Pertengkaran kecil semalam cukup mengguncang Clara. Bohong jika ia tidak terluka dengan perkataan Ansel. Pikirannya kembali melayang pada kejadian di rumah Ansel kemarin. Dimana Adeline memang tampaknya dengan sengaja menumpahkan seluruh masakan Clara. Apapun alasannya, adalah hal yang aneh empat buah mangkuk makanan bisa tumpah sekaligus.Dan setelahnya, Adeline dengan berbagai kata-kata manis berlapis racun itu meminta Clara untuk membersihkan semua kekacauan itu. Tangannya terluka karena pecahan mangkuk, katanya. Tapi sungguh, hal yang menyakiti hati Clara bukanlah itu. Tapi kata-kata terakhir yang diucapkan Adeline sebelum meninggalkan Clara sendirian di dapur."Betapa menyenangkannya memiliki pengalaman sebagai pelayan, bukan?"Astaga, hati Clara berdenyut lagi jika mengingat ucapan itu. Sehina itukah seorang mantan pelayan di mata Adeline? Apakah perempuan kelas rendahan seperti Clara tidak pantas untuk bersanding dengan putera kesayangannya?Dan diatas itu semua, ketika Clara b
Hari bergulir menjadi minggu dan minggu pun berganti bulan. Tanpa terasa, tiga bulan sudah berlalu semenjak Clara dan Ansel tinggal di Birmingham. Ansel sudah mulai terbiasa dengan posisinya sebagai pimpinan perusahaan. Proyek Tuan Sanders untungnya berjalan dengan lancar dan sempurna. Namun sayangnya, Ansel menjadi semakin sibuk dan seringkali bermalam di kantor.Sejujurnya, Clara pun tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Karena ia sudah berjanji untuk mendukung apapun demi masa depan keduanya. Hanya saja semuanya terasa menjadi begitu sepi.Beruntunglah Clara juga memiliki kesibukannya sendiri sekarang. Ia kembali bekerja sebagai model di salah satu merek fashion di Inggris. Ia mendapat rekomendasi dari mantan atasannya dulu, Miss Grace. Meskipun tidak menghasilkan uang yang begitu besar, tapi Clara tetap bahagia. Ia memiliki kesibukan baru dan juga teman-teman baru. Dan setidaknya ini akan membantu Clara melewati hari-harinya yang sepi."Hari ini kita akan makan malam di rumah Da
Jari Ansel menekan bel rumah kedua orangtuanya. Dan tangannya yang lain menggandeng Clara begitu erat. Seolah takut kekasihnya akan kabur jika ia melepaskan gandengan itu sedetik saja. "Kamu gugup?" Tanya Ansel sembari mengusap punggung tangan Clara.Gadis itu hanya tersenyum canggung. Ia tampak sangat cantik malam ini. Dress dengan panjang selutut berwarna putih dengan aksen pita berwarna pink di bagian pinggangnya. Bagian bawah dressnya menjuntai jatuh menunjukkan kaki Clara yang jenjang. Sungguh ia tampak luar biasa mempesona.Tapi tak peduli seberapa cantik ia tampil, Clara yakin benar Adeline pun tidak akan menyukainya. Dan karena itu pula hatinya terasa sangat kacau sekarang."Sedikit gugup." Jawab Clara pelan.Ansel meraih tangan Clara dan menciumnya. Matanya menatap lurus ke arah dua orbs kecokelatan milik Clara yang sangat jernih."Semuanya akan baik-baik saja." Ucap Ansel menenangkan.Clara menarik nafasnya dalam dan sedikit kegugupannya menguap entah kemana. Tak butuh wakt
Tangis Clara meledak. Semua hinaan itu bahkan masih terasa panas di telinganya. Hatinya remuk dan harga dirinya telah hancur berkeping-keping. Dan semua itu dilakukan oleh ibu dari pria yang ia cintai setengah mati. Bulir demi bulir air mata meleleh di pipinya. Matanya bahkan tampak sedikit menghitam karena maskaranya yang luntur terkena air mata. Clara menatap bayangannya di kaca. Ia terlihat sangat kacau sekarang. Mata yang sembab, hidung yang merah, dan riasan yang berantakan. Astaga, bahkan seorang anak kecil pun akan berlari melihatnya sekarang.Clara menyalakan keran air di wastafel kamar mandi. Ia mulai membasuh wajahnya dan memperbaikki riasannya. Beberapa menit berlalu dan wajahnya tampak sedikit lebih baik. Walaupun tidak dapat disembunyikan bahwa Clara baru saja menangis habis-habisan beberapa detik yang lalu."Astaga, apa itu? Kenapa Ibu Ansel tega sekali kepadaku." Gumam Clara tidak habis pikir.Memikirkan itu lagi, membuat air matanya akan tumpah lagi. Clara buru-buru m
