Makan malam itu berlangsung dengan lancar. Ansel terus menerus bertukar cerita dengan kedua orangtuanya. Menceritakan setiap detail kisah hidupnya di Singapura. Termasuk pertemuannya dengan Clara dan bagaimana mereka berdua bisa berkencan serta menjadi sepasang kekasih.Tampaknya begitu hangat. Tapi berbeda dengan apa yang dirasakan Clara. Meskipun Ansel dan Elliott berusaha begitu keras untuk mengajak Clara bergabung dalam pembicaraan, Adeline malah seolah tidak ingin gadis itu bersuara. Entah berapa kali ibu Ansel memotong pembicaraan Clara dan mengalihkan topiknya ke hal lain yang Clara tidak mengerti.Tanpa terasa, tiga jam berlalu dengan begitu cepat dan makan malam yang menyiksa itu akhirnya selesai."Mom, Dad, aku harus pulang sekarang. Hari sudah cukup malam dan kami berdua masih merasa lelah karena perjalanan." Pamit Ansel kepada kedua orangtuanya.Sang ayah tampak keberatan karena masih banyak hal yang ingin ia perbincangkan dengan puteranya. Tapi setelah dijelaskan oleh Ans
Hari ini adalah hari pertama bagi Ansel untuk memulai perannya sebagai pemimpin perusahaan periklanan milik ayahnya. Brooks Advertising Corp. Dan rasa gugup menyelimuti hati Ansel. Sungguh, ia tidak yakin apakah dirinya mampu memenuhi ekspektasi orang-orang yang dibebankan di pundaknya.Ansel mematut dirinya di depan cermin. Ia terlihat tampan dalam balutan jas berwarna biru tua dan kemeja biru muda di baliknya. Celananya berwarna senada dan sepatunya berwarna cokelat tua. Ah, kalau diingat-ingat, kapan terakhir kali Ansel mengenakan pakaian serapi ini? Rasanya seperti sudah lama sekali."Ansel Brooks, you can do it! Kamu pasti bisa!" Seru Ansel pada dirinya sendiri.Matanya menangkap sosok kekasihnya masuk ke kamar dengan membawa segelas kopi hangat di tangannya. Clara berjalan mendekati Ansel sembari lalu menyodorkan kopi itu kepada Ansel."Apakah kamu siap?"Ansel menyesap kopi hitam itu. Ah, Clara memang yang paling tahu segala hal tentangnya. Bahkan segelas kopi ini pun terasa sa
Tanpa terasa satu hari sudah bergulir dan Clara habiskan dengan membereskan apartemen mereka. Setidaknya ia tidak ingin Ansel pulang dalam keadaan rumah yang berantakan. Lambat laun Clara harus mulai bisa bertingkah sebagai wanita yang mengurus rumahnya. Apalagi melihat dari sejauh apa hubungan mereka sekarang melangkah. Mungkin memang lebih baik jika Clara mulai bertindak seperti seorang isteri.Pukul tujuh malam, Clara mendengar pintu apartemennya terbuka. Ia melihat sosok kekasihnya yang sudah pulang dengan wajah yang tampak lelah. Tanpa berpikir dua kali, Clara langsung menghampiri Ansel dan memeluknya."Kamu sudah pulang?"Ansel mengangguk dan tersenyum tipis. Wajahnya tampak sangat letih. Pasti sangat melelahkan bekerja di hari pertama dengan beban seberat itu."Aku sudah menyiapkan bathtub untukmu. Kamu bisa mandi dulu kalau kamu mau, Sayang."Ansel mengangguk lagi. Tanpa banyak bertanya ataupun berkata apa-apa. Seolah energinya sudah benar-benar habis untuk bekerja seharian. D
Sudah genap seminggu Ansel dan Clara tinggal di Birmingham, kota kelahiran Ansel. Dan seiring hari bergulir, Ansel semakin disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang sepertinya tidak ada habisnya. Mulai dari proyek lama yang harus ia ambil alih, hingga mempelajari setiap laporan dari klien prospektif baru. Baru kali ini Ansel merasa waktu dua puluh empat jam tidak cukup baginya. Seperti halnya hari ini, sudah sejak pagi ia berkutat dengan berbagai analisis dari hasil iklan yang baru saja mereka luncurkan. Timnya menghabiskan begitu banyak waktu untuk membuat konsep dan mengerjakan proyek ini. Namun sayangnya, hasil yang diberikan tidak terlalu memuaskan. Dan tentu saja klien ini tidak terima dengan hasil yang mengecewakan. Ansel bahkan sudah kehabisan jari untuk menghitung berapa kali Tuan Sanders sudah mengirimkan keluhan kepadanya.Ia menghempaskan tubuhnya ke kursinya dan memijat keningnya yang berdenyut. Firma periklanan ayahnya bukanlah sebuah firma besar. Firma ini hanyal firma
