Drrt .... drrt ... drrt ...
Jenny yang baru saja membuka mata mengulurkan tangan untuk meraih ponselnya.
“Halo, Jim. Bagaimana?”
>> “Semua bersih, gadis itu benar-benar tidak punya catatan buruk di mana pun, bahkan dia menjadi salah satu karyawan terbaik di salah satu perusahaan di California.”
“Lalu?”
>> “Dia bertemu Mr. Johnson di salah satu kelab malam, dan Mr. Johnson membawanya ke Palace Hotel, dan tidak ada apa pun yang terjadi di sana, berdasarkan rekaman CCTV yang berada di lorong kamar hotel, di mana Mr. Johnson membawa gadis itu masuk.”
“Mana mungkin?” Jenny memijit pelipisnya.
>> “Saya yakin, Nona. Semua bukti sudah saya kirimkan ke surel Anda, dan saya jamin keasliannya.”
“Baiklah. Tapi ... kamu harus ingat! Jangan ada yang tahu apa yang kamu lakukan, termasuk Kakak dan Daddy.”
>> “Saya akan selalu ingat, Nona.”
Setelah sambungan telepon terputus, Jenny mem
“Makan dulu, Nak,” bujuk Maria kepada Alex yang kini duduk di luar ruangan ICU, di mana Adelia terbaring. Alex tak merespon ucapan Maria yang sudah ke sekian kalinya. Laki-laki dengan tampilan kusut dan berantakan itu bahkan tak memedulikan keadaannya saat ini. Yang ia pedulikan hanya Adelia yang sedang berjuang di antara jurang kehidupan. Vonis yang diucapkan Dokter kemarin, membuat dunia Alex runtuh dan hancur. Alex yang biasa berdiri dengan tegap, tegas dan arogan, kini tak lebih dari lelaki yang menyedihkan. Selama dua hari ini, ia tak beranjak dari depan pintu ruang ICU, menunggu Adelia bangun dan pulang bersamanya ke rumah. Mungkin semua itu hanya mimpi yang Alex inginkan, karena sampai hari ini, Adelia tidak menunjukkan perkembangannya. “Kapan Adelia bangun, Mom ?” lirih Alex yang kini berada di samping Maria. “Sabar ya, Sayang. Adelia pasti bangun. Dia, wanita yang kuat. Mommy yakin sebentar lagi dia akan bangun. Kamu tidak boleh menyi
Alexander Johnson tak henti-hentinya mengembangkan senyuman ketika semalam dokter menyatakan ada perkembangan pada Adelia. Bahkan gadis yang kini masih dibantu beberapa alat- alat kedokteran itu, sudah bisa membuka kedua matanya. Alex pun di izinkan untuk masuk kembali menemani Adelia dengan memakai pakaian steril. “Selamat pagi, Baby,” sapa Alex yang kini sudah duduk di kursi yang tersedia, dan menggenggam salah satu tangan Adelia. Adelia mengerjapkan kedua matanya saat mendengar satu suara familiar tapi terasa asing baginya. ‘Dia siapa?’ gumamnya dalam hati. Adelia yang masih kesulitan berbicara hanya menggerak-gerakkan kedua bola matanya. “A-aku merindukanmu, Baby. Ayo segera bangun dan kita menikah!” ucap Alex antusias, mengingat Jenny sudah mengiyakan. Senyum di bibir Alex mengembang sempurna. “Kamu tahu, Jenny sudah menerima kalau kita menikah. Semalam, dia sudah memanggilmu ‘Kak Delia’. Ah, nanti aku minta dia masuk
