Lama-lama Karina mulai terpancing dan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, dia mulai menikmati permainan Dehan.
Mereka tidak sadar bahwa mereka telah jatuh lebih dalam di jurang yang telah mereka buat.
Setelah tahu dirinya hamil, Karina memutuskan untuk pindah kamar dan ngekos sendiri, Dehan jadi tambah bebas, setiap hari bisa mengunjungi Karina, terkadang Dehan juga akan menginap jika ibu kos tidak ada, setiap minggu Dehan akan membawakan makanan dan kebutuhan sehari-hari untuk Karina, karena semenjak hamil, Karina berhenti dari pekerjaannya, dia tidak kuat jika terlalu lama berdiri, bahkan dia juga sudah tidak lagi berangkat ke kampus, sehingga Karina menjadi bahan perbincangan teman-teman di kelasnya.
"Si Karina kemana ya, kok nggak pernah kelihatan?"
"Iya aku perhatiin, dia udah beberapa minggu ini nggak ngampus."
"Aneh banget tau nggak, biasanya dia kan paling aktif."
"Apa mungkin dia sakit?"
"Kalau sakit ada kabarnya kali, lagian masa iya orang sakit sampai berminggu-minggu kayak gitu, ngilang kayak ditelan bumi."
"Kamu punya kontak W*-nya nggak? Coba aku minta, biar aku hubungin dia."
"Nggak ada, nomornya udah lama nggak aktif, kayaknya ganti deh."
"Iya sih aneh juga ya, nomor w*-nya juga udah lama nggak aktif."
"Daripada penasaran mending tanya aja tuh sama pacarnya, kebetulan dia lewat."
"Dehan," panggil salah satu teman Karina, yang bernama Mira.
"Ada apa, tumben manggil, kangen ya sama aku," goda Dehan.
"Dih ge er banget, orang aku mau nanyain Karina, kenapa dia nggak pernah kelihatan?"
"Ya mana aku tahu."
"Kamu kan pacarnya masa nggak tahu sih."
"Itukan dulu, sekarang aku udah nggak ada hubungan apa-apa lagi sama Karina," ujar Dehan.
"Jangan bohong kamu, masa iya udah putus, kalian kan lengket banget, kayak perangko nempel terus."
"Dibilangin gak percaya, emang kenapa nyariin, Karina?" tanya Dehan penasaran.
"Ya enggak apa-apa sih, nanya aja, soalnya udah beberapa minggu ini aku nggak pernah ngeliat dia datang ke kampus," jelas mira.
"Oh gitu, nggak tahu aku, soalnya aku juga sudah lama nggak kontekan sama dia, kalian cari aja infonya, nanti kabarin aku kalau udah ketemu ya."
"Oh yaudah, makasih kalau kamu nggak tahu, sorry ganggu."
"Eh tunggu dulu, boleh minta nomor W* kamu enggak?"
"Nggak ada, aku nggak pakai W*."
"Dih sok jual mahal," cibir Dehan.
"Dasar buaya," cibir Mira, dengan suara pelan, namun masih bisa didengar oleh telinga Dehan.
Sepulang dari kampus, Dehan tidak langsung pulang ke rumah, dia selalu menyempatkan untuk mampir mengunjungi Karina.
"Yang, Perut aku makin hari makin gede," ucap Karina.
"Pake bajunya jangan yang ketat."
"Tetep aja lama kelamaan juga bakalan keliatan, mau pake baju segede apapun, namanya orang hamil pasti gak bakalan bisa disembunyikan, perut juga makin gede, bayi yang ada di dalamkan berkembang, jalan juga makin susah, apalagi kalau mau jongkok," jelas Karina, sambil memegang perut kecilnya yang mulai terlihat membentuk bulatan.
"Terus mau digimanain?" tanya Dehan sambil memainkan gawainya.
"Kamu bisa serius sedikit nggak sih, tolong dengerin aku dulu, jangan sibuk sama HP terus!" bentak Karina.