Clara sekali lagi menarik nafasnya dengan sangat dalam. Rasa gugup benar-benar menelannya bulat-bulat. Ia sudah berjanji akan berdamai dengan egonya sendiri. Ansel memintanya untuk berkunjung ke rumah orangtuanya. Tentu saja pasti Ansel mengharapkan sesuatu yang baik dari hari ini. Misalnya perubahan sikap ibunya yang menjadi lebih baik kepada Clara.Dan sesungguhnya Clara pun berharap demikian. Dan sekarang disinilah dirinya. Menatap ke arah rumah yang baru saja dikunjunginya seminggu yang lalu. Ia bahkan tidak bisa menyingkirkan gemetar di kedua tangannya. Clara benar-benar khawatir dengan apa yang akan dipikirkan oleh Adeline. Jika bisa, mungkin ia akan berlari kembali ke apartemen dan bersembunyi disana. Tapi Clara hanyalah Clara. Gadis biasa yang sangat mencintai Ansel, putera Adeline. Dan Clara akan melakukan semuanya jika itu yang terbaik untuk hubungan mereka.Clara menekan bel rumah itu. Ia berdiri dan melirik ke kantong kertas yang ia bawa. Kantong itu berisi masakan Italia
Harga sebuah kontrak adalah setara dengan harga diri Ansel. Tuan Sanders menekannya mati-matian dan akhirnya Ansel menyetujui permintaannya. Proyek kali ini tidak akan membuahkan keuntungan apapun bagi firmanya. Tapi setidaknya, kegagalan kemarin tidak akan mencederai reputasi yang dibangun ayahnya selama tiga puluh tahun terakhir.Dan Ansel benar-benar diliputi perasaan gagal. Ia kalah telak dalam proyek pertamanya sebagai pimpinan firma. Entah apakah ia akan mendapatkan kepercayaan diri yang cukup untuk melanjutkan perannya sebagai CEO di perusahaan ayahnya. Dan Ansel bahkan tidak bisa membayangkan raut ayahnya yang begitu kecewa karena negosiasi payah yang dilakukan Ansel.Ansel menghela nafas pelan. Pandangannya menerawang ke arah jalanan dari dalam taksi yang ia tumpangi. Ia terlalu banyak minum karena stress. Ia bahkan tidak bisa berjalan dengan baik sekarang. Apalagi mau menyetir.Ah, Birmingham tampak begitu indah malam ini. Seolah kota ini tetap berjalan sebagaimana mestinya
Pertengkaran kecil semalam cukup mengguncang Clara. Bohong jika ia tidak terluka dengan perkataan Ansel. Pikirannya kembali melayang pada kejadian di rumah Ansel kemarin. Dimana Adeline memang tampaknya dengan sengaja menumpahkan seluruh masakan Clara. Apapun alasannya, adalah hal yang aneh empat buah mangkuk makanan bisa tumpah sekaligus.Dan setelahnya, Adeline dengan berbagai kata-kata manis berlapis racun itu meminta Clara untuk membersihkan semua kekacauan itu. Tangannya terluka karena pecahan mangkuk, katanya. Tapi sungguh, hal yang menyakiti hati Clara bukanlah itu. Tapi kata-kata terakhir yang diucapkan Adeline sebelum meninggalkan Clara sendirian di dapur."Betapa menyenangkannya memiliki pengalaman sebagai pelayan, bukan?"Astaga, hati Clara berdenyut lagi jika mengingat ucapan itu. Sehina itukah seorang mantan pelayan di mata Adeline? Apakah perempuan kelas rendahan seperti Clara tidak pantas untuk bersanding dengan putera kesayangannya?Dan diatas itu semua, ketika Clara b
