***
"Nja, Mas, aku sama Diandra pergi dulu ya. Kalian baik-baik di sini dan jangan lupa kabarin kalau ada apa-apa. Soal oleh-oleh, jangan ragu buat chat karena aku bakalan bawa apa pun yang kalian mau terutama Senja. Demi bumil pokoknya."Diantar sampai ke dekat mobil, kalimat pamit tersebut lantas Gian lontarkan pada Senja dan Juan. Sehari pasca menikah, Gian memang tak akan berdiam diri di rumah karena kemarin sebuah hadiah didapatkannya dari Juan.Bukan barang, yang Gian terima adalah tiket bulan madu untuknya dan Diandra. Bukan luar negeri, tiket tersebut adalah tiket menuju Labuan Bajo karena memang alih-alih di luar, Juan katanya ingin sang adik honeymoon di dalam negeri.Gian dan Diandra senang? Jawabannya adalah iya, karena sebelum pernikahan, keduanya tak memikirkan bulan madu sehingga ketika Juan tiba-tiba mengatur semuanya, pasangan suami istri tersebut berterima kasih.Tak hanya masalah bulan madu, Juan juga mengurus cuti kuli***"Ada apa, Pak?"Berdiri di ambang pintu dengan raut wajah sedikit ditekuk, pertanyaan tersebut lantas Juan dapatkan dari sang pemilik ruangan kerja yang siang ini dia datangi.Bukan ruangan kerja orang lain, Juan mendatangi ruangan Davion karena memang setelah berpikir selama beberapa detik, dia memutuskan untuk menurunkan ego dengan mengabulkan ngidam sang istri yang menurutnya aneh.Ingin menyantap tempe orek yang dimasak Davion di dapur rumah Juan, itulah yang Senja inginkan dan mau tak mau, suka tak suka Juan harus mengabulkan keinginan tersebut karena katanya jika tidak, Senja akan marah selama tiga hari tiga malam."Kamu kenapa enggak istirahat?" tanya Juan—masih dengan raut wajah yang terlihat bete, karena meskipun sudah berpikiran sepositif mungkin, membayangkan Davion memasak di depan Senja membuat hatinya panas. "Ini udah mau jam setengah satu padahal. Mau sok rajin?""Ya enggak, Pak," kata Davion. "Cuman saya baru
***"Teman, Pak. Saya izin angkat dulu ya."Ditanya dari siapakah panggilan yang kini masuk ke ponselnya, jawaban tersebut lantas Davion lontarkan pada Juan. Mendapat izin untuk menjawab panggilan, selanjutnya yang dia lakukan adalah pergi meninggalkan dapur.Tak berdiri di ruang tengah, Davion memilih teras untuk dia jadikan tempat mengobrol dan di kursi yang berada di teras, dirinya duduk sambil menggeser gambar gagang telepon di layar."Halo, Ki, ada apa?""Kenapa lama banget jawabnya, Kak? Lagi makan siang sama cewek ya di kantor?"Tak ada basa-basi, pertanyaan tersebut langsung Davion dapat dari gadis yang kini menghubunginya. Bukan orang lain, dia adalah Kirania—putri sulung Juan."Aku di rumah kamu," kata Davion sambil sesekali menoleh ke belakang, untuk memastikan tak ada Juan di ambang pintu. "Lagi makan siang.""Kok bisa di rumah aku?" tanya Kirania dengan suara yang terdengar kaget. "Sama siapa? Awas
***"Ma, Mama masih tidur?"Berdiri di depan pintu kamar Senja, pertanyaan tersebut lantas Kirania lontarkan setelah sebelumnya mendaratkan ketukan. Sampai di rumah hampir setengah jam lalu, kabar tentang sang mama sambung yang katanya tidur siang, didapatkan Kirania dari sang bibi sehingga tak langsung menemui Senja, dia memilih untuk mengganti pakaian bahkan makan siang.Ada yang ingin dibicarakan, itulah ucapan Senja pada Kirania tadi lewat telepon sehingga tak mampir ke mana-mana dulu, Kirania memutuskan untuk langsung pulang ke rumah sambil membawa rasa penasaran."Mama masih tidur apa gimana ya?" tanya Kirania setelah sebelumnya tak ada sautan dari dalam kamar. "Apa coba cek dulu?"Berpikir selama beberapa detik, setelahnya Kirania memutuskan untuk mengecek, sehingga pelan sekali dia membuka pintu. Menyembulkan kepala, atensi Kirania langsung tertuju pada kasur tempat sang mama berbaring. "Masih tidur ternyata,"
***"Putus."Kompak memasang raut wajah kaget, itulah Senja dan Kirania setelah ucapan tersebut dilontarkan Juan dengan raut wajah seriusnya.Mengikuti saran Senja, malam ini Kirania jujur tentang hubungannya dengan Davion. Tak ada respon baik, Juan nampak tak suka mendengar kabar yang diberikan sang putri sehingga setelah Kirania menjawab serius tentang hubunganya dan sang kekasih, pria itu meminta sang putri putus."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Senja yang membuat atensi Juan beralih."Ya putus," kata Juan. "Aku mau Kiran sama Davion putus. Apa enggak jelas ucapan barusan?""Enggak bisa gitu dong, Pa," kata Kirania yang membut Juan kembali memandangnya. "Aku cinta sama Kak Davion begitu pun sebaliknya. Jadi enggak ada tuh putus-putus.""Jadi kamu lebih pilih Davion dibanding Papa? Iya?" tanya Juan. "Kamu masih kecil, Kiran, bahkan tujuh belas tahun pun kurang. Bisa-bisanya pacaran sama orang dewasa. Aneh tahu enggak?"
