"Aduh, aduh dadaku, aduh kakiku sakit sekali." Leticia menggosok-gosok kaki kanan yang terkilir. Matanya terbelalak saat cairan hangat mengalir di dada. Luka jahitan kembali terbuka. Tangannya refleks menekan luka yang semakin perih seraya menggigit bibir menahan sakit. Sayangnya, darah terlanjur menembus kaus merah muda yang dia pakai.
Leticia menunduk hingga tak menyadari sosok pria bertubuh tinggi tengah memerhatikannya di ambang pintu. Wanita itu mengerjap tersadar setelah beberapa detik terkejut. Sekilas dia melirik pria yang mengenakan celana bahan hitam dan kaus putih panjang. Gorden apartemen yang tertutup membuat dia tak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas.
___
Vanderson Raymondo baru saja terbangun. Kepalanya begitu berat hingga keningnya terasa berdenyut-denyut. Dia membuka mata melihat ke balkon. "Sudah siang? Berapa lama aku tidur? Jam berapa ini?" Ray bergumam. Tubuhnya seolah enggan untuk bangkit dari ranjang.
Membuka mata membuatnya teringat peristiwa menyakitkan. Nikita yang menghianatinya sedemikian brutal membuat dia melampiaskan kekecewaan pada alkohol hingga mabuk berat. Kini tubuhnya seolah remuk. Tak beda dengan suasana hatinya yang porak-poranda.
Tenggorokannya begitu kering. Dia memaksakan diri untuk bangkit sebelum mengalami dehidrasi. Ray beringsut duduk di tepi ranjang."Wanita pendusta!" umpatnya seraya menggosok-gosok wajah dengan kedua tangan.
Dia bangkit menggusur kakinya keluar dari kamar. Sejenak, langkahnya terhenti di ruang tamu ketika melihat bayangan bergerak-gerak dari celah pintu. Dahi Ray mengerut terheran, dia berjalan lalu membuka kunci perlahan, dan menarik tuas pintu dalam satu tarikan.
Gedebuk!
Ray terkesiap saat mendapati wanita terjatuh cukup keras. Samar-samar dia mendengar. "Aduh, aduh dadaku, aduh kakiku sakit sekali." Suara wanita itu terdengar kesakitan.
Ray mengerjap-ngerjapkan mata yang masih lengket, lalu mengulurkan tangan membantu wanita itu berdiri. "Kau tidak apa-apa?" Ray tak menyadari bahwa suaranya begitu serak. Tunggu. Dia mengingat sesuatu. Wanita bermata biru dengan wajah lebam. Alis Ray mengerut ketika melihat bercak darah di pakaian wanita itu.
Leticia meraih tangan pria itu sambil menunduk, wajahnya pucat menahan sakit. Dengan lirih dia berkata, "Aku tidak apa-apa. Maaf menggang …." Ucapan Leticia terhenti ketika melihat mata hazel pria itu.
"Hey! Kau rupanya! Pantas saja aku begitu sial!" desis Leticia sambil mengatupkan rahang menahan kesal. Dengan cepat dia menarik tangannya dari pria itu. Lalu membalikkan badan dan berjalan dengan terpincang-pincang.
Ray menatap lekat punggung Leticia. "Wanita ceroboh! Kenapa kau suka sekali memakiku," gumam Ray. Alis tebalnya tiba-tiba terangkat ketika Leticia masuk ke apartemen di hadapannya. "Dia tinggal di sini?" Seringai misterius terukir dari bibirnya.
Brak!
Leticia masuk ke apartemen dan membanting pintu cukup keras. Dengan terpincang-pincang dia berjalan ke kamar. Mengambil obat dan perban dari dalam tas kecil. Saat mengobati luka di dada, benaknya dipenuhi dengan kejadian hari ini. Sebelum berangkat, pesawat tertunda hingga dia harus terlunta-lunta di Bandara. Barusan sekali dia mengalami hal memalukan.
Wanita itu menghela napas panjang. "Tidak! Semoga ini bukan pertanda buruk," kata Leticia pada diri sendiri.