"Udah mau ngomong apa." Dehan meletakkan gawainya.
"Kapan kamu mau nikahin aku?"
Dehan terbatuk mendengar pertanyaan Karina.
"Kenapa kamu, kaget, bukannya dulu kamu janji mau nikahin aku?"
"Iya tapi bukan sekarang, aku belum siap jadi bapak."
"Siap gak siap kamu harus siap, demi anak kamu, kamu harus bisa menerima dan menjaga dia, aku nggak mau anakku terlahir tanpa, Bapak."
"Pusing ah, udahlah aku mau pulang dulu, besok aku ke sini lagi."
Dehan langsung menyambar tasnya dan pergi dari kosan Karina.
"Dehan aku belum selesai bicara!" teriak Karina, berharap Dehan akan berbalik dan menghampirinya, namun nyatanya Dehan malah melajukan sepeda motornya dengan begitu cepat, tanpa menghiraukan teriakan Karina.
"Nggak ada cara lain, aku harus ke rumah orang tuanya, dan ngomong langsung buat minta pertanggungjawaban, bahwa aku lagi hamil, anak Dehan," gumam Karina, sambil mengelus perutnya yang sudah kelihatan membuncit.
Karina mencari informasi alamat orang tua Dehan, nasib baik masih memihak kepadanya, dengan mudah dia bisa mendapatkan alamat rumah orang tua Dehan.
Tok.. tok.. tok..
Karina celingukan melihat ke kanan dan ke kiri, berharap yang punya rumah keluar, cukup lama Karina menunggu, tidak berselang lama terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah.
Saat pintu terbuka berdirilah seorang ibu-ibu yang masih terlihat muda, dengan balutan kebaya dan sanggul di kepalanya.
"Eh ada tamu." tegur si Ibu yang sudah berdiri dihadapan Karina.
"Maaf Bu, saya mau nanya, apa benar ini rumahnya, Dehan Saputra?" tanya Karina.
"Iya benar, saya Ibunya, ada keperluan apa mencari Anak saya?"
"Perkenalkan nama saya Karina, Bu," ucap Karina memperkenalkan dirinya.
"Oh iya, kenalin nama saya Retno, panggil saja saya Bu Eno, soalnya warga komplek di sini biasa memanggil saya Bu Eno," balas Bu Eno, dengan ramah.
"Dehannya ada, Bu?"
"Ada di kamarnya, dia masih tidur, emang ada keperluan apa, kalo sekiranya penting nanti saya bangunin, Dehan," jawab Bu Eno.
"Sebenarnya kedatangan saya kesini."
"Karina."
Belum sempat Karina menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke rumah Dehan, terdengar suara bariton yang memanggil nama Karina, lalu menghentikan perkataannya, mata Karina dan Bu Eno, refleks menoleh ke arah sumber suara tersebut.
