Dengan langkah gontai, Karina berjalan meninggalkan kostan, tempat yang selama ini menjadi saksi bisu perjalanan cintanya dengan Dehan, suka duka telah dia lalui bersama, niat hati ingin bersanding di pelaminan, namun nyatanya cintanya harus kandas di tengah jalan.
"Karina," panggil Tia.
"Tia," seru Karina.
"Mau kemana kamu?"
"Aku mau pulang kampung."
"Jangan lupa oleh-olehnya ya," ucap Tia, sambil cengengesan.
"Kayaknya kita nggak bakalan ketemu lagi deh," ujar Karina dengan sedih.
"Loh kenapa? Emang kamu nggak mau balik lagi? Nanti kuliah kamu gimana? Kerjaan kamu gimana? Sayang loh kalau di tinggal gitu aja." Tia terus melontarkan berbagai pertanyaan kepada Karina.
"Itu ojol pesananku udah dateng, aku pamit ya, jaga diri baik-baik." Karina lalu memeluk Tia, sebagai tanda perpisahan.
"Hati-hati di jalan, jangan lupain aku ya, sering-sering ngasih kabar."
Tia melambaikan tangannya, dia tidak menyangka bahwa Karina akan meninggalkan semua yang sudah dia capai dengan susah payah, dan merelakannya begitu saja.
Karina turun dari motor, dan memberikan helm kepada driver ojol, setelah itu dia langsung berjalan menuju loket antrian.
"Sidareja satu, Mbak," ucap Karina, sambil menyodorkan dua lembar uang pecahan berwarna biru.
"Ini Mbak tiketnya, dan ini kembaliannya."
"Keretanya berangkat jam berapa, Mbak?" tanya Karina kepada penjaga loket.
"Jam 20:30, Mbak."
"Makasih ya, Mbak."
"Sama-sama."
Setelah membeli tiket, Karina berjalan meninggalkan loket, perutnya terasa keroncongan, karena dari pagi belum ada makanan yang masuk ke dalam perutnya.
"Baru juga magrib, berarti berangkatnya masih lama, dua jam lagi, mana tiba-tiba pengen banget makan batagor, sambil nunggu kereta, mending nyari batagor dulu lah, udah laper juga ini perut," gumam Karina.
Karina mencari kesana kemari berharap ada pedagang yang menjual batagor, cukup lama Karina mencari, namun tetap saja tidak ada yang menjual batagor, Karina memutuskan untuk duduk di pinggiran anak tangga, saat sedang melamun lewatlah tukang batagor, dengan penuh semangat Karina berteriak memanggil si pedagang agar berhenti.
Jam menunjukan pukul 20:25 wib, kereta yang ditumpanginya telah bersiap untuk berangkat meninggalkan stasiun Senen, menuju kota kelahirannya, sepanjang perjalanan Karina sibuk dengan lamunannya, sampai-sampai dia terlewat satu stasiun dari tempat pemberhentiannya.
"Ini udah nyampe mana ya, Mas? Kalau stasiun Sidareja masih berapa stasiun lagi?" Tanya Karina kepada salah satu penumpang yang duduk disampingnya.
"Udah kelewat Mbak, ini mah udah arah ke Gandrung, emang Mbaknya nggak denger tadi ada pemberitahuan?"
"Aduh pake acara kelewat segala," keluh Karina merutuki dirinya yang teledor.
"Mbak baru pertama kali bukan ke Sidareja?"
"Iya soalnya udah beberapa tahun nggak pulang, jadi lupa lagi, padahal saya asli orang Sidareja, saya lagi kurang merhatiin aja makanya sampai kelewat," jelas Karina.
"Baru pulang dari kota ya, Mbak?"
"Iya."
"Kerja apa habis liburan?"
"Kerja sambil kuliah," jelas Karina.
"Wah.. hebat banget Mbaknya, bisa kerja sambil kuliah, jarang banget loh ada yang mau kuliah sambil bekerja, biasanya cuman ngandelin duit dari orang tua doang."