Tubuh Leticia seolah menariknya ke atas ranjang. Perjalanan panjang membuat dia begitu kelelahan. Wanita itu menarik selimut putih berbulu lembut.
"Tuhan ... ampuni aku. Jangan biarkan aku gagal membujuk arsitek itu. Aku tak memiliki siapapun selain ayah," lirih Leticia saat memejamkan mata.
Tak lama kemudian matanya terbelalak hingga terperanjat. "Jangan pertemukan aku dengan pria pembawa sial itu lagi," desis Leticia. "Aku harus segera menemui arsitek itu agar segera pergi dari sini." Leticia mengembuskan napas gusar lalu turun dari ranjang.
Ketika hendak mengambil jaket dari koper, dia menyadari tak menemukan dokumen berisi identitas sang arsitek. Seluruh isi koper dia hamburkan di atas lantai. "Astaga, kenapa aku melupakan hal sepenting itu." Leticia merutuki diri sendiri.
Leticia kembali merapikan koper, lalu mengambil ponsel dari tas di atas nakas untuk menghubungi sang Ayah.
"Arrghh! Sial!" keluh Leticia. Dia terlalu lama mendengarkan musik saat menunggu di Bandara hingga ponselnya mati. Merasa panik dia segera mencari pengisi daya dari dalam koper.
"Astaga! Kenapa aku begitu ceroboh!" Lagi-lagi nasib baik tak berpihak pada Leticia. Dia baru mengingat ponsel itu milik Laura hingga lupa meminta pengisi daya dari David. Leticia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan, mengendalikan kepanikan yang kian melanda.
Dia berpikir keras apa yang harus dilakukan. Dia mengangkat jam di pergelangan, waktu menunjukkan pukul 17.00. "Aku harus membeli pengisi daya sebelum larut malam."
Leticia melapisi tubuh dengan hoodie putih, dengan terburu-buru memakai sneaker abu muda. Kemudian meraih sling bag dari atas nakas dan segera keluar dari apartemen dengan kaki yang masih terpincang-pincang. Kepalanya berputar ke segala arah. Dia bertanya pada orang yang berlalu lalang. Akhirnya, dia berjalan sejauh 500 meter ke arah selatan.
Hari semakin sore.
Matahari menyembunyikan diri di balik awan mendung. Cuaca seperti sedang tak bersahabat. Kabut tebal menyelimuti sudut kota membuat jarak pandang memburuk.
Begitu tiba di tempat tujuan. Ternyata, gerai ponsel berada di seberang jalan. Leticia menoleh ke kiri dan ke kanan hendak menyeberang, mobil-mobil melaju cukup kencang. Membuat dia harus berdiri beberapa saat.
Sebuah sepeda motor berhenti di hadapan Leticia. Dengan gerakan cepat pengendara yang mengenakan jaket kulit berwarna coklat dengan helm full face merampas tas wanita itu dan menarik gas dengan kecepatan penuh.
Leticia tersentak sesaat lalu menjerit, "Tolong ... tasku dirampok! Siapapun tolong aku…." Leticia berlari mengejar sambil menggigit bibir menahan sakit di kaki kanan yang terkilir.
Air mata tertahan di pelupuk mata. Hatinya menjerit-jerit. "Tuhan, kumohon jangan menghukumku seperti ini. Ampuni aku …."
Dia berlari sekuat tenaga hingga menabrak sepasang remaja pria dan wanita yang berjalan sambil menikmati kopi di cup kertas.
Bruk!
Seketika Leticia terjatuh dengan posisi tengkurap di atas aspal kasar. Sepasang remaja itu pun terjatuh. Secangkir cappuccino mengotori hoodie putihnya. Hal itu berhasil membuat Leticia menghentikan usahanya mengejar pencuri.
Leticia bangkit di bantu sepasang remaja itu. Wajah lebam menjadi pucat pasi menahan luka jahitan yang terasa semakin robek.
"M-maaf … aku tak sengaja," ucap Leticia terengah-engah.
"Tak apa, kau baik-baik saja, Nona?" Sepasang remaja itu membopong Leticia ke pinggir jalan.