Sebenarnya kedatangan saya kesini.""Karina."Belum sempat Karina menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke rumah Dehan, terdengar suara bariton yang memanggil nama Karina, lalu menghentikan perkataannya, mata Karina dan Bu Eno, refleks menoleh ke arah sumber suara tersebut."Nah itu Dehan, udah bangun," seru Bu Eno."Han, sini, ada yang nyariin," teriak Bu Eno, kepada putranya yang baru bangun tidur.Dehan segera turun dan menghampiri Karina, dia takut Karina mengatakan, yang seharusnya tidak dia katakan."Kamu udah lama di sini?" tanya Dehan kepada Karina, sorot matanya penuh selidik."Baru aja dateng," jawab Karina."Kalian ngobrol aja dulu ya, Mamih mau ngambil minuman dulu ke dalam," ucap Bu Eno.Setelah Bu Eno berlalu, Dehan langsung menarik tangan Karina dengan kasar, agar sedi
Mobil Satria semakin menjauh, Karina masuk ke dalam kosan, dan betapa terkejutnya dia saat membuka pintu, ternyata sudah ada seseorang yang sedang menunggunya di dalam kamar."Kapan kamu datang, apa kamu udah lama nunggu aku disini?" tanya Karina, yang tampak gugup."Sudahlah Karin, tidak perlu berpura-pura lagi, aku sudah mengetahui semuanya, betapa liciknya kamu, siapa laki-laki itu, beraninya kau berhubungan dengan orang lain di belakangku," cecar Dehan."Siapa laki-laki yang kamu maksud, dia itu orang yang nolongin aku di jalan, jangankan punya hubungan, kenal aja aku nggak," jelas Karina."Basi," cetus Dehan."Dengarkan dulu penjelasanku," tukas Karina."Apa lagi yang mau kamu jelaskan, aku rasa semuanya sudah cukup jelas, dan aku tidak butuh penjelasan apapun dari wanita murahan sepertimu," cibir Dehan."Kenapa dengan begitu mudahny
Selepas kepergian Tia, Karina kembali berbaring di atas kasurnya, dia kembali merenung, memikirkan bagaimana nasibnya, dan nasih anak yang sedang dikandungnya.Minggu demi Minggu berlalu, usia kehamilan Karina sudah menginjak 4 bulan, lama kelamaan perut Karina mulai kelihatan mulai membentuk, ibu kost, dan teman kost, yang tinggal satu rumah dengan Karina, mulai membicarakan kelakuan aneh Karina, mereka sudah mulai curiga padanya, ditambah saat Karina, mulai menutup dirinya dari lingkungan kost, Karina lebih sibuk menyendiri dan diam di dalam kamar."Itu si Karin kaya orang lagi hamil ya, badannya melar, buah dadanya juga keliatan beda," cibir Aleta, salah satu penghuni kost di sana."Jangan asal ngomong kamu, nanti timbulnya fitnah loh," cetus Ica."Aku ini nggak asal ngomong, kalian pernah liat gak sih, kalo Karina pake baju ketat, ketara banget perutnya, kalau lemak kan bentuknya ngelipet, kalo d
Dengan langkah gontai, Karina berjalan meninggalkan kostan, tempat yang selama ini menjadi saksi bisu perjalanan cintanya dengan Dehan, suka duka telah dia lalui bersama, niat hati ingin bersanding di pelaminan, namun nyatanya cintanya harus kandas di tengah jalan."Karina," panggil Tia."Tia," seru Karina."Mau kemana kamu?""Aku mau pulang kampung.""Jangan lupa oleh-olehnya ya," ucap Tia, sambil cengengesan."Kayaknya kita nggak bakalan ketemu lagi deh," ujar Karina dengan sedih."Loh kenapa? Emang kamu nggak mau balik lagi? Nanti kuliah kamu gimana? Kerjaan kamu gimana? Sayang loh kalau di tinggal gitu aja." Tia terus melontarkan berbagai pertanyaan kepada Karina."Itu ojol pesananku udah dateng, aku pamit ya, jaga diri baik-baik." Karina lalu memeluk Tia, sebagai tanda perpisahan."Hati-hati