Makan malam semalam benar-benar buruk. Terlepas dari seks hebat yang mereka lakukan di kamar mandi, semuanya benar-benar kacau. Hinaan Adeline, kemarahan Elliott, dan kekecewaan Ansel. Clara bahkan tak pernah menyangka kalau kebencian Adeline akan menjadi sebesar itu. Begitu besar hingga ia tak lagi merasa sungkan untuk menyebutkannya secara lisan di depan suami dan puteranya.Setelah bercinta di kamar mandi, keduanya segera berpakaian. Tak berapa lama, Ansel langsung mengajak Clara pulang. Ia tak ingin melihat kekasihnya dihina lebih lanjut oleh ibunya. Dan selama semalaman, yang dilakukan Ansel hanyalah mendekap Clara dalam pelukannya. Ia terus menerus meyakinkan Clara bahwa gadis itu sempurna dan Ansel tidak akan pernah mencari yang lain selain Clara.Setidaknya untuk saat ini, semua itu sudah cukup bagi Clara.Dan sekarang, pikirannya berterbangan kemana-mana sejak di taksi tadi. Ia menerka-nerka apa yang ingin dikatakan Jennifer kepadanya. Urusan apa yang begitu penting sehingga
"Apa? Kamu akan menjadi model Victoria Secrets?"Ansel membelalak tak percaya mendengar kabar yang disampaikan kekasihnya itu. Sungguh ia sangat bahagia jika Clara juga bisa mengejar mimpinya sebagaimana Ansel membangun bisnisnya sekarang. Dan Ansel benar-benar berharap lambat laun ibunya akan menerima Clara dan menganggap gadis itu pantas untuknya.Clara mengangguk. "Iya, aku tidak berbohong. Minggu depan Miss Ryan akan memperkenalkanku kepada agensi mereka dan mulai mempekerjakanku disana." Seru Clara dengan antusias.Ansel kembali melihat binar itu di mata Clara. Kemilau ketika ia membicarakan hal yang ia suka. Dan betapa bersemangatnya Clara dengan pekerjaan barunya. Semua pemandangan itu menghangatkan hati Ansel dan membuatnya merasa gemas. Secara refleks Ansel mendaratkan ciuman di bibir Clara yang duduk di pangkuannya."Aku bangga kepadamu, Sayang." Puji Ansel tulus.Clara tersenyum cerah. Kali ini ia yang mencium Ansel dengan begitu dalam dan romantis. Dan dalam sekejap, situ
Memasukki enam bulan kepindahan mereka ke Birmingham, baik Ansel maupun Clara sudah sangat disibukkan oleh kegiatan mereka masing-masing. Ansel dengan proyek lima juta poundsterling yang ia perjuangkan mati-matian. Sementara Clara dengan pemotretannya yang seperti tidak ada habisnya. Keduanya benar-benar tenggelam dalam kesibukan masing-masing sehingga sangat sedikit waktu yang mereka habiskan untuk bersama.Tak jarang Ansel menghabiskan waktunya untuk tidur di kantor karena pekerjaan yang terus mengejarnya. Ansel memang gila kerja. Clara tahu benar itu. Tapi tetap saja, rasanya sangat sepi menghabiskan malam-malam sendirian.Clara juga sibuk. Ia bahkan harus berpindah ke tiga lokasi pemotretan dalam sehari. Tapi tetap saja di penghujung hari, Clara memilih untuk pulang ke rumah mereka. Tidak seperti Ansel yang seolah benar-benar terserap dalam pekerjaannya dan tidak pada hal lain.Tapi Clara harus bagaimana lagi? Pekerjaan yang dilakoninya dan Ansel benar-benar berbeda. Di bahu Ansel