Leticia menolak ketika dua orang itu mengajak ke rumah sakit. Dia memilih kembali ke apartemen seorang diri. Ya. Dia butuh kesendirian. Dia berjalan dengan pundak merosot. Tertatih-tatih. Lelah. Leticia dipaksa kuat untuk menggapai tujuan.
Bukan tentang tujuan menggapai cita-cita. Leticia hanya menginginkan pengampunan dari sang ayah. Setengah putus asa dia berucap, "Maaf, Ibu." Setetes air mata meluncur membasahi pipi.
Pedih. Bukan tentang luka yang kembali menganga. Bukan pula tentang lebam di wajah atau kaki yang terkilir. Rasa sakit mengikis palung hati kala sesal tak mampu dia sembahkan pada orang yang tak lagi di dunia.
Segelintir lamunan mengantarkan Leticia hingga ke apartemen. Leticia melirik pintu di lantai satu yang saling berhadapan sambil mengingat-ingat tulisan dalam dokumen. Di apartemen no berapa arsitek itu tinggal? Nihil. Tak ada yang bisa dia ingat kecuali ucapan sang Ayah. "Tuan Vanderson Raymondo adalah orang arogan dan angkuh!"Ucapan David terngiang jelas dalam benak Leticia. Kebuntuan informasi membuat wanita itu semakin frustrasi. "Seperti apa wajah tuan Vanderson Raymondo?" Tak henti-henti dia bertanya pada diri sendiri."Daniel dan ayah adalah orang arogan!"Kedua bayangan lelaki itu menghujam tubuh Leticia laksana pemecah es, dingin, tajam, dan menusuk. Nama Daniel seakan menusuk organ-organ penting dalam tubuhnya. Menggemuruh dalam benaknya. Memikirkan kedua sosok itu membuat tubuh Leticia lemas hingga merosot di belakang sofa.Leticia memicingkan mata teringat wajah pria bermata hazel yang tinggal di apartemen 609.
"Cukup! Obrolan kalian membuat ingin muntah," kata Ray datar. Kemudian, dia meraih segelas wine dan menyesap perlahan. Seketika suasana menjadi senyap. Ray melirik ketiga sahabatnya satu persatu lalu tertawa terbahak-bahak."Kalian cukup ganti topik saja, Kawan!""Tentu. Bersenang-senanglah dengan wanita sexy di klub mu, Ray," goda Alex. "Setidaknya mereka takkan menipumu dengan penampilan lugu." Alis Alex naik turun."Sial! Kau menyarankan ide yang menakjubkan saat aku tak bisa berjalan," timpal Marco sambil melempar sebatang rokok yang menyala pada Alex."Kau membuatku ingin menangis, Marc," cibir Max. "Yang cedera hanya kakimu, bukan berarti kejantananmu tak bisa berdiri. Kau bisa meminta jalangmu meliuk-liuk di atas paha."Max meraih stick billiard dari wall mount dan melemparkan pada Raymond. "Lupakan Nikita! Tunjukkan bakatmu, pemuda tampan!" Max berjalan ke ujung meja billiard.Alex dengan sigap segera op
Leticia terjaga di lobi apartemen. Tak selangkah pun beranjak dari tempat itu sejak terjadinya insiden penjambretan. Kecuali, tak sadar saat dirinya tertidur beberapa menit sore tadi. Dia mondar-mandir di depan pintu apartemen 606. Entah berapa kali cacing-cacing dalam perut berteriak meminta diberi makan.Untuk kesekian kali dia mengangkat jam di pergelangan kiri. "Enn, pukul 11 malam. Pantas saja aku kelaparan," desahnya pelan. Kemudian wanita itu berjalan cepat menaiki tangga. Uang makan yang diberikan David raib dirampok. Beruntung dia membawa stok makanan mentah. Langkahnya terhenti saat meraba saku celana jeans bagian depan.Bibir Leticia tersenyum ketika mendapati ongkos taksi dan tiket masih utuh. Leticia keluar dari apartemen. Kepalanya berputar ke berbagai arah, mencari tempat makanan yang mudah dicapai. Sesaat, dia mengingat ucapan Benny saat mempromosikan kafe. Wanita itu berjalan ke arah selatan.Tak lama kemudian dia tiba di kafe