"Anam aku duluan ya, makasih udah mau nganterin," ucap Karina, sambil berpamitan dengan Anam."Hati-hati di jalan, titip ya Lik, anterin nyampe depan rumahnya dengan selamat," tutur Anam, seraya melambaikan tangannyaGapura kampung Pondok Wungu sudah di depan mata, dengan hati berdebar Karina berharap semuanya akan baik-baik saja."Rumahnya yang mana nduk?" tanya Parjo."Dari perempatan belok kiri, nanti ada rumah yang ada gapura kecil," jelas Karina.Meskipun sudah lama dia meninggalkan kota kelahirannya, namun Karina masih ingat betul letak rumahnya, yang tidak jauh dari perempatan jalan.Sepanja
"Mamah apa kabar?" tanya Karina, sambil sedikit membungkuk, saat hendak menggapai tangan Mutmainah, untuk menyalaminya, belum juga tangan Karina bersentuhan, namun segera di tepis dengan kasar oleh Mamah tirinya."Karin," seru seorang lelaki, suara baritonnya terdengar tidak asing di telinga Karina.Saat menoleh betapa senangnya Karina, dilihatnya lelaki yang selama 10 tahun ini jauh dari pandangannya, sosok yang sangat Karina rindukan."Ayah," teriak Karina, sambil berlari memeluk sang ayah."Ayah apa kabar? Karina kangen banget sama ayah, Ayah kenapa nggak pernah nengokin Karina?" Karina memberondong beberapa pertanyaan kepada Pak Diki."Maafin Ayah belum sempat nengokin kamu, soalnya udah beberapa tahun ini ayah merantau di Palembang, ini aja Ayah di kampung baru dua bulan doang," jelas Pak Diki."Tapi itu alasan yang nggak masuk akal Yah, 10 tahun waktu y
"Jangan larang Karina buat pulang ke sini, dan satu lagi, jangan pernah kamu bersikap kasar pada Anakku, kalau kamu nggak suka mending kamu aja sana yang pergi!" Hardik Pak Diki"Berani sekali kamu mengusirku Mas, tidak ingatkah kamu selama ini aku yang menemanimu dikala kamu susah, hingga sukses seperti sekarang ini, kenapa hanya karena anak itu kamu berani membentakku," balas Mutmainah, tak kalah sengit dari suaminya, dia kemudian berdiri sambil berkacak pinggang."Awas kamu Karina, lihat saja nanti, kamu pasti akan menerima balasan, karena telah mengganggu ketenangan dalam rumah tanggaku." Mutmainnah membatin dalam hati, sambil meremas ujung bajunya, kemudian dia pergi masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu, karena suaminya tidak menggubris ucapannya."Nek, kenapa d
Malam ini ada acara keluarga di rumah Darman, semua keluarga di undang dan wajib datang, begitu pula dengan Karina.Darman adalah anak pertama Bu Atiah, yang tinggal di Cikerang, jarak tempuh ke rumah Darman cukup memakan waktu tiga jam, karena Darman tinggal di kota, berbeda dengan Bu Atiah yang masih tinggal di perkampungan.Darman memiliki usaha tekstil yang cukup maju, tak salah jika namanya terkenal dimana-mana."Pakai baju apa Nek, Karin bingung," ucap Karina, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Yang ada aja, kalau nggak cari aja di lemari Bibi kamu, badan kamu kan seukuran sama dia," titah Bu Atiah, yang sedang mengiris bawang di atas talenan."Iya deh, nanti Karina coba cari, moga aja ada yang pas."Karina kemudian berjalan menuju kamar Bibinya, dia membuka lemari pakaian, dan terlihat susunan baju yang tersusun rapi, bahkan ada sebagian yang digantung.