“Ini tempat tinggalku?” Alex yang baru saja selesai menaruh koper milik Adelia di dalam kamar menoleh ke arah pintu. “Iya, Baby. Tepatnya tempat tinggal kita,” jawab Alex tenang. “Apakah kita sudah tinggal bersama?” tanya Adelia. Alex mengangguk. Diraihnya lengan Adelia dan membawa gadis itu duduk di atas tempat tidur. “Istirahatlah, Baby. Nanti aku akan menceritakan hal lainnya padamu. Bagaimana?” bujuk Alex. Adelia menatap kedua bola mata biru Alex sejenak sebelum mengangguk. Alex segera membantu Adelia berbaring dan menarik selimut sebatas dada. “Kamu mau ke mana?” tanya Adelia mendapati Alex menjauh. “A-aku akan beristirahat di luar. Kamu bisa memanggilku jika butuh sesuatu,” ucap Alex menahan perasaannya. “Apakah selama kita tinggal bersama kita selalu tidur terpisah?”Pertanyaan Adelia membuat Alex terkesiap dan refleks menggelengkan kepala. “Tidak. Kita selalu tidur bersama, di atas tempat tidu
“Kamu benar mengizinkan aku pergi sendiri?” tanya Adelia untuk ke sekian kalinya. “Iya, Baby. Untuk apa aku berbohong?” jawab Alex lembut. Sejak Alex memberitahu perihal kerelaannya membiarkannya pergi sendiri, Adelia tak henti-hentinya bertanya untuk meyakinkan bahwa memang benar adanya. Alex pun dengan sabar menjawab setiap pertanyaan yang sama tanpa mengeluh. “Aku sudah menyiapkan pesawat pribadi agar kamu bisa lebih nyaman. Selain itu untuk penginapan juga telah siap,” ucap Alex bangga. Adelia menarik sudut bibirnya sekilas. “Terima kasih.” “Hanya terima kasih?” pancing Alex. Adelia mendongak. Tanpa Alex duga sebuah kecupan Adelia berikan untuknya, membuat Alex semakin melebarkan senyumannya.Adelia bingung kenapa dirinya bisa melakukannya, ia hanya mengikuti dorongan hati yang menuntun untuk itu. “Kita akan ke rumah Mommy sebelum kamu berangkat, besok,” Alex merengkuh pinggang Adelia
“Apa kamu bilang? Adelia berangkat ke California?” tanya Tommy memastikan. Alex mengangguk. “Kamu gila atau begok sih!” pekik Tommy geram. Bagaimana bisa sahabat songongnya ini membiarkan Adelia yang baru saja sembuh untuk bepergian jauh tanpa dirinya? Bukankah kejadian kemarin harus menjadi pelajaran untuknya? Alex mengusap kasar wajahnya. Kedua tangannya merambat mengacak-acak rambutnya menjadi kusut masai. “Mau bagaimana lagi, Tom?” desah Alex kesal. “Kalau dia bahkan tidak mengizinkan Gue ikut pergi!” “Dan kamu nggak berusaha membujuk dia? Iya?” desak Tommy beruntun. Ada apa dengan sahabatnya ini? Kenapa semakin lama menjadi lemah? Ke mana sifat pemaksa yang selama ini dia miliki? Alex memejamkan matanya lelah. Semalaman ia tidak tidur dengan benar karena cemas memikirkan Adelia. Meskipun Vivi melaporkan semua aktivitas Adelia hingga gadis itu terlelap. Tapi, tetap saja berbeda.
Suara desahan pria dan wanita yang kini sedang bertarung menggapai kenikmatan, memenuhi sebuah kamar hotel di New York. “AARRGGHH!!!” geraman seorang pria yang kini berada di bawah tubuh seorang wanita, yang tampak menaikturunkan pinggulnya, menggema. Menandakan sesuatu telah menghantam dirinya. “Bagaimana Gerald?” tanya Stella dengan nafas yang masih terengah-engah dan menjatuhkan diri ke dada berbulu milik Gerald Franklin. “Kau memang luar biasa, Honey. Aku berpikir, kau terlalu baik untuk Alexander,” puji Gerald. Stella menyunggingkan senyumannya di dada Gerald mendengar pujian yang keluar dari bibir pria itu. Drrt ... drrt .... drrt .... Tangan Gerald terulur meraih ponselnya yang berada tak jauh darinya. Fiona Calling .... Gerald mengerutkan dahinya mendapati adik perempuan satu-satunya menghubunginya. Tanpa pikir panjang ia menarik tombol pada layar dan menyalakan loudspeaker.
