengulas senyum agar Sherly tidak semakin panik. “Tidak apa-apa, Sherly,” ucapnya. “Ini hanya luka tak seberapa. Bahkan ...” “Ki-kita ke rumah sakit sekarang.” Tanpa menunggu jawaban sang nyonya, wanita itu mengeluarkan ponselnya untuk meminta bantuan. Selama perjalanan menuju rumah sakit, keringat dingin keluar dari tubuh Sherly. Tentu saja, bagaimana ia bisa tenang ketika sang majikan yang seharusnya dijaga malah terluka. “Maafkan saya, Nyonya. Seharusnya saya tidak membiarkan Anda memegang pisau setajam itu.” Seraya menahan rasa nyeri di bagian lukanya, Becca memberikan senyuman agar sang pengawal berhenti meminta maaf. Namun, ia salah besar. Sherly semakin menundukkan wajah. “Jangan menyalahkan dirimu terus, Sherly. Ini hanya nyeri sed
Wanita yang tak lain adalah Celine Addison itu mengepalkan kedua tangannya. Wajahnya memerah seiring emosi yang menyeruak.Pemandangan yang baru saja Celine saksikan membuat aliran darahnya mendidih. Ia tidak terima ada wanita lain yang berada di dekat pria idamannya tersebut.“Seharusnya akulah yang direngkuh erat seperti itu oleh Gabriel. Bukan wanita jalang itu,” geram Celine dengan amarah yang menggebu-gebu.Dikuasai gejolak emosi, Celine mengambil ponsel di dalam tas yang akhir-akhir ini selalu ia bawa. Menggulir salah satu nomor kontak di deretan kontak dan melakukan panggilan singkat.“Bergeraklah malam ini. Berhati-hatilah,” pesannya pada seseorang di seberang sana. “Aku tidak ingin rencana ini gagal seperti sebelumnya.”“...”Celine menyeringai.“Ingatlah apa yang harus kalian ucapkan jika kalian tertangkap.”“...”“Lakukan dengan bers
Note : Maaf, babnya agak panjang. Part berikutnya akan kembali ke 6-8 koin.Gabriel menggeram kesal. Marah pada dirinya sendiri karena tak punya keberanian mengatakan perihal kabar yang baru saja ia terima.Sial!Sudah pasti wanita itu merajuk karena ulahnya, yang tanpa sadar melamun selama mereka menikmati makam siang. Dan lebih parahnya, Gabriel tidak menyahut ketika sang istri memanggilnya berulang kali.Tak ingin mengundang kemarahan sang istri yang akan berakhir mengerikan, lelaki dengan wajah lesu itu memutuskan untuk tak kembali ke kantor. Ia akan membujuk wanita itu, lalu pelan-pelan berbicara empat mata.Jantung Gabriel berdegup kencang. Entah mengapa perasaannya menjadi tak karuan, padahal ini bukan pertama kali mendapati wanita itu merajuk.Dengan menyebut nama Mommy dan Grandma di dalam hatinya, Gabriel persis seperti remaja yang membuat kesalahan dan menginginkan maaf dari sang kekasih hati.Perlahan ia memutar kenop dan
“Apa kau yakin ini semua akurat?” “Tentu, Sir,” jawab pria di seberang sana dengan yakin. Bahkan Alexander tidak perlu bertanya dua kali untuk hal seperti itu.“Dan apa kau tahu di mana tempat tinggal Gabriel sekarang?” tanya Alexander penasaran. Karena sampai saat ini ia tidak berhasil menemukan keberadaan putranya.Terdengar helaan napas singkat di seberang sana. “Maaf Sir, saya tidak bisa mencari tahu. Semua akses tentang Gabriel Johnson telah dikunci. Pun dengan keberadaan Rebecca Annastasia.”Tangan Alexander mengepal hingga urat-uratnya menonjol. Emosi seketika mendominasi otak pintarnya yang menjadi bodoh karena merasa dikelabuhi oleh anak-anak muda nakal.“Tapi, saya bisa mencari tahu lewat akses orang tua Rebecca Annastasia jika Anda mengijinkan.”Mengingat siapa orang tua Becca saja membuat Alexander terus murka. Apalagi jika diingatkan bagaimana Gerald membuat kekacauan hingga nyaris membuat keluarganya berantakan. Ingat! Gara-gara ulah Gerald bukan hanya Adelia, tapi Jenn