"Sudah diam, jangan bertengkar lagi!" bentak Karina.Satria dan Dehan yang semula adu mulut kini mendadak diam, tidak ada yang berani berbicara.Tubuh gadis kecil itu terbujur di liang lahat."Siapa yang akan mengadzani almarhum?" tanya seorang Ustad."Saya Ustadz," jawab Dehan."Bohong, saya Ustadz, dia anak saya, jadi saya yang berhak mengadzani almarhum," sanggah Satria."Status kamu hanya Ayah sambung, akulah yang berhak karena aku adalah Ayah biologisnya," balas Dehan."Biar saya saja Ustadz."Semua mata tertuju ke arah sumber suara tersebut, Pak Agung turun ke liang lahat dan mengadzani Cucunya untuk terakhir kalinya.Bu Ayu dan Karina berpelukan saling menguatkan, tubuh mungil Cahya telah hilang di timbun tanah, kini tinggalah sesal yang tersisa."Sudah ayo pulang, biar
Semua keluarga tidak ada yang menyangka Cahya akan pergi secepat ini, gadis kecil yang sangat periang, ternyata memendam suatu penyakit yang mematikan, Karina sangat terpukul atas kepergian anak semata wayangnya, dia terus menangis meratapi tubuh Cahya yang sudah terbujur kaku."Ibu-ibu ayo kita angkat jenazahnya ke belakang, pemandiannya sudah siap," ucap Bu Rini, dia orang yang sudah biasa memandikan jenazah orang yang meninggal."Apakah ada anggota keluarga yang mau ikut memandikan jenazah?" tanya Bu Rini."Saya akan ikut memandikan jenazah anak saya," ujar Karina, dia bangkit dari duduknya, dengan badan yang masih lemas, Karina dibantu oleh Bu Ayu berjalan ke arah pemandian.Proses pemandian telah selesai, jenazah Cahya sudah siap untuk di kafani, saat semua orang sedang larut dalam kesedihannya masing-masing, tiba-tiba seorang pria bertubuh kekar berlari menghampiri jenazah Cahya dan meraung-rau
"Ada yang ingin saya sampaikan, ini menyangkut penyakit yang di derita oleh anak Bapak dan Ibu," ujar dokter Irfan, dia menggeser kursi dan memperbaiki posisi duduknya.Tatapan mata dokter Irfan terlihat sangat serius, membuat jantung Karina berpacu dengan cepat."Dari hasil pemeriksaan yang kami lakukan, anak Ibu harus menjalani pengobatan rutin.""Emangnya anak saya kenapa, Dok?" tanya Karina."Anak Ibu mengidap penyakit gagal ginjal," ucap dokter Irfan.Degh…Jantung Karina seperti berhenti berdetak, nafasnya mendadak sesak, dunia Karina runtuh, saat mendengar anak semata wayangnya mengidap penyakit kr
"Assalamualaikum," ucap Karina saat memasuki rumah yang terlihat sepi.Saat Karina hendak masuk ke dalam kamar, samar-samar terdengar suara gaduh dari arah belakang, dia seperti mendengar suara Bu Ayu memeriaki nama Cahya.Karina melempar paper bag ke atas kasur, dengan tergesa-gesa Karina berjalan dengan cepat ke belakang rumah, disana terlihat Satria dan Bu Ayu yang sedang menangis histeris.Karina tidak mengerti mengapa mereka menangis, dia melepas sandal heels nya kemudian berjalan ke arah Bu Ayu, persendian Karina terasa lemas saat melihat putrinya tengah tergeletak lemah tak berdaya diatas rumput, Bu Ayu terus mengguncang tubuh Cahya, namun gadis kecil itu tetap diam dengan bibir yang sudah pucat.Karina panik sambil ngomel dia mengangkat tubuh Cahya, dan membawanya ke dalam rumah."Cahya kenapa Ma? jawab Mas? Kalian kenapa diam saja? Kenapa putriku bisa sampai seperti ini?
"Kamu mau kemana? Tumben pagi-pagi begini sudah rapi, pake make up, emm wangi lagi, jadi curiga aku," tegur Satria, yang baru saja bangun dari tidurnya.Satria mengucek matanya sambil menguap, ciri khas orang yang baru saja bangun tidur, dia bangun dan memeluk Karina dari belakang."Mandi dulu Mas, nanti nular baunya," ledek Karina dia berbalik dan memegang dagu Satria."Aku berangkat dulu ya, sarapan juga udah aku siapin di meja makan," ujar Karina, sambil melepaskan pelukan Satria."Kamu mau kemana?" tanya Satria, dia menahan tangan Karina, dan menariknya kembali ke dalam pelukannya."Mas minta maaf soal kemarin, Mas khilaf, dan Mas janji akan berubah, hari ini Mas akan mulai bekerja di perusahaan Papa, jangan marah lagi ya," bujuk Satria."Aku nggak marah kok Mas, tapi tolong kali ini jangan larang aku, hari ini aku akan melamar pekerjaan."