Hari bergulir menjadi minggu dan minggu pun berganti bulan. Tanpa terasa, tiga bulan sudah berlalu semenjak Clara dan Ansel tinggal di Birmingham. Ansel sudah mulai terbiasa dengan posisinya sebagai pimpinan perusahaan. Proyek Tuan Sanders untungnya berjalan dengan lancar dan sempurna. Namun sayangnya, Ansel menjadi semakin sibuk dan seringkali bermalam di kantor.Sejujurnya, Clara pun tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Karena ia sudah berjanji untuk mendukung apapun demi masa depan keduanya. Hanya saja semuanya terasa menjadi begitu sepi.Beruntunglah Clara juga memiliki kesibukannya sendiri sekarang. Ia kembali bekerja sebagai model di salah satu merek fashion di Inggris. Ia mendapat rekomendasi dari mantan atasannya dulu, Miss Grace. Meskipun tidak menghasilkan uang yang begitu besar, tapi Clara tetap bahagia. Ia memiliki kesibukan baru dan juga teman-teman baru. Dan setidaknya ini akan membantu Clara melewati hari-harinya yang sepi."Hari ini kita akan makan malam di rumah Da
Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny
Entah berapa kali Clara mengutuk dirinya sendiri dan hati lembutnya ini. Ia sudah bertekad bahwa ia akan mengabaikan Ansel dan benar-benar menunjukkan kemarahannya. Namun sekarang, disinilah ia. Berjalan di pusat perbelanjaan Edinburgh mencari oleh-oleh untuk orang-orang yang ia sayangi. Hiasan kristal untuk Adeline, wiski untuk Elliott, dan wine serta parfum untuk Ansel.Ah, kenapa Clara bodoh sekali? Kenapa ia masih saja mau menghabiskan waktu dan uangnya untuk mereka yang bahkan tidak peduli dengannya?Tapi seperti itulah Clara. Beginilah cara ia menunjukkan rasa cintanya. Tak peduli seberapa kesalnya ia dengan orang-orang itu (kecuali Elliott, tentu saja), Clara tetap akan tersenyum lebar dan memberikan oleh-oleh ini kepada mereka."Semoga mereka menyukainya." Gumam Clara sembari mendorong troli belanjanya menuju kasir.Penerbangannya dua jam lagi dan Clara sekarang tengah menunggu pesawatnya di bandara. Ia melirik ponselnya lagi. Lagi-lagi panggilan dari Ansel. Untuk pertama kali
Pemotretan di Edinburgh benar-benar menyenangkan. Clara diharuskan berfoto di lokasi yang sedikit menantang yaitu di atas tebing St. Abbs. Dengan angin yang bertiup begitu kencang dan ombak yang menerpa dengan deras di bawahnya, tentu saja berfoto dengan menggunakan dua potong lingerie menjadi hal yang sedikit sulit untuk dilakukan.Tapi Clara menyukainya. Tidak, bukan hanya sekedar menyukainya. Clara benar-benar menikmatinya. Dan setidaknya kesibukannya ini akan mengalihkan perhatian Clara dari masalahnya dengan Ansel."Memangnya Ansel saja yang bisa sibuk bekerja?"Jepretan demi jepretan di ambil dan puluhan hasil foto yang tampak luar biasa benar-benar membuat Clara kagum. Jika ia adalah dirinya dua tahun lalu, maka mungkin Clara tidak akan pernah menyangka bahwa ia bisa bergaya sebagus itu. Layaknya seorang model profesional.Tapi Clara yang sekarang berbeda dengan Clara yang dulu. Ia sekarang adalah satu di antara deretan model La Perla. Dan juga salah satu model yang melenggok d
Pikiran Ansel benar-benar kalut. Hatinya tidak tenang karena rasa gelisah. Wajah terakhir yang ia lihat sebelum Clara pergi tadi pagi adalah hal yang paling tidak bisa ia lupakan. Kekasihnya itu benar-benar kecewa dan terluka. Matanya sembab karena menangis begitu hebat. Dan semua itu disebabkan oleh Ansel. Ansel dan segala egoismenya yang tidak bisa ia bendung.Dan karena itu pula Ansel tidak bisa fokus bekerja sejak tadi. Pikirannya selalu kembali kepada Clara dan Clara lagi. Rapat hari itu bahkan berjalan terasa sangat lambat karena Ansel tidak bisa meraih ponselnya untuk menghubungi kekasihnya itu."Jadi bagaimana, Tuan Brooks? Konsep iklan yang mana yang menurut Anda paling baik?"Pertanyaan dari salah seorang karyawannya menyadarkan Ansel dari kekalutannya. Ia segera mengerjapkan matanya berkali-kali dan mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya.Sadar, Ansel! Ada proyek senilai lima juta poundsterling yang harus kamu selesaikan!Ansel meninjau konsep yang dibuat oleh timnya