Karina menanggapinya dengan senyuman, dia mulai jenuh dengan obrolannya, tak berselang lama kereta berhenti di stasiun Gandrung dan Karina pun ikut turun.
"Masih subuh, udah ada belum ya angkutan yang ke Sidareja?"
"Mbak, mau nyari angkutan ya?" tanya pria yang ternyata tadi sebangku dengan Karina.
"Eh si Mas lagi, iya saya lagi nyari angkutan, Masnya turun di sini juga?" tanya Karina.
"Enggak, saya seharusnya turun di Kawunganten, cuman saya agak kepikiran sama si Mbaknya, takut kenapa-napa, soalnya ini masih pagi banget, pasti belum banyak angkutan yang beroperasi," jelas si pria.
"Makasih ya Mas, atas perhatiannya, panggil saya Karina, keliatannya kita seumuran," tutur Karina, sambil menyodorkan tangannya, memperkenalkan diri.
"Oh Karina, sebenarnya dari tadi juga pengen tahu namanya sih cuman malu mau nanyanya," ucap si pria, sambil nyengir kuda.
"Kalau boleh tahu Mas namanya siapa?"
"Nama saya Anam, kita ke depan yuk, kali aja udah ada ojek atau angkot yang udah mangkal," ajak Anam kepada Karina.
Mereka berjalan keluar dari stasiun, terlihat beberapa bapak-bapak yang sedang ngobrol di warung kopi, Anam lalu menghampiri mereka untuk bertanya.
"Lik maaf, mau numpang nanya, disini angkutan adanya jam berapa ya?" Tanya Anam, kepada salah satu bapak yang sedang merokok.
"Bentar lagi juga ada ojek, habis subuh baru pada datang, emangnya Adek mau kemana?"
"Saya lagi nyariin tumpangan buat teman saya ke Sidareja, kalau saya mah pulangnya ke Kawunganten," tutur Anam, sambil menunjuk ke arah Karina.
"Oh begitu, tunggu aja nanti juga ada ojek kalau Sidareja kan lumayan dari sini, nggak jauh-jauh amat, udah duduk dulu aja di situ, kalau ke Kawunganten nanti ada angkot yang jurusan ke sana."
"Makasih ya Lik, kalau begitu saya numpang duduk ya di sini."
"Iya monggo."
"Gimana?" tanya Karina.
"Ada, tunggu aja bentar lagi juga ada tukang ojek, kamu mau minum dulu nggak?"
"Nggak usah, makasih."
"Nah itu ojeknya udah ada," tunjuk Anam.
"Eh iya, kebetulan banget."
"Ayo kita tanya dulu si Mas ojeknya, mau nggak dia nganterin ke Sidareja."
"Iya." Karina mengekor di belakang Anam.
"Mas, ojek ya?" tanya Anam.
"Iya Mas, mau ngojek Mas, ayo biar saya anter, sampai depan pintu rumah," ucap Parjo, tukang ojek yang menawarkan jasanya kepada Anam.
"Bukan saya Mas tapi ini teman saya yang mau ngojek."
"Oh si Mbak Ayu yang mau ngojek, mau ke mana emang, Nduk?" tanya Parjo.
"Bapak bisa anterin saya ke Sidareja nggak?"
"Sidarejanya dimana?" Tanya Parjo, karena takut sewanya kejauhan.
"Pondok Wungu, Pak," jawab Karina.
"Oh Pondok Wungu, saya juga ada sodara di sana, yaudah ayo Nduk biar Bapak anter," ucap Parjo dengan ramah.
"Anam aku duluan ya, makasih udah mau nganterin," ucap Karina, sambil berpamitan dengan Anam.
"Hati-hati di jalan, titip ya Lik, anterin nyampe depan rumahnya dengan selamat," tutur Anam, seraya melambaikan tangannya.
