Leticia sangat yakin bahwa pria itu adalah sang arsitek. Sangat cocok disebut arogan ketika Leticia melihat penampilannya bagai mafia. Kepala botak, celana jeans dan jaket kulit hitam. Membayangkan bagaimana arogannya tuan Vanderson, membuat bulu kuduk Leticia berdiri hingga bahunya bergidik.
Segelintir pikiran menemani langkah Leticia ke Bens kafe. Tentu saja dia harus memastikan pada Benny di apartemen nomor berapa sang arsitek tinggal. Leticia ternganga tak percaya ketika membaca selembar kertas di pintu kaca. Rupanya kafe tutup selama dua pekan. Berkali-kali dirinya menghela napas lelah.
"Kenapa tuan Benny pergi saat ini?" Leticia bergumam ketika merasa semakin sulit mencari sang arsitek. Dia kembali dengan bahu yang merosot. Hanya pemuda tampan itu harapan satu-satunya untuk menemui tuan Vanderson.
Segelintir harapan menemani langkah Leticia kembali. Dia mondar-mandir dalam ruang apartemen, tanpa sadar bibirnya tersenyum ketika membuka pintu belakang
"Vanderson Raymondo, aku yakin kalian mengenal pemuda ini sebagai arsitek yang namanya kini melambung tinggi karena karya-karya yang luar biasa. Tak banyak dari kalian yang tahu Vanderson sebelum mencapai karirnya sekarang. Dia yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan di Catania," lanjut Arthur ketika melirik Ray, pemuda itu tampak menahan kesal."Di usia 12 tahun ibu panti meminta Vanderson mengurus sebuah toko kecil, dalam satu tahun berhasil membuat toko menjadi yang terbesar di Catania. Namun, cita-cita sebagai arsitek telah ia pendam sejak usia 8 tahun. Karena melihat kecerdikannya mengelola uang, saat usia 15 tahun aku memintanya bekerja di Bank Swasta milikku di kota itu," sambung Arthur. Ada jeda beberapa detik ketika mata Ray membidik tajam padanya, tetapi tidak membuat Arthur menghentikan pidatonya."Vanderson tak paham apapun soal perbankan. Dia belajar dari bagian kliring, cash dan checking account sebulan penuh. Pemuda ini akhirnya mengerti proses
Max menyunggingkan senyum tipis sebelum menjawab, "Meski aku tak mengenal Leticia dengan baik, aku yakin dia pasti menunggu!""Ray, apa kau akan mengakui dirimu pada wanita itu?" tanya Alex dari kursi belakang."Ya!" Ray menjawab singkat"Kau tertarik padanya, Kawan?" tanya Max tersenyum sambil fokus mengemudi.Ray memicingkan mata lalu menyandarkan kepala. Dengan penuh keyakinan dia berkata, "Entahlah, Max. Tiap kali menatap Leticia, aku merasa ada luka yang menganga di kedalaman matanya. Semoga dugaanku salah, Max."Selain langit hitam tertutup kabut tebal dan cuaca dingin, Ray terlambat dari waktu yang dijanjikan. Saat itu waktu menunjukkan pukul 22.00, dan pria itu ragu apakah Leticia menunggunya atau tidak. Sehingga, Ray meminta Max mengantar ke apartemen terlebih dulu. Kedua sahabatnya pergi setelah Ray memerintahkan untuk menemani Marco.Setelah tiga kali mengetuk pintu dan memastikan wanita itu tidak ada, Ray membal