***"Halo."Refleks melengkungkan senyuman, itulah yang Kirania lakukan setelah suara berat Davion terdengar dari telepon. Tak lagi di kamar sang papa, saat ini dia memang sudah kembali ke kamarnya dan tak diam saja, Kiranua menghubungi sang kekasih dengan tujuan; mengajak Davion datang ke rumah hari sabtu nanti.Mendapat lampu hijau untuk berpacaran, Kirania tak sepenuhnya bebas karena sebelum melanjutkan hubungan dengan Davion, kebaikan dan ketulusan kekasihnya tersebut harus dipastikan dulu sehingga selain makan siang bersama, sabtu nanti katanya Juan akan mengajak mantan dari istrinya tersebut berdialog empat mata."Halo, Kak, ganggu enggak?" tanya Kirania. "Kali aja Kak Davi lagi nongkrong atau bahkan udah tidur gitu?""Enggak sih, enggak ganggu," kata Davion. "Aku barusan kebetulan lagi main game. Jadi aman.""Lho, keganggu dong itu, Kak?" tanya Kirania. "Kalau ada panggilan pas main game kan nanti gamenya kepause. Iya engg
***"Menurut Papa?"Menyipitkan mata dengan emosi yang semakin naik, itulah Juan setelah pertanyaan tersebut dilontarkan sang putri, usai dirinya bertanya tentang testpack yang ditemukan di atas meja belajar Kirania.Tak ada panik, gadis itu terlihat tenang dan hal tersebut jelas membuat Juan penasaran karena jika memang Kirania hamil, seharusnya rqsa panik melanda karena bukan hal sepele, hamil di usia belia terlebih masih pelajar adalah sebuah masalah yang sangat besar."Kamu ditanya tuh jawab, bukan balik nanya," desis Juan. "Mau Papa pukul?""Pukul apa maksud kamu?"Bukan Kirania, yang bertanya adalah Senja yang tahu-tahu berada di ambang pintu. Tak kalah serius dari Juan, perempuan itu kini menatap intens sang suami sebelum akhirnya bertanya,"Kamu lagi ngapain Kiran? Kok pake nyebut pukul segala? Berani emang kamu pukul anak aku?""Aku nemuin tespack di meja belajar Kiran, Senja, dan ini aku lagi nanya," k
***"Silakan dinikmati basonya ya, Mbak, Kak, Dek, semoga bakso buatan Mamang cocok di lidah kalian."Sambil menyimpan satu persatu mangkuk bakso di atas meja makan, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan untuk istri dan kedua anaknya yang sejak beberapa menit lalu menunggu di sana.Tak bisa menolak ngidam Senja yang katanya ingin bakso buatan dia sendiri, Juan mendadak cosplay menjadi mang bakso komplek. Membuat adonan bakso kemudian mengolahnya menjadi bulatan kecil dan sedang, semua dia lakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun.Tak hanya membuat bakso, Juan juga berpakaian seperti tukang bakso demi mengabulkan keinginan Senja. Kaos abu pendek, celana pendek juga topi bulat dan handuk, semuanya dia pakai dan hal tersebut membuat Senja bahagia, sehingga meskipun harus menunggu satu jam lebih bakso yang diinginkannya jadi, perempuan itu tak bosan sama sekali."Waw," ucap Kirania takjub. "Udah cocok kayanya Papa jadi tukang bakso. Persis bua
***"Gimana, Dok? Apa istri saya harus lahiran sekarang karena ketubannya udah pecah?"Melihat dokter selesai memeriksa Diandra, pertanyaan tersebut lekas Gian lontarkan dengan raut wajah yang cukup tegang.Mendapat kabar tentang Diandra yang tiba-tiba mengalami pecah ketuban, Gian memang sigap membawa istrinya itu ke rumah sakit terdekat. Meskipun Diandra tak merqsa kesakitan, Gian membawa perempuan itu ke IGD sehingga tanpa perlu menunggu lama, penanganan pun dilakukan dengan cepat."Betul sekali, Pak," kata sang dokter, memberi jawaban. "Karena air ketuban yang tersisa hanya tinggal sedikit, istri Bapak harus segera melahirkan bayinya dan demi mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, kami akan melakukan tindak operasi secepatnya. Apa bapak setuju? Jika iya, nanti berkas-berkasnya disiapkan pun dengan ruang operasi.""Kalau itu yang terbaik, saya setuju, Dokter," ucap Gian. "Tapi usia kandungan istri saya baru dua puluh sembila