Leticia mengerjap kaget dengan sikap Ray yang tiba-tiba, membuat pasokan napasnya seakan menipis. "Lapar," sahut Leticia, dia menjauhkan tubuh dari pria itu."Setidaknya kau bisa melahap makananmu dulu. Lidahmu bisa terbakar, minuman itu masih panas, Nona."Ray tak menyadari suaranya yang lembut dan perhatian membuat lutut Leticia gemetar. Wanita itu menatap Ray, hatinya terasa hangat oleh sikap pria itu. "Ya, terima kasih, Tuan." kata Leticia dengan gelagapan.Ray mengangguk santai lalu menegapkan posisi duduk. Dengan elegannya dia meraih secangkir espresso yang masih mengepul, menyesapnya perlahan. "Nona, ucapanmu tadi belum selesai." Ray mengeluarkan sebungkus rokok dari parka hitam. Tak lama kemudian, jemarinya mengapit sebatang rokok yang menyala.Leticia tengah asyik melahap sebungkus roti lapis coklat dengan gigitan besar. "En, intinya aku harus menemui tuan Vanderson. Ada yang harus ku selesaikan dengannya," terangnya.
Kemeja putih, celana kain hitam, jas yang juga hitam. Dasi merah bergaris gold dan sepatu pantofel yang mengilap, tampak seperti eksekutif muda. Leticia hampir tak percaya pria setampan itu berada di apartemen kecil.Ray terpaku beberapa detik, menatap hitam panjang rambut Leticia yang anggun terikat. Bukan rambutnya yang menarik perhatian Ray, tetapi leher jenjangnya yang mulus membuat tenggorokan pria itu tersendat. Pria itu mengerjap lalu berdeham, "Ehem, kau bertamu sepagi ini, Nona?" Ray menatap wajah Leticia yang memakai riasan tipis, tetapi mampu menyamarkan memar di pipinya. Polesan lipgloss membuat wajah wanita itu tampak lebih segar dan energik.Ray tak sadar baritonnya yang seksi membuat Leticia seperti kehabisan napas. "Aku … apa kau sudah sarapan?" tanya Leticia gelagapan yang kemudian tersenyum merekah saat Ray menggeleng pelan."Kau tak mengajakku masuk?" Leticia tersenyum menampilkan gigi putih yang rapi.
Leticia sangat yakin bahwa pria itu adalah sang arsitek. Sangat cocok disebut arogan ketika Leticia melihat penampilannya bagai mafia. Kepala botak, celana jeans dan jaket kulit hitam. Membayangkan bagaimana arogannya tuan Vanderson, membuat bulu kuduk Leticia berdiri hingga bahunya bergidik.Segelintir pikiran menemani langkah Leticia ke Bens kafe. Tentu saja dia harus memastikan pada Benny di apartemen nomor berapa sang arsitek tinggal. Leticia ternganga tak percaya ketika membaca selembar kertas di pintu kaca. Rupanya kafe tutup selama dua pekan. Berkali-kali dirinya menghela napas lelah."Kenapa tuan Benny pergi saat ini?" Leticia bergumam ketika merasa semakin sulit mencari sang arsitek. Dia kembali dengan bahu yang merosot. Hanya pemuda tampan itu harapan satu-satunya untuk menemui tuan Vanderson.Segelintir harapan menemani langkah Leticia kembali. Dia mondar-mandir dalam ruang apartemen, tanpa sadar bibirnya tersenyum ketika membuka pintu belakang