Sebuah katedral dengan bangunan klasik yang terletak di kota San Diego, California menjadi pilihan Alex dan Adelia untuk mengucapkan janji suci pernikahan. Lamborgini Aventador merah yang dikemudikan Alex, berhenti tepat di depan katedral. Membawa sepasang calon pengantin yang sedang berbahagia. Seorang laki-laki dengan setelan tuksedo berwarna hitam, dipadukan dasi putih panjang, dengan tatanan rambut yang begitu rapi, turun lebih dulu, dari pintu sebelah kemudi. Dengan gerakan cepat, laki-laki berpakaian rapi itu membantu seorang gadis dengan gaun pengantin berwarna putih, yang membalut tubuh indahnya. Alex mengulurkan tangan untuk menyambut Adelia yang menerima dirinya untuk melangsungkan pernikahan mereka, sore ini, dengan senyuman yang tak pernah luntur dari bibirnya. Adelia tampak anggun dalam balutan gaun putih sederhana yang menjuntai, dan seikat bunga mawar yang berada di tangan kirinya. Adelia mengaitkan tangan kanannya ke lengan Alex, bersi
Adelia melenguh dengan mata terpejam saat kecupan-kecupan basah mendarat di pundaknya yang masih polos. Setelah pergulatan panasnya semalam yang terjadi sampai pagi menjelang, membuat Adelia merasa letih dan lemas. Karena sang suami tak henti-hentinya menyiksanya dengan kenikmatan. Dalam hati Adelia bangga dan bersyukur karena yang berhasil memasukinya adalah suaminya sendiri. Sekarang ia jadi tahu kenapa mantan kekasih brengseknya memilih wanita lain saat dirinya tak mau melakukannya dulu. “Morning, My Wife?” sapa Alex dengan suara serak yang mengisyaratkan gairah di dalamnya. Adelia yang masih enggan berbalik dan membuka mata, tersenyum. “Morning, Husband?” Husband? Alex tak henti-hentinya tersenyum dan terus bersyukur. Akhirnya, ia bisa memiliki wanita pilihannya sebagai istri. Apalagi saat mendengar suara manja Adelia memanggilnya ‘Husband’, Alex merasa sangat bahagia. “Apakah kamu ingin berendam, Wife?” tanya Alex yang kini member
“Apa kau yakin ini semua akurat?” “Tentu, Sir,” jawab pria di seberang sana dengan yakin. Bahkan Alexander tidak perlu bertanya dua kali untuk hal seperti itu.“Dan apa kau tahu di mana tempat tinggal Gabriel sekarang?” tanya Alexander penasaran. Karena sampai saat ini ia tidak berhasil menemukan keberadaan putranya.Terdengar helaan napas singkat di seberang sana. “Maaf Sir, saya tidak bisa mencari tahu. Semua akses tentang Gabriel Johnson telah dikunci. Pun dengan keberadaan Rebecca Annastasia.”Tangan Alexander mengepal hingga urat-uratnya menonjol. Emosi seketika mendominasi otak pintarnya yang menjadi bodoh karena merasa dikelabuhi oleh anak-anak muda nakal.“Tapi, saya bisa mencari tahu lewat akses orang tua Rebecca Annastasia jika Anda mengijinkan.”Mengingat siapa orang tua Becca saja membuat Alexander terus murka. Apalagi jika diingatkan bagaimana Gerald membuat kekacauan hingga nyaris membuat keluarganya berantakan. Ingat! Gara-gara ulah Gerald bukan hanya Adelia, tapi Jenn
Suasana meja makan di Keluarga Johnson tampak hening setelah Maria dan William duduk di tempatnya. Alexander yang sedari tadi lebih banyak diam pun hanya membalas tatapan Maria sebentar sebelum kembali berpura-pura fokus dengan sarapan di piringnya.“Besok kita akan pergi berlibur,” ucap Maria yang kemudian menatap satu per satu anggota keluarga di sana. “Kalian bisa berkemas mulai hari ini.”Christian dan Christopher mengangkat wajahnya sejenak hanya untuk memperhatikan atmosfer dingin, lalu berpaling ke arah sang nenek. Mereka tersenyum sebelum kembali kompak menundukkan wajah. Tak terkecuali Clara yang diam-diam hanya mengintip tanpa berani menyela seperti kebiasaannya.Namun berbeda dengan Alexander yang memang tak bisa menerima begitu saja. Putra satu-satunya William dan Maria itu menegakkan punggung untuk menatap kedua orang tuanya yang masih terlihat sangat santai.“Kita tidak akan pergi tanpa Gabriel!” tolak Alexander tiba-tiba.Bukan Maria dan William saja yang terkejut, tapi