Leticia acuh, tak mengindahkah perkataan Ray. Dia berjalan cepat menaiki tangga. Pria itu cukup membuatnya kecewa hingga dia mengambil keputusan untuk tidak lagi berurusan dengannya. Terlalu sakit bagi Leticia jika kembali menaruh kepercayaan pada orang-orang pendusta. Mereka dari awal memang asing, dan Leticia memilih tak ingin mengenal pria itu.Ray menarik tangan Leticia ketika wanita itu hendak membuka pintu apartemennya. "Kumohon, dengarkan aku," kata Pria itu sambil menggenggam jemari Leticia. "Semalam aku ter-""Saya tak mengenal Anda, Tuan! Tak ada yang harus kudengar, dan tak ada yang harus Anda jelaskan!" Leticia memotong ucapan Ray sambil menarik tangannya dari genggaman pria itu."Jangan pernah sekalipun menyentuhku dengan tangan kotormu! Anda bermain begitu liar dengan wanita di tempat terbuka, haruskah aku biarkan tangan itu menyentuhku? Tidak! Aku takkan mengizinkan tangan pria manapun menjamah tubuhku!" Wanita itu menatap Ray penuh kebencian. Mat
"Kau yakin?" tanya Fico memastikan. Tak lama kemudian dia keluar dari mini bar lalu duduk di samping Leticia. Sambil melipat kedua tangan di depan dada, matanya menelusuri penampilan wanita itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kau tak bisa berpenampilan seperti ini saat jadi wanita penghibur," kata Fico. "Kau harus bermake up sedikit tebal untuk menyamarkan memar di wajahmu, Leticia." Pria itu memanyunkan bibir sambil memainkan alis. "Kau juga harus memakai mini dress dan setidaknya high heels 10 cm. Pekerjaannya mudah, hanya menemani para pria minum, dansa, karaoke atau bahkan sesekali kau akan diminta untuk menemani mereka tidur." Tatapan Fico penuh syarat akan arti. Mata Leticia terbelalak mendengar penuturan pria berambut cepol itu. Jika hanya menemani minum, dansa, dan bernyanyi dia akan menyanggupi. Hanya saja, menemani tidur, dia takkan bisa menentang prinsip menjaga kesucian hanya untuk sang suami kelak. "Apa aku bisa menolak
"Jaga ucapanmu, brengsek! Seorang pemabuk tahu batas toleransi alkohol!" Ray mendongak menyanggah tuduhan Alex. Seketika Alex bungkam. Ingin rasanya dia dia mengumpat pada Ray. Pria arogan! Alex menjerit-jerit dalam hati. Tak sampai sepuluh menit, mereka tiba di Bens apartemen. Ray meminta Alex membuka pintu apartemen Leticia terlebih dulu sebelum kembali ke kediaman Marco. Tentu saja Ray pun berpesan untuk menjemputnya esok hari. Ray bergegas masuk membaringkan Leticia di atas ranjang. Gerakannya begitu hati-hati saat melepas sepatu wanita itu. "Ibu, tolong aku …." Racauan serak Leticia membuat Ray tercenung saat menyelimuti tubuh wanita itu. Dia menatap bulu mata lentik Leticia yang
Terangnya langit biru perlahan berubah jingga, jingga itu berlalu. Kini, menjadi langit hitam pekat. Di bawah temaram lampu jalan dan sinar oren dari mobil-mobil yang melintas, Leticia melangkah menyusuri trotoar. Dia hendak pergi ke klub dan berharap menemukan sang arsitek di tempat itu. Tak sampai sepuluh menit berjalan kaki, wanita itu tiba di klub tersebut. "Hai, selamat malam, Fico." Leticia melambaikan tangan pada pria bertubuh tinggi di belakang mini bar. Pria itu menoleh ke arah suara cempreng Leticia. Dia mengerutkan dahi ketika melihat penampilan wanita itu. "Kau berpakaian seperti ini? Mau jadi wanita penghibur atau pelayan?" celetuk pria yang tengah menyusun champagne itu.