Suasana meja makan di Keluarga Johnson tampak hening setelah Maria dan William duduk di tempatnya. Alexander yang sedari tadi lebih banyak diam pun hanya membalas tatapan Maria sebentar sebelum kembali berpura-pura fokus dengan sarapan di piringnya.“Besok kita akan pergi berlibur,” ucap Maria yang kemudian menatap satu per satu anggota keluarga di sana. “Kalian bisa berkemas mulai hari ini.”Christian dan Christopher mengangkat wajahnya sejenak hanya untuk memperhatikan atmosfer dingin, lalu berpaling ke arah sang nenek. Mereka tersenyum sebelum kembali kompak menundukkan wajah. Tak terkecuali Clara yang diam-diam hanya mengintip tanpa berani menyela seperti kebiasaannya.Namun berbeda dengan Alexander yang memang tak bisa menerima begitu saja. Putra satu-satunya William dan Maria itu menegakkan punggung untuk menatap kedua orang tuanya yang masih terlihat sangat santai.“Kita tidak akan pergi tanpa Gabriel!” tolak Alexander tiba-tiba.Bukan Maria dan William saja yang terkejut, tapi
“Sungguh, aku sangat malu.” Kedua pipi Becca masih merona setelah William dan Maria meninggalkan ruang perawatan sejak satu jam yang lalu. Jelas, tuntutan yang terang-terangan ditujukan padanya menjadi tanggung jawab.Melihat tingkah sang istri Gabriel justru tersenyum geli. “Kemari.”Membawa langkahnya yang lesu, Becca segera mendekat. “Bagaimana nanti aku bertemu mereka lagi, Gabriel?”Dada Gabriel bergetar menahan tawa. Lalu, tangannya meraih pipi merona sang istri yang membuatnya sangat gemas. Ia tersenyum. “Kenapa mesti malu, hm? Mereka pernah muda, tentu saja hal seperti tadi sangat wajar.”“Tapi tetap saja aku malu,” kelit Becca masih tak mampu menjabarkan perasaannya sendiri. “Bagaimanapun juga kau masih sakit dan bisa-bisanya aku berbuat seperti tadi. Oh ….”Melihat kegusaran Becca, Gabriel mengabaikan tangannya yang cedera hanya untuk mencium bibir sang istri. Hal spontan itu tentu saja membuat Becca terkejut hingga kedua matanya membulat sempurna.“Daripada memikirkan hal
Jari-jari yang memiliki kuku panjang itu mengepal erat. Amarahnya sudah mendominasi hingga ia nyaris berbuat ceroboh.“Dasar jalang tak tahu malu!” desisnya tak suka. Masih memperhatikan aktivitas kedua orang di atas ranjang perawatan, pemilik nama Celine Addison mengambil kamera dan membidik beberapa foto.“Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Uncle Alexander mengetahui ini.”Seolah mendapat kemenangan, Celine menatap sinis wanita yang baru saja turun dari tubuh pria yang ia inginkan.“Tunggu pembalasanku!”**Bukan hanya Adelia yang pulang setelah memastikan Gabriel dan Becca baik-baik saja. Gerald yang melihat bagaimana pasangan muda dimabuk asmara itu bersama juga memutuskan untuk memberi mereka privasi.Pria yang saat ini telah tiba di halaman rumahnya langsung masuk dan mengabaikan sapaan para pelayan. Tentu saja mereka bingung, tapi tak berani bertanya.“Bagaimana keadaan menantu kita, Gerald?” tanya Lucia cemas karena sepulang dari rumah sakit Gerald belum mengatakan apa pun
“Belum puas memandangiku, hm?”Becca menggeleng. Bibirnya masih terasa kebas setelah Gabriel menciumnya dengan isapan dalam.“Sini.” Gabriel menepuk tempat di sampingnya yang masih muat untuk Becca berbaring, tapi hingga beberapa saat lamanya wanita yang telah ia nikahi itu masih tak bergeming. Hanya menatap tanpa berucap sepatah kata pun.Gabriel maklum. Pasti sang istri masih syok. Dan bukan Gabriel jika tak mampu membujuk.“Ayolah, Baby. Jika kau ingin aku sembuh, kau juga harus menemaniku tidur,” bujuk Gabriel yang sudah tak sabar untuk memeluk sang istri setelah beberapa hari ia harus tidur sendiri di apartemen mereka.“Kau membuatku takut,” ucap Becca lirih. Matanya kemudian terpejam demi menghalau butiran-butiran kristal yang telah menggenang.Gabriel tertegun.“Kau begini karena aku.” Lagi, Becca masih menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab Gabriel celaka. Jika saja ia tidak menolak untuk permintaan pria itu, maka kecelakaan ini tidak akan terjadi.“Kalau kau menyesal, s