"Vanderson Raymondo, aku yakin kalian mengenal pemuda ini sebagai arsitek yang namanya kini melambung tinggi karena karya-karya yang luar biasa. Tak banyak dari kalian yang tahu Vanderson sebelum mencapai karirnya sekarang. Dia yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan di Catania," lanjut Arthur ketika melirik Ray, pemuda itu tampak menahan kesal."Di usia 12 tahun ibu panti meminta Vanderson mengurus sebuah toko kecil, dalam satu tahun berhasil membuat toko menjadi yang terbesar di Catania. Namun, cita-cita sebagai arsitek telah ia pendam sejak usia 8 tahun. Karena melihat kecerdikannya mengelola uang, saat usia 15 tahun aku memintanya bekerja di Bank Swasta milikku di kota itu," sambung Arthur. Ada jeda beberapa detik ketika mata Ray membidik tajam padanya, tetapi tidak membuat Arthur menghentikan pidatonya."Vanderson tak paham apapun soal perbankan. Dia belajar dari bagian kliring, cash dan checking account sebulan penuh. Pemuda ini akhirnya mengerti proses
Max menyunggingkan senyum tipis sebelum menjawab, "Meski aku tak mengenal Leticia dengan baik, aku yakin dia pasti menunggu!""Ray, apa kau akan mengakui dirimu pada wanita itu?" tanya Alex dari kursi belakang."Ya!" Ray menjawab singkat"Kau tertarik padanya, Kawan?" tanya Max tersenyum sambil fokus mengemudi.Ray memicingkan mata lalu menyandarkan kepala. Dengan penuh keyakinan dia berkata, "Entahlah, Max. Tiap kali menatap Leticia, aku merasa ada luka yang menganga di kedalaman matanya. Semoga dugaanku salah, Max."Selain langit hitam tertutup kabut tebal dan cuaca dingin, Ray terlambat dari waktu yang dijanjikan. Saat itu waktu menunjukkan pukul 22.00, dan pria itu ragu apakah Leticia menunggunya atau tidak. Sehingga, Ray meminta Max mengantar ke apartemen terlebih dulu. Kedua sahabatnya pergi setelah Ray memerintahkan untuk menemani Marco.Setelah tiga kali mengetuk pintu dan memastikan wanita itu tidak ada, Ray membal
Ray menghela napas panjang, dia menutup lembaran dokumen dan beranjak dari kursi di balik meja kerja. Air wajah Ray begitu dingin saat menghadapi Nikita. Dia berjalan dan membuka pintu lebih lebar. "Nikita, jaga batasanmu. Aku masih menghormatimu karena kamu adalah istri adikku. Sekarang cepat pergi, jangan sampai keluargaku salah paham," ucap Ray sambil berdiri di ambang pintu. Nikita tersenyum maut sebelum menyahut, "Ray, kita bisa mengulang hubungan kita diam-diam. Aku tahu kamu masih mencintaiku, lagi pula kamu dan Leticia menikah belum ...."Ucapan Nikita terhenti saat Ray menarik paksa tangannya. Saat Ray akan mendorong keluar, Nikita memutar tubuh dan melingkarkan tangan di leher Ray dan memeluk dengan erat. Wanita itu bahkan dengan berani mencium leher Ray. "Jalang!" bentak Ray sambil mendorong bahu Nikita hingga wanita itu hampir terjatuh. Ray langsung menutup pintu setelah berhasil mendorong Nikita keluar."Sialan," desis Nikita, jengkel. Saat dia memutar badan akan kemba
Saat Ray pulang bekerja malam hari, dia memarkirkan Audy S8 hitam di pelataran. Dari awal masuk gerbang, Ray sudah melihat mobil BMW milik Ayres sudah terparkir di sana. Pria itu menjadi sedikit cemas kala mengingat Nikita pasti ikut bersama. Gegas Ray mempercepat langkahnya sambil menggusur koper ke dalam rumah. Ketika dia tak melihat Leticia ikut berkumpul di ruang keluarga, Ray menjadi semakin gelisah."Bu, Istriku mana?" tanya Ray pada Mila yang sedang berbincang dengan Ayres, Nikita, dan Alfonso. Chery tentu saja sudah tinggal bersama Alex, suamimya. Sedangkan Chico, dia lebih memilih tinggal di apartemennya sendiri. masing-masing. "Dia sedang beristirahat. Sejak sore sudah masuk kamar," jawab Mila dengan lembut. Saat Ray akan menaiki tangga, Ayres tiba-tiba berkata dengan nada sedikit merajuk, "Kak Ray, kamu tidak menyapaku?"Ray melirik Nikita yang duduk di samping Ayres. Hingga saat ini, tak ada yang tahu bahwa Ray pernah menjalin hubungan dengan Nikita. Terutama Ayres, dia