"Anam aku duluan ya, makasih udah mau nganterin," ucap Karina, sambil berpamitan dengan Anam."Hati-hati di jalan, titip ya Lik, anterin nyampe depan rumahnya dengan selamat," tutur Anam, seraya melambaikan tangannyaGapura kampung Pondok Wungu sudah di depan mata, dengan hati berdebar Karina berharap semuanya akan baik-baik saja."Rumahnya yang mana nduk?" tanya Parjo."Dari perempatan belok kiri, nanti ada rumah yang ada gapura kecil," jelas Karina.Meskipun sudah lama dia meninggalkan kota kelahirannya, namun Karina masih ingat betul letak rumahnya, yang tidak jauh dari perempatan jalan.Sepanja
"Mamah apa kabar?" tanya Karina, sambil sedikit membungkuk, saat hendak menggapai tangan Mutmainah, untuk menyalaminya, belum juga tangan Karina bersentuhan, namun segera di tepis dengan kasar oleh Mamah tirinya."Karin," seru seorang lelaki, suara baritonnya terdengar tidak asing di telinga Karina.Saat menoleh betapa senangnya Karina, dilihatnya lelaki yang selama 10 tahun ini jauh dari pandangannya, sosok yang sangat Karina rindukan."Ayah," teriak Karina, sambil berlari memeluk sang ayah."Ayah apa kabar? Karina kangen banget sama ayah, Ayah kenapa nggak pernah nengokin Karina?" Karina memberondong beberapa pertanyaan kepada Pak Diki."Maafin Ayah belum sempat nengokin kamu, soalnya udah beberapa tahun ini ayah merantau di Palembang, ini aja Ayah di kampung baru dua bulan doang," jelas Pak Diki."Tapi itu alasan yang nggak masuk akal Yah, 10 tahun waktu y
"Jangan larang Karina buat pulang ke sini, dan satu lagi, jangan pernah kamu bersikap kasar pada Anakku, kalau kamu nggak suka mending kamu aja sana yang pergi!" Hardik Pak Diki"Berani sekali kamu mengusirku Mas, tidak ingatkah kamu selama ini aku yang menemanimu dikala kamu susah, hingga sukses seperti sekarang ini, kenapa hanya karena anak itu kamu berani membentakku," balas Mutmainah, tak kalah sengit dari suaminya, dia kemudian berdiri sambil berkacak pinggang."Awas kamu Karina, lihat saja nanti, kamu pasti akan menerima balasan, karena telah mengganggu ketenangan dalam rumah tanggaku." Mutmainnah membatin dalam hati, sambil meremas ujung bajunya, kemudian dia pergi masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu, karena suaminya tidak menggubris ucapannya."Nek, kenapa d
Malam ini ada acara keluarga di rumah Darman, semua keluarga di undang dan wajib datang, begitu pula dengan Karina.Darman adalah anak pertama Bu Atiah, yang tinggal di Cikerang, jarak tempuh ke rumah Darman cukup memakan waktu tiga jam, karena Darman tinggal di kota, berbeda dengan Bu Atiah yang masih tinggal di perkampungan.Darman memiliki usaha tekstil yang cukup maju, tak salah jika namanya terkenal dimana-mana."Pakai baju apa Nek, Karin bingung," ucap Karina, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Yang ada aja, kalau nggak cari aja di lemari Bibi kamu, badan kamu kan seukuran sama dia," titah Bu Atiah, yang sedang mengiris bawang di atas talenan."Iya deh, nanti Karina coba cari, moga aja ada yang pas."Karina kemudian berjalan menuju kamar Bibinya, dia membuka lemari pakaian, dan terlihat susunan baju yang tersusun rapi, bahkan ada sebagian yang digantung.
