Audi hitam mengilap nan tampak mewah itu membawa Dean dan Louisa di area gedung observatori Griffith. Bangunan berkubah gelap tersebut terlihat gagah di lereng selatan gunung Hollywood, dinding-dindingnya bercat putih dan disorot lampu kuning dari bawah untuk kesan dramatis. Di halaman gedung yang sangat luas ditumbuhi rerumputan hijau ada sebuah monumen memanjang juga teater Yunani. Biasanya ada pertunjukan, namun malam ini ditiadakan demi event lain yang lebih menarik. Dari sini mereka juga bisa melihat papan bertuliskan Hollywood sebagai ikon kota yang tidak boleh dilewatkan.
Walau memakan waktu sekitar lima belas menit menggunakan roda empat, butuh usaha lagi agar bisa sampai ke puncak, sementara Dean melihat Louisa mengenakan boots berhak tinggi yang tidak memungkinkan gadis itu untuk berjalan lebih jauh. Untung saja tempat ini memiliki fasilitas 
Tangan kanannya sibuk memulas cat minyak di sebuah canvas yang sudah diberi dasar warna cokelat, menindih satu-persatu garis abstrak mulai dari walnut sebagai polesan di bagian pipi, telinga, hingga leher. Dilanjut hitam di bagian rambut yang menjuntai panjang menutupi bantal, sampai gradasicoffeedi bagian tulang hidung, dahi, dan sedikit di area kelopak mata. Kemudian warna abu-abu untuk mengisi sisa ruang di atas warna gelap tersebut sehingga terlihat ekspresi seorang perempuan tengah terlelap dengan bibir sensual disinari cahaya rembulan dari sisi kiri. Dean berhenti sejenak, mengamati sebentar lukisan setengah jadi di ruang pribadinya lalu mengulum senyum tipis.Mengabadikan wanita yang menghabiskan malam-malam bersamanya dalam sebuah canvas adalah hal yang tidak banyak publik tahu. Bagi lelaki itu, menggambar pose mereka sedang dibuai alam mimpi, mengenak
Sebenarnya Louisa tidak paham apa yang ditakutkan Dean terhadap sosok perempuan manis berkulit pucat di depannya ini. Seraya menyendok es krim vanila dalam mangkuk kecil, dia mengamati Christine sedang membuka bungkus makanan bertuliskan biskuit khusus balita. Amat sangat jelas bahwa tidak ada karakter nenek sihir yang pantas disematkan seperti ucapan Dean. Namun, aura mahal seperti seorangwoman bosslangsung terasa saat Christine melangkah masuk dan menyapa sang adik.Di sisi lain, Louisa sempat terperangah kaget pertama kali menjumpai Christine. Bagaimana tidak, wajahnya sungguh jauh berbeda dengan Dean kecuali rambut tembaga yang menjuntai hingga bahu. Selain itu, Louisa mengenal nama Christine Norris karena tahu bahwa dia adalah sebagai salah satu produser ternama dalam layar lebar bertajukThe Perfect Bride Warsyang pernah d
Pintu apartemen bercat biru laut terbuka memunculkan wajah lesu Louisa seraya melepas boots dan menaruhnya di rak sepatu. Air muka yang tadinya bersemangat menerima ajakan untuk ikutcastingberubah masam jikalau mengingat ucapan Dean yang menusuk-nusuk hati. Pria bermulut pedas yang selalu tidak mau kalah opini itu benar-benar berhasil membakar emosi Louisa. Ingin sekali dia melempar lelaki itu ke laut andai bisa, agar Dean mengerti kalau ada manusia di dunia ini pasti memiliki perasaan murni untuk saling mencintai tanpa pamrih maupun syarat. Memang kenapa dengan skrip yang akan ditampilkan Christine? Toh itu tidak menyinggung kehidupan pribadi Dean kan? Kenapa pula dia yang kebakaran jenggot?Dasar sinting!Mengenakan sandal putih, Louisa memaksakan kakinya untuk bergerak ke arahpantry&
"Gunakan topeng ini lalu berjalan pelan-palan memasuki ruangan. Anggaplah kau sedang menghadiri pesta mewah, Lou. Pancarkan ekspresi memukau ketika kau bertemu lawan mainmu," jelas seorang lelaki berambut keriting dengan hidung besar nan bengkok persis karakter kartun. Penampilannya persis seperti Cory hanya saja bentuk tubuhnya sedikit lebih pendek sehingga harus menggunakan wedges mencolok. Dia sibuk memberikan arahan untuk apa yang harus dilakukan Louisa dan pasangannya nanti.Louisa melenggut paham dan bersiap untuk pengambilan video iklan parfum Ellie edisi musim semi. Parfum bertemakan aroma floral yang dikemas dalam wadah kacababy pinkmelengkung di kedua sisi berhias ukiranvintagesehingga tampak elegan di kaca display. Dia sempat mencoba sedikit aromanya sebelum ganti kostum karena diminta mengulas oleh pihakma