Leticia kembali ke apartemen pukul 01.00. Malam ini sang arsitek tidak berkunjung ke klub, dia berharap esok hari segera menemukannya. Sepanjang perjalanan, air mata wanita itu berderai membasahi pipi. Dia mengabaikan orang-orang yang berlalu lalang dan melihatnya dengan tatapan terheran. Untuk kesekian kalinya dia dipaksa kuat oleh keadaan ini. Rasa kecewa, kesedihan, dan rasa sakit seolah kian memuncak. Ingin sekali dia berteriak meluapkan segala perih yang menggerogoti jiwa. Begitu tiba di apartemen, dia kembali disuguhkan pemandangan pria bermata hazel. Pria itu tengah asyik duduk berdua dengan seorang wanita berambut pirang. Ekor mata Leticia melirik wajah pria yang menatapnya begitu dalam. Dia me
Leticia tak henti memikirkan ucapan Ray. Benarkah dia sang arsitek yang dicarinya? Entahlah, wanita itu tak yakin. David mengatakan sudah berkali-kali memerintahkan asistennya menemui tuan Vanderson, tetapi tak kunjung berhasil memintanya menangani proyek karena orang itu angkuh dan arogan. Berbeda dengan pria yang tinggal di depan apartemennya. Pria itu begitu ramah dan selalu lembut saat berbicara. Tak ada keangkuhan dan kearoganan yang terpancar dari matanya. Apakah Leticia harus mempercayai pria itu? Bagaimana jika itu hanya tipu muslihatnya? Bagaimana jika dia kembali tertipu seperti yang Daniel lakukan dulu? Tidak. Leticia berpegang teguh pada keyakinan diri. Dia tak ingin mengalami hal yang sama untuk kedua kali. Leticia bersiap-siap pergi ke k
Ray menghela napas panjang, dia menutup lembaran dokumen dan beranjak dari kursi di balik meja kerja. Air wajah Ray begitu dingin saat menghadapi Nikita. Dia berjalan dan membuka pintu lebih lebar. "Nikita, jaga batasanmu. Aku masih menghormatimu karena kamu adalah istri adikku. Sekarang cepat pergi, jangan sampai keluargaku salah paham," ucap Ray sambil berdiri di ambang pintu. Nikita tersenyum maut sebelum menyahut, "Ray, kita bisa mengulang hubungan kita diam-diam. Aku tahu kamu masih mencintaiku, lagi pula kamu dan Leticia menikah belum ...."Ucapan Nikita terhenti saat Ray menarik paksa tangannya. Saat Ray akan mendorong keluar, Nikita memutar tubuh dan melingkarkan tangan di leher Ray dan memeluk dengan erat. Wanita itu bahkan dengan berani mencium leher Ray. "Jalang!" bentak Ray sambil mendorong bahu Nikita hingga wanita itu hampir terjatuh. Ray langsung menutup pintu setelah berhasil mendorong Nikita keluar."Sialan," desis Nikita, jengkel. Saat dia memutar badan akan kemba
Saat Ray pulang bekerja malam hari, dia memarkirkan Audy S8 hitam di pelataran. Dari awal masuk gerbang, Ray sudah melihat mobil BMW milik Ayres sudah terparkir di sana. Pria itu menjadi sedikit cemas kala mengingat Nikita pasti ikut bersama. Gegas Ray mempercepat langkahnya sambil menggusur koper ke dalam rumah. Ketika dia tak melihat Leticia ikut berkumpul di ruang keluarga, Ray menjadi semakin gelisah."Bu, Istriku mana?" tanya Ray pada Mila yang sedang berbincang dengan Ayres, Nikita, dan Alfonso. Chery tentu saja sudah tinggal bersama Alex, suamimya. Sedangkan Chico, dia lebih memilih tinggal di apartemennya sendiri. masing-masing. "Dia sedang beristirahat. Sejak sore sudah masuk kamar," jawab Mila dengan lembut. Saat Ray akan menaiki tangga, Ayres tiba-tiba berkata dengan nada sedikit merajuk, "Kak Ray, kamu tidak menyapaku?"Ray melirik Nikita yang duduk di samping Ayres. Hingga saat ini, tak ada yang tahu bahwa Ray pernah menjalin hubungan dengan Nikita. Terutama Ayres, dia