Setelah acara pertunangan Zakia selesai, mereka melanjutkan acara makan malam bersama, semua keluarga berkumpul di meja makan, untuk menikmati hidangan yang telah disediakan."Ayo silahkan di nikmati makanannya," ujar Bude Sifa, kepada semua anggota keluarga yang telah berkumpul."Wah … ada gudeg nangka kesukaan Bapak nih," seru Pak Asmadi, sambil menarik kursi untuk duduk."Kakek mau gudegnya, biar Zakia ambilin," sambut Zakia, dia kemudian mengambil piring untuk Kakeknya."Nenek juga mau Kia," tutur Bu Atiah."Nenek kan punya kolesterol, jadi nggak boleh makan makanan yang mengandung santan, jadi Nenek makan yang lain aja ya, kan banyak pilihannya," sahut Zakia, dia tidak ingin kolesterol Neneknya naik."Nasib, udah tua banyak banget pantangannya," ujar Bu Atiah gigit jari."Karin, ayo duduk, ingat jangan pulang kalo belum makan,
"Aku harus mencari cara, untuk menjauhkan Mas Diki dengan, Karina," batin Mutmainah dalam hati."Itu siapa Mbak Sifa, cantik banget?" tanya salah satu tamu, dari keluarga calon besan Bude Sifa"Itu keponakan saya, anaknya Diki," jawab Bude Sifa."Oh keponakan, anak Diki yang tinggal di Pondok Wungu ya, tapi kok saya baru liat.""Dia nggak tinggal di sini, soalnya dia kuliah di Bogor, kebetulan sekarang lagi liburan di sini.""Calon mantu idaman ini, udah mah cantik, berpendidikan juga."Acara pertunangan Zakia telah selesai, keluarga calon besan juga telah pulang, kini tinggal Pak Asmadi dan
"Karina." Pak Diki terperanjat mendengar teriakan Karina, dia langsung berlari menuju saklar dan menghidupkan lampu, Pak Diki terkejut saat melihat Karina sudah tergeletak di lantai.Matahari sudah menampakkan sinarnya, kokok ayam saling bersahutan, namun Karina masih belum sadar dari pingsannya.Kepala Karina terasa berat, perlahan dia membuka matanya, Karina bingung karena banyak orang di dalam kamarnya."Ayah, apa yang terjadi, kenapa di sini jadi ramai?" tanya Karina, kepada Ayahnya yang sedang berdiri di daun pintu, namun tatapan wajahnya sangat sulit diartikan."Jangan dulu banyak bergerak Cah Ayu," ucap seorang Nenek, yang duduk di samping Karina, dia adalah dukun beranak, orang di desa biasa memanggilnya Paraji."Mbok Nah, jelaskan lagi di depan kami semua, agar anak pembawa sial ini juga sadar dengan kesalahan yang telah dia buat!" sungut Mutmainah dengan penuh emosi, sa
"Kamu lihat Mas, anak yang kamu banggakan telah mencoreng wajahmu, lebih baik kita usir dia, sebelum semua warga tahu kalau anakmu sedang hamil, ini bisa menjadi aib bagi keluarga besar kita.""Siapa yang bertanggung jawab atas kehamilanmu Karin?" tanya Pak Diki, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Karina."Pacar Karin, Yah," jawab Karina."Sekarang juga kamu hubungi dia, biar Ayah yang bicara.""Tapi dia sudah memutuskan hubungan dengan Karina.""Itu artinya pacarmu lari dari tanggung jawab, dan kamu ditinggal begitu saja, dengan kondisi perut yang sedang berbadan dua.""Iya."