Louisa bersedekap, membentangkan jarak agar tidak terperosok ke dalam pesona yang sedang dipancarkan Dean saat melontarkan rayuan maut. Saat ini daya pikat Dean bagai magnet berkekuatan super besar yang bisa menyeret perempuan mana saja untuk terjebak dalam pusaran hingga tak bisa keluar. Berulang kali dia mengalihkan pandangan ke arah jalanan yang dipenuhi kendaraan lalu lalang, padat merayap diiringi suara klakson memekakkan telinga. Tatapan intim penuh rasa posesif Dean seakan-akan mempengaruhi akal sehat jika Louisa terlalu lama fokus ke iris biru samudranya. Sial! rutuk gadis itu dalam hati ingin kabur tapi sanubarinya menyuruh untuk tetap diam selagi mendengar kalimat demi kalimat keluar dari bibir kemerahan yang dihias kumis tipis dan janggut.Damn!umpat Louisa dalam hati. Bagian itu adalah favorit Louisa selain bulu-bulu halus di bawah pusar Dean. Gila meman
Kalau Hollywood sebagai pusat industri hiburan di dunia, maka Milan bisa dikatakan sebagai pusat mode di Eropa. Setiap sudut kota terbesar kedua di Italia ini dipenuhi orang-orang dari berbagai penjuru dunia bergaya modis yang memamerkan barang-barang branded ternama. Tas, sepatu hak tinggi, aksesoris, bahkan parfum seperti menaikkan performa si pemakai, menyuguhkan rasa percaya diri untuk menarik perhatian satu sama lain. Belum lagi bangunan-bangunan pencakar langit menghiasi Milan seolah-olah tidak ingin kalah populer dengan katedral bersejarah yang menjadi ikon kota selama berpuluh-puluh tahun.Begitu menapaki kota mode, rasanya Louisa dibawa masuk ke dalam dua dimensi sekaligus. Menyelami era masa kini dan renaissance--kejayaan bangsa Yunani Romawi--di mana katedral dan kastel masih berdiri kokoh dan megah. Kebanyakan arsitektur bangunan tersebut didedikasikan kepada si jenius Leonardo Da Vinci atas mahakarya yang mendunia. Salah satunya Leonardo3 tempat terkemuka sejak abad ke-19
Fuck!Umpat Louisa dalam hati menyadari bahwa pria di sana bukanlah sebuah fatamorgana dalam batas kenangan yang sudah dihapus dalam benak. Penampilan Troy masihlah sama seperti dua tahun lalu ketika terakhir kali mereka berjumpa pada acarafashion weekdi Paris. Ketika Louisa berusaha meluangkan waktu untuk terbang jauh-jauh demi menemui orang yang kala itu ternyata sudah menjalin asmara bersama wanita lain. Rambut cokelat gelap Troy jadi lebih panjang dari yang diingat Louisa, nyaris menutup dahi namun tidak menghilangkan aura model papan atas. Walau hanya mengenakan celana jeans gelap dikombinasi kaus putih dan jaket kulit senada, Troy tetap menawan di mata wanita.Apakah karena itu dia mudah dirayu perempuan lain?Iris mata amber
Dean terbangun di tengah malam ketika Louisa masih terlelap di sisinya dengan selimut menutupi tubuh telanjang gadis itu, menyisakan bahu yang naik-turun secara teratur seperti dibuai mimpi setelah percintaan hebat mereka. Dia bangkit, mengambil celana panjang longgar yang teronggok di lantai lalu berjalan menuju lemari di mana buku sketsa miliknya tersimpan di sana. Di mana pun Dean pergi, dia selalu membawa benda kesayangannya itu tiap kali tidurnya terganggu oleh mimpi buruk.Bukan obat atau rokok yang bisa menenangkan Dean, melainkan garis demi garis yang diukir di atas kertas bagai menguliti satu-persatu ingatan yang tak diinginkan. Ketika tangannya sibuk menggambar, dia bisa melupakan hal-hal di masa lampau yang selalu menghantui tiap malam. Sejak lima tahun lebih tepatnya, semenjak mimpi buruk itu datang. Seakan-akan mereka tidak menginginkan Dean dimanja mimpi indah barang