Leticia akhirnya patuh dengan keputusan Ray untuk kembali tinggal di kediaman Ray. Selain mengutus orang untuk mengelola toko perhiasan, Ray juga siaga mengantar jemput Leticia kuliah di tengah kesibukannya mengurus VR Group.Hal itu berlangsung lama hingga usia kandungan Leticia menginjak enam bulan. Leticia sangat bersyukur karena kehamilannya saat ini tak mengalami morning sick terlalu parah. Hanya saja, tubuhnya yang sedikit kecil membuat wanita itu lebih cepat lelah. Setiap akhir bulan, Leticia selalu pergi untuk memeriksa kondisi tokonya. Sesekali dia dan Ray juga pergi ke kediaman Alfonso. Seperti saat ini, sejak pagi Leticia berkunjung ke kediaman mertuanya. "Cia, Ibu selalu mengkhawatirkan kamu akhir-akhir ini. Apa tak sebaiknya kamu menetap di sini saja?" ucap Mila sambil menyiapkan makanan untuk makan malam. "Ray merawatku dengan sangat baik, Bu. Ibu jangan terlalu cemas," sahut Leticia, lembut. "Tapi kandunganmu semakin besar. Ray juga tidak 24 jam berada di rumah." Mi
Leticia menghela napas pelan sebelum menjelaskan pada Mila bahwa dia harus mengurus toko perhiasan di pusat kota. Terlebih lagi, dirinya baru saja memulai kuliah satu bulan lalu. Jarak dari toko miliknya ke universitas hanya butuh waktu lima belas menit perjalanan. Namun, kediaman Alfonso ke universitas terlalu jauh, tidak mungkin Leticia harus menempuh perjalanan pulang pergi selama tiga jam setiap hari. Ray terdiam mendengar ucapan Leticia. Dia baru tersadar, saat itu sudah mengatur rumah, universitas, dan toko perhiasan di pusat kota untuk Leticia. "Sayang, aku akan mengatur orang untuk mengelola toko perhiasan. Jangan terlalu lelah, kamu sedang hamil. Ambil kelas siang hari saja, ya?" Ray akhirnya memusatkan fokusnya pada kehamilan sang istri. Leticia menoleh sambil melambaikan tangan, tak setuju dengan saran sang suami. "Tidak bisa, Ray. Aku masih sanggup menanganinya. Lagi pula kuliahku hanya sampai pukul sepuluh malam," jawab Leticia. Ekspresi Ray berubah dingin mendengar
Ekspresi Ray berubah muram dan tak sedap dipandang. Kecemburuan mulai merebak di matanya. Walaupun Chico adalah adiknya, tetapi dia tahu bahwa Alfonso sempat akan menjodohkan dengan Leticia. Leticia tersenyum simpul melihat wajah Ray yang tiba-tiba murung. 'Apa Ray sedang cemburu?' batin Leticia bertanya-tanya."Ray," kata Leticia saat memegang punggung tangan Ray. "Temani aku memasak untuk makan malam, ya?"Ray membalikkan telapak tangan, menautkan jemarinya dengan jemari Leticia. Tatapan penuh memanjakan perlahan tersebar di manik matanya."Dengan senang hati, Nyonya Ray." Ray menyahut dengan lembut saat berdiri sambil menggandeng pinggang ramping Leticia. Chico mendecakkan lidah melihat kemesraan Ray dan Leticia yang begitu intim. Chico mengakui bahwa dirinya tak kalah tampan dari sang Kakak. Mata hazelnya sama-sama diwarisi dari Alfonso, hidungnya juga mancung dengan bibir tipis. Hanya saja, Chico mengakui bahwa tubuhnya tak setinggi dan segagah Ray. "Cia, biar Ibu saja yang m