Pikiran Ansel benar-benar kalut. Hatinya tidak tenang karena rasa gelisah. Wajah terakhir yang ia lihat sebelum Clara pergi tadi pagi adalah hal yang paling tidak bisa ia lupakan. Kekasihnya itu benar-benar kecewa dan terluka. Matanya sembab karena menangis begitu hebat. Dan semua itu disebabkan oleh Ansel. Ansel dan segala egoismenya yang tidak bisa ia bendung.Dan karena itu pula Ansel tidak bisa fokus bekerja sejak tadi. Pikirannya selalu kembali kepada Clara dan Clara lagi. Rapat hari itu bahkan berjalan terasa sangat lambat karena Ansel tidak bisa meraih ponselnya untuk menghubungi kekasihnya itu."Jadi bagaimana, Tuan Brooks? Konsep iklan yang mana yang menurut Anda paling baik?"Pertanyaan dari salah seorang karyawannya menyadarkan Ansel dari kekalutannya. Ia segera mengerjapkan matanya berkali-kali dan mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya.Sadar, Ansel! Ada proyek senilai lima juta poundsterling yang harus kamu selesaikan!Ansel meninjau konsep yang dibuat oleh timnya
Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny
Entah berapa kali Clara mengutuk dirinya sendiri dan hati lembutnya ini. Ia sudah bertekad bahwa ia akan mengabaikan Ansel dan benar-benar menunjukkan kemarahannya. Namun sekarang, disinilah ia. Berjalan di pusat perbelanjaan Edinburgh mencari oleh-oleh untuk orang-orang yang ia sayangi. Hiasan kristal untuk Adeline, wiski untuk Elliott, dan wine serta parfum untuk Ansel.Ah, kenapa Clara bodoh sekali? Kenapa ia masih saja mau menghabiskan waktu dan uangnya untuk mereka yang bahkan tidak peduli dengannya?Tapi seperti itulah Clara. Beginilah cara ia menunjukkan rasa cintanya. Tak peduli seberapa kesalnya ia dengan orang-orang itu (kecuali Elliott, tentu saja), Clara tetap akan tersenyum lebar dan memberikan oleh-oleh ini kepada mereka."Semoga mereka menyukainya." Gumam Clara sembari mendorong troli belanjanya menuju kasir.Penerbangannya dua jam lagi dan Clara sekarang tengah menunggu pesawatnya di bandara. Ia melirik ponselnya lagi. Lagi-lagi panggilan dari Ansel. Untuk pertama kali
Pemotretan di Edinburgh benar-benar menyenangkan. Clara diharuskan berfoto di lokasi yang sedikit menantang yaitu di atas tebing St. Abbs. Dengan angin yang bertiup begitu kencang dan ombak yang menerpa dengan deras di bawahnya, tentu saja berfoto dengan menggunakan dua potong lingerie menjadi hal yang sedikit sulit untuk dilakukan.Tapi Clara menyukainya. Tidak, bukan hanya sekedar menyukainya. Clara benar-benar menikmatinya. Dan setidaknya kesibukannya ini akan mengalihkan perhatian Clara dari masalahnya dengan Ansel."Memangnya Ansel saja yang bisa sibuk bekerja?"Jepretan demi jepretan di ambil dan puluhan hasil foto yang tampak luar biasa benar-benar membuat Clara kagum. Jika ia adalah dirinya dua tahun lalu, maka mungkin Clara tidak akan pernah menyangka bahwa ia bisa bergaya sebagus itu. Layaknya seorang model profesional.Tapi Clara yang sekarang berbeda dengan Clara yang dulu. Ia sekarang adalah satu di antara deretan model La Perla. Dan juga salah satu model yang melenggok d
Pikiran Ansel benar-benar kalut. Hatinya tidak tenang karena rasa gelisah. Wajah terakhir yang ia lihat sebelum Clara pergi tadi pagi adalah hal yang paling tidak bisa ia lupakan. Kekasihnya itu benar-benar kecewa dan terluka. Matanya sembab karena menangis begitu hebat. Dan semua itu disebabkan oleh Ansel. Ansel dan segala egoismenya yang tidak bisa ia bendung.Dan karena itu pula Ansel tidak bisa fokus bekerja sejak tadi. Pikirannya selalu kembali kepada Clara dan Clara lagi. Rapat hari itu bahkan berjalan terasa sangat lambat karena Ansel tidak bisa meraih ponselnya untuk menghubungi kekasihnya itu."Jadi bagaimana, Tuan Brooks? Konsep iklan yang mana yang menurut Anda paling baik?"Pertanyaan dari salah seorang karyawannya menyadarkan Ansel dari kekalutannya. Ia segera mengerjapkan matanya berkali-kali dan mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya.Sadar, Ansel! Ada proyek senilai lima juta poundsterling yang harus kamu selesaikan!Ansel meninjau konsep yang dibuat oleh timnya