Hari ini suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja, makin kesini sikap Satria makin menyebalkan.Iseng-iseng kubuka aplikasi berwarna biru, saat sedang asyik berselancar di dunia maya, mataku tertuju pada salah satu akun yang meminta pertemanan, kupikir itu hanya akun palsu jadi aku melewatinya begitu saja.Saat aku membuka messenger, kulihat banyak pesan spam yang masuk, salah satunya dari akun yang bernama Sep Dehan Lintang Tsuryo, akun yang tadi sempat kulihat di barisan permintaan pertemanan.Karena penasaran aku iseng membalas pesannya, sebenarnya siapa pemilik akun ini, foto profilnya sepertinya aku pernah melihatnya, seorang pria yang sedang berdiri membelakangi kamera dan menghadap ke pantai, dengan baju kemeja bermotif daun yang sedang tren pada masanya.[ Hay cantik, boleh kenalan ] begitulah isi pesannya.[ Iya ] jawabku singkat, tentu karena aku tidak ingin terlihat
"Apa-apaan sih kamu Mas," sentak Karina dengan mata melotot dan napas yang berburu.Karina yang penurut kini berani melawan suaminya sendiri, semenjak Satria bangkrut keharmonisan rumah tangga mereka mulai terkikis, Karina dan Satria menjadi sering berdebat."Urusin nih anak kamu, nggak tau orang lagi pusing apa!" hardik Satria tak kalah garang."Cahya sayang, kamu masuk dulu ya ke dalam, Bunda mau bicara dulu sama Ayah," bujuk Karina, dia tidak mau Cahya mendengar perdebatan mereka, dia takut karena sering mendengar orang tuanya bertengkar, akan berpengaruh kepada mental Cahya yang masih polos dan tidak tau apa-apa.Setelah Cahya sudah tidak terlihat, Karina mulai berbicara dengan Satria.
Sudah satu bulan Karina menumpang di rumah mertuanya, Satria masih menganggur karena belum mendapatkan pekerjaan, Pak Agung menawarkan Satria untuk bekerja di perusahaannya, namun Satria menolak, dengan alasan dia ingin mandiri dan tidak bergantung kepada orang tua.Pagi ini Satria sedang duduk di dekat kolam renang, menikmati udara pagi yang cerah, sedangkan Cahya dia selalu ikut kemanapun Bu Ayu pergi, pagi ini Cahya ikut berjalan-jalan dengan Bu Ayu ke taman yang tak jauh dari rumahnya."Mas, Mau sampai kapan kita kayak gini terus?" tanya Karina sambil membawakan secangkir teh hangat untuk Satria."Bawel amat sih, Aku juga lagi berusaha," sentak Satria, entah kenapa akhir-akhir ini dia menjadi kasar, padahal Karina bicara secara baik-baik, namun Satria selalu membentaknya
"Mas, menurutku daripada kita harus menumpang di rumah Mama, lebih baik kita mengontrak saja," usul Karina kepada suaminya."Untuk apa mengontrak, bukankah lebih baik jika kita tinggal bersama orang tuaku," balas Satria sambil menatap manik istrinya.Rasanya Karina sangat malas, jika harus tinggal kembali bersama mertuanya, dia sudah paham betul watak ibu mertuanya yang kadang baik dan kadang jahat, di mata Karina, Bu Ayu seperti memiliki kepribadian ganda."Hey, kenapa melamun?""Enggak," jawab Karina malas."Dih ngambek nih ceritanya," ejek Satria, Karina tetap diam dan mengerucutkan bibirnya."Yaudah deh, coba jelasin sama Mas, kenapa kamu lebih memilih ngontrak, daripada tinggal serumah dengan orang tuaku?" tanya Satria."Aku merasa nyaman, jika kita mempunyai tempat tinggal sendiri, dan tidak menumpang kepada orang lain, meskipun kit