Keesokan harinya. Seperti yang Leticia inginkan, Ray membawa Leticia untuk bertemu dengan ayah dan ibunya. Sebenarnya, Leticia meminta Ray mengajaknya semalam. Hanya saja~Semalam Ray tak bisa menahan kerinduan yang sudah memuncak pada Leticia. Jadi, pria itu membawanya kembali ke rumah pernikahan mereka terlebih dulu. Pun demikian dengan Leticia, wanita itu juga tak kalah merindu Ray. Siang ini, di sepanjang perjalanan menuju kediaman Alfonso, bibir Leticia merekah dengan wajah merona. Teringat adegan panas semalam yang mereka lakukan. Ray meminta banyak hal dari Leticia, dan wanita itu memberikan lebih dari apa yang Ray inginkan. Dia ingat betul saat Ray dengan mesra berbisik, "You got it, My Lovely Wife."'Sepertinya aku harus membuat kejutan untuk Ray,' batin Leticia bermonolog sambil tersenyum mesem manis.Lamunan Leticia buyar saat Ray memegang tangannya setelah memanuver persneling, mengatur kecepatan mobil
Leticia berjalan mendekati pria bermata hazel itu hingga berjarak satu langkah. Tatapan mereka beradu di udara untuk beberapa detik. "Jangan digigit terus, kamu bisa terluka." Ray berkata dengan lembut saat mengangkat tangan menyentuh bibir ranum Leticia. Leticia memejamkan mata, dia menunduk menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba terasa panas. Tubuh wanita itu sedikit gemetaran saat Ray menyentuhnya. "Ray, kenapa kamu tidak pernah memberitahuku?" Leticia bertanya tanpa mengangkat pandangan, ucapannya terdengar begitu gugup. Ray meraih dagu Leticia agar mendongak menatapnya. Tampaklah butiran bening kristal menumpuk di kelopak mata wanita itu. "Umm?" gumam Ray sebelum bertanya dengan cemas. "Kenapa bersedih?" Leticia tak bisa menahan diri untuk tidak menabrakan diri ke pelukan Ray. Dia terisak-isak di dada bidang pria itu sambil memeluknya dengan erat. "Kenapa tak pernah memberitahuku bahwa Cheryl adalah adikmu?
Satu bulan kemudian.Seperti yang Leticia inginkan, Ray mendaftarkan wanita itu di universitas yang Ray rekomendasikan. Leticia awalnya menolak saat Ray memfasilitasi rumah, mobil, dan toko perhiasan di pusat Kota Ragusa. Meski Leticia pernah mengatakan bahwa dia tak ingin dilupakan, tetapi justru dia lah yang menutup komunikasi langsung dengan Ray. Bahkan, wanita itu sengaja mengganti nomor agar Ray tidak menghubunginya. Leticia tak ingin menjadi bayang-bayang dalam hubungan Ray dan Cheryl. Demi tak ingin menjadi orang ketiga, dan demi kebahagiaan pria itu, dia menutup rapat perasaannya. Rasa cinta yang besar, tak ingin terbagi dan dibagi. "Apa aku hamil lagi?" Leticia bertanya pada diri sini.Resah~Itulah yang Leticia rasakan saat ini. Di tengah kepadatan aktivitasnya mengurus toko di siang hari, dan kuliah di malam hari, Leticia saat ini sedang dilanda rasa gelisah.Sebab, dia kembali terlambat datang bulan setelah berpisah dengan Ray satu bulan lalu. Namun, memang besar harapan
Tiba di depan kamar presidential suite. Leticia sedikit ragu apakah akan melakukan hal itu bersama Ray."Kenapa, umm?" tanya Ray sambil mengulurkan tangan ketika masuk ke kamar hotel.Leticia mengembuskan napas panjang sebelum menjawab, "Tidak, aku hanya …."Ucapan Leticia terhenti saat Ray memeluknya dengan erat."Kamu ragu? Kamu yang mengajakku menghabiskan malam sebelum kita berpisah. Apa sekarang kita akan pulang, umm?" Ray berbisik dengan lembut.Embusan napas Ray begitu hangat membuat debar jantung Leticia menjadi tak karuan.Wanita itu menengadah, melingkarkan lengan di leher pria berwajah tampan di hadapannya.