"Sudah diam, jangan bertengkar lagi!" bentak Karina.Satria dan Dehan yang semula adu mulut kini mendadak diam, tidak ada yang berani berbicara.Tubuh gadis kecil itu terbujur di liang lahat."Siapa yang akan mengadzani almarhum?" tanya seorang Ustad."Saya Ustadz," jawab Dehan."Bohong, saya Ustadz, dia anak saya, jadi saya yang berhak mengadzani almarhum," sanggah Satria."Status kamu hanya Ayah sambung, akulah yang berhak karena aku adalah Ayah biologisnya," balas Dehan."Biar saya saja Ustadz."Semua mata tertuju ke arah sumber suara tersebut, Pak Agung turun ke liang lahat dan mengadzani Cucunya untuk terakhir kalinya.Bu Ayu dan Karina berpelukan saling menguatkan, tubuh mungil Cahya telah hilang di timbun tanah, kini tinggalah sesal yang tersisa."Sudah ayo pulang, biar
Semua keluarga tidak ada yang menyangka Cahya akan pergi secepat ini, gadis kecil yang sangat periang, ternyata memendam suatu penyakit yang mematikan, Karina sangat terpukul atas kepergian anak semata wayangnya, dia terus menangis meratapi tubuh Cahya yang sudah terbujur kaku."Ibu-ibu ayo kita angkat jenazahnya ke belakang, pemandiannya sudah siap," ucap Bu Rini, dia orang yang sudah biasa memandikan jenazah orang yang meninggal."Apakah ada anggota keluarga yang mau ikut memandikan jenazah?" tanya Bu Rini."Saya akan ikut memandikan jenazah anak saya," ujar Karina, dia bangkit dari duduknya, dengan badan yang masih lemas, Karina dibantu oleh Bu Ayu berjalan ke arah pemandian.Proses pemandian telah selesai, jenazah Cahya sudah siap untuk di kafani, saat semua orang sedang larut dalam kesedihannya masing-masing, tiba-tiba seorang pria bertubuh kekar berlari menghampiri jenazah Cahya dan meraung-rau
"Ada yang ingin saya sampaikan, ini menyangkut penyakit yang di derita oleh anak Bapak dan Ibu," ujar dokter Irfan, dia menggeser kursi dan memperbaiki posisi duduknya.Tatapan mata dokter Irfan terlihat sangat serius, membuat jantung Karina berpacu dengan cepat."Dari hasil pemeriksaan yang kami lakukan, anak Ibu harus menjalani pengobatan rutin.""Emangnya anak saya kenapa, Dok?" tanya Karina."Anak Ibu mengidap penyakit gagal ginjal," ucap dokter Irfan.Degh…Jantung Karina seperti berhenti berdetak, nafasnya mendadak sesak, dunia Karina runtuh, saat mendengar anak semata wayangnya mengidap penyakit kr
"Assalamualaikum," ucap Karina saat memasuki rumah yang terlihat sepi.Saat Karina hendak masuk ke dalam kamar, samar-samar terdengar suara gaduh dari arah belakang, dia seperti mendengar suara Bu Ayu memeriaki nama Cahya.Karina melempar paper bag ke atas kasur, dengan tergesa-gesa Karina berjalan dengan cepat ke belakang rumah, disana terlihat Satria dan Bu Ayu yang sedang menangis histeris.Karina tidak mengerti mengapa mereka menangis, dia melepas sandal heels nya kemudian berjalan ke arah Bu Ayu, persendian Karina terasa lemas saat melihat putrinya tengah tergeletak lemah tak berdaya diatas rumput, Bu Ayu terus mengguncang tubuh Cahya, namun gadis kecil itu tetap diam dengan bibir yang sudah pucat.Karina panik sambil ngomel dia mengangkat tubuh Cahya, dan membawanya ke dalam rumah."Cahya kenapa Ma? jawab Mas? Kalian kenapa diam saja? Kenapa putriku bisa sampai seperti ini?
"Kamu mau kemana? Tumben pagi-pagi begini sudah rapi, pake make up, emm wangi lagi, jadi curiga aku," tegur Satria, yang baru saja bangun dari tidurnya.Satria mengucek matanya sambil menguap, ciri khas orang yang baru saja bangun tidur, dia bangun dan memeluk Karina dari belakang."Mandi dulu Mas, nanti nular baunya," ledek Karina dia berbalik dan memegang dagu Satria."Aku berangkat dulu ya, sarapan juga udah aku siapin di meja makan," ujar Karina, sambil melepaskan pelukan Satria."Kamu mau kemana?" tanya Satria, dia menahan tangan Karina, dan menariknya kembali ke dalam pelukannya."Mas minta maaf soal kemarin, Mas khilaf, dan Mas janji akan berubah, hari ini Mas akan mulai bekerja di perusahaan Papa, jangan marah lagi ya," bujuk Satria."Aku nggak marah kok Mas, tapi tolong kali ini jangan larang aku, hari ini aku akan melamar pekerjaan."