“Sungguh, aku sangat malu.” Kedua pipi Becca masih merona setelah William dan Maria meninggalkan ruang perawatan sejak satu jam yang lalu. Jelas, tuntutan yang terang-terangan ditujukan padanya menjadi tanggung jawab.Melihat tingkah sang istri Gabriel justru tersenyum geli. “Kemari.”Membawa langkahnya yang lesu, Becca segera mendekat. “Bagaimana nanti aku bertemu mereka lagi, Gabriel?”Dada Gabriel bergetar menahan tawa. Lalu, tangannya meraih pipi merona sang istri yang membuatnya sangat gemas. Ia tersenyum. “Kenapa mesti malu, hm? Mereka pernah muda, tentu saja hal seperti tadi sangat wajar.”“Tapi tetap saja aku malu,” kelit Becca masih tak mampu menjabarkan perasaannya sendiri. “Bagaimanapun juga kau masih sakit dan bisa-bisanya aku berbuat seperti tadi. Oh ….”Melihat kegusaran Becca, Gabriel mengabaikan tangannya yang cedera hanya untuk mencium bibir sang istri. Hal spontan itu tentu saja membuat Becca terkejut hingga kedua matanya membulat sempurna.“Daripada memikirkan hal
Jari-jari yang memiliki kuku panjang itu mengepal erat. Amarahnya sudah mendominasi hingga ia nyaris berbuat ceroboh.“Dasar jalang tak tahu malu!” desisnya tak suka. Masih memperhatikan aktivitas kedua orang di atas ranjang perawatan, pemilik nama Celine Addison mengambil kamera dan membidik beberapa foto.“Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Uncle Alexander mengetahui ini.”Seolah mendapat kemenangan, Celine menatap sinis wanita yang baru saja turun dari tubuh pria yang ia inginkan.“Tunggu pembalasanku!”**Bukan hanya Adelia yang pulang setelah memastikan Gabriel dan Becca baik-baik saja. Gerald yang melihat bagaimana pasangan muda dimabuk asmara itu bersama juga memutuskan untuk memberi mereka privasi.Pria yang saat ini telah tiba di halaman rumahnya langsung masuk dan mengabaikan sapaan para pelayan. Tentu saja mereka bingung, tapi tak berani bertanya.“Bagaimana keadaan menantu kita, Gerald?” tanya Lucia cemas karena sepulang dari rumah sakit Gerald belum mengatakan apa pun
“Belum puas memandangiku, hm?”Becca menggeleng. Bibirnya masih terasa kebas setelah Gabriel menciumnya dengan isapan dalam.“Sini.” Gabriel menepuk tempat di sampingnya yang masih muat untuk Becca berbaring, tapi hingga beberapa saat lamanya wanita yang telah ia nikahi itu masih tak bergeming. Hanya menatap tanpa berucap sepatah kata pun.Gabriel maklum. Pasti sang istri masih syok. Dan bukan Gabriel jika tak mampu membujuk.“Ayolah, Baby. Jika kau ingin aku sembuh, kau juga harus menemaniku tidur,” bujuk Gabriel yang sudah tak sabar untuk memeluk sang istri setelah beberapa hari ia harus tidur sendiri di apartemen mereka.“Kau membuatku takut,” ucap Becca lirih. Matanya kemudian terpejam demi menghalau butiran-butiran kristal yang telah menggenang.Gabriel tertegun.“Kau begini karena aku.” Lagi, Becca masih menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab Gabriel celaka. Jika saja ia tidak menolak untuk permintaan pria itu, maka kecelakaan ini tidak akan terjadi.“Kalau kau menyesal, s