Leticia akhirnya patuh dengan keputusan Ray untuk kembali tinggal di kediaman Ray. Selain mengutus orang untuk mengelola toko perhiasan, Ray juga siaga mengantar jemput Leticia kuliah di tengah kesibukannya mengurus VR Group.Hal itu berlangsung lama hingga usia kandungan Leticia menginjak enam bulan. Leticia sangat bersyukur karena kehamilannya saat ini tak mengalami morning sick terlalu parah. Hanya saja, tubuhnya yang sedikit kecil membuat wanita itu lebih cepat lelah. Setiap akhir bulan, Leticia selalu pergi untuk memeriksa kondisi tokonya. Sesekali dia dan Ray juga pergi ke kediaman Alfonso. Seperti saat ini, sejak pagi Leticia berkunjung ke kediaman mertuanya. "Cia, Ibu selalu mengkhawatirkan kamu akhir-akhir ini. Apa tak sebaiknya kamu menetap di sini saja?" ucap Mila sambil menyiapkan makanan untuk makan malam. "Ray merawatku dengan sangat baik, Bu. Ibu jangan terlalu cemas," sahut Leticia, lembut. "Tapi kandunganmu semakin besar. Ray juga tidak 24 jam berada di rumah." Mi
Leticia menghela napas pelan sebelum menjelaskan pada Mila bahwa dia harus mengurus toko perhiasan di pusat kota. Terlebih lagi, dirinya baru saja memulai kuliah satu bulan lalu. Jarak dari toko miliknya ke universitas hanya butuh waktu lima belas menit perjalanan. Namun, kediaman Alfonso ke universitas terlalu jauh, tidak mungkin Leticia harus menempuh perjalanan pulang pergi selama tiga jam setiap hari. Ray terdiam mendengar ucapan Leticia. Dia baru tersadar, saat itu sudah mengatur rumah, universitas, dan toko perhiasan di pusat kota untuk Leticia. "Sayang, aku akan mengatur orang untuk mengelola toko perhiasan. Jangan terlalu lelah, kamu sedang hamil. Ambil kelas siang hari saja, ya?" Ray akhirnya memusatkan fokusnya pada kehamilan sang istri. Leticia menoleh sambil melambaikan tangan, tak setuju dengan saran sang suami. "Tidak bisa, Ray. Aku masih sanggup menanganinya. Lagi pula kuliahku hanya sampai pukul sepuluh malam," jawab Leticia. Ekspresi Ray berubah dingin mendengar
Ekspresi Ray berubah muram dan tak sedap dipandang. Kecemburuan mulai merebak di matanya. Walaupun Chico adalah adiknya, tetapi dia tahu bahwa Alfonso sempat akan menjodohkan dengan Leticia. Leticia tersenyum simpul melihat wajah Ray yang tiba-tiba murung. 'Apa Ray sedang cemburu?' batin Leticia bertanya-tanya."Ray," kata Leticia saat memegang punggung tangan Ray. "Temani aku memasak untuk makan malam, ya?"Ray membalikkan telapak tangan, menautkan jemarinya dengan jemari Leticia. Tatapan penuh memanjakan perlahan tersebar di manik matanya."Dengan senang hati, Nyonya Ray." Ray menyahut dengan lembut saat berdiri sambil menggandeng pinggang ramping Leticia. Chico mendecakkan lidah melihat kemesraan Ray dan Leticia yang begitu intim. Chico mengakui bahwa dirinya tak kalah tampan dari sang Kakak. Mata hazelnya sama-sama diwarisi dari Alfonso, hidungnya juga mancung dengan bibir tipis. Hanya saja, Chico mengakui bahwa tubuhnya tak setinggi dan segagah Ray. "Cia, biar Ibu saja yang m