Entah apa kalimat yang cukup untuk menggambarkan perasaan Becca saat ini. Belum kering air mata mengalir di pipinya, ia kembali dikejutkan oleh kabar dari sang ibu mertua.Becca syok hingga ponsel yang masih tersambung dengan Adelia jatuh ke lantai. Tenggorokannya seketika kering dan kedua kakinya gemetar.“Mama!” teriak Becca begitu kesadaran menghampirinya.Lucia yang kebetulan akan keluar dari kamar pun segera mencari sumber suara. Matanya membulat saat putri semata wayangnya sudah terduduk di lantai dengan tangisan yang tersendat.Buru-buru Lucia turun setelah memanggil Gerald yang tak lama kemudian menyusulnya keluar. Lucia segera mendekat dan memeluk Becca yang masih menangis.“Kenapa, Sayang?” tanya Lucia cemas. Namun sayangnya, Becca tak mampu menjawab. Wanita dengan wajah memerah dan basah karena air mata itu balas memeluk dan malah histeris.“Ada apa?” Gerald terkejut melihat keadaan putrinya, tapi ia mencoba tenang saat kedua wanita yang menempati posisi tertinggi di hatiny
Suasana di meja makan sangat hening. Hanya ada suara alat makan yang mengisi kesunyian di sana. Lucia dan Gerald yang tak ingin ikut campur pun segera beranjak begitu makanan di atas piring telah habis.“Jaga putri Daddy, Gabriel,” pesan Gerald sebelum ia benar-benar pergi dari ruangan itu.Tak ada sahutan dari bibir Gabriel yang masih mengunyah dan tampaknya Gerald pun tidak sedang menuntut balasan.Lima menit telah berlalu. Waktu terasa lambat bagi Becca yang baru saja menghabiskan bubur di dalam mangkoknya. Tanpa menoleh ke arah Gabriel yang juga selesai sarapan, Becca meneguk air putih di gelas miliknya. Hal itu tak luput dari lirikan mata Gabriel yang mengintai.“Masih tak mau bicara,” gumam Gabriel seraya menunggu. Ia ingin melihat seberapa lama wanita yang telah menjadi istrinya itu bertahan. Namun, prediksi Gabriel lagi-lagi salah. Buktinya, setelah air dalam gelas itu tandas, Becca hendak bangkit tanpa menoleh ke arah Gabriel.Dengan gerakan lincah Gabriel menahan tangan Bec
“Bagaimana hasilnya, Derick?” tanya seorang pria dengan tatapan tajam yang kini duduk di kursi kebesarannya. Rahang yang dipenuhi bulu halus itu terlihat mengeras hingga urat-uratnya menonjol.“Maaf Tuan, saya tidak menemukan petunjuk apa pun.”Brak!Meja tak bersalah itu digebrak dengan kencang hingga pria bernama Derick itu terlonjak kaget.“Apa kau bilang?” desis pria itu dingin.Derick meneguk ludahnya kasar. Ia tak mampu menatap mata pria yang telah beberapa tahun menjadi bosnya.“Kau tahu ... aku paling tidak suka mendengar kegagalan.”“Maaf Tuan. Ini semua benar-benar di luar kendali saya. Tuan tentunya sudah tahu kinerja Baron selama ini,” jawab Derick mencoba menjelaskan. Berharap setelah ini sang tuan bisa menerima. Brak!Lagi, meja bersalah itu menjadi pelampiasan pemilik nama Albert Dominic dalam menuntaskan amarahnya. Ia seketika bangkit dan menghampiri sang asisten dan langsung menarik kemeja pria itu hingga terdongak.BUGH!Satu pukulan tangan Albert melayang ke pipi D
Sesuai kata dokter, keesokan harinya Lucia sudah diperbolehkan pulang. Betapa bahagia wanita yang sejak beberapa menit lalu tak meredupkan senyumannya.Ya. Tepatnya setelah dokter mengatakan dirinya bisa pulang. Dengan begitu, ia bisa membawa putri satu-satunya itu pulang bersamanya.“Becca.”Wanita dengan rambut ikal sebahu itu menoleh. Ia tersenyum setelah memasukkan pakaian sang ibu ke dalam tas.“Ada apa, Ma?”Lucia tersenyum. “Kemarilah.”Mau tak mau pemilik nama Rebecca Annastasia itu mendekat. Mencoba mempertahankan senyuman di wajahnya.“Duduklah,” perintah Lucia dengan lembut.Becca menurut. Sejurus kemudian ia menggenggam tangan Lucia erat.“Ada yang ingin Mama katakan?” tanya Becca tanpa mengurai genggaman tangannya. Napas Lucia berembus pelan. “Apakah hubunganmu dengan Gabriel baik-baik saja?” Deg!Mendapat pertanyaan yang tak pernah Becca duga mampu membuat debaran dadanya bertalu. Lebih kencang daripada saat ia mendengar tawa wanita yang sudah tidur dengan suaminya sen