Entah apa kalimat yang cukup untuk menggambarkan perasaan Becca saat ini. Belum kering air mata mengalir di pipinya, ia kembali dikejutkan oleh kabar dari sang ibu mertua.Becca syok hingga ponsel yang masih tersambung dengan Adelia jatuh ke lantai. Tenggorokannya seketika kering dan kedua kakinya gemetar.“Mama!” teriak Becca begitu kesadaran menghampirinya.Lucia yang kebetulan akan keluar dari kamar pun segera mencari sumber suara. Matanya membulat saat putri semata wayangnya sudah terduduk di lantai dengan tangisan yang tersendat.Buru-buru Lucia turun setelah memanggil Gerald yang tak lama kemudian menyusulnya keluar. Lucia segera mendekat dan memeluk Becca yang masih menangis.“Kenapa, Sayang?” tanya Lucia cemas. Namun sayangnya, Becca tak mampu menjawab. Wanita dengan wajah memerah dan basah karena air mata itu balas memeluk dan malah histeris.“Ada apa?” Gerald terkejut melihat keadaan putrinya, tapi ia mencoba tenang saat kedua wanita yang menempati posisi tertinggi di hatiny
Suasana di meja makan sangat hening. Hanya ada suara alat makan yang mengisi kesunyian di sana. Lucia dan Gerald yang tak ingin ikut campur pun segera beranjak begitu makanan di atas piring telah habis.“Jaga putri Daddy, Gabriel,” pesan Gerald sebelum ia benar-benar pergi dari ruangan itu.Tak ada sahutan dari bibir Gabriel yang masih mengunyah dan tampaknya Gerald pun tidak sedang menuntut balasan.Lima menit telah berlalu. Waktu terasa lambat bagi Becca yang baru saja menghabiskan bubur di dalam mangkoknya. Tanpa menoleh ke arah Gabriel yang juga selesai sarapan, Becca meneguk air putih di gelas miliknya. Hal itu tak luput dari lirikan mata Gabriel yang mengintai.“Masih tak mau bicara,” gumam Gabriel seraya menunggu. Ia ingin melihat seberapa lama wanita yang telah menjadi istrinya itu bertahan. Namun, prediksi Gabriel lagi-lagi salah. Buktinya, setelah air dalam gelas itu tandas, Becca hendak bangkit tanpa menoleh ke arah Gabriel.Dengan gerakan lincah Gabriel menahan tangan Bec
“Bagaimana hasilnya, Derick?” tanya seorang pria dengan tatapan tajam yang kini duduk di kursi kebesarannya. Rahang yang dipenuhi bulu halus itu terlihat mengeras hingga urat-uratnya menonjol.“Maaf Tuan, saya tidak menemukan petunjuk apa pun.”Brak!Meja tak bersalah itu digebrak dengan kencang hingga pria bernama Derick itu terlonjak kaget.“Apa kau bilang?” desis pria itu dingin.Derick meneguk ludahnya kasar. Ia tak mampu menatap mata pria yang telah beberapa tahun menjadi bosnya.“Kau tahu ... aku paling tidak suka mendengar kegagalan.”“Maaf Tuan. Ini semua benar-benar di luar kendali saya. Tuan tentunya sudah tahu kinerja Baron selama ini,” jawab Derick mencoba menjelaskan. Berharap setelah ini sang tuan bisa menerima. Brak!Lagi, meja bersalah itu menjadi pelampiasan pemilik nama Albert Dominic dalam menuntaskan amarahnya. Ia seketika bangkit dan menghampiri sang asisten dan langsung menarik kemeja pria itu hingga terdongak.BUGH!Satu pukulan tangan Albert melayang ke pipi D
Sesuai kata dokter, keesokan harinya Lucia sudah diperbolehkan pulang. Betapa bahagia wanita yang sejak beberapa menit lalu tak meredupkan senyumannya.Ya. Tepatnya setelah dokter mengatakan dirinya bisa pulang. Dengan begitu, ia bisa membawa putri satu-satunya itu pulang bersamanya.“Becca.”Wanita dengan rambut ikal sebahu itu menoleh. Ia tersenyum setelah memasukkan pakaian sang ibu ke dalam tas.“Ada apa, Ma?”Lucia tersenyum. “Kemarilah.”Mau tak mau pemilik nama Rebecca Annastasia itu mendekat. Mencoba mempertahankan senyuman di wajahnya.“Duduklah,” perintah Lucia dengan lembut.Becca menurut. Sejurus kemudian ia menggenggam tangan Lucia erat.“Ada yang ingin Mama katakan?” tanya Becca tanpa mengurai genggaman tangannya. Napas Lucia berembus pelan. “Apakah hubunganmu dengan Gabriel baik-baik saja?” Deg!Mendapat pertanyaan yang tak pernah Becca duga mampu membuat debaran dadanya bertalu. Lebih kencang daripada saat ia mendengar tawa wanita yang sudah tidur dengan suaminya sen