Keesokan harinya. Seperti yang Leticia inginkan, Ray membawa Leticia untuk bertemu dengan ayah dan ibunya. Sebenarnya, Leticia meminta Ray mengajaknya semalam. Hanya saja~Semalam Ray tak bisa menahan kerinduan yang sudah memuncak pada Leticia. Jadi, pria itu membawanya kembali ke rumah pernikahan mereka terlebih dulu. Pun demikian dengan Leticia, wanita itu juga tak kalah merindu Ray. Siang ini, di sepanjang perjalanan menuju kediaman Alfonso, bibir Leticia merekah dengan wajah merona. Teringat adegan panas semalam yang mereka lakukan. Ray meminta banyak hal dari Leticia, dan wanita itu memberikan lebih dari apa yang Ray inginkan. Dia ingat betul saat Ray dengan mesra berbisik, "You got it, My Lovely Wife."'Sepertinya aku harus membuat kejutan untuk Ray,' batin Leticia bermonolog sambil tersenyum mesem manis.Lamunan Leticia buyar saat Ray memegang tangannya setelah memanuver persneling, mengatur kecepatan mobil
Leticia berjalan mendekati pria bermata hazel itu hingga berjarak satu langkah. Tatapan mereka beradu di udara untuk beberapa detik. "Jangan digigit terus, kamu bisa terluka." Ray berkata dengan lembut saat mengangkat tangan menyentuh bibir ranum Leticia. Leticia memejamkan mata, dia menunduk menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba terasa panas. Tubuh wanita itu sedikit gemetaran saat Ray menyentuhnya. "Ray, kenapa kamu tidak pernah memberitahuku?" Leticia bertanya tanpa mengangkat pandangan, ucapannya terdengar begitu gugup. Ray meraih dagu Leticia agar mendongak menatapnya. Tampaklah butiran bening kristal menumpuk di kelopak mata wanita itu. "Umm?" gumam Ray sebelum bertanya dengan cemas. "Kenapa bersedih?" Leticia tak bisa menahan diri untuk tidak menabrakan diri ke pelukan Ray. Dia terisak-isak di dada bidang pria itu sambil memeluknya dengan erat. "Kenapa tak pernah memberitahuku bahwa Cheryl adalah adikmu?
Satu bulan kemudian.Seperti yang Leticia inginkan, Ray mendaftarkan wanita itu di universitas yang Ray rekomendasikan. Leticia awalnya menolak saat Ray memfasilitasi rumah, mobil, dan toko perhiasan di pusat Kota Ragusa. Meski Leticia pernah mengatakan bahwa dia tak ingin dilupakan, tetapi justru dia lah yang menutup komunikasi langsung dengan Ray. Bahkan, wanita itu sengaja mengganti nomor agar Ray tidak menghubunginya. Leticia tak ingin menjadi bayang-bayang dalam hubungan Ray dan Cheryl. Demi tak ingin menjadi orang ketiga, dan demi kebahagiaan pria itu, dia menutup rapat perasaannya. Rasa cinta yang besar, tak ingin terbagi dan dibagi. "Apa aku hamil lagi?" Leticia bertanya pada diri sini.Resah~Itulah yang Leticia rasakan saat ini. Di tengah kepadatan aktivitasnya mengurus toko di siang hari, dan kuliah di malam hari, Leticia saat ini sedang dilanda rasa gelisah.Sebab, dia kembali terlambat datang bulan setelah berpisah dengan Ray satu bulan lalu. Namun, memang besar harapan
Tiba di depan kamar presidential suite. Leticia sedikit ragu apakah akan melakukan hal itu bersama Ray."Kenapa, umm?" tanya Ray sambil mengulurkan tangan ketika masuk ke kamar hotel.Leticia mengembuskan napas panjang sebelum menjawab, "Tidak, aku hanya …."Ucapan Leticia terhenti saat Ray memeluknya dengan erat."Kamu ragu? Kamu yang mengajakku menghabiskan malam sebelum kita berpisah. Apa sekarang kita akan pulang, umm?" Ray berbisik dengan lembut.Embusan napas Ray begitu hangat membuat debar jantung Leticia menjadi tak karuan.Wanita itu menengadah, melingkarkan lengan di leher pria berwajah tampan di hadapannya.