Hari ini suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja, makin kesini sikap Satria makin menyebalkan.Iseng-iseng kubuka aplikasi berwarna biru, saat sedang asyik berselancar di dunia maya, mataku tertuju pada salah satu akun yang meminta pertemanan, kupikir itu hanya akun palsu jadi aku melewatinya begitu saja.Saat aku membuka messenger, kulihat banyak pesan spam yang masuk, salah satunya dari akun yang bernama Sep Dehan Lintang Tsuryo, akun yang tadi sempat kulihat di barisan permintaan pertemanan.Karena penasaran aku iseng membalas pesannya, sebenarnya siapa pemilik akun ini, foto profilnya sepertinya aku pernah melihatnya, seorang pria yang sedang berdiri membelakangi kamera dan menghadap ke pantai, dengan baju kemeja bermotif daun yang sedang tren pada masanya.[ Hay cantik, boleh kenalan ] begitulah isi pesannya.[ Iya ] jawabku singkat, tentu karena aku tidak ingin terlihat
"Apa-apaan sih kamu Mas," sentak Karina dengan mata melotot dan napas yang berburu.Karina yang penurut kini berani melawan suaminya sendiri, semenjak Satria bangkrut keharmonisan rumah tangga mereka mulai terkikis, Karina dan Satria menjadi sering berdebat."Urusin nih anak kamu, nggak tau orang lagi pusing apa!" hardik Satria tak kalah garang."Cahya sayang, kamu masuk dulu ya ke dalam, Bunda mau bicara dulu sama Ayah," bujuk Karina, dia tidak mau Cahya mendengar perdebatan mereka, dia takut karena sering mendengar orang tuanya bertengkar, akan berpengaruh kepada mental Cahya yang masih polos dan tidak tau apa-apa.Setelah Cahya sudah tidak terlihat, Karina mulai berbicara dengan Satria.
Sudah satu bulan Karina menumpang di rumah mertuanya, Satria masih menganggur karena belum mendapatkan pekerjaan, Pak Agung menawarkan Satria untuk bekerja di perusahaannya, namun Satria menolak, dengan alasan dia ingin mandiri dan tidak bergantung kepada orang tua.Pagi ini Satria sedang duduk di dekat kolam renang, menikmati udara pagi yang cerah, sedangkan Cahya dia selalu ikut kemanapun Bu Ayu pergi, pagi ini Cahya ikut berjalan-jalan dengan Bu Ayu ke taman yang tak jauh dari rumahnya."Mas, Mau sampai kapan kita kayak gini terus?" tanya Karina sambil membawakan secangkir teh hangat untuk Satria."Bawel amat sih, Aku juga lagi berusaha," sentak Satria, entah kenapa akhir-akhir ini dia menjadi kasar, padahal Karina bicara secara baik-baik, namun Satria selalu membentaknya
"Mas, menurutku daripada kita harus menumpang di rumah Mama, lebih baik kita mengontrak saja," usul Karina kepada suaminya."Untuk apa mengontrak, bukankah lebih baik jika kita tinggal bersama orang tuaku," balas Satria sambil menatap manik istrinya.Rasanya Karina sangat malas, jika harus tinggal kembali bersama mertuanya, dia sudah paham betul watak ibu mertuanya yang kadang baik dan kadang jahat, di mata Karina, Bu Ayu seperti memiliki kepribadian ganda."Hey, kenapa melamun?""Enggak," jawab Karina malas."Dih ngambek nih ceritanya," ejek Satria, Karina tetap diam dan mengerucutkan bibirnya."Yaudah deh, coba jelasin sama Mas, kenapa kamu lebih memilih ngontrak, daripada tinggal serumah dengan orang tuaku?" tanya Satria."Aku merasa nyaman, jika kita mempunyai tempat tinggal sendiri, dan tidak menumpang kepada orang